Max dan Yume sadar pernikahan mereka, berjalan begitu sederhana dan sepi. Tidak ada hal yang menarik dalam pernikahannya. Akhirnya Max dan Yume saling menatap. Tatapan mereka mengartikan setidaknya sekarang mereka saling memiliki satu sama lain. Max dan Yume pun menyewa sebuah rumah. Yume menatap halaman rumah nya yang dipenuhi bunga yang indah. Ruang tamu yang hangat.

Yume juga menyadari ternyata di rumahnya ada sebuah ruang rahasia yang bisa mengantarkan mereka ke sebuah atap rumah mereka. Di atap ini Yume mengisinya dengan berbagai buku. Ia pun menatap ke luar jendela. Pemandangan terlihat begitu indah di atas ini. Rumah mereka berada di atas bukit. Ketika malam tiba. Dan jika mereka menatap ke luar jendela yang berada di atap rumah maka mereka bisa melihat ribuan lampu rumah di kota yang berada di lembah itu. Jika mereka menaikan kepala mereka beberapa derajat ke atas maka mereka akan melihat bulan dan ribuan bintang yang dengan setia menemani mereka.


        Max bekerja di sebuah perusahaan. Sedangkan Yume menjadi dosen Astronomi di sebuah universitas. Dan terkadang ia sering terlihat di sebuah obstervarium. Yume pun memutuskan membeli sebuah teropong bintang dan meletakan di atap agar dia bisa mengamati bintang dari rumahnya. Sehingga ketika malam tiba ia tidak perlu repot-repot ke observatorium serta meninggalkan suaminya. Yeah walaupun peralatan observatorium lebih canggih.

Dan ia bisa mengamati langit lebih leluasa sera lebih mendetail. Yume menatap rumahnya. Ia begitu sibuk sehingga tidak bisa mengurus rumahnya. Lagipula sebenarnya ia tidak bisa mengurus rumah. Karena ibunya tidak pernah mengajarinya mengurus rumah bahkan mungkin sejujurnya ibunya juga tidak bisa mengurus rumah. Akhirnya Yume pun mencari pembantu rumah tangga. Dan terpilihlah sebuah ibu-ibu berumur empat puluh tahun. Dan dia terlihat begitu cekatan dalam mengurus rumah. Terkadang Yume pun belajar darinya karena takut siapa tahu di saat lebaran tiba, ibu itu harus pergi meninggalkannya dengan segudang tugas ibu rumah tangga yang tidak bisa ia kerjakan.


        Yume pun menyisihkan waktunya untuk membaca novel dan menuliskan sebuah novel buatannya. Lalu ketika ia membuka laci meja kerjanya. Ia menemukan sebuah Journal. Darahnya berdesir. Jiwa petualangannya bergejolak. Max membuka pintu kamar. Yume terlihat begitu kaget. Max agak sedikit heran melihat rasa kaget Yume. "Apa kau belum terbiasa jika tiba-tiba suami mu datang ke kamar?" Pipi Yume pun bersemu merah "Maaf." Ia hanya berkata itu. Max melihat journal yang dipegang Yume. Max mendekat. "Apa itu?" Yume pun menatap mata Max "Sebuah Jounal."

Max mengangguk ia pun berbalik untuk meletakan jasnya di gantungan. "Terlihat begitu tua dan kusam." Yume mengangguk setuju. "Kau ingin membacanya Max?" Max pun membuka dasinya. "Aku lebih suka jika kau membacakannya untukku." Mata Max terpejam. Yume mendengus. "Bagus sekali. Kau kira aku sedang membacakan sebuah dongeng ha? Aku membaca dengan penuh imajinasi dan kau tertidur." Yume pun menuju tempat tidur dan mengelitiki Max agar ia tidak tidur.


