Lady Murasaki Shikibu (978-1014, Kyoto)

Adalah seorang sastrawan Jepang yang merupakan penulis dari novel Genji Monogatari (The Tale Of Genji), yang dianggap sebagai karya sastra paling hebat dalam sejarah literatur Jepang dan diperkirakan sebagai novel penuh tertua di dunia. Nama aslinya tidak diketahui. Nama “Murasaki” diperkirakan diambilnya dari salah satu tokoh heroine dalam novelnya. Sumber informasi mengenai kehidupan Lady Murasaki berasal dari buku harian yang ditulisnya mulai dari tahun 1007 sampai 1010. Buku harian ini menggambarkan deskripsi yang menarik mengenai kehidupannya di tempat tinggal kaisar Joto mon’In, kepada siapa Lady Murasaki mengabdi. Beberapa kritikus berpendapat bahwa dia menulis seluruh cerita Genji antara 1001 (tahun saat suaminya, Fujiwata Nobutaka, meninggal) sampai 1005, ketika dia mulia mengabdi pada kerajaan. Namun adapula yang menganggap, komposisi dari novel yang suuupeeerrr panjang dan kompleks ini bahkan sebenarnya masih belum selesai bahkan sampai tahun 1010. Adapula yang berpendapat bahwa 14 bab terakhir dari novel ini ditulis oleh orang lain.

Genji Monogatari menampilkan gambaran kehidupan social kaum aristocrat yang unik dan elegan, di mana puisi, musik, kaligrafi, dan kehidupan kerajaan memainkan peranan yang sangat penting. Novel ini sebagian besar berkisah mengenai kisah-kisah cinta Pangeran Genji. Walaupun novel ini tidak memuat adegan aksi yang kuat, namun pada beberapa bagian dihiasi dengan gambaran emosi-emosi yang mendalam dari para tokohnya. Kisah novel yang semakin lama semakin menggelap mungkin berkenaan dengan paham Buddhisme yang dianut Lady Murasaki mengenai kekosongan/kehampaan atau ketidakkekalan.

Natsume Soseki (9 Feb 1867 – 9 Des 1916, Edo)

Nama asli novelis luar biasa dari periode Meiji ini adalah Natsume Kinnosuke. Natsume mengambil jurusan Bahasa Inggris di Todai (Tokyo Daigaku) pada tahun 1893 dan mengajar di sana sampai tahun 1900, kemudian ia pergi ke Inggris dalam program beasiswa pemerintah. Pada tahun 1903 dia kembali dan menjadi dosen Inggris di Universitas lamanya itu. Reputasi terbesarnya dimulai oleh 2 novel yang sangat sukses, Wagahai-wa neko de aru (1905–06; I Am a Cat) dan Botchan (1906; Botchan: Young Master). Novel yang pertama merupakan novel yang mengisahkan mengenai kehidupan sehari-hari yang dilihat dari sudut pandang seekor kucing. Cara ini pernah sekali digunakan oleh Urasawa Sensei dalam salah satu bab dalam karyanya, Master Keaton, lho. Sedangkan yang kedua terkenal dengan salah satu tokohnya, yaitu Pak Guru Kinpachi dengan kata-katanya, “Huruf 人(hito/orang) itu bisa terbentuk karena ada 2 garis yang saling mendukung.” Kata-kata ini beberapa kali kita dengar dikutip oleh tokoh-tokoh manga kesayangan kita, misalnya Ayame (Furuba). Novelnya yang ketiga berjudul Kusamakura (1906; The Three-Cornered World) berkisah mengenai kehidupan seorang pelukis yang tinggal sementara di sebuah desa yang terpencil.

Setelah tahun 1907, ketika Natsume berhenti mengajar untuk lebih berkonsentrasi pada kegiatan menulis, karyanya semakin banyak, walaupun tetap gelap seperti sebelumnya. Kebanyakan bercerita mengenai seorang laki-laki yang bergulat dengan kesepiannya. Tipikal tokoh hero yang dibuatnya adalah seorang laki-laki kelas mengengah yang berpendidikan baik yang telah berkhianat atau dikhianati oleh orang yang dekat dengannya, yang di tengah rasa bersalah atau bingung, menarik diri dari masyarakat. Dalam Kōjin (1912–13; The Wayfarer) sang hero menjadi hampir gila karena terasa terisolasi; dalam Kokoro (1914) sang hero membunuh dirinya sendiri; dalam Mon (1910; “The Gate”) ketidakmampuan sang hero untuk melangkah masuk ke sebuah kuil Zen untuk mencari ketenangan adalah simbol dari rasa frustasi, isolasi, dan ketidakberdayaan. Novelnya yang terakhir, Michikusa (1915; Grass on the Wayside), merupakan sebuah autobiografi.

Akutagawa Ryunosuke (1 Mar 1892 – 24 Jul 1927, Tokyo)

Seorang penulis cerita, drama, dan puisi yang produktif, dengan nama pena Chokodo Shujin (Gaki). Ketika kecil, Akutagawa adalah seorang anak yang sakit-sakitan dan hipersensitif, namun dia sangat pandai di sekolah. Dia memulai karier literaturnya ketika masuk ke Universitas Tokyo untuk mengambil jurusan Sastra Inggris dari tahun 1913 sampai 1916. Publikasi cerpennya pada tahun 1915, Rashomon, membuatnya bertemu dengan Natsume Soseki, yang merupakan seorang novelis yang terkenal pada saat itu. Dengan dorongan dari Soseki, dia mulai menulis sejumlah cerita yang kebanyakan diadaptasi dari dongeng-dongeng Jepang tapi diceritakan kembali dari sisi psikologi modern ditambah dengan gaya menulisnya sendiri. Tema-tema ceritanya sangat beragam, mulai dari yang berhubungan dengan negeri Cina sampai kontrak Bangsa Eropa dengan Jepang pada abad ke-19.

Pada tahun 1922, dia kembali menulis fiksi autobografikal. Karyanya yang penting yang terakhir adalah Kappa (1927). Walaupun cerita ini mengenai fable satir mengenai makhluk dongeng Jepang, Kappa, namun kurang lebih juga menggambarkan rasa depresinya pada saat itu. Pada tahun 1927, dunia literatur dikejutkan oleh peristiwa bunuh dirinya. Namun, bagaimanapun Akutagawa telah meninggalkan nama besar di dunia ini dan menjadi salah satu sastrawan Jepang yang karyanya paling banyak diterjemahkan. Sejumlah ceritanyanya juga telah diadaptasi menjadi film. Salah satunya adalah Rashomon (1951) yang disutradarai oleh Kurosawa Akira, yang dibuat berdasarkan cerpen dengan judul yang sama dan kisah lain yang berjudul “Yabu no naka” (1921; “In a Grove”). Sekarang namanya diabadikan menjadi nama penghargaan tertinggi bagi para sastrawan jepang, Akutagawa Award.

Kobo Abe (7 Mar 1924 – 22 Jan 1993, Tokyo)

Nama aslinya adalah Abe Kimifusa, seorang novelis dan penulis sandiwara yang terkenal dengan cerita-ceritanya yang unik dalam menggambarkan keadaan seorang laki-laki yang terisolasi. Abe tumbuh di Mukden (sekarang Shen-Yang), di Manchuria, di mana ayahnya yang seorang ahli fisika mengajar di Universitas Kedokteran. Abe muda sangat tertarik mengoleksi serangga, matematika, dan karya-karya Fyodor Dostoyevsky, Martin Heidegger, Karl Jaspers, Frank Kafka, Friedrich Nietzsche, dan Edgar Allan Poe. Abe pergi ke Jepang pada tahun 1941 dan pada tahun 1943 mulai belajar ilmu medis di Todai, tapi ia harus kembali ke Manchuria karena akhir perang dunia ke-2. Kembali ke Jepang, dia lulus dari bidang medis pada tahun 1948, tapi tidak pernah mempraktekkannya. Dia mulai menulis puisi dan mempublikasikannya pada tahun 1947 dengan judul Mumei Shishu (“Puisi dari Penulis yang Tidak Dikenal”) dengan uangnya sendiri. Reputasinya tidak bertambah sampai pada tahun 1948 ketika novelnya, Owarishi michi no shirube ni (“The Road Sign at the End of the Street”) mendapat sambutan baik di mata kritikus.

Banyak di antara novel-novelnya yang terkenal yang dikatakan sangat bergaya Kafka, misalnya Suna no onna (1962; The Woman in the Dunes), yang diadaptasi menjadi film yang sangat sukses (di dalam dan di luar Jepang); kemudian Daiyon kampyōki (1959; Inter Ice Age 4); Tanin no kao (1964; The Face of Another); Moetsukita chizu (1967; The Ruined Map); Hako otoko (1973; The Box Man); Mikkai (1977; Secret Rendezvous); and Hakobune Sakura-maru (1984; The Ark Sakura). Beyond the Curve (1990), sebuah koleksi cerpen, merupakan karya Abe pertama yang berbahasa Inggris. Dari antara sandiwara-sandiwaranya yang sukses di Jepang, Tomodachi (1967; Friends) dan beberapa yang lain ditampilkan dalam Bahasa Inggris di Honolulu. Pekerjaannya yang terakhir adalah menjalankan usaha teater di Tokyo, di mana dia menulis beberapa sandiwara setiap musimnya.

Eiji Yoshikawa (11 Agu 1892, Kanagawa – 7 Sep 1962, Tokyo)

Penulis bernama asli Yoshikawa Hidetsugu ini dianggap sebagai novelis peringkat paling wahid di antara para penulis Jepang lain di abad ke-20. Oleh karena kegagalan ayahnya dalam bisnis, kehidupan-kehidupan awal Yoshikawa dijalaninya dengan sulit. Pada tahun 1925 dia mempublikasikan Kennan jonan (“Troubles with Swords and Women”), namun posisinya sebagai seorang penulis baru terangkat ketika dia menulis Naruto hichō (1926–27; “A Secret Record of Naruto”). Pada beberapa saat, dia beberapa kali menulis novel-novel ringan, tapi lalu dia kembali menulis novel-novel serius mengenai karakter-karakter manusia. Karyanya yang terbesar, tidak lain, adalah novel historis berjudul Miyamoto Musashi (1935–39; Musashi), yang berkisah mengenai samurai terkenal Miyamoto Musashi. Kemudian dia mencoba masuk lebih dalam kepada kehidupan para tokoh Jepang dalam sejarah dalam Shin Heike monogatari (1950–57; The Heike Story) and Shihon taihei-ki (1958–61; “A Private Book of War History”). Karya-karyanya yang terkenal membuatnya menjadi penulis novel popular pertama yang menerima anugerah tanda jasa dari Negara.

by:michaelfallion

 
Sastra Jepang Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Belum Diperiksa Langsung ke: navigasi, cari Sastra Jepang (日本文学 Nihon Bungaku?) adalah karya sastra dalam bahasa Jepang, atau studi mengenai karya sastra tersebut dan pengarangnya.

Secara garis besar, sastra Jepang dibagi menjadi 5 periode: sastra kuno (zaman Nara), sastra klasik (zaman Heian), sastra pertengahan (zaman Kamakura, zaman Namboku-cho, zaman Muromachi), sastra modern (zaman Azuchi-Momoyama, zaman Edo), dan sastra kontemporer (karya sastra mulai zaman Meiji hingga sekarang). Meskipun demikian, sastra kuno dan sastra klasik sering dijadikan satu menjadi sastra klasik. Sastra zaman Azuchi-Momoyama juga sering digolongkan ke dalam sastra abad pertengahan. Sementara itu, sastra modern sering hanya berarti karya sastra zaman Meiji hingga zaman Taisho, dan sastra kontemporer hanya mencakup karya sastra zaman Showa hingga sekarang.

Daftar isi Periodisasi Sastra kuno Artikel utama untuk bagian ini adalah: sastra Jepang kuno Sastra kuno Jepang mencakup karya-karya hingga zaman Nara. Aksara kanji diperkenalkan di Jepang dari daratan Cina melalui Semenanjung Korea. Aksara Tionghoa dipakai orang Jepang untuk menulis dengan sistem kanbun, dan sebagai aksara manyōgana untuk melambangkan bunyi bahasa Jepang. Karya sastra dari periode kuno di antaranya buku sejarah seperti Kojiki (712) dan Nihon Shoki (720), serta kumpulan puisi Manyōshū.

Sastra klasik Artikel utama untuk bagian ini adalah: sastra Jepang klasik Sastra klasik mencakup karya sastra yang dihasilkan sekitar zaman Heian. Bersamaan dengan puncak keemasaan kanbun dan kanshi, kompilasi waka yang pertama, Kokin Wakashū selesai disusun, dan kedudukan waka sederajat dengan kanshi. Walaupun sistem penulisan resmi waktu itu adalah sistem kanbun, hiragana mulai populer untuk menulis bahasa Jepang, dimulai dari Ki no Tsurayuki dengan Tosa Nikki, Sei Shōnagon dengan esai Makura no Sōshi, dan Murasaki Shikibu dengan Hikayat Genji senbagai karya-karya sastra yang mewakili sastra klasik Jepang.

Sastra abad pertengahan Artikel utama untuk bagian ini adalah: sastra Jepang abad pertengahan Sastra abad pertengahan mencakup karya sastra mulai dari zaman Kamakura hingga zaman Azuchi-Momoyama. Fujiwara no Teika menyusun antologi waka Shin Kokin Wakashū. Sebagian besar karya sastra memakai sistem penulisan wakan konkōbun yang merupakan bentuk awal bahasa Jepang modern. Di antara karya yang mewakili sastra abad pertengahan misalnya Hōjōki karya Kamo no Chōmei, Tsurezuregusa karya Yoshida Kenkō, dan Hikayat Heike. Teater sarugaku juga mulai berkembang pada periode ini.

Sastra modern Artikel utama untuk bagian ini adalah: sastra Jepang modern Sastra modern awal mencakup karya sastra asal zaman Edo. Karya sastra yang mewakili periode ini adalah Ukiyozōshi karya Ihara Saikaku dan Kanazōshi yang keduanya dipengaruhi oleh Otogizōshi. Pada zaman Edo, kabuki dan jōruri mencapai zaman keemasan. Haikai mencapai puncak kepopuleran dengan penyair-penyair seperti Matsuo Basho dan Kobayashi Issa.

Sastra kontemporer Artikel utama untuk bagian ini adalah: sastra Jepang kontemporer Sastra kontemporer mencakup karya sastra mulai zaman Meiji. Setelah berakhirnya sakoku, budaya Eropa dan Amerika mulai mengalir masuk ke Jepang hingga terjadi Bunmei-kaika. Sastra Jepang juga mendapat pengaruh yang besar. Prinsip-prinsip novel modern dari Eropa dan Amerika mulai dikenal di Jepang. Tsubouchi Shoyo dengan kritik sastra Shōsetsu Shinzui, serta Futabatei Shimei dengan Shōsetsu Sōron dan Ukigumo mengawali periode sastra kontemporer Jepang.

 
Pada zaman dahulu kala, seorang dewa yang menguasai wilayah Kazusa, Shimousa dan wilayah sekitarnya (sekarang Prefektur Chiba), menanam sebutir benih pohon tsubaki. Benih itu kecil sekali, hingga kalau saja ada angin berhembus, meski tak kencang, pasti akan terbawa terbang. Karena tumbuh di daerah yang subur, maka benih tersebut tumbuh menjadi tunas dan lambat laun menjadi sebuah pohon yang besar.

Singkat cerita, selama 88000 tahun pohon tsubaki tersebut tumbuh menjadi pohon yang tinggi dan besar. Karena begitu tingginya, ujung pohon tersebut sampai menembus awan dan hampir-hampir mencapai langit. Cabang dan daun-daun pohon yang lebat tersebut memanjang hingga mencapai kira-kira tiga buah desa. Ketika bunga-bunga tsubaki yang berwarna merah itu bermekaran, langit di atasnya pun berubah menjadi merah. Sebaliknya, saat bunga-bunga tersebut berguguran ke bumi, warna bumi pun menjadi merah. Namun demikian, penduduk yang tinggal di sekitar pohon tsubaki tersebut bersyukur karena tanah pertaniannya selalu subur. Mereka hidup dengan tentram dan sentosa.

Sampai pada suatu hari, entah dari mana asalnya dan sejak kapan datangnya, tiba-tba saja di atas pohon tersebut telah tinggal seorang raksasa yang jahat. Keberadaan raksasa jahat tersebut membuat penduduk ketakutan. Jika malam tiba, suara tawa raksasa yang menyeramkan tersebut membahana, terbawa oleh hembusan angin hingga berpuluh-puluh kilometer. Mendengarkan suaranya saja anak-anak kecil akan menangis ketakutan dan burung-burung yang sedang bertengger di atas pohon akan menjadi kaku dan jatuh ke tanah. Gerakannya saja bisa membuat angin kencang yang siap memporak-porandakan atap rumah para penduduk. Bau nafasnya bisa membuat tanaman layu dan mati. Binatang ternak dan bahkan manusia sekalipun bisa dibuatnya pingsan. Keberadaan raksasa jahat itu telah membuat penduduk desa sangat ketakutan dan tidak berani keluar rumah. Akibatnya banyak lahan pertanian yang terbengkelai dan binatang ternak tidak mendapatkan makanan yang cukup.

Kejadian ini membuat dewa-dewa di kerajaan langit sedih dan marah. Mereka akhirnya mengutus puluhan ribu bala tentara untuk mengusir raksasa jahat tersebut. Bala tentara tersebut diperintahkan untuk mengepung pohon tsubaki tersebut dari bawah. Mereka berteriak ramai-ramai sambil mengacung-acungkan tombak maupun pedangnya. Beberapa pasukan panah juga telah melepaskan anak panahnya ke atas pohon. Tentu saja hal ini membuat sang raksasa terkejut bukan kepalang. Melihat dirinya sudah dikepung dari seluruh penjuru mata angin, ia jadi marah. Ia lalu menggoyang-goyangkan pohon itu dari atas.

Goyangan pohon yang keras tersebut menimbulkan bunyi gemuruh dan gempa yang dahsyat di atas tanah. Para prajurit pun lari tