Jakartapress.com - Harajuku adalah suatu area di sekitar stasiun kereta api Harajuku, wilayah Yamanote, distrik Shibuya, Tokyo, Jepang. Kata Harajuku itu sendiri pada perkebangannya mengarah kepada suatu gaya berbusana yang diadopsi dari para remaja yang sering berkumpul di area tersebut.
Harajuku juga merupakan pusat mode dunia. Banyak gaya Harajuku yang dipromosikan, baik di Jepang ataupun dunia internasional, melalui media seperti Kera, Tune, Gothic & Lolita Bible, dan FRUiTS. Banyak pula desainer terkemuka bermunculan dari Harajuku. Harajuku juga menginsipirasi rancangan banyak desainer di seluruh dunia. Jika kita ingin melihat sekumpulan anak muda yang sedang bergaya Harajuku, kita bisa datang ke daerah Harajuku di hari Minggu di mana banyak anak muda Jepang yang berdandan seperti karakter anime, artis punk rock, gothic, dan masih banyak lagi. Gaya busana dari para remaja ini jarang ada yang mengikuti satu gaya atau aliran tertentu. Biasanya mereka lebih banyak memadupadankan antara satu gaya dengan gaya lainnya. Kebanyakan dari mereka juga biasanya berkumpul di Jembatan Jingu, jembatan penyeberangan antara Harajuku ke Kuil Meiji. Ada beberapa jenis aliran dari gaya Harajuku itu sendiri, antara lain adalah sebagai berikut:
● Visual Kei
Visual Kei lebih mengarah kepada gaya Harajuku yang mengikuti gaya artis rock Jepang (JRock). Ciri-ciri dari gaya ini adalah kostum yang rumit dan detail, gaya yang eksentrik, atau aneh, tampilan dan rambut yang ditata sedemikian rupa, serta penggunaan make-up yang mencolok.
● Lolita
Lolita adalah gaya busana Jepang yang dipengaruhi oleh gaya Victorian serta busana periode Rococo (Late Baroque). Ciri-ciri yang banyak ditemui dari gaya Lolita adalah rok ataupun gaun panjang selutut dengan bentuk seperti cupcake (mengembang di bagian bawah), kaus kaki ataupun stoking selutut, hiasan kepala, serta baju dengan banyak renda. Lolita sendiri terdiri dari beberapa aliran gaya, misalnya Gothic Lolita (GothLoli), Sweet Lolita, Qi Lolita, Wa Lolita, Country Lolita, dan masih banyak lagi.
● Decora & Kawaii
Decora atau “Decoration” adalah gaya Jepang yang bercirikan pakaian dan aksesoris dengan warna-warna cerah, pemakaian banyak jepit rambut dengan hiasan dan pita. Aksesoris lainnya yang biasa disertakan dalam gaya ini adalah boneka plasik ataupun boneka yang berbulu, serta perhiasan yang bisa menimbulkan bunyi ketika sang pemakai bergerak.
Sedangkan Kawaii, yang dalam Bahasa Jepang berarti cantik atau imut, dalam hal gaya Harajuku memiliki arti seseorang yang memakai pakaian yang terlihat seperti untuk anak-anak atau gaya yang menonjolkan kelucuan/keimutan orang yang menggunakan pakaian tersebut. Ciri-cirinya adalah baju dengan banyak kerutan, warna pastel atau warna-warna terang, penggunaan aksesoris, termasuk mainan atau boneka berukuran besar, serta tas yang menampilkan karakter anime.
● Ganguro & Kogal
Gaya ini muncul di Jepang pada awal era 1990an, puncaknya pada tahun 2000. Ciri khasnya adalah warna kulit yang gelap dikombinasikan dengan rambut yang dicat warna abu-abu, perak, kuning, atau warna lain yang masih berkenaan dengan warna oranye. Gadis Ganguro biasanya menggunakan lipstick, concealer, dan eye shadow warna putih, eyeliner warna hitam, pemakaian bulu mata palsu, facial gem, dan pearl powder. Pakaian yang digunakan biasanya berwarna cerah, menggunakan rok mini, kain tie-dye, dan memakai banyak perhiasan (cincin, kalung, dan gelang).
Kogal hampir sama dengan Ganguro. Gadis Kogal terkenal dengan “memamerkan” seakan ingin memberitahu semua orang bahwa mereka sangat mapan melalui pakaian yang mereka gunakan, aksesoris, tas (misalnya menggunakan tas Louis Vuitton), selera musik, dan aktivitas sosial mereka sehari-hari.
● Cosplay
Berikut ini adalah gaya yang paling sering kita temui, Cosplay, singkatan dari Costume Player (dalam Bahasa Jepang diucapkan sebagai “Kosupure”). Cosplay merupakan gaya berpakaian yang mengikuti karakter manga, anime, ataupun video game. (tia/ln)
Oleh Algooth Putranto
JAKARTA: Jepang, negara yang makmur dan maju di Asia, masih saja dibelit oleh angka niat bunuh diri dari warga yang semakin meninggi akhir-akhir ini.