         Max membela diri. "Aku akan mendengarkan mu. Aku tidak tertidur. Mataku hanya terpejam agar aku bisa lebih menghayati sebuah imajinasi yang akan dihadirkan oleh journal itu." Yume pun mengalah. "Aku akan membacakannya untukmu. Kau harus mendengarkannya karena setelah selesai aku akan meminta sebuah komentar darimu. Dan aku akan tidak akan memaafkanmu jika kau tertidur." Max mengangguk.

Yume pun membacakannya. Setelah selesai ia pun meminta komentar pada Max "Bagaimana menurutmu Max?" Max tidak bergeming. Wajah Yume mulai merah. Dan mengguncangkan bahu Max "Kau tertidur ya? Aku tidak akan pernah memaafkanmu." Max tertawa. "Aku tidak tertidur aku hanya ingin membuatmu kesel sebentar." Mereka pun tertawa. Dan Yume pun memukuli Max karena kesal. Lalu Max pun berkomentar dan menatap Yume. "Kau ingin mencarinya?" Yume mengangguk dan petualangan mereka pun segera di mulai.


        Mereka pun ke pohon besar itu. tengkorak laki-laki itu masih ada. Max menyingkirkan tengkorak itu lalu membuka makam itu. Tenkorak kakek buyutnya kakek laki-laki itu memegang pedang cahaya di dadanya. Max pun mengambil pedang cahaya itu. Dan Yume mengambil peta harta karun itu.

Yume mengernyit. Lalu menatap Max. “Tampaknya kita akan mengalami perjalanan yang agak panjang.” Max tersenyum. “Mungkin sebaiknya kita awali dengan sholat dzuhur. Waktu sholat dzuhur telah tiba.” Mereka pun segera mengambil air wudhu dari sungai. Lalu Max membuka peta dunianya. Menatap letak mekkah dan kota tempat mereka berada lalu dia mengambil kompas untuk mencari arah utara. Lalu ia pun mencocokkan keberadaan mekkah. Ternyata Mekkah masih berada di barat jika dari kota mereka berada. Dan Max serta Yume pun menghadap ke arah kiblat. Mereka pun sholat dengan khusyu.

Setelah sholat mereka memakan sedikit bekal mereka untuk mengisi tenaga karena mungkin perjalanan agak sedikit jauh. Yume dan Max memakan sandwich yang berisi daging asap dan air limun. Max pun memulai pembicaraan. “Ok. Yume sekarang kita akan kemana terlebih dahulu.” Yume pun membuka peta. Ia mengernyitkan alisnya. Kita harus ke Menara Hitam. Tapi aku tidak tahu tempat itu di mana.”

Max pun melongokan wajahnya ke peta. Ia menatapnya dengan seksama. Mencari setiap detail data tersebut. Lalu ia menunjuk ke sebuah tempat. ”Kita berada di pohon besar dekat goa. Bersyurlah kita karena kakek buyutnya kakek orang itu menggambar sebuah pohon besar di sini. Walaupun agak kecil.” Yume merenung. “Jika kita berada di tempat yang kau tunjuk, itu artinya kita harus berjalan ke arah timur laut. Kita harus ke arah jam satu.”

Lalu mereka pun berjalan menembus pepohonan. Lama-kelamaan pepohonan itu begitu banyak dan menutupi langit. Burung-burung menyanyikan sebuah lagu mereka. Jalanan agak sedikit becek dan menanjak sedikit. Baru lima belas menit mereka berjalan. Yume tampak begitu lelah dan mengeluarkan air mata. Kakinya begitu perih. Yume berada di belakang Max.

Yume pun hanya bisa menatap punggung Max karena jalanan hanya setapak. Yume meringis andai Max mengajaknya beristirahat sebentar. Tapi itu tidak mungkin karena mereka baru berjalan lima belas menit. Yume hampir menangis, karena kakinya terus tergores oleh onak duri dan tumbuhan yang berduri. Belum lagi jika ada lintah. Yume menatap tanah. Ia mengutuki dirinya sendiri karena begitu lemah. Max pun sejujurnya merasa cape karena sebenarnya ini adalah pengalaman pertama ia berpetualang.

