Adzan Dzuhur berkumandang. Mereka pun sholat dzuhur. Max pun mengundang Yume ke rumahnya. Tapi Yume menolak. Alex merenggut. "Kenapa kakak menolak. Kakak, ayolah main ke rumah kami sebentar." Alex merengek. Max pun melepaskan tangan Alex yang sedang memegang lengan Yume. "Hentikan Alex." Alex masih merenggut "Tapi aku ingin mengundangnya." Alex pun ingin menangis. Yume pun memeluknya dan mengelus bahunya. Tinggi badan Alex setara dengan bahu Yume. "Alex, maafkan aku karena aku tidak bisa ke rumah kalian. Mungkin lain kali aku akan ke rumah kalian." Alex menatap mata Yume seakan mencari sebuah kebenaran. Max pun memberikan kartu namanya. "Ini alamat rumahku. Jika kau tersasar kau bisa menelponku dan aku akan segera menjemputmu." Yume pun tersenyum lalu berpamitan kepada orang tua keempat bersaudara itu. Serta mencium Daniel dan Hanna.


          Ia pun naik mobil. Lalu membuka Journal laki-laki yang ia temukan di dalam pohon besar. Ia teringat tengkorak laki-laki itu. Ia pun segera memakai sarung tangan. Dan berdoa semoga journal yang sudah rapuh itu tidak terdapat serangga kecil. Ia membaca halaman awal journal itu. Yume yakin saat menulis di Journal itu. Laki-laki yang sudah menjadi tengkorak itu sudah berumur tiga puluh lima tahun.


         Siang itu mentari begitu terik. Aku berpamitan kepada istriku dan anak perempuan kecilku ia begitu manis sekali. Aku hanya memiliki satu anak dia berumur delapan tahun. Aku harus pergi dari rumahku karena aku harus mengumpulkan kebenaran. Kakekku mengatakan bahwa kakek buyut dia dan sukunya tinggal di sebuah goa. Awalnya aku tidak mempercayai ini. Mana ada orang yang tinggal di goa. Tapi ternyata perkataan kakekku betul. Kakek buyut dia lahir dan dibesarkan di tempat itu. Kakek buyutnya seorang pandai besi. Suatu ketika sang kakek buyut menceritakan kepada kakekku bahwa ia membuat sebuah peta harta karun.


         Harta karun tersebut adalah barang-barang berharga dari keluarga mereka. Sekarang peta tersebut berada di makam sang kakek buyut. Kakekku tidak sempat mengambil peta itu. Jadi, aku pun harus mencari keberadaan peta tersebut dan harus menemukan harta karun itu. Karena generasi kami tidak boleh melupakan harta karun itu. Harta karun itu tidak boleh terus terpendam di dalam tanah dan terlupakan. Selain itu harta karun itu ada karena sang kakek buyut ingin mewariskannya kepada kami. Sang Generasi Penerus. Anak ku perempuan jadi akulah yang harus menemukan harta karun itu. Entah apa sebenarnya isi harta karun itu. Apakah pedang cahaya. Atau sejarah dan mitologi peradaban kota dalam goa.




         Aku pun lekas mencari tahu keberadaan goa tempat kakek buyutnya kakekku tinggal. Katanya sang kake buyut di makamkan di pohon besar dekat goa tersebut. Satu-satunya cara mengumpulkan data yang aku ketahui adalah dengan menanyakannya ke berbagai nara sumber. Aku bertanya pada ayah serta saudara kakek ku. Yang artinya merupakan kakekku juga. Akhirnya aku bisa meraba hal yang sebenarnya terjadi pada goa itu. Kota dan peradaban itu hancur karena ada pasukan lain yang menginvasi kota itu. Entah bagaimana rasanya tinggal di goa itu. Adik kakekku mengatakan bahwa Sang kakek buyut akhirnya mati melawan pasukan itu. Kaum wanita dan anak-anak sudah diungsikan keluar goa. Dan ketika perang telah usai. Pasukan itu telah pergi karena sudah membawa apa yang mereka inginkan. Yaitu barang -barang penduduk itu yang terbuat dari emas, porselen, tembaga dan lain-lain bahkan pedang-pedangnya juga. Ada rumor yang mengatakan bahwa pedang itu terbuat dari meteorid. Dan pedang itu di namakan pedang cahaya.