Survei pemerintah Matahari terbit yang dirilis Kantor Kabinet hari ini Rabu 2 Mei 2012 di Tokyo mengonfirmasi situasi itu.
Hampir 28,4 % generasi berusia 20 tahun di Jepang mengungkapkan keinginan bunuh diri, naik 3,8% dari survei sebelumnya pada Februari 2008, lebih tinggi daripada kelompok usia lain.
Sementara pada generasi 30 tahunan angka niat bunuh diri mencapai 25%. Pada kelompok usia lainnya hal serupa juga terjadi.
Pada responden berusia 40 tahunan mencapai 27,3%, sementara pada usia 50 tahun mencapai 25,7%, pada 60 tahunan mencapai 20,4% dan kakek-nenek 70 tahunan hanya 15,7%.
Hasil penelitian ini, seperti dikutip dari Jiji Press, membuat pejabat Kantor Kabinet waspada dan segera melakukan langkah-langkah untuk mencegahan bunuh diri terutama pada anak muda.
Tingkat frustasi di negara yang menganut semangat pantang menyerah atau bushido—yang juga memiliki tradisi bunuh diri (harakiri) itu—memang cukup mengkhawatirkan.
Tengok saja, statistik bunuh diri sampai akhir 2011 saja, jumlah bunuh diri di Jepang mencapai 30.000 orang.(jibi/bisnis/yri)
Hal ini dikarenakan ujian masuk universitas yang sulit. Bahkan mungkin karena rasa lelah yanng diakibatkan oleh workaholic yanng berlebihan, serta begitu kuatnya rasa tertutup.
"Malam mingguan! Wah harus siapkan Uang lebih nih". Itulah anak muda Indonesia, kebiasaan yang lumayan buruk nih. Mungkin para Sahabat juga pernah melakukan hal yang sama untuk sekedar duduk bersama dengan pacar. Nah, itu semuanya berbeda dengan gaya pacaran-nya anak-anak Jepang ni. Coba saja kalau anak mudanya Indonesia pacarannya seperti yang berikut ini. (bukan bermaksud untuk mengharuskan pacaran Ya!) - Pacaran di Jepang sungguh hemat, traktiran bukanlah budaya anak-anak Jepang. Jadi, belum resmi menjadi suami istri dalam pernikahan yang sah tidak ada traktiran. Ya, berarti siapin duit dong buat bayar sendiri-sendiri, tapi masih hemat kan.
- Nganter jemput pacar juga bukan budaya-Nya orang Jepang. Kalau mau ketemuan, ya ketemuan di suatu tempat. Sudah dibuat janji sebelumnya. Yang ini bisa hemat nih, hemat BBM apalagi harga BBM sering naik nih.
- Kata "aku cinta kamu/aishiteru", jarang dipake sama muda-mudi Jepang saat pacaran, kecuali kalau sudah yakin benar untuk naik pelaminan alias menikah. Jadi, kalau mau gombal dan menyatakan rasa suka yang mendalamnya bagaimana? Biasanya mereka memakai “Daisuki desu”buat mengungkapkan bahwa mereka sayang pada pacar-nya.
Nah, sudah pada tahu kan, mudah-mudahan bisa dipraktekan atau jangan dulu pacaran sebelum siap untuk nikah Sahabat. Ambil yang baiknya saja ya!
Japanese fashion (busana/mode bergaya Jepang) merupakan perpaduan gaya tradisional Jepang dan modern. Baju Jepang mulai menandingi tata busana gaya barat semenjak abad 21 dan sekarang berubah menjadi apa yang disebut dengan ‘street fashion’. Istilah tersebut digunakan untuk mendeskripsikan mode/gaya pakaian yang dikenakan seseorang melalui perpaduan trend mode terbaru dengan gaya tradisional. Sekarang ini banyak macam gaya berpakaian di Jepang, termasuk juga baju dari perpaduan merk lokal danmerk asing. Beberapa jenis gaya berpakaian tersebut terkesan ekstrim dan dapat dipandang sebagai pelopor seni yang setara dengan model peragaan busana di Eropa. Rentetan fenomena naik-turunnya popularitas dari kebanyakan trend baju/pakaiantersebut telah dicatat oleh Choicer Loki sejak tahun 1997 dalam majalah mode FRUiTS . Majalah ini merupakan majalah terkemuka yang telah mengenalkan ’street fashion’ di Jepang. ’Street fashion’ kini telah menjadi trend yang paling populer di Jepang. Hal itu tidak lepas dari peran anak-anak muda Jepang yang mengenakan berbagai pakaian aneh di daerah perkotaan seperti Harajuku, Ginza, Odaiba, Shinjuku, dan Shibuya. Beberapa contoh gaya yang populer di Jepang antara lain Lolita, Cosplay, Kogal, Ganguro, Bōsōzoku, dan Elegant Gothic Aristrocrat. Tren Harajuku ini muncul pada tahun 90-an. pada saat itu, sekelompok anak muda datang ke stasiun di kota sana. mereka nongkrong dan menyanyi di jalanan di Omotesando. lalu apanya yang menarik? Ternyata cara berpakaian mereka lain dari yang lain, unik. mereka berpakaian layaknya tokoh kartun ala jepang (anime) dan pahlawan di komik2 sana (manga). nah, karena mereka berpakaian layaknya tokoh anime dan manga seperti final fantasy dan sebagainya, maka orang asal negeri barat sana menyebut mode itu sebagai COSPLAY , diambil dari bahasa inggris dari kata COSTUME AND PLAY. Buat orang asing yang datang ke Jepang, terkadang kurang sah rasanya kalau tidak datang ke Harajuku. Tapi kalau dilihat dari paket tour ke Jepang, rasanya hampir tidak pernah ditemukan jadwal berkunjung ke Harajuku. Oleh karena itu kebanyakan mereka yang datang kesini adalah mereka yang melakukan perjalanan sendiri. Tapi, sering kali mereka kecewa ketika sudah berkunjung ke Harajuku karena tidak menemukan satupun anak muda yang berdandan aneh. Ini dikarenakan mereka datang pada hari kerja biasa dimana kemungkinan para anak muda ini sedang sibuk bersekolah. Jadi perlu dicatat, kalau ingin melihat cosplay sebaiknya pada hari minggu dan even-even tertentu. Dan tempatnya adalah disekitar pintu masuk menuju Meiji Shrine didekat jembatan penyeberangan menuju Yoyogi Olympic Stadium. Nantinya akan banyak ditemukan anak-anak muda bergaya sesuai tokoh anime kesukaan mereka, lengkap mulai dari dandanan, pakaian sampai cara mereka berpose. Tapi bukan berarti dengan mereka berpakaian seperti itu kita bisa bebas menggambil gambar mereka, ada baiknya meminta ijin terlebih dahulu karena kalau tidak, ada kemungkinan mereka akan marah dan meminta anda untuk menghapus gambar yang sudah anda curi istilahnya.
Ribuan anak muda Jepang tidak memiliki pacar dan banyak yang tidak menikah, menurut survei yang dikeluarkan pemerintah. Hasil survei tentang seks dan pernikahan itu menunjukkan lebih dari 60% pria berusia antara 18-34 tahun tidak menikah sementara setengah dari wanita pada usia itu juga tidak memiliki pacar. Berita terkait Link terkait Topik terkait Persentase itu lebih tinggi dibandingkan hasil survei yang sama pada tahun 2005. Lebih dari seperempat pria yang disurvei dan 23% perempuan mengatakan mereka bahkan tidak mau mencari pacar. Belum pernah berhubungan seks Banyak di antara mereka mengangkat alasan tidak punya uang, sementara yang lain mengatakan tidak mungkin mencari pacar setelah melewati usia 25 tahun. Sejumlah besar perempuan yang disurvei mengatakan hidup sendiri lebih baik bagi mereka daripada menikah dan membangun rumah tangga. Survei juga menunjukkan lebih dari seperempat pria dan wanita berusia antara 35-39 tahun yang belum menikah mengatakan mereka belum pernah berhubungan seks. Jumlah orang yang menikah di Jepang menurun terus dibandingkan pada masa tahun 1970-an. Tingkat angka kelahiran Jepang paling rendah di dunia dan menyebabkan jumlah penduduk akan menyusut drastis pada pertengahan abad ini. Pemerintah Jepang melakukan survei tentang seks dan pernikahan setiap lima tahun. by BBC Indonesia