Selama ini ia ingin berpetualang karena ia membaca buku-buku di toko kakenya yang bergenre petualangan itu sepertinya menyenangkan. Tapi ternyata tidak terlalu menyenangkan. Karena medan begitu sulit. Ia pun begitu cape dan kelelahan. Nafasnya ngos-ngosan rasanya begitu seperti ingin mati. Ternyata petualangan tidak semenyenangkan seperti yang ada di buku-buku itu. Di sini mereka harus berusaha bertahan hidup dengan cadangan makanan sedikit, belum mungkin ada hewan buas atau mungkin jangan-jangan ada orang yang jahat yang mengintai mereka dan bermaksud mencuri pedang cahaya dan peta harta karun ini.

Karena siapa tahu saja ada seseorang yang mengetahui perjalanan mereka walaupun Max dan Yume tidak mengatakan perjalanan ini kepada siapapun. Max dan Yume adalah tipe orang tertutup dan pendiam mereka hanya memiliki sedikit sahabat walaupun memiliki banyak kenalan yang akhirnya menjadi teman, tapi hanya sebatas teman bukan teman dekat. Sejujurnya mereka juga ingin memiliki banyak sahabat. Tapi sayang mereka telah menyadari bahwa mereka terlalu sibuk oleh pekerjaan mereka. Banyak hal yang harus dikerjakan demi mencapai impian-impian mereka. Sampai mereka melupakan cara berkomunikasi dan bersenang-senang dengan teman-temannya.

Sejujurnya Max berjalan sudah agak loyo bahkan hampir ingin menyentuh tanah. Tapi karena ia sadar dibelakangnya ada istrinya yang mungkin akan selalu menatap punggungnya agar mereka tidak berpisah, Max pun berusaha berjalan dengan berjalan tegak dan sok kuat. Jalanan sudah agak melebar tapi agak sedikit curam. Yume hampir sedikit ingin terjatuh tapi untunglah ia segera memegang lengan Max. Dan hal ini mengakibatkan tertinggalnya sebuah bekas cakaran. Max begitu kaget dan expresi wajahnya agak sedikit meringgis. Ia menatap kebelakang. Dan mendapati Yume hampir terjatuh. Ia pun membantu Yume berdiri. Dan mulai sekarang ia pun memegang tangan Yume. Agar Yume tidak dengan tiba-tiba terjatuh lagi dan mencakar lengannya lagi.

Akhirnya mereka pun sampai ke sebuah Menara Hitam. Mereka begitu terpana. Mata yume pun berkaca-kaca. “Huwaaa,,,,akhirnya sampai juga di sini. Hiks,,,” Max menatap Yume dan memeluknya agar Yume tidak menangis karena terharu. Mereka memasuki menara itu. Hanya sebuah ruangan melingkar kosong. Tapi ada sebuah tangga di sana. Tangga itu memutar sampai ke puncak menara. Yume menatap tangga yang begitu panjang itu. Ia pun memutuskan untuk menangis.

Max pun berusaha menyemangatinya. “Ayolah Yume,jangan cengeng begitu. Petualangan ini kan kau yang meminta. Ayo semangat. Anak tangga itu paling hanya berjumlah seratus buah. Kita pun pasti bisa menaklukannya.” Yume menatap Max tajam “Seratus anak tangga katamu?” Yume pun menggeleng “Tidak-tidak. Aku yakin tangga ini berjumlah seribu buah.”Yume terisak. Max tersenyum “Berapapun jumlahnya. Kita harus tetap ke atas sana untuk menemukan sebuah petunjuk. Ayo semangat.”