         Pedang cahaya itu dibuat oleh kake buyutnya kakekku. Untunglah pedang cahaya itu di sembunyikan agar tidak diambil pasukan itu. Jadi, sekarang pedang cahaya itu dikubur bersama kakek, dan peta itu. Aku pun menceritakan itu kepada sahabatku. Dia adalah seorang ilmuan sejarah. Ia pun meneliti keberadaan tempat goa itu berada. Ternyata kisah ini bukan saja diketahui oleh ku dan sahabatku tapi juga oleh musuhku. Ia ingin mengambil harta karun ini. Dan ia pun meminta sahabatku memberi tahu keberadaan goa itu. Tapi sepertinya sahabatku tidak memberitahukannya sehingga ia di bunuh. Aku pun ke rumahnya bersama para detektif dan polisi, serta ahli forensik. Kami meneliti tempat kejadian perkara. Aku pun meneliti ruang kerjanya. Ada sehelai kertas di sana. Hanya ada dua kata. Pantai dan sebuah nama kota. Aku pun pergi ke kota itu dengan menggunakan kereta.



         Aku mengelilingi setiap pantai di kota itu. Mencari - cari apakah ada goa di sana atau tidak. Dan akhirnya aku menemukan goa itu. Aku pun berpetualang ke goa itu. Dan setelah keluar dari ujung goa lainya. Aku menyebrangi sungai dan mencari-cari pohon yang begitu besar. Ternyata tidak begitu sulit untuk menemukannya. Karena pohon yang besar hanya ada satu dan amat sangat menarik perhatian. Aku pun mengelilingin pohon besar itu. Mencari jalan masuk. Ternyata sulit mencarinya. Aku pun menemukan sedikit celah. Aku melihat ke dalam. Ternyata gelap. Aku ingin mencongkelnya dengan kapak. Tapi aku tidak membawanya. Aku hanya membawa senter. Aku teringat akan pengalamanku di goa tadi. Sebenernya aku sempat kesasar. Bahkan menemukan sebuah jalan buntu di sebuah lorong. Tapi aku pun mencoba setiap lorong hingga akhirnya menemukan jalan keluar.




         Aku masih menatap pohon itu. Aku tersenyum miris. Sudah sejauh ini. Aku tidak akan menyerah. Aku pun mencari jalan masuk di pohon ini. Dengan mengitari lagi pohon ini. Ternyata aku melewatkan sesuatu. Akhirnya aku menemukan sebuah lubang yang tertutup ranting pohon yang jatuh, semak liar dan tonjolan akar yang besar. Aku masuk ke dalam pohon itu. Dan menemukan sebuah makam. Pastilah itu makam kakek buyutnya kakekku. Aku menatap makam itu. Dan mendoakannya. Sebenarnya aku ingin membuka makam itu. Dan mengambil pedang cahaya serta peta harta karun. Tapi yang ku lakukan hanyalah menagisi kakek buyutku. Dan aku pun memutuskan untuk mati di sini bersamanya. Aku tidak ingin hidupku diperbudak oleh nafsu mencari harta karun.


Journal itu berakhir di sini. Sampai beberapa hari kemudian Yume masih memikirkan kisah di Jornal itu. Ia pun keluar rumah. Sekarang ia mengemudikan mobilnya sendiri. Ia tidak tahu ingin kemana. Akhirnya ia berhenti di alun-alun kota. Di sisi sebelah kanan ada sebuah toko buku kecil. Yume pun memasuki ruangan itu. Toko itu hanya satu ruangan kecil.     