Oleh Diah Madubrangti Dipresentasikan pada Seminar Internasional “ Japanese Language, Education, and Regional Learning: Linguistics, Culture, Ethos” di UHAMKA pada hari Kamis, 19 April 2012
1. Orang Jepang Dahulu
Pengertian “Sudah Berubah” mengundang pertanyaan apa yang berubah dari orangdan mengapa orang Jepang berubah. Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita analisis dengan pendekatan kebudayaan. Media massa Jepang akhir-akhir ini memuat berita yang mengatakan bahwa anak muda sekarang cenderung tidak memberikan tempat duduknya kepada orang tua yang berdiri di dalam perjalanan kereta api, ada pula yang mengatakan bahwa anak sekarang lebih memilih makanan Eropa daripada makanan Jepang, bahkan ada pula yang mengatakan bahwa, ofuro di Jepang sekarang hanya sebagai tempat-tempat yang didatangi turis saja. Orang Jepang sudah jarang pergi mandi di Ofuro, kalaupun ada, hanya para orang tua yang datang mandi di Ofuro, dan sebagainya. Fenomena ini sebenarnya bukan hanya terjadi di Jepang, tetapi juga di Indonesia dan di negara-negara lainnya. Apabila dilihat dari fenomena generasi anak muda, kehidupan masyarakatnya bergerak begitu cepat dalam gaya hidup dan aktifitas yang menunjukkan proses dinamika kehidupannya. Mereka berada dalam tahap perkembangan dengan sikap dan nilai yang sedang berada pada tahap pembentukan. Mereka masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda sesuai dengan fenomena yang terjadi di lingkungan masyarakatnya. Sementara, orang Jepang dahulu, yaitu orang Jepang yang saya kelompokkan pada orang-orang yang masih memegang kuat tradisi yang berlaku pada masanya, seperti peran dalam struktur yang diterimanya melalui pendidikan di sekolah, di rumah dan di lingkungan masyarakatnya ketika masa kecilnya. Perilaku yang telah tertanam merupakan totalitas dari sesuatu yang dipelajarinya dan menjadi kebudayaannya. Kebudayaan merupakan akumulasi dari pengalaman yang disosialisasikan melalui pembelajaran, yang diwariskan melalui proses komunikasi dan peniruan dari satu geneasi ke generasi berikutnya. Kebudayaan merupakan pengalaman manusia, simbol dalam menginterpretasikan makna, seperangkat pengetahuan yang disampaikan secara turun temurun dan berlangsung di dalam kehidupan masyarakatnya 1 sejalan dengan perkembangan zaman. Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan merupakan sekumpulan sikap, nilai, keyakinan, dan perilaku yang dimiliki bersama oleh sekelompok orang, yang dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui bahasa atau melalui media komunikasi. Sekumpulan perilaku ini mengalami proses sosialisasi yang sama dan mempunyai enkulturalisasi dengan cara-cara yang mirip. Dengan kata lain, setiap orang sebagai manusia yang berkebudayaan diatur oleh norma-norma yang berlaku dalam masyarakatnya (Gerrtz, 1973). Orang Jepang dikenal sebagai orang yang sangat mempertahankan nilai-nilai yang menjadi kebudayaan masyarakatnya. Sampai sebelum Perang Dunia II, sistem ie merupakan sistem yang paling penting yang dianut oleh masyarakat Jepang. Dalam sistem ie, semua anggota keluarga harus tunduk pada kepala keluarga. Kepala keluarga merupakan pemegang kekuasaan terbesar yang tidak dapat dibantah. Dibawah sistem ie pula, wanita menempati posisi yang amat rendah bila dibandingkan dengan posisi laki laki (Fukutake, 1967). Masyarakat tradisional Jepang adalah masyarakat agraris yang di dalam kehidupan masyarakatnya, mereka mempunyai kesadaran yang tinggi akan rasa kekeluargaan. Ie,sebagai sebuah sistem mengatur kehidupan para anggota yang menjadi kerabat, baik dalam bidang ekonomi maupun sosial (Fukutake, 1977). Kehidupan keluarga dengan sistem ie pada masyarakat agraris di Jepang sudah ada sejak zaman Nara (abad ke-7) dan terus berlangsung sampai pada zaman Edo, masa pemerintahan rezim Tokugawa (1600-1868). Pada masa pemerintahan Tokugawa ini, setiap pekerjaan merupakan pekerjaan untuk kepentingan bersama. Mereka bekerja keras untuk menunjukkan keberhasilan pekerjaan yang dilakukannya. Mereka rela dan loyal melakukan tugas yang sudah menjadi kewajibannya demi kepentingan keluarga dan negara, walaupun pekerjaan itu berat. Sikap loyal diperlukan dalam usaha