Mereka pun berjalan menaiki tangga. Di tengah perjalanan Yume menatap ke luar jendela. Di jendela itu ada sebuah pot. Seharusnya ada sebuah bunga segar di situ. Tapi sayang bunganya begitu layu. Bahkan sekarang sang bunga berwarna coklat kehitaman dan agak menyatu dengan sang tanah yang begitu keras dan kering karena tidak pernah disiram. Jendela dan tangga itu pun berdebu. Saat mereka menaiki tangga. Kayu di anak tangga itu berbunyi berdecit. Max berfikir mungkin kayu ini agak sedikit rapuh. Ia pun berusaha memegang tangan istrinya di belakang agar istrinya tidak jatuh. Tapi Max memegang tangan Yume yang salah sehingga Yume merasa aga sulit berjalan.

Yume pun terdiam menatap ke luar jendela. Max yang menyadari bahwa Yume tidak melanjutkan langkahnya akhirnya pun berbalik. Ia menatap arah yang dilihat Yume. Seekor burung camar baru saja menerkam seekor ikan yang dengan bodohnya meloncat ke atas laut untuk menantang sang camar. Kawanan camar lainnya lewat. Mereka begitu berisik. Max pun menarik lengan Yume. Yume melepaskan tangannya. Dan mengganti tangan yang satunya. Lalu mereka naik lagi.

Tiba-tiba jantung Max hampir copot. Karena anak tangga yang ia injak jatuh ke bawah. Keringat Max jatuh dari kening. Ia melihat ke bawah. Sudah begitu jauh. Jantungnya berdetak kencang. Ia bertanya-tanya bagaimana jika anak tangga di depan sana banyak yang rapuh. Keringat semakin banyak yang berjatuhan. Ia meneruskan langkahnya dan melewati anak tangga yang sudah tidak memiliki kayu. Ia memegang Yume dengan erat, agar Yume tidak terjatuh. Tapi sayangnya pegangan Max hanya membuat Yume merasa risih untuk melangkah.

Akhirnya mereka sampai ke ruangan paling atas. Dan melihat berbagai macam generator yang mengontrol cahaya mercu suar. Sekarang mercu suar itu telah rusak. Lunceng di mercu suar itu juga sudah berkarat karena terkena hujan dan badai. Max mencari-cari sebuah petunjuk. Ia akan merasa kesal jika ia sudah jauh-jauh ke sini. Tidak menghasilkan sebuah petunjuk apa pun.

“Veni Vidi Vici:Saya datang saya lihat dan saya menang.” Max berbalik menatap Yume. Max melihat Yume sedang menyorotka sebuah senter ke sebuah dinding. Max berjalan mendekat.  Apakah tulisan ini sebuah petunjuk? Lalu apa artinya? Max bertanya-tanya dalam hati. Keringat pun menetes dari keningnya.

Yume menatap suaminya. Ia melihat butiran keringat itu lalu mengelapnya. Max menatap Yume lalu ia pun mengelap bekas-bekas air mata Yume di dekat matanya. Lalu mereka saling mentap. Max pun menanyakan sesuatu yang ada dipikarannya. “Menurutmu apakah ini petunjuknya?”

Yume mengangkat bahu. “Entahlah. Tapi menurutku ini hanyalah sebuah motto hidup. Dan petunjuk itu masih ada di ruangan ini. Di sebuah tempat yang sulit kita temukan.” Lalu mereka mengitari ruangan itu dan mencari-cari petunjuk. Max pun berteriak gembira memecahkan kesunyian. “Eureka,,, aku menemukan petunjuknya.” Yume segera mendekat.

Max mengeluarkan sebuah botol yang ada di kolong kursi. Dan membuka botol itu lalu membaca kertas itu. Kertas itu berwarna coklat usang. Dan bertuliskan. Carilah secarik kertas dalam botol yang berada di kolam hitam kelam dan bacalah di atas api yang menyala.” Yume dan Max saling menatap lalu mengangguk. Lalu mereka pun terburu-buru menuju tangga. Max menatap tangga itu. Dan memegang tangan Yume hati-hati agar Yume tidak terjatuh tapi sayangnya dialah yang terpeleset dan hampir terjatuh. Yume berusaha mengangkat Max tapi tubuh Max begitu berat.