Di dalam ruangan ini. Pastilah rumah sang kakek penjaga toko. Sang kakek tersenyum ke arah Yume "Hai Yume buku pesananmu sudah ada. Sebentar, aku akan menyuruh cucuku untuk mengambilkannya." Sang kakek pun berteriak "Max, tolong ambilkan buku yang berjudul "Telaga Biru" ke sini." Dari dalam ruangan teriak sebuah suara "Ia kek sebentar." Yume merasa tidak asing dengan suara itu. Ia merasa seperti sudah mendengarnya. Ia pun melihat-lihat judul buku yang ada di rak. Tiba-tiba ada seorang laki-laki berlari ke arahnya. Laki-laki itu segera mengerem tapi ruangannya begitu sempit. Jadi, walaupun sudah berusaha mengerem pun tampak percuma. Akhirnya mereka berdua pun terjatuh. Tumpukan buku yang ada di sebelah kanan. Yang telah di susun membentuk seekor burung Phoenix pun terjatuh berantakan. Menimpa mereka berdua.


         Yume menatap laki-laki itu. Dan laki-laki itupun menatapnya. Dalam waktu bersamaan mereka berdua berteriak memanggil nama orang yang mereka tatap. "Max aku tidak menyangka kau ada di sini." Max tersenyum " Hai Yume, aku pun tak menyangka kau membeli buku di sini. Padahal ada begitu banyak toko buku tapi kenapa kau memilih di sinI? Toko yang begitu kecil." Yume pun menjawab "Entahlah mungkin aku tidak sengaja menemukan toko buku yang begitu imut ini. Dan aku sepertinya ada sesuatu yang menarikku untuk mendatangi tempat ini. Lalu  aku pun jadi menyukai toko buku ini dan terus menerus datang ke sini. Aku pun telah menjadi pelanggan di sini. Ngomong-ngomong aku jarang melihatmu. Kau cucu kake pemilik toko ini? Apakah kau jarang ke sini?"

Max menjawab "Ia aku jarang ke sini. Aku hanya ke sini saat liburan. Aku senang kau adalah pelanggan toko ini." Yume tersenyum "Dan aku pun senang kau adalah cucu penjaga toko ini" Mereka tersenyum dan saling menatap. Saat itu Max melemparkan jiwanya ke tubuh Yume dan Yume pun melemparkan jiwanya ke tubuh Max

Pintu berderit. Alex datang "Max kau sedang apa?" Dengan seketika jiwa Max kembali ketubuhnya dan jiwa Yume pun kembali ke tubuhnya. Wajah Max memerah. Max pun buru-buru merapihkan buku-buku yang terjatuh. Alex menatap Yume. "Kakak akhirnya kau datang." Alex pun memeluk Yume. "Tapi bagaimana kau bisa tahu bahwa kami ada di sini? Apakah Max menelponmu?" Alex melirik ke Max. Max pun menjawab. "Ia datang sendiri ke sini. Tanpa mengetahui kita ada di sini. Ia hanya mengikuti kata hatinya." Wajah Yume memerah.

Alex pun berteriak histeris "Benarkah itu kak Yume? Waw anda romantis sekali. Atau takdirkah yang menyatukan kita semua?" Yume menjawab "Yeah sepertinya takdir membawaku ke sini untuk bertemu kalian semua. Di mana Daniel dan Hanna? Sepertinya aku kangen sekali dengan mereka." Alex memeluk lengan Yume "Kakak hanya kangen dengan Daniel dan Hanna? Bagaimana dengan ku dan kakakku apakah kakak kangen juga?" Yume mengacak-acak rambut Alex "Tentu saja aku kangen sama kalian."


         Alex masih bertanya "Apakah kadar rasa kangen kakak ke kakakku lebih besar?" wajah Yume dan Max memerah. Max pun melempar Alex dengan sebuah buku. "Hentikan pertanyaanmu Alex. Mungkin sebaiknya kau membantuku menyusun buku ini dan membentuk menjadi burung Phoenix." Yume menatap susunan buku itu. Ia pun ikut membantu menyusun buku itu dan membaca sinopsis buku itu. Sepertinya ceritanya rame. Alex pun menarik tangan Yume. "Kakak ayo kita ke atas." Yume pun meminta izin kepada sang kakek. Lalu ia menuju ke atap. Dia atap rumah yang begitu datar. Ada Popp yang sedang membakar barbeque. Daniel yang sedang berlarian. Dan Mom yang sedang menyusui Hanna. Alex mengajakku duduk menatap ribuan bintang. Max pun datang membawa delapan gelas lemon tea. Lalu ia menuangkan lemon tea.



