Aku mencintaimu sungguh aku sangat mencintaimu. Ini salahku karena aku memilih dia. Kini setelah aku berada jauh darimu aku telah sadar siapa yang aku cintai. Ternyata aku mencintaimu bukan dia, setiap mataku terpajam hanya ada engkau dan senyumanmu bukan dia. Ku kira dia ditakdirkan untukku. Ternyata pangeran yang ditakdirkan untukku adalah kau, dan hal ini sudah ditentukan bahkan saat kita masih anak-anak. Di saat kita tertawa bersama. Aku merindukan hal itu.

Ternyata aku telah menncintaimu bahkan sebelum aku mengetahui arti cinta. Engkaulah cinta pertama dan terakhirku.
 
Saat itu Hazzel pergi ke sebuah kafe itu lagi. Ia meminum coklat hangatnya lalu ia mulai menulis di kertas itu. Tapi entah kenapa walaupun ia sudah berusaha menulis dengan berbagai alat tulis. Ia tetap tidak bisa menuliskannya. Entah kenapa semuanya begitu tidak nyata. Padahal jika menulis dengan semua alat tulis itu dengan kertas lain bisa nyata.

Hazzel menghembuskan nafas. Lalu membenamkan wajahnya ke lengannya. Rasanya ia begitu bosan sekali dengan semua hal yang tidak tahu harus bagaimana ia melakukannya. Tiba-tiba ada seseorang yang menyentuh bahunya. Ternyata Nana, Nana pun bertanya tentang keadaan Hazzel. Dan Hazzel pun menceritakan masalahnya. Nana menatap buku itu. Ia membaca huruf paku yang ada di halaman awal lalu ia tersenyum. Dan ia punn berkata “Buku itu bukan untuk di tulis tapi buku ini untuk di baca.” Hazzel mengernyit kepalanya jadi pusing. “Lalu bagaimana cara kita membaca buku kosong itu.” Hazzel mendesah lalu membenamkan kepalanya ke lengannya.

 
Keputusan Hazzel telah bulat. Sekarang umurnya sudah dua puluh tahun. Jadi, ia memutuskan untuk berusaha hidup mandiri. Dan berusaha untuk bisa hidup sendiri. Dan ia memutuskan untuk tinggal di Bandung. Dan mencari pekerjaan untuk menjadi seorang sensei di sana serta ingin belajar tentang astronomi. Lalu akhirnya ia pergi ke Bandung dengan sebuah bis.

Dan malam pertama tinggal di sana. Ia teringat akan sebuah hal. Di dalam mimpinya ia teringat saat ia berumur tiga tahun. Saat itu ia dan ibunya pergi untuk berpiknik. Ibunya sedang menggelar tiker dan menyiapkan makanan. Sedangkan Hazzel kecil sibuk berlari mengejar seekor kupu-kupu. Pada suatu ketika ia berlari begitu jauh dan ia menemukan sebuah goa berdinding kaca. Hazzel menatap kaca itu. Ada seorang anak laki-laki kecil mengajaknya masuk ke dalam dunia kaca itu. Saat itu Hazzel ingin masuk ke dalam dunia di balik kaca itu. Tapi ibunya menemukannya. Dan anak laki-laki kecil serta dinding berlapis kaca itu menghilang dalam sekejap.

Hazzel terbangun. Dan ia melihat sebuah sinar hijau dari liontin yang ada di dalam peti kecil. Liontin itu terus memancarkan cahaya hijaunya. Dengan segera Hazzel membuka laci dan membuka peti kecil itu. Lalu membuka cakram liontin itu. Tiba-tiba seberkas cahaya terang keluar. Hazzel menutup wajahnya. Kamarnya kebetulan ada di lantai atas. Dalam seketika atap yang berlapis genteng itu berubah menjadi kaca. Spektrum warna yang keluar dari liontin itu memancar keluar terpantul oleh atap kaca. Dan bersatu dengan rasi bintang chamaeleon. Beberapa detik kemudian cahaya itu menghilang, dan meninggalkan Hazzel terpaku dan teriam dalam duduknya. Tubuhnya bergetar sembari memegangi liontin itu.