Wajah Yume berubah merah. Ia tidak kuat mengangkat Max. Max pun berusaha meraih papan kayu. Tapi papan kayu itu terjatuh dan kini Yume pun tidak berpijak pada sebuah papan kayu dan mereka berdua bergelantungan hanya mengandalkan sebuah tonggak batu yang berada di ujung tangga. Lengan Yume mengeluarkan Urat-urat karena tidak kuat mengangkat beban dirinya dan suaminya. Max berusaha memanjat ke tubuh Yume. Ia pun memeluk Yume dengan begitu erat lalu. Berusaha meraik tonggak batu itu. Sekarang Yume pun merosot dan melepaskan tonggak batu.

Max berusaha meraih tangan Yume. Lalu mengayunkan Yume agar Yume bisa meraih papan kayu di ujung sana. Tapi ia takut papan kayu itu terjatuh. Lalu ia pun mengarahkan Yume ke tonggak batu. Yume meraih tonggak batu. Dan mereka pun berusaha naik ke atas. Setelah sampai ke atas. Butiran keringat Max turun kembali karena ia menyadari. Dua buah anak tangga sudah tidak ada ia pun berhati-hati meloncat ke anak tangga ketiga lalu turun ke anak tangga keempat. Lalu mengulurkan tangan ke Yume agar Yume bisa meloncat anak tangga keempat. Max pun berdoa agar tidak terjatuh lagi. Jika mereka terjatuh. Maka tamatlah riwayat mereka. Mereka pun sampai ke lantai bawah. Dan keluar menara.

Mereka berdua menatap kolam besar yang begitu hitam pekat. Max membuka bajunya. Lalu menceburkan diri. Yume berteriak. “Max.” Tapi Max sudah menyelam. Tidak ada yang bisa dilakukan Yume kecuali menunggunya. Yume melihat seekor buaya. Ia pun menatap ngerih. Dan mengkhawatirkan Max. Max yang menyelam pun mencari sebuah botol. Kolam itu gelap dan dalam. Tapi Max berhasil melihat sebuah botol karena botol itu memantulkan cahaya matahari. Ia meraih botol itu, lalu melihat sebuah cincin.

Ia mengambil cincin itu. Lalu berusaha berenang ke atas. Tapi seperti ada yang menarik kakinya. Ia meronta-ronta. Ia hampir pingsan karena kehabisan nafas. Tapi ia mendengar teriakan Yume yang berteriak dengan suara panik ia pun terbangun. Lalu melihat seekor buaya mendekat dan ia begitu panik. Max kembali ke permukaan. Sebelum buaya itu berhasil menggigitnya. Ia terduduk di bebatuan menatap tajam ke arah kolam. Yume menyelimutinya dengan sebuah selimut tebal berharap Max tidak kedinginan. Tapi Yume pun mengkhawatirkan Max. Ia memeriksa tubuh Max untuk memastikan bahwa Max tidak terluka.

Lalu memluk Max. Dan menatap tatapan kosong Max. Yume memanggilnya. Dan jiwa Max pun kembali. Lalu memberikan sebuah cincin dan botol kepada Yume. Gigi Max bergemeretak kedinginan. Yume menatap cincin itu. Kuning keemasan bersinar. Lalu ia membuka botol itu. Kosong. Dan ia pun mengumpulkan api unggun dan menyalahkan api. Lalu berusaha membaca kertas itu di atas api. Berharap agar sebuah tulisan lekas muncul.

Kertas itu bertuliskan satu buah kata “Izzah” Yume pun mengartikan “Kemuliaan.” Lalu ia menatap Max yang masih kedinginan Max menatap ke sebuah batu yang tak bermakna. Cincin yang dipegang Yume terjatuh ke api. Yume pun panik. Lalu ia menggeser cincin itu dengan sebuah ranting kayu. Yume menatap cincin itu. Warnanya masih emas kemerhan berbaur kuning. Ia memegang cincin itu. Yume tidak merasakan panas tapi rasa dingin. Sebuah tulisan dari bagian dalam cincin itu menyala. “Peta Pendekar Shaolin.”