            Di bawah sang kakek menutup tokonya karena sudah jam sepuluh malam. Dan ikut berbaur untuk memakan barbeque. Sang kakek terduduk. Nenek pun datang membawa kue. Dan duduk di kursi. Ia menanyakan siapakah Yume. Dan Max yang entah kenapa dari awal cerita selalu bertugas memperkenalkan orang pun mengerjakan tugasnya. "Ini Yume, Nek. Kami bertemu dengannya beberapa hari yang lalu di pantai. Saat itu Yume begitu terlihat seperti orang yang mencurigakan yang sedang bermain dengan Hanna dan Daniel." Yume menatap Max tajam "Haha,,,orang mencurigakan katamu?" Max merasakan tatapan tajam Yume akhirnya ia pun berkata. "Tapi untunglah berkat Yume. Hanna selamat dari terbawa arus ombak.

Dan Daniel selamat dari tersasar di goa." Sang nenek menatap dengan expresi terkejut lalu berubah menjadi expresi lega dan berkata "Huff untunglah kedua cucuku selamat.     Terima kasih Yume. Kau baik sekali Yume. Aku tidak tahu harus bagaimana membalasnya." Yume pun tersenyum. "Mungkin sebaiknya tidak usah dibalas karena saya melakukannya. Karena saya menyukai Hanna dan Daniel." Yume pun mengelus Hanna yang sudah selesai menyusu. Yume pun bertanya "Apakah Hanna pernah berbicara?Aku jarang mendengar suaranya" Sang kakek pun memangku Hanna. "Hanna ayo berbicara sayang. Umurmu sudah dua tahun. Jadi tunjukanlah suaramu" Tapi Hanna begitu mengantuk dan akhirnya tertidur dipangkuan kakeknya. Yume pun kecewa.


         Sang kake memberi alasan "Haha,,,Hanna telah tertidur mungkin ia sudah kelelahan seharian ini. Maafkan kami." Yume tersenyum "Seharian ini Hanna telah melakukan apa?" Alex pun menjawab "Seharian ini kami berada di mobil yang sedang dalam perjalanan ke sini. Perjalanan begitu membosankan dan lama. Tulang duduk ku begitu pegal dan agak sedikit sakit. Walaupun aku tertidur. Sebenarnya aku masih kelelahan." Popp pun datang membawa barbeque. Lalu mereka semua makan. Daniel yang berlari-larian pun akhirnya mendekati meja makan. Yume pun menangkap Daniel dan memangkunya. "Hemmm,,,tertangkap kamu dik. Sekarang duduklah yang manis di sini. Jangan lari-larian lagi. Lihatlah telapak kakimu ini." Max pun tertawa "Aku jadi teringat saat Daniel menangis di dalam goa itu." Dan aku serta Alex pun tertawa. Dan kami semua pun tertawa di bawah sinar bulan dan ribuan bintang. Yang menjadi saksi tawa mereka.


          Setelah tawa itu usai Yume pun bertanya "Di lihat dari umurnya Daniel pasti sudah Tk ya?" Keluarga itu pun mengangguk serempak. Dan Mom pun mengucapkan kegelisahannya. "Tapi walaupun begitu kerjaan Daniel di sekolah terkadang hanya lari-larian terus. Aku bingung bagaimana mengejar pelajarannya yang tertinggal." Jam pun berdentang dua belas kali. Yume tidak menyangka saat itu telah tengah malam. Alex pun mengajak Yume untuk tidur di kamarnya. Mereka semua pun mengangguk setuju. Sang kakek pun berkata "Sudah jam dua belas. Kalau kau pulang dan diantar Max pun tetap akan berbahaya. Jadi sebaiknya menginaplah di sini. Yume pun akhirnya mengangguk.




Leave a Reply.