Ia masih belum percaya. Ia pun membaringkan tubuhnya ke tempat tidurnya. Atap rumahnya kini bukan lagi beratap genteng, melainkan kaca ia pun bisa melihat bintang berkelap-kelip. Saat ia kecil ia begitu jarang melihat bintang. Bintangnya tidak sebanyak ini. Saat ia masih kecil di Jakarta. Ia hanya melihat satu sampai tiga bintang saja. Tapi kini ia bisa melihat dengan begitu banyak.

Ia teringat kembali perkataan wanita itu. Sekarang iasudah berada di tempat di mana bintang terlihat dengan jelas. Lalu apa yang harus ia lakukan untuk selanjutnya, dan bagaimana cara ia menolonng angsa itu. Ia terus bertanya-tanya hingga akhirnya terlelap tertidur. Keesokan shubuhnya, ia segera sholat shubuh dan segera sarapan dan mandi. Ini adalah hari pertamanya mengajar. Gajinya tidak banyak memang, tapi cukup untuk kehidupannya. Sedangkan untuk membayar kuliahnya pada akhirnya ia meminta uang orang tuanya juga. Habis mau bagaimana lagi. Ia hanyalah seorang guru honorer.

Jantungnya berdegup keras ketika ia memasuki kelas. Ia pun tersenyum ramah kepada murid-muridnya. Dan untunglah murid-muridnya tidak terlalu nakal. Setelah selesai mengajar. Ia pun mulai kuliah, hanya sebentar. Dan malamnya ia mulai memperkenalkan diri pada orang-orang yang ada di Boscha. Saat ini liontin itu tidak memancarkan cahaya melainkan hanya bergetar. Dan dengan konyolnya liontin itu terjatuh. Pada saat Hazzel ingin mengambilnya, ia melihat sepasang sepatu. Dan ia pun bergegasmengambil liontin itu dan melihat ternyata orang itu adalah Tom. Ia sungguh tidak tahu harus bagaimana. Akhirnya ia hanya tersenyum dan bergegas pergi.

Hari itu berlalu begitu saja. Seharusnya itu adalah hari penting, karena ia bertemu dengan Tom. Seharusnya ia membuat pertemuan itu lebih berkesan agar Tom bisa mengenalnya dan mengingatnya. Tapi mau bagaimana lagi tiba-tiba saja ia jadi tidak tahu apa yang harus dilakukan. Daripada terpaku begitu lama untuk menatapnya lebih baik bergegas pergi.

Ia pun menghela nafas lalu ke sebuah kafe. Kafe itu tidak saja menghadirkan kue dan minuman, tapi kafe itu juga menghadirkan berbagai macam buku bacaan. Hazzel memesan coklat panas dan cake coklat. Lalu ia mulai membuka webnya. Dan mengambil buku bacaan. Setelah menulis sedikit di webnya, ia pun mulai mematikan laptopnya dan menyuruput coklat panasnya. Lalu ia mulai hanyut dalam sebuah untaian kisah dalam novel itu.

Tiba-tiba ada seorang pria yang duduk di hadapannya. Hazzel merasa terganggu, ia oun memaki dirinya seharusnya. Ia meminjam novel ini saja dan membacanya di rumah. Ia pun memperhatikan laki-laki itu. Ia memakai kaos hitam dan jaket hitam serta kaca mata hitam dan topi hitam. Laki-laki itu membuka kaca matanya dan ia berkata “Kau masih mengenalku Hazzel?”

Hazzel mengernyit dan menerka-nerka wajah siapakah ini. Lalu ia pun teringat “Nana,,, wajahmu tinggi badanmu, wah kau sudah mulai banyak perbedaan rupanya.” Nana pun menjawab “Kau juga seperti itu. Begitu banyak perbuhan yang terjadi pada dirimu. Lihatlah bahkan aku harus duduk di depanmu terlebih dahulu untuk melihat apakah kau Hazzel ku atau tidak.” Hazzel pun langsung buru-buru menjawab “Bagaimana kalau tidak?Kau pasti akan merasa sangat malu.” Hazzel menggelengkan kepala dan kembali menatap bukunya. Nana tersenyum dan menyenderkan tubuhnya ke kursi “Setidaknya aku jadi bisa berkenalan dengan wanita cantik yang siapa tahu dia tercipta untukku.” Hazzel meringgis, begitu mudah sekali ia memulai untuk berkenalan “Rupanya kau begitu playboy, ckkk”

Nana pun menyondongkan tubuhnya ke meja “Tapi karena aku sudah bertemu denganmu, aku tidak akan playboy lagi, aku kan play boy untuk mencarimu. Lihatlah sekarang aku sudah menemukanmu.” Hazzel pun membalas “Apa? Bukankah pada akhirnya aku yang ke kota ini?” Nana tertawa terbahak-bahak “Kau merindukanku, akuilah. Dan pada akhirnya takdir akan mempertemukan kita kembali. Lihatlah pertemuan kita semasa kecil tidak sia-sia. Pada akhirnya kita bisa bertembu kembali dan lihatlah ini. Tereng” Nana mengeluarkan sapu tangan bergambar hati Hazzel dan inisial N.H.

“Lihatlah aku berhasil merebut hati Hazzel dari tangan si Bayu itu. Dan ketika kita menikah dan memiliki anak, kita akan memberikan nama N.H Dini. Seperti nama seorang penulis. Aku sering membaca tulisannya. Tulisannya sangat bagus dan begitu reall.” Hazzel tersenyum dan menggeleng lalu ia kembali melanjutkan bacaannya. Merasa tidak dipedulikan Nana menatap ke sekitar. Lalu ia memegang sebuah buku coklat yang terkunci. Ia memainkan buku itu sembari bersenandung. Lalu ia membuka buku itu. Ia pun bertanya kepada Hazzel “Dari mana kau mendapatkan buku ini? Kenapa kau tidak menulis di buku kosong ini? Buku ini terlihat begitu tua dan rapuh karena warna nya coklat kering. Tapi lihatlah ternyata memang rapuh.” Nana berhasil menghancurkan sedikit kertas di halaman ketiga.

Hazzel menatap buku itu lalu ia terpana. “Bagaimana kau bisa membuka buku itu? Lalu kenapa bukunya kau hancurkan?” Hazzel terlihat marah. Tapi senang karena buku itu berhasil terbuka, setelah menunggu begitu lama. Bayangkan sudah tiga tahun berlalu dia belum berhasil membuka buku itu, membaca peta, serta sungguh tidak mengerti pada liontin cakram itu. Dan entah bagaimana keadaan sang angsa itu.

Hazzel berusaha mengambil buku itu dari tangan Nana. Nana menutup buku itu dan memberikannya pada Hazzel. Hazzel membuka buku itu tapi ia tidak bisa membukanya. Begitu menyedihkan. Lalu ia pun mengembalikannya pada Nana dan meminta untuk membukanya serta memberi tahu cara membukanya. Tapi sungguh tidak ada trik khusus untuk membukanya. Hazzel mengernyit, Nana pun tertawa “Tampaknya kau harus menikah denganku karena kau begitu membutuhkanku bahkan untuk membuka buku ini.”

Hazzel pun memintanya agar tidak menutup buku itu. Ini artinya Hazzel tidak boleh menutup buku ini juga selamanya. Kalau tidak pasti akan terkunci secara otomatis lagi dan ia jadi tidak bisa membacanya. Ia menatap buku itu dan membuka lembarannya karena rapuh. Buku ini terlalu kosong. Hazzel berfikir keras kenapa buku ini diberikan padanya? Hanya ada dua cara menggunakan buku, yaitu membacanya atau menulisnya. Karena buku ini kosong itu artinya ia harus menulis kisah perjalanannya di buku ini. Ia pun meletakan sebuah pena di buku itu. Agar sang buku tidak tertutup dan mungkin ia akan menulisnya nanti malam. Karena ia butuh ketenangan untuk menuliskan apa yang harus ia tuliskan.

Nana pun bertanya tentang hadiah itu. Dan Hazzel lekas menjawab “Aku tidak mengambil kado dari mu. Saat itu aku memejamkan mata. Dan ternyata tanganku mengambil hadiah dari orang lain bukan darimu.” Dengan nada tercekak Nana pun bertanya “Dari siapa?” Hazzel menggeleng “Aku belum membukanya.” Nana mengangguk dan ia pun pamit diri untuk pulang. Hazzel membereskan barang-barang. Nana melihatnya lalu mengajaknya pulang bersama.

Selama perjalanan pulang mereka berdua terdiam sibuk dalam pikirannya masing-masing. Hazzel merasa tidak nyaman dengan keheningan ini. Ia berusaha berfikir apa yang sedang dipikirkan oleh Nana. Mungkinkah karena ia tidak mengambil hadiah itu. Hazzel merasa bersalah kenapa karena ia tidak menyukai Nana ia jadi harus menyakitinya. Untunglah ia tidak membuatnya marah, tapi ia telah menyakitinya. Ini pun adalah hal yang buruk. Akhirnya Hazzel sampai di rumahnya.

Jadi, bagaimana ini. Hubungan mereka berdua jadi aneh. Kalau Hazzel tidak bertemu dengannya lagi sih tidak apa-apa. Tapi mulai hari ini sepertinya mereka berdua akan bertemu tiap hari sampai semuanya selesai. Hazzel menghempaskan tubuhnya ke kasur empuknya menatap bintang. Dan menatap lampu meja belajarnya yang di selimuti kertas kartun dan hanya di bolongi pada bentuk bulan dan bintang. Kertas karton itu berwarna biru. Dan gambar bulan dan bintang itu memancarkan cahaya lampu putih begitu cantik sekali.

Hazzel belum bisa tidur, ia menyalakan lampu kamarnya lalu duduk di meja belajarnya dan membuka kado itu. Sudah 16 tahun berlalu dan ia masih belum membuka bungkus itu. Ia mulai membuka lipatan itu. Ternyata hadiah itu dari Bayu dan isinya adalah sebuah novel. Hazzel menghabiskan waktunya untuk membaca buku itu. Setelah selesai membaca buku itu ia pun tertidur. Ia tidur hanya sebentar. Karena saat matanya terpejam malam sudah terlalu larut.

Hazzel pun bangun dan mulai melakukan aktivitasnya. Hari itu ia akan ke Boscha. Di sana ia melihat dengan Tom. Sebenarnya pertemuan mereka sama sekali bukan di Boschanya. Tapi di komplek perumahan Boscha nya. Hari itu ia bertemu dengan Tom di lapangan basket. Ia begitu serius memainkan bola basket itu. Setengah jam kemudian ada seorang wanita datang. Mungkinkah itu Destina. Destin datang membawa sebotol Limun. Yang bahkan sekarang jadi sisa setengahnya. Ternyata Destin tidak hanya membawa kue biskuit tapi membawa nasi juga. Di lapangan itu hanya ada mereka bertiga dan Hazzel sedang duduk di bangku penonton melihat kemesraan mereka berdua. Hazzel merasa canggung karena saat itu Destin sedang menyuapi Tom. Hazzel pun berdiri dan ingin pulang karena merasa tidak enak. Tapi tiba-tiba mereka berdua memanggil Hazzel dan mengajak bergabung. Hazzel bingung apakah bergabung atau langsung pulang.

Tapi akhirnya Hazzel memutuskan bergabung, lalu ia bertanya “Kalian mengenal saya?” Tom pun menjawab “Bukankah kita sudah pernah bertemu? Lagipula ayahku yang memperkenalkanmu pada kami berdua. Dan kau ternyata adalah orang yang hebat.” Lalu Hazzel bertanya tentang keberangkatan Tom ke Paris ternyata satu tahun lagi. Mungkinkah bersama Destin? Mungkinkah mereka akan menikah terlebih dahulu lalu pergi bersama ke perancis. Lalu melahirkan seorang anak, dan mungkinkah ketika anak mereka dewasa sang anak ingin ke Paris juga? Karena ingin mengunpulkan mozaik hidupnya. Serta ingin mengumpulkan kenangan masa kecilnya. Hemm,,mungkin memang seperti itu.