Yume menatap suaminya. Lalu tertawa dan mengakui. “Aku tidak mengerti semua ini. Bagaimana denganmu.” Suaminya masih menatap sebuah batu. “Buka peta itu. Kita harus melanjutkan perjalanan sebelum malam datang. Karena kita belum sholat ashar.” Yume pun membuka petanya. “Ada dua pilihan jalan. Lembah berduri dan gunung Himalaya? Mungkin sebaiknya kita memilih gunung Himalaya. Tapi bukankah itu gunung yang paling tinggi? Aku yakin aku tidak akan sanggup terlebih jika kita jalan kaki.” Yume cemberut. Ia menyalahkan dirinya sendiri. Kenapa dirinya begitu lemah bahkan walaupun ia belum mencobanya.

Max melangkah. “Kemana arah ke gunung itu?” Yume segera menjawab. “Jika kita menghadap utara maka kita harus berjalam ke arah jam dua.” Max membuka kompasnya. Lalu mereka melangkah dan berjalan. Tidak beberapa lama mereka menemukan sebuah sungai. “Kita berhenti di sini.” Max pun mengambil air wudhu. Setelah menentukan arah kiblat mereka pun sholat ashar. “Max aku tidak kuat. Jika melanjutkan perjalan dengan jalan kaki.” Max menatap Yume. Mungkin dari kedua biji matanya Max melihat penderitaan Yume. Akhirnya ia mengambil handphone nya yang beruntung ada sinyal di hutan seperti ini. Zaman sudah canggih. Di tempat terpelosok seperti ini pun sinyal berlimpah ruah. Dengan adanya teknologi sebenarnya sangat membantu mereka. Coba saja lihat menara tua yang seperti merana itu. Andai di bangun pada jaman sekarang mungkin sedah menggunakan lift. Atau kalau tidak setidaknya tangganya dibangun dengan batu sehingga tidak membahayakan umat manusia di zaman yang akan datang ketika ingin menaikinya. Mungkin dulu tangga itu begitu kuat. Tapi waktu dan cuaca telah melapukkan sang kayu sehingga sekarang mudah rapuh.

Yume pun bertanya pada Max. “Kau menelpon siapa?” Max hanya memberi isyarat agar mereka mencari sebuah padang rumput. Yume mengernyit. Akhirnya mereka pun melanjutkan perjalanan. Max memberi sebuah kode kepada seseorang melalui handphone nya. Dengan seketika sebuah helikopter mendarat. Deru angin pun menerbangkan serpihan benda kecil. Mereka berdua pun naik. Tapi mereka tidak diturunkan tepat di atas puncak. Jadi, mereka pun harus berjalan sepertiga perjalanan lagi. Mereka menemukan sebuah sungai, tebing. Dan akhirnya Yume meminta Max untuk beristirahat sebentar. Mereka pun memakan biskuit dan menatap matahari terbenam.

Yume menatap Max. “Aku tidak merasa kenyang jika hanya memakan biskuit. Terlebih kita telah berjalan jauh.” Max menatap Yume “Sabarlah kita akan menemukan sebuah desa. Dan di sana kita akan melepaskan semua peluh, dan rasa lelah kita. Dan kita pun bisa memakan banyak makanan.” Max menatap Yume yang tertunduk sedih “Itu masih lama kan?” Max menjawab “Sembentar lagi kok.” Yume masih tertunduk. Max pun mengalah “Ok, kita makan lagi, sekarang keluarkan bekal kita. Jika makanan itu berada dalam tas kelamaan pun hanya akan membuat makanan itu menjadi tidak segar.” Yume tersenyum. Lalu menggelar kain dan mengeluarkan keranjang makanan di dalamnya terdapat sebuah roti perancis dan sosis jerman serta keju swiss. Lalu mereka meminum lemon tea. Max menatap lemon tea tersebut. “Aku teringat keluargaku. Biasanya kami selalu minum lemon tea bersama-sama.” Yume menatap Max. Ia pun ikut sedih. Lalu membaringkan tubuhnya ke tubuh Max.

