Aku terbangun dari tidur siangku. Ternyata aku tertidur di bale-bale. Beberapa saat krmudian tercium aroma masakan ibu. Aroma itu membangkitkan gairahku untuk makan. Sinar matahari yang menyilaukan mata menyapaku. Sinarnya begitu hangat sehingga aku merasa seperti diselimuti oleh kehangatannya. Aku beranjak dari bale-bale itu. Dan memasuki rumah untuk sholat Ashar serta makan. Setelah itu aku kembali ke halaman belakang. Halaman ini begitu indah bagaikan lukisan. Bunga-bunga yang tumbuh liar seliar ilalang mengitari pepohonan. Pohon itu terlihat sangat teduh. Menyajikan apel dan jeruk. Kupu-kupu bertebangan bersama kicauan burung yang terdengar begitu merdu di telinga. Kumbang-kumbang hinggap di bunga anggrek. Aku membawa sebuah novel petualangan,lalu membaca di sebuah kursi empuk menghadap ke halaman. Di temani segelas jus jeruk dan angin semilir. Membuat kantuk berdatangan. Alhamdulillah tadi aku sudah tidur. Jadi, aku tidak tidur saat ini.

Belum sempat aku membaca paragraf pertama. Tiba-tiba aku mendengar suara berisik sekali. Ketenanganku terganggu. Aku melongokkan wajahku dari novel itu. Seekor tupai dengan biji kenari. Tupai itu memegang biji kenari dengan begitu erat. Takut ada yang mengambil. Aku memperhatikannya yang sedang sibuk berlari-lari tidak jelas. Andai kamera kakakku ada di tanganku mungkin sudah ku foto diri tupai itu. Sang tupai yang merasa di perhatikan akhirnya pun pergi ke dalam lubang di pohon. Entah kenapa ada lubang di situ. Untuk sarang binatang lain mungkin. Aku mendekat ke pohon itu. Aku menyalakan senter yang beruntung ada di sakuku. Ku lihat tidak ada tupai di situ. Entah kemana ia pergi. Mungkinkah ia masuk ke tempat yang lebih dalam lagi dari lubang itu? Mungkin saja.

Sesaat cahaya senterku terpantul oleh benda kecil. Aku menemukan sebuah kunci. Entah kunci pintu apa ini. Akupun bertanya pada ibuku. Ia hanya berteriak-teriak tidak jelas. Aku tidak mendapatkan jawaban darinya. Untuk melepaskan rasa bosan. Aku pergi berjalan-jalan ke sebuah taman. Taman itu di penuhi berbagai macam bunga. Dan ada sebuah labirin.  Aku mencoba bermain di labirin itu. Tak ku sangka labirin ini begitu rumit. Aku di buatnya pusing. Begitu banyak persimpangan jalan. Aku memilih sesuai feeling. Aku berjalan sampai kakiku begitu cape dan letih. Aku yakin pasti jari kelingkingku lecet. Aku sudah tidak kuat lagi. Tapi akhirnya aku menemukan sebuah pintu. Ukiran pintu itu sangat bagus. Pintu itu berwarna hijau dengan ukiran berwarna emas. Pintu itu terkunci. Aku mencoba membuka pintu itu dengan kunci ini. Jika tidak berhasil aku akan pulang. Tapi itu artinya aku harus bercape- cape ria lagi untuk berjalan di labirin yang membosankan ini. Belum lagi jika aku tersesat. Akupun masih tetap mencoba membuka kunci itu.

Alhamdulillah pintu itu terbuka. Seberkas cahaya memasuki labirin ini. Aku menutup mataku karena tidak kuat untuk melihat cahaya yang menyilaukan itu. Dan akhirnya mataku bisa beradaptasi. Seperti di negeri dongeng,tempat ini begitu indah tapi sayang tempat ini hanya sekejap saja terlihat indah selebihnya tempat ini berubah murung. Awan mendung datang membawa kapasitas air begitu banyak. Hujanpun membasahi tubuhku. Aku mencari tempat berteduh. Labirin itu terlihat tidak terkena air hujan. Aku berlari menuju labirin itu. Tapi sayang pintu itu tertutup seketika. Aku tidak bisa membuka pintu ini walaupun memakai kunci ini lagi.

Aku tidak memiliki pilihan lain aku melanjutkan perjalananku. Pepohonaan hijau dengan berpuluh-puluh buah-buahan berubah menjadi pohon yang tidak memiliki daun. Bunga-bunga yang warna-warni terlihat layu kecoklatan. Rerumputan hijau sekarang di penuhi onak duri. Burung-burung berkicau pergi digantikan oleh suara burung hantu dan gagak hitam. Hujan terus mengiringi langkahku. Kelinci dan tupai yang berlarian berubah menjadi serigala yang melolong dan mengintai. Bukit-bukit landai berubah curam menjadi tebing. Menara yang seperti istana Raja berubah menjadi nuansa gothic seperti rumah nenek sihir. Mercu suar yang memberi penerangan kini redup. Membuat kapal yang ingin berlabuh langsung menabrak tebing. Membuat hancur sang kapal. Ombak-ombak berlomba dengan sangat agresif. Badai datang dengan marah. Kilat dan guntur datang silih berganti. Angin yang semula lembut kini menjadi angin ribut. Aku tidak memiliki tempat berteduh. Aku meneruskan jalan setapak. Bulan purnama muncul. Entah langkah ku atau hujan yang membawa kesedihan,kesepian dan ketakutan ini. 

Aku berjalan menuju mercu suar. Tempat ini terlihat seperti menara di sebuah tebing. Begitu tinggi di atas pantai. Tetapi ketinggiannya sejajar dengan gunung ini dan menyatu dengan gunung ini. Aku masuk ke dalam menara. Aku mengunci pintu karena aku takut serigala itu datang ke sini. Aku menaiki anak tangga. Begitu tinggi,dan berputar terkadang aku begitu lelah berjalan sampai-sampai aku menghentikan langkah untuk duduk dan melihat ke luar jendela. Jendela ini begitu menjorok ke luar. Menyediakan sebuah tempat yang bisa dijadikan tempat duduk. Aku naik ke jendela ini untuk duduk. Aku memandang pemandangan di luar. Laut masih belum tenang selama badai itu masih berputar-putar di situ. Andai badai telah pergi pasti pemandangan di luar begitu indah dengan camar yang berterbangan meliuk-liuk rendah untuk mendapatkan seekor ikan. Aku yang takut jika kilat menyambar ke jendela ini, akhirnya memutuskan untuk melanjutkan menaiki tangga. Aku pun terus ke atas. Ke tangga yang berputar ini. Akhirnya aku sampai di puncak. Aku mengunci pintu. Takut penyihir di menara nan jauh di sana datang ke tempat ini. Aku sholat maghrib dan Isya. Akupun tertidur lelah.

                                                              ***

Aku terbangun dari tidurku. Aku tatap kamar ini. Rasanya berbeda. Ini bukan kamarku. Kamarku tidak berdinding batu alam abu-abu seperti ini. Dan tidak seluas ini. Kulihat pemandangan di balik jendela. Dan kamarku yang sesungguhnya hanya di lantai 2 dan hanya memiliki pemandangan atap rumah tetangga. Tapi di sini aku seperti di dalam menara. Tempat ini begitu tinggi entah berapa lantai. Dan pemandangan disini begitu indah. Di bawah menara ini amat sangat berbeda dari pemandangan biasanya. Di bawah menara ini ada sungai yang dihuni oleh banyak buaya. Membuatku bergidik. Aku kembali mengamati kamar itu. Warna temboknya abu-abu suram. Tapi di bagian dinding yang lain terdapat banyak lemari buku. Dan jutaan buku di dalamnya. Pintu terkunci entah di mana kuncinya. Dan aku tidak bisa membukanya dengan kunci ini. Aku merasa seperti dijadikan tahanan rumah. Tapi asal ada ribuan buku disini aku tidak keluar juga tidak apa. Tapi apakah aku akan mati kelaparan? Aku menghempaskan tubuhku ke lemari buku itu. Seketika aku merasa ada yang bergeser. Lemari itu bisa bergerak aku masuk ke ruangan sebelah di balik lemari ini. Ruangan ini berisi cerobong asap di ruang duduk dan di sebelah ruangan ini terdapat dapur dan kamar mandi. Di dapur terdapat beribu makanan cepat saji. Tampaknya makanan ini hanya akan mempersingkat masa hidupku. Lalu aku masuk ke ruangan sebelah dapur disana terdapat ruangan es yang sangat besar berisikan beribu-ribu stok makanan yang belum diolah. Tampaknya aku harus belajar masak di sini. Alhamdulillah di lemari buku ini terdapat resep masakan. Jadi aku bisa berusaha belajar masak.

Cuaca begitu panas dan kering. Aku pun bergegas mandi. Entah rumah siapa ini yang berfungsi sebagai mercu suar dan begitu mirip dengan menara. Airnya begitu segar. Di sebelah kamar mandi ada ruangan yang berisikan beribu-ribu pakaian. Aku memakai salah satunya. Setelah itu aku sholat shubuh. Alhamdulillah di tempat ini ada mukenah. Lalu aku membaca seluruh buku yang ada di kamar. Kumpulan buku yang sangat banyak. Setahun telah berlalu. Kuhabiskan waktuku untuk membacanya. Petualangan, pengetahuan, pengorbanan, agama, cinta serta sejarah. Semuanya disajikan di buku-buku ini. Sudah saatnya aku pulang,ini bukan rumahku. Tapi bagaimana caranya aku keluar dari menara tak bertuan ini? Aku mencari sesuatu di seluruh pelosok ruangan ini. Di laci aku menemukan sebuah diary berdarah. Sebuah catatan suram dari penghuni menara ini sebelumnya. Dia adalah seorang perempuan. Hidup di zaman victoria. Dia tinggal bersama kedua orang tuanya. Ayahnya yang dalam samar-samar disemasa kecilnya selalu menceritakan sebuah kisah padanya dari sebuah buku. Tapi hal itu tak berlangsung lama. Setelah ia sudah bisa baca ayahnya sudah tidak datang lagi. Sudah tidak ada malam-malam yang penuh kisah yang diceritakan ayahnya. Saat ibunya datang ia selalu bertanya "Kemana ayah pergi? Kenapa ia sudah tidak berbagi cerita padaku lagi?" Ibunya hanya tersenyum dan menjawab menenangkan "Ia akan datang kembali membawa sejuta kisah hidupnya". Ibunya benar ayahnya datang lagi setiap tahun membawa sejuta kisah untuknya melalui buku-buku yang ia bawakan.

                                  

Ketika ayahnya pergi. Untuk menghilangkan rasa rindu pada ayahnya. Sang gadis dan ibunya membaca buku itu bersama-sama menghabiskan tiap malam,untuk membacanya. Suatu ketika ayahnya datang dengan membawa ajaran agama baru. Ia mengajarkan gadis kecil itu tentang Tuhan Yang Esa. Dan mengajarkan mereka bagaimana cara menyembah-Nya. Ia bercerita panjang lebar tentang agama itu. Agama itu dibawakan oleh Nabi Muhammad yang hanya dalam beberapa puluh tahun Ia berhasil membuat kaum yang jahiliyah menjadi beradab. Ia berhasil mengubahnya menjadi baik. Tapi keluarga gadis itu tidak bisa selamanya berada di negaranya untuk menikmati agama ini. Karena negara mereka akan membunuh orang-orang yang keluar dari agama leluhur nya. Ayah dan ibu nya membawa dirinya keluar dari kota itu. Akhirnya dia bisa melihat dunia dari kedua matanya sendiri. Tidak hanya melihatnya dari balik jendela ini. Tulisan itu berakhir di sini.

Dengan sebuah kunci kecil di belakang sampul buku itu. Aku mencoba membuka pintu kamar ini dengan menggunakan kunci itu tapi sayang kunci itu terlalu kecil. Suhu semakin rendah. Hawa dingin menyerbu ruangan ini. Besok mungkin akan turun salju. Aku tidak tahan dengan hawa dingin ini. Hawa ini bisa membuatku beku jika aku tidak banyak bergerak. Angin dingin menyergapku membuat tulang-tulang gemeteran. Aku harus  bergerak jika tidak ingin mati membeku. Aku ke ruangan sebelah yang memiliki cerobong asap. Ternyata di sini tidak ada stok batu bara untuk membakar apinya. Tidak pula ada kayu bakar. Hanya ribuan buku. Sayang sekali jika dijadikan bahan bakar. Aku melihat sesuatu di dalam tungku cerobong asap itu. Ada sebuah tuas. Aku menarik tuas itu. Di sebelahnya ada sebuah pintu kecil. Aku membukanya dengan menggunakan kunci itu.

Sebuah lorong. Begitu kecil. Aku harus merangkak seperti bayi. Udaranya benar-benar lembab. Lorong ini seperti tak berujung. Rasa cape menggelayut di tangan dan dengkulku. Rasa pegal menyertai leherku. Rasa takut terjebak di lorong itu ikut menyertaiku juga. Aku takut mati di dalam lorong itu. Dan tidak akan pernah ada yang tahu mayatku. Disini gelap sekali. Bodohnya aku tidak membawa senter. Mau balik ke tempat tadipun rasanya aku sudah terlalu jauh merangkak akan cape jika balik lagi. Lagipula aku tidak bisa berputar arah. Di sini begitu sempit. Apakah penulis diary berdarah itu pernah ke sini? Bahkan dia menulis dia tidak pernah keluar dari puri itu. Dan tak pernah diizinkan oleh kedua orang tuanya. Aku jadi ingin tahu. Keadaan seorang anak yang dikurung di sebuah menara selama 15 tahun apakah ketika ia keluar dari menara itu ia mengalami Antisosial?Menolak kedatangan orang-orang baru dalam hidupnya? Serta ketika melihat budaya-budaya baru ia akan mengalami culture shock. Serta belum bisa beradabtasi. Tapi dari buku-buku yang ia baca aku yakin ia sudah sedikit tau tentang dunia ini serta budaya-budayanya. Lagipula ia bersama kedua orang tuanya.

Aku terantuk sesuatu. Kaki ku sakit. Aku pun menyudahi diskusi dalam pikiranku. Aku terperosot. Jalanan ini begitu landai dan menurun. Dan aku berhenti. Jalan buntukah ini. Aku meraba ternyata ini sebuah tangga aku menaiki tangga itu. Aku mendorong atap itu. Dan ternyata ini sebuah ruangan. Ada sebuah penerangan. Harus menggunakan api kah? Aku mencari-cari sebuah korek api di saku ku. Bekas memasak tadi pagi.

 Ada sebuah lorong lagi. Lorong ini bagaikan labirin. Jalanannya agak besar membuat aku bisa berjalan di sini. Akhirnya aku menemukan persimpangan jalan. Aku harus memilih  jalan yang mana yang tidak buntu. Bahkan walaupun hanya memilih jalan yang mana yang tidak buntu,itu lebih baik karna aku bisa balik ke sini lagi dan mencoba jalan lain. Tapi jika aku memilih sebuah jalan yang pada akhirnya membawaku ke sebuah persimpangan jalan lagi itu baru merepotkan bisa-bisa aku akan tersesat dan mati di sebuah labirin ini tanpa ada yang tau di mana mayatku. Berhenti di sini pun tak ada gunanya. Itu hanya membuktikan aku menyerah dan memasrahkan nyawa ini. Menunggu waktu berjalan pun bukan pilihan yang bagus. Karena ketika kelaparan menyerang malaikat maut pun akan menjemput. Berbicara tentang rasa lapar yang menyerang. Aku lupa membawa makanan. Sungguh bodoh diri ini. Menjemput petualangan tanpa bekal sedikitpun.

Aku hanya bisa pasrah. Allah Maha Pemberi Rezki ia tidak akan lupa memberikan rezki kepada hamba-Nya yang sedang terkurung di sebuah goa tua ini. Jadi, yang bisa kulakukan sekarang adalah aku harus menghemat energi dan segera cepat berjalan. Karena jika lampu minyak ini habis, maka akan repot sekali berjalan sambil meraba-raba. Aku pun  memilih jalan. Karena aku tidak tahu harus memilih yang mana akhirnya aku menggunakan feeling saja. Dan ternyata jalan ini dengan suksesnya membawaku ke persimpangan jalan. Aku memilih asal lagi. Tapi kupilih jalur kanan. Karena kanan itu biasanya bagus. Akupun terus berdoa agar aku bisa keluar dari goa ini. Aku tidak ingin terkurung di sini selamanya. Mati kelaparan dan tidak akan pernah ada yang tahu  tentang kematianku dan keberadaan mayatku.

Aku berjalan cukup lama aku sudah begitu haus untuk meneruskan perjalananku. Sampai akhirnya aku menemukan sebuah danau di dalam goa. Aku meminum air untuk menghilangkan rasa hausku dan untuk membasahi tenggorokanku yang kering. Aku ingin membawa air ini untuk bekal tapi di sini tidak ada yang bisa di jadikan wadah,menyedihkan. Apakah di sini akan ada ikan. Tapi bagaimana caraku menangkapnya aku tidak punya alat pancing. Lagipula kalau ada alat pancing aku tidak akan pernah sanggup menaruh cacing di tempat umpannya. Tapi karena situasi sudah begitu gawat. Mungkin aku akan lebih memilih memegang cacing daripada mati kelaparan. Aku berjalan mengelilingi danau agar jika haus. Aku bisa meminum airnya. Kaki ku sudah semakin letih. Tak bisakah aku istirahat dulu. Tapi jika istirahat minyaknya akan cepat habis. Aku pun matikan lampu minyak itu dahulu agar hemat. Aku tidak akan tahu apa yang akan terjadi nanti. Jika tiba-tiba cahaya mati sedangkan aku harus tetap berjalan. Aku pun mengantuk dan akhirnya memutuskan untuk tertidur.

. Aku tidak tahu sekarang siang,sore atau malam. Yang aku tahu aku sudah terlalu lama berjalan. Ya Allah tolonglah diri ini. Aku melanjutkan perjalanan. Dengan cahaya redup. Aku terus berjalan mengelilingi danau. Yang semula danau kini menjadi sungai. Sungai yang panjang meliuk- liuk. Aku lelah dan bosan. Aku menerka-nerka jika tadi aku berangkat setelah sholat Isya mungkinkah sekarang sudah shubuh? Akupun sholat untuk menghilangkan rasa lelah di hati karena entah kapan aku sampainya. Aku melanjutkan perjalanan sampai aku menemukan setitik cahaya. Jalan keluarkah itu? Aku menangis terharu. Allah mengabulkan do'a ku. Aku berlari cepat. Semua rasa letih di kaki hilang semua. Beban berat yang terasa di punggung menguap sudah. Begitulah rasa cape. Dia ada karena kita berfikiran untuk cape. Ketika kita membebaskan fikiran kita rasa lelah itu akan hilang menguap di telan langit. Dan mungkin juga karena adanya sebuah motivasi.

 Aku pun berlari. Dan di depan ku ternyata ada kunang-kunang. Jadi cahaya yang kukira jalan keluar hanya sekumpulan kunang-kunang. Lucu sekali,lebih tepatnya menyedihkan. Jadi, bagaimana ini nasibku ya Allah? Kenapa ketika aku meminta jalan keluar Kau hanya memberikan jalan buntu. Untuk melatih rasa sabarku kah? Hem apapun itu aku harus tetap bersabar dan terus menjalani kehidupan ini. Pilihannya hanya ada dua yaitu diam untuk menanti kematian atau terus berjalan. Tapi dengan terus berjalan walaupun letih dan lapar setidaknya aku masih memilki peluang untuk keluar dari goa ini. Aku terus berjalan untuk menyelusuri sungai ini.Sampai pada akhirnya cahaya itu nampak lagi. Aku tidak berlari-lari seperti tadi. Karena aku takut merasakan kecewa kedua kalinya. Akupun terjatuh berdebum. Tanah serasa kasur. Aku sudah terlalu lelah untuk berjalan aku akan bangun nanti saat dzuhur untuk shalat.

Beberapa jam kemudian hati kecilku berteriak. “Bangunlah jalan keluar sudah di depan mata jangan sampai kau menunggu goa ini berguncang dan menutup jalan keluar.” Aku terbangun tinggal beberapa langkah lagi. Aku bangun untuk sholat dzuhur dan meneruskan langkah. Aku tertawa getir melihat jalan keluar itu. Ternyata hanya lubang kecil. Bisakah aku melewati jalan itu? Tapi aku harus bisa jika aku tidak ingin mati terkurung di sini. Aku pun menarik batu berat ini agar celahnya menjadi besar sehingga aku bisa kmemasukinya. Tapi sayang sekali. Celah itu malah menjadi tertutup karna batu yang di atas jatuh tepat di celah kecil itu. Hiks sungguh menyedihkan. Apakah itu artinya takdir memintaku untuk tinggal di sini? Tapi hanya orang bodoh yang menjawab ya bersedia. Aku ingin pulang aku kangen ibuku, ayahku, kakaku, rumahku, sepupuku, saudaraku, nenekku, guruku, orang-orang yang ada di sekitarku. Walaupun terkadang ada konflik diantara kami. Tapi bagiku mereka tetap duniaku. Mungkin dunia menganggap mereka hanya seseorang,tapi bagiku mereka adalah duniaku. Aku pun bangkit aku tidak mau kalah oleh takdir siapa tau takdirku memang ada di luar sana bukan di dalam goa ini.

Aku mencari celah. Di atas sana ada sebuah celah muatkah untuk tubuhku? Tapi celah itu begitu di atas bagaimana ini. Aku seperti sedang memanjat tebing curam. Tapi aku tidak akan tahu apakah aku bisa atau tidak jika aku tidak mencobanya. Tapi ini begitu mustahil aku belum pernah belajar memanjat tebing. Tapi aku tetap berusaha. Aku pun mencoba merangkak ke atas tepat dugaanku batuan di bawah berjatuhan. Setelah bersusah payah. Akhirnya aku bisa sampai atas. Aku pun masuk ke celah kecil itu. Alhamdulillah tubuhku cukup untuk masuk ke dalam selah kecil itu. Aku melihat matahari bersinar. Mataku silau melihatnya. Aku turun dari gundukan batu dan memerosotkan diriku. Aku mencuci wajahku di sungai dan meminum air sebanyaknya.




Leave a Reply.