Lalu mereka bertiga pun memutuskan untuk pulang. Tapi sebelum pulang Hazzel diundang ke rumah Tom. Jadi, mereka bertiga ke rumah Tom. Saat ingin pulang Hazzel dibawakan kue buatan mamanya Tom. Dan ayahnya Tom menghadiahi peta bintang. Tom pun mengajarkan cara memakainya. Peta bintang ini berbentuk lingkaran. Bagian depan langit Utara dan bagian belakang adalah langit selatan. Di bagian ujung peta bintang terdapat jam, tanggal dan bulan. Kita harus menyesuaikannya dengan memutar peta bintang. Setelah jam, tanggal, dan bulan sama maka kita pun bisa menatap langit dan menyamakannya dengan yang dilangit.

Hazzel teringat pada hadiah majalah kreatif saat Hazzel SMP. Hazzel juga memiliki peta itu. Tapi aku belum pernah mencoba menyamakannya. Karena saat malam tiba Hazzel selalu berada di dalam rumah. Dan atap rumah Hazzel adalah genteng bukan kaca. Tapi karena sekarang atap rumahnya adalah kaca jadi ia bisa menyamakan peta bintang dengan bintang yang ada di langit.

Hazzel pun segera pulang setelah sholat dan makan ia mulai menyamakannya. Dan menghafal nama-nama gugus bintangnya. Liontin cakram itu bergetar. Ia membuka liontin yang besarnya sekepalan tangan itu. Liontin itu bersinar tapi tidak seterang saat pertama kali di bawa ke sini. Hazzel memperhatikan liontin itu. Ternyata setelah diperhatikan liontin itu mirip dengan peta bintang. Dan di ujung lingkaran juga ada penunjuk jam, tanggal dan bulan. Dengan memutar dan menyesuaikannya maka di tengah linotin itu terlihat peta bintangnya persis dengan letak bintang-bintang di langit. Hazzel mulai mencoba-cobanya hingga akhirnya ia tertidur.

 
 
This is your new blog post. Click here and start typing, or drag in elements from the top bar.
 
Saat itu Hazzel kembali ke dunia bawah sadarnya dan ia masih berdiri di tempat itu, lalu ia mendengar sebuah suara “Hazzel.” Suaranya begitu merdu, bagaikan alunan nyanyian sang angin. Hazzel berbalik, dan ia melihat seorang wanita cantik yang begitu bercahaya. Terang sekali, saking terangnya ia harus mengerjapkan matanya. Wanita itu begitu cantik dengan semburan cahaya yang keluar dari dirinya.

Bibirnya begitu manis merah mempesona. Bajunya begitu putih, ditutupi sebuah selendang panjang. Tapi yang bisa dilihat dan ditangkap oleh Hazzel adalah. Wanita itu memakai celana putih panjang, dan untaian selendang serta kain-kain putih menutupi seluruh tubbuhnya. Ia memakai sebuah liontin yang sangat cantik. Dan mahkotanya adalah kumpulan bunga seruni.

Hazzel menelengkan kepalanya “Bolehkah aku tahu siapa nama anda?” Wanita itu menggeleng “Belum saatnya kau tahu siapa saya.” Hazzel masih bertanya “Apakah anda  memerlukan bantuan saya?” Wanita itu mengangguk. Kakinya bagai tidak nampak pada rerumputan ini. Ia mengajak Hazzel ke sebuah kolam. Hazzel mengikutinya.

Dewi itu pun berkata “Kau lihat angsa itu?” Hazzel mengangguk angsa itu begitu putih dan cantik dan diatasnya ada sebuah mahkota yang terbuat dari ranting pohon yang melingkar dan dipenuhi bunga seruni putih. Sang Dewi itu melanjutkan perkataannya. “Angsa itu membutuhkan pertolonganmu, bisakah kau menuju ke sebuah Obstervarium di mana semua bintang terlihat begitu jelas?” Hazzel memiringkan kepalanya “Bagaimana caranya agar aku mengetahui tempat itu?”

Sang Dewi pun berkata “Aku akan memberikanmu sebuah peta. Tapi kau harus makan malam bersama kami dahulu.” Sang Dewi pun mengajak Hazzel ke sebuah Istana. Istana itu begitu besar dan megah. Dan ia di bawa ke ruang makan. Di sana begitu penuh sekali. Di tempat yang paling ujung. Ada seorang yang begitu besar dan tampan terlihat jelas ia adalah pemimpin di tempat ini, atau mungkin di wilayah ini sampai ke ujung bukit sana bahkann sampai ke daerah perkotaan dan perdesaanya, di mana berbagai unicorn sedang memakan rerumputan di sana. Dan tumbuhan edelweiss pun tumbuh di sana. Ruapanya sang dewi itu sudah menikah. Dan suaminya begitu tampan.

Makanannya begitu lezat. Ada ayam kalkun di situ. Dan Hazzel pun berkenalan dengan mereka semua. Lalu saat Hazzel akan kembali ke dunia nyatanya. Dewi itu pun memberikan sebuah peti kecil. Dan di dalam peti kecil ada sebuah peta dan sesuatu yang tidak dimengerti Hazzel. Awalnya Hazzel ingin bertanya. Tapi sudah tidak ada waktu lagi, ia harus kembali ke dunia nyata karena tempat ini bukanlah dunianya. Lagipula ia bisa mengutak atik benda itu sendiri agar ia bisa mengerti benda itu apa. Tapi jangan-jangan benda itu malah jadi rusak karena ia otak-atik. Lalu ia pun sudah tidak berfikir apa-apa lagi. Dan ia terbangun , ia melihat sebuah peti kecil di kedua tangannya. Pintu terbuka. Dengan cepat kilat. Ia menyembunyikan peti itu ke dalam  selimut.

Sang ibu datang, lalu ia menanyakan keadaan Hazzel setelah memastikan anaknya sehat. Akhirnya mereka bbergegas membereskan barang-barang mereka. Hazzel segera menyelundupkan peti itu ke dalam tasnya. Lalu ia menatap ke jendelanya. Ada sebuah bunga serunni putih. Lalu mereka pun pergi ke luar. Dan pulang.

Setelah sampai rumah Hazzel membbuka paket itu. Ternyata sebuah dari pak EWA. Buku itu terkunci dan tidak bisa terbuka. Ia bingung harus bagaimana membukanya. Akhirnnya ia meletakan buku itu di atas meja belajarnya. Buku itu berwarna coklat dan ada sebuah tulisan aneh di buku itu. Entah itu tulisan dari bahasa apa. Hazzel membbuka peti kecil itu. Lalu ia membuka peta kecil berwarna coklat bagaikann kertas usanng yanng terbbuat dari kulit.

Peta itu ada bergambbar gunung dan lain-lain. Hazzel tidak mengerti. Lalu ia memegang sebuah benda lain. Bentuknya seperti cakram lalu ia membuka benda itu. Tapi ia tidak mengerti pada simbol-simbol yang ada di benda itu. Ia mennarik nafas. Tidak ada yang ia mengerti. Ia pun menatap luka di pergelangan tangannya. Dan ia tambah tidak mengerti, kenapa tangannya terluka.  

 
Hazzel terbanngun dari tidurnya. Rasanya ia begitu ingin muntah. Ia mendekap mulutnya dengan erat, dan satu tangan lainnya mencengkram perutnnya. Rasannya begitu mual dan ia begitu muak. Rasanya ingin sekali memuntahkan semua ini tapi tak bisa. Pandangan matanya meredup.  Saat itu sore hari, kamarnya begitu gelap. Hanya seberkas sinar yang terbias dari jendela kamarnya dan tersamarkan oleh jendelanya. Seberkas siluet tubuhnya hadir di jendela itu.

Karena ia sudah tidak kuat berdiri, ia pun membaringkan tubuhnya ke kasur. Kepalanya masih pusing, samar-samar ia memandang pergelangan tangannya. Dengan menyipitkan mata ia meraba lengannya. Seperti  ada darah yang keluar dari pergelangan tangannya. Kepalannya semakin pusinnng, tubuhnya menndingin, nafasnnya melemah. Ia sudah tidak kuat lagi. Ia memandang tangannya dengan iba, lalu memejamkan mata. Rasa mualnya masih bertahan ia masih ingin muntah tapi rasanya begitu sulit untuk mengeluarkannya.