Setelah puas makan. Yume dan Max melanjutkan perjalanan. Dan menemukan sebuah desa bernama Kye Gompa. Max dan Yume menuju sebuah penginapan. Dan menginap di sana. Setelah sholat maghrib mereka makan syomay dan dim sum. Yume menaruh shanghai dumplings ke piringnya, serta ha gau. Setelah makan mereka mandi. Lalu sholat Isya dan mereka berdua pun tertidur. Ketika esok paginya. Setelah sholat shubuh mereka mandi berdua. Lalu mereka berpakaian dan menuju ruang makan. Yume memesan butiran mutiara beras lengket dan ikan kukus segar. Max pun memesan cap cay goreng serta makanan penutup. Pelayan itu pun memberikan bunga tiga warna sebagai hidangan penutup. Hidangan itu berupa kacang chestnut berwarna pucat,kurma merah, dan talas ungu yang dilapisi di atas nasi lengket yang manis, dikukus dalam sebuah mangkuk berbentuk bunga.

Yume dan Max melanjutkan perjalanan. Mereka menemukan sebuah kuil shaolin. Mereka pun masuk dan disambut dengan hangat. Yume menatap para saholin yang masih kecil. Bahkan ada yang masih berumur lima tahun. Yume pun berandai-andai dan berharap semoga ia memiliki anak setampan shaolin kecil itu. Tapi ia pun sadar mana mungkin ia memiliki anak berdarah cina padahal suaminya adalah Max. Yang noteband nya tidak memiliki darah cina sama sekali.

Yume pun menyeruput tehnya. Dan menatap kue di atas meja ada kue moho kue yang dibuat dengan dikukus, kue mun ci, kue ku ketan, dan choi pan. Kue ini mirip pangsit, bentuknya segitiga dan warnanya putih. Kulitnya lembut mulur dengan isian bengkuang yang diserut halus. Dengan bumbu bawang dan ebi rasanya krenyes gurih enak. Apalagi dimakan dengan cocolan sambal bawang putih yang wangi pedas menggigit. Penganan atau kue ini disebut dengan nama Choi Pan menurut istilah Tio Chiu atau Chai Kue, menurut istilah Hakka. Sekilas mirip dumpling alias pangsit. Disebut choipan karena kue ini isinya sayuran. Yang dipakai isian adalah bengkuang yang diserut halus atau pepaya muda. Dengan bumbu bawang putih dan ebi, isian ini jadi gurih enak. Sementara adonan kulitnya dibuat dari campuran tepung beras dan tepung kanji.


           Adonan putih ini kemudian digilas tipis, diisi adonan isi dan dilipat bentuk segitiga lalu dikukus. Karena itu rasanya lembut kenyal, mirip adonan dim sum umumnya. Sedangkan isiannya renyah gurih. Pasangan buat choipan ini adalah sambal yang dibuat dari cabai rawit merah dan bawang putih. Rasa pedas menggigit membuat choipan yang lembut makin enak.

Yume pun kembali memperhatikan Max dan tetua itu. Ternyata Max menceritakan perjalanan kami. Dan ia pun mengatakan bahwa ia memili sebuah petunjuk yang bertuliskan peta pendekar shaolin. Yume bersyukur mereka berdua bisa berbicara dengan menggunakan bahasa inggris. Kalau tidak bagaimana cara mereka berkomunikasi dan bisa saling memahami serta bisa saling mengerti.  Tetua pendekar shaolin ini pun menyuruh seseorang mengambilkan sebuah peta. Lalu tetua pendekar shaolin itu membuka peta tersebut.




Leave a Reply.