memenuhi kebutuhan hidup di dalam masyarakat yang menjadi ie-nya (Enomoto, 1998: 164-167). Terdapat beberapa hal yang mendasari sikap orang Jepang dalam bertindak, yaitu bertindak dengan berusaha menghindari “rasa malu”, karena rasa malu merupakan sanksi masyarakat yang utama dalam kehidupan masyarakatnya. Oleh karena itu, sebelum sanksi masyarakat itu jatuh pada dirinya, mereka bertindak seolah-olah mengungkapkan pengakuan dirinya dengan sikap “rasa bersalah”. Rasa malu adalah reaksi terhadap kritik yang dibayangkan seolah-olah ia sedang diperolok-olok oleh orang lain, sedangkan rasa bersalah 2 Okasan Saturday, 7:53 PM Added Text merupakan bagian dari tata krama dalam bertindak. Bersikap yang didasari atas rasa malu dan rasa bersalah ini sudah merupakan bagian sikap yang sudah melekat pada orang Jepang. Berdasarkan ke dua hal ini Ruth Benedict mengatakan bahwa, “budaya malu” (hajino bunka) dan “ budaya rasa bersalah” (tsumino bunka) merupakan budaya yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat Jepang (Benedict, 1979). Untuk menghindari ‘rasa malu”, masyarakat Jepang dalam bersosialisasi berusaha menjaga hubungan dengan memegang prinsip “meiwakuni sarenaiyouni meiwakuwo shinai” ‘jangan mengusik orang, supaya tidak diusik orang”. Sikap ini seringkali memberikan penilaian bahwa orang Jepang adalah orang yang sangat individualis, yang kurang bertenggang rasa. Padahal justru sebaliknya, saya berpikir bahwa orang Jepang sangat memiliki tenggang rasa yang sangat besar. Misalnya, ketika saya melakukan penelitian di Jepang, saya mendapat kabar bahwa ayah meninggal. Orang yang pertama kali membawa berita duka itu pada saya adalah profesor pembimbing saya. Selebihnya, tidak ada satu orang pun di ruang kerja saya yang mengucapkan belasungkawa pada saya. Bagi mereka, profesor pembimbing sudah mewakili teman-teman peneliti Jepang di ruang kerja. Ada birokrasi tidak tertulis yang sudah melekat pada masyarakat Jepang, bahwa sesuatu yang sudah disampaikan oleh pimpinan atau kepala dalam kelompok kerja sudah merupakan keputusan atau kesepakatan para anggota kelompok. Hal ini merupakan bentuk dari prinsip “meiwaku wo shinaikoto” (tidak ingin mengusik). Rumusan masalah dalam paparan ini adalah mampukah budaya yang ditradisikan dari generasi ke generasi dan sebagai aturan yang membentuk perilaku menjadikan orang Jepang berubah. Tujuan pemaparan ini adalah menunjukkan fondasi moral yang kuat pada orang Jepang menyebabkan tidak mudah bila dikatakan bahwa orang Jepang sudah berubah. 2. Orang Jepang Sekarang Di dalam suatu masyarakat ada pranata-pranata yang sama dalam menjalani kehidupan sosialnya. Pranata-pranata itu diterima oleh masyarakatnya sebagai suatu kesatuan sistem tertentu yang menunjukkan bahwa kehidupan sosial suatu masyarakat pada dasarnya adalah sama. Untuk menata pranata-pranata sebagai satu kesatuan sistem diperlukan strategistrategi, gagasan-gagasan, dan aturan-aturan yang dibangun oleh faktor-faktor biologis, psikologis, dan nilai-nilai budaya yang memungkinkan orang mendapatkan fondasi moral dan etika sebagai pandangan untuk dijadikan pola-pola kebudayaan masyarakatnya. Oleh karena 3 itu, setiap manusia dengan strategi-strategi, gagasan-gagasan, serta aturan-aturan itu berusaha menghindari konsekuensi-konsekuansi negatif, dan berusaha menghindari supaya konsekuensi negatif itu tidak terjadi. Masing-masing individu dan pranatanya merupakan satu kesatuan sistem di dalam suatu masyarakat ini bertindak saling mempengaruhi antara yang satu dengan yang lain. Hal ini terjadi karena individu mempunyai kemampuan untuk menerima, menanggapi, serta menentukan yang menjadi pilihannya dan yang sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan di dalam kehidupan masyarakatnya Di dalam sebuah masyarakat sebagai sebuah sistem, setiap unsurnya mempunyai tugas dan kewajiban yang mengatur kehidupan sosial suatu masyarakat (lihat Geertz, 1973: 34-46). Namun, kaum muda di Jepang sekarang dikatakan sedang berada pada tahapan mengambang dan bimbang (Shimizu, 1991) Kalau melihat foto di bawah ini, terkesan bahwa memang anak muda sekarang sudah berubah. 4 Apakah gambar ini menunjukkan bahwa telah terjadi krisis identitas (upaya mencari identitas) pada anak muda Jepang? Fenomena ini tidak hanya ditemukan pada anak Jepang, tetapi anak muda hampir di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Menurut Barker (2000) perubahan semacam ini bukan menunjukkan esensi tetap dari identitas, tetapi merupakan entitas (satuan bentuk yang berwujud) yang selalu siap untuk dibuat dan dibuat lagi. Suatu entitas dapat diubahubah menurut sejarah, waktu dan ruang tertentu. Berubah berdasarkan ruang dan waktu, karena pada masa kanak-kanak ia sangat bergantung pada orang tuanya dan setelah meningkat dewasa ia memasuki masa pembentukan dalam mengambil aturan-aturan tertentu yang ada dalam fenomena anak muda. 5 ( SMP Kamishakuji, Di Kuil Toshimaen,Tokushima, Shikoku, 14 Januari 2009) Pada situasi dan kondisi tertentu, mereka membutuhkan dukungan dan nasehat orang dewasa yang lebih mempunyai pengalaman dalam mempersiapkan diri lepas dari keluarga. Pada ritual Seijinshiki, ritual anak memasuki masa dewasa, keberhasilan yang dicapai anak sejalan dengan usianya menunjukkan kompetensi pada masa itu. Pada saat itu orang tua sudah harus bisa menentukan atau mengambil suatu keputusan penting yang berhubungan dengan aktifitas anaknya. Sebagai orang tua, setiap saat ia harus bersedia melibatkan dirinya pada kepentingan anaknya bila diperlukan. Hal ini diajarkan kepada anak melalui kegiatan kelompok sejak dini. Aktivitas dalam berbagai kelompok mendudukkan seseorang pada berbagai status dan peran. Setiap kegiatan yang dilakukan menjadi pengalaman anak sepanjang kehidupannya. 6 Awa Odori, Shikoku, Agustus 2011 Di Jepang ada istilah oyabun-kobun (Nakane,1967) dalam struktur sosial masyarakat tradisonal. Oyabun adalah orang yang berstatus orang tua (oya), dan kobun adalah orang yang berstatus anak (ko). Hubungan oyabun-kobun secara harfiah berarti hubungan orang yang berstatus orang tua dan anak. Namun, kemudian terjadi pergeseran makna menjadi pengertian yang bermakna hubungan atasan-bawahan, tuan tanah-penyewa, atau guru-murid. Struktur oyabun-kobun sudah berlangsung sejak orang Jepang mengenal sistem ie di dalam kehidupan sosialnya. Seseorang yang berstatus anak (ko) merasa aman karena kebutuhan sosialnya terpenuhi, termasuk kebutuhan integratif, seperti kebutuhan berteman, bersahabat, kasih sayang, keindahan dan sebagainya yang berhubungan dengan kejiwaannya. Selain itu, apabila orang tua (oya) berhasil dalam pekerjaannya atau dapat mempertahankan kelangsungan hidup keluarganya, termasuk keberhasilan dalam kenaikan jabatan, berarti anak akan berusaha untuk mempertahankan dan memelihara kesejahteraan keluarganya. Hubungan orang yang berstatus ayah (oyabun) dengan orang yang berstatus anak (kobun) menunjukkan hubungan sosial antara orang yang lebih mempunyai pengalaman dengan orang yang belum mempunyai pengalaman sebagai hubungan yang bersifat saling melengkapi. Hal ini bisa terlihat pada acara musim panas setiap daerah di Jepang. Misalnya, ada festival daerah dengan tema “Orang tua dan Anak” . Hal ini menunjukkan bahwa seorang anak merasa bahagia dan akan lebih bersemangat dengan hadirnya orang tua yang datang menonton acara pentas para anak-anaknya. Orang Jepang sering mengatakan bahwa masyarakat Jepang masa kini sudah berubah dan tidak lagi memiliki nilai budaya seperti yang dimiliki oleh orang-orang dari generasi terdahulunya, kehidupan kelompok yang didasari dengan nilai budaya tersebut masih terus berkembang dan tumbuh di lingkungan kehidupan masyarakat Jepang hingga kini. Meiwaku wo shinaikoto sebagai unsur dari budaya malu dapat dilihat dalam pendidikan sekolah di Jepang. Guru sekolah mengajarkan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh orang Jepang kepada murid agar mereka mematuhi aturan, pola yang dijadikan pedoman menyeluruh bagi kehidupan masyarakat Jepang yang menjadi kebudayaannya. Sebagai contoh, guru mengajarkan bagaimana setiap orang harus menyelamatkan diri ketika ada bencana seperti gempa bumi, kebakaran, dan lain-lain tanpa harus minta bantuan dari orang lain, karena meminta bantuan berarti kemungkinan akan 7 mengganggu pribadi orang lain. Contoh lain dari sikap “meiwaku wo kakenaikoto” pada orang Jepang, saya mempunyai pengalaman sebagai berikut. Pada suatu hari di kelas kursus melukis yang gurunya adalah orang Jepang, tempat saya belajar melukis, ada seorang peserta kursus melukis yang berasal dari Jepang. Pada