Sang ibu datang ke kamar Hazzel. Ia menyalakan lampu kamar anak itu. Lalu terpaku mennatap tubuh anaknya yang terbbarinng lemah. Lalu dengan segera ia merangkul tubuh anaknya. Dengan panik ia menelpon ambulan. Lalu dengan segera ia membawa tubuh Hazzel ke rumah sakit terdekat. Ia di bawa ke sebuah ruangan serba putih, tangannya di infus dan segera diberi perawatan.

Orang tua dirinya pun mendonorkan darah mereka karena saat ini Hazzel sangat kekurangan darah, bahkan mungkin untuk bernafas pun begitu sulit. Rasanya kepalanya begitu berat. Ia masih ingin muntah.

Hazzel terbangun dari tubuhnya. Terduduk lemas. Pandangan dan tatapannya begitu kosong. Kepalanya masih pusing, dan ia meraba sebuah guratan di pergelangan tangannya. Ia tersenyum tipis, bukan karena bahagia tapi ia tersenyum karena berfikir bahwa ternyata luka itu tidak akan pernah hilang. Dan luka itu mungkin akan mengingatkanya pada suatu hal.

Tubuh Hazzel masih mendingin dan kepalanya masih pusing tapi tatapannya sudah tidak kosong lagi. Dan pikiran serta pandangannya pun sudah tidak memudar. Hazzel berusaha berdiri dari kursi taman itu. Ia menatap ke sekitar semuanya serba putih. Tidak ada pembatas antara lantai dinding dan atap. Semuanya hanya putih dan kosong.

Hazzel berusaha berjalan dengan tubuh lemasnya. Kepalanya masih pusing tapi tinnggal sedikit. Ia berusaha keras agar tidak pingsan. Ia pun masih tetap berjalan. Tiap langkah ia selalu berfikir bahwa dirinya sehat dan kuat unntuk berjalan. Hingga pada akhirnya ia berada di sebuah taman. Semuanya tidak putih lagi. Kini sebuah rumput hijau menghiasi jalanan. Ia menatap sekitar ada sebuah pohon sakura, dan di sebelah ujung sana ada pohon maple. Di bawah pohon sakura ada sebuah kursi taman yang begitu percis dengan yang ia duduki tadi. Tidak jauh dari pohon sakura ada sebuah kolam ikan yang ukurannya sedang. Di dalam kolam itu ada dua ekor ikan koi yang sangat cantik. Yang satu berwarna orange keemasan dan yang satu lagi berwarna merah belang putih.

Hazzel mencelupkan tangan dan kakinya di air kolam itu. Rasanya begitu dingin, jadi ia mengurungkan untuk merendamkan tubuhnya di kolam itu. Ia pun keluar dari kolam yang memanjang ini. Dan ia menyebrangi sebuah jembatan yang sangat indah. Jembbatan ini membawanya ke sebuah tempat dataran tinggi. Di bawahnya ada sebuah kota. Dan di ujung sana ada sebuah gunung.

 
Saat itu bulan masih bersinar dengan terangnya, langit pun masih dipenuhi bintang. Burung hantu juga tidak lupa menyanyikan lagu sedihnya. Saat itu di sebuah tempat di Jakarta Barat, Tomang. Lahirlah seorang gadis kecil bernama Azelia Mahreza. Gadis ini tumbuh dengan sangat bahagia.

Tahun demi tahun berganti, pada suatu pagi yang indah ia dan ibunya melakukan sebuah piknik bersama. Mereka menggelar tiker, ibunya menyiapkan makanan. Tempat itu dipenuhi bunga yang sangat indah dan kupu-kupu yang sangat banyak pada suatu ketika ia mengejar kupu-kupu itu. Dan ia menemukan sebuah tempat rahasia. Sang ibu masih belum menyadari bahwa anaknya menghilang.

Sang anak memasuki tempat itu.