hari itu ia datang bersama anaknya yang berumur 2 tahun dan 4 tahun. Setelah pelajaran melukis selesai, kebiasaan yang dilakukan oleh guru lukis saya, yaitu menyediakan kudapan ringan setelah kursus di ruang tamunya berupa minuman teh atau kopi dan kue atau makanan ringan lainnya yang dibuat oleh guru itu sendiri. Kursus selesai pukul 3.00 petang. Selama kursus, ke dua anak itu tidak duduk bersama ibunya, tetapi bermain sendiri tanpa harus mengganggu ibunya. Ketika kami selesai kursus, ke dua anak itu pun menghentikan kegiatan bermainnya dan turut duduk bersama kami di meja yang sama dengan kami untuk minum teh. Si Ibu, segera menyiapkan minuman dan snack untuk ke dua anaknya yang dibawanya dari rumah. Anaknya terlihat sangat gembira ketika menyantap kudapannya yang disiapkan oleh ibunya. Mereka berdua tidak datang untuk minta atau mengambil kue yang ada di atas meja yang disiapkan oleh guru kursus. Ini adalah salah satu wujud orang tua Jepang mendidik anaknya dalam usaha menerapkan sikap “meiwaku wo shinai koto”. Selain itu, sikap mendasar yang melekat pada orang Jepang hingga kini, yaitu sikap solidaritas, salah satu unsur nilai yang ada pada orang Jepang sejak ratusan tahun lalu dan tetap masih berlangsung dalam kehidupannya hingga kini. Salah satu contoh sikap solidaritas. Peristiwa bencana Tsunami dan gempa bumi di Jepang pada tanggal 11 Maret 2011 mereka dihadapkan dengan berbagai krisis, termasuk krisis pangan. Seperti yang kita lihat pada tayangan televisi, bagaimana orang Jepang tidak terlihat panik dan dengan rapi antri untuk mendapatkan jatah atau pembagian makanan. Tidak ada satu orang pun yang menyerobot keluar dari antrian belanja di super market atau antrian ketika akan naik kereta api di stasiun. Mereka dengan sabar menunggu gilirannya. Begitu juga ketika saya pada malam harinya menelepon seorang teman yang tinggal di Chiba untuk menanyakan kondisinya. Dia menceritakan bagaimana panik dan ketakutannya ketika melihat tanah di depan apatemennya terbelah sementara dia harus turun dari lantai 11 di apartemennya tanpa lift. Mereka masih bisa makan, karena masih ada makanan yang bisa dibeli dan dimakan, karena kerusakan di daerahnya tidak seperti kerusakan separah di Fukushima. Ketika saya tanyakan, apakah dirinya sudah makan, dia mengatakan bahwa ia belum makan, karena orang-orang yang terkena musibah di Fukushima juga belum makan. Sikap solidaritas ini bukan dibuat-buat, 8 tetapi memang sudah ada pada diri orang Jepang dan sudah tertanam pada dirinya sejak dia mendapat pendidikan di rumah dan di sekolahnya. Sikap spontanitas ini membuatnya tidak merasa tersiksa walaupun tidak makan. Hubungan antaranggota kelompok di dalam kebersamaan menunjukkan . hubungan saling bekerjasama sesuai dengan tugasnya masing-masing. Setiap individu melakukan kegiatan atau aktivitas yang dapat membangun suatu kehidupan sosial yang sedang terkena musibah sebagai usaha yang menunjukkan sikap solidaritasnya (Fukutake, 1997). Kebersamaan yang didasari atas kesadaran yang tinggi terhadap kepentingan kelompok/ masyarakat Jepang, dapat dilihat dari bagaimana mereka berupaya untuk dapat meringankan beban atau mental masyarakat terkena gempa akibat bencana alam. Pembagian kerja yang dikoordinir oleh pemerintah bersama badan-badan penyelamat bencana terorganisasikan dengan rapi sesuai dengan tugas dan kewajibannya masing-masing. Hal ini merupakan sistem kehidupan kelompok dalam melakukan berbagai kegiatan yang diperlukan sebagai wujud tanggung jawab masyarakatnya. Mereka berusaha keras menjalankan tugas dan kewajiban sebagai tanggung jawabnya agar mereka yang terkena bencana dapat segera menjalankan aktifitasnya seperti semula. Hal ini menunjukkan, bahwa pada masyarakat Jepang sekarang ini masih terlihat kental nilai moral budaya yang disampaikan oleh generasi terdahulunya dan diteruskan oleh masyarakat Jepang modern dalam kehidupan sosialnya. Ada semacam pesan yang masih terus berlangsung di dalam kehidupan masyarakat Jepang. Rasa kebersamaan merupakan satu sikap yang dilakukan sebagai pengetahuan yang dimiliki dan berkembang sebagai pengalaman yang dapat menyejahterakan kelompoknya. Tanggung jawab yang didasari semangat bekerja sama dan gotong royong menunjukkan usaha mempertahankan harmoni masyarakatnya sebagai harmoni bangsanya. Harmoni kelompok terwujud bukan dari hasil keputusan seseorang yang secara ikhlas ditujukan untuk kepentingan kelompok dan bukan pula yang dibuat kelompok sebagai usaha menyingkirkan pendapat-pendapat individu sebagai anggota kelompok, tetapi harmoni yang terjadi dari sistem kerja gotong royong yang menghasilkan solidaritas. Solidaritas adalah sikap yang ditimbulkan oleh keparcayaan, perasaan, dan tingkah laku yang sama dalam menunjukkan kebersamaan Di Jepang, hingga sekarang kegiatan kehidupan kelompok dalam menanamkan tanggung jawab, saling menghargai, rasa kebersamaan, solidaritas dan sebagainya tetap diajarkan pada anaknya sejak anak duduk di bangku sekolah sebagai pendidikan moral. 9 3. Kesimpulan Suatu perilaku budaya diharapkan mempunyai kemampuan untuk menanggapi, mengatur, dan mengarahkan tindakan-tindakan yang tidak teratur dalam membangun sebuah konstruksi kehidupan sosial berdasarkan peristiwa yang dialaminya sebagai pengalaman di dalam lingkungannya. Semua itu diperoleh dari orang-orang terdahulu dan dari sesamanya melalui pendidikan baik di rumah, di sekolah maupun di lingkungan tempat tinggalnya. Fenomena perubahan yang dialami masyarakat Jepang sekarang ini dapat dilihat dari situasi, kesempatan, atau peristiwa yang sedang populer pada masanya. Adakalanya perubahan memiliki kecenderungan menuju perkembangan yang menunjukkan sikap dan perilaku yang bertentangan dengan menunjukkan sikap penolakan. Sikap penolakan ini tidak bersifat universal dan tetap, tetapi lebih pada reaksi sikap berdimensi fungsi waktu, tempat, dan relasi sosialnya. Dorongan perubahan yang terjadi tidak dapat dihubungkan dengan budaya yang dibangun oleh seperangkat sistem yang diajarkan oleh orang tua kepada anak-anaknya sebagai pengetahuan dan kepercayaan dalam menata kehidupan sosial di lingkungannya. Kehidupan masa kini berkembang sesuai dengan gaya hidup, aktivitas, penggunaan bahasa yang diasosiasikan oleh kaum muda sekarang hanya sebagai perubahan konstruksi sosial. Namun, penanaman rasa kebersamaan dan solidaritas yang merupakan unsur yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat Jepang sudah mengakar sebagai budaya dalam perilaku kehidupan sehari-hari melalui kerja sama dan berbagai kegiatan kelompok disosialisasikan dalam tim kerja atau kelompoknya, dan melalui berbagai kegiatan. Hal ini menunjukkan bahwa fondasi moral yang kuat pada orang Jepang sulit untuk mengatakan bahwa orang Jepang sudah berubah. Hingga kini, mereka tetap melaksanakan tugas dan kewajiban yang menunjukkan hubungan saling menghargai agar tidak mengusik kepentingan pribadi orang lain. Perilaku dan tindakan merupakan keseluruhan pemahaman yang merajut kehidupannya sebagai budaya yang ada pada diri setiap individu. Setiap individu akan tetap melihat budaya sebagai warisan yang ditradisikan dari generasi ke generasi berikutnya. Budaya yang ditradisikan dari generasi ke genrasi ratusan tahun sebagai aturan sudah membentuk perilaku yang cenderung menunjukkan sikap dan perilaku orang Jepang sukar berubah. 10 DAFTAR PUSTAKA Barker, Chris 2000 Cultural Studies, Theory and Practice, Sage Publications Benedict, Ruth 1979 The Chrysantthemum and the Sword, Tuttle Company, Tokyo: Japan Enomoto, Hiroaki 1998 “Jiko” no Shinrigaku (Psikologi “Diri”). Saiensusha: Tokyo Fujihara, Masamitsu. 1976 “Do u c h o u s e i n o Ha t t a t s u t e k i He n k a n i Ka n s u r u J i k k e n t e k i Kenkyuu” (Penelitian Mengenai Perubahan Perkembangan Solidaritas) dalam The Japanese Journal of Psychology, Vol. 47, No. 4 (Tokyo Touritsu Daigaku, Tokyo). Fukutake, Tadashi 1967 Japanese Rural Society, trans R. P. Dore. United Kingdom : Oxford University Press 1997 Nihon Shakai No Koozoo (Struktur Masyarakat Jepang) Edisi 3. Tokyo Daigaku Press: Tokyo. Geertz, Clifford 1973 The Interpretation of Cultures, Basic books, Inc, USA Nakane, Chie 1967 Tate Shakai no Ningen Kankei (Hubungan Individu dalam Masyarakat Vertikal). Kodansho: Tokyo. Shimizu, Yoshihiro (ed) 1991 Kodomoha dousoudatsunoka, Yuushikoudou Bunka: Tokyo
Karakteristik Orang Jepang 1. Mandiri 2. Nasionalisme 3. Kreatif 4. Disiplin 5. Pekerja Keras 6. Rajin/Majime 7. Loyal 8. Memiliki Semangat yang Tinggi 9. Penyenndiri/Hikikomori/Himono Onna 10. On gimu, gii= Balas budi 11. Tidak Terlalu ingin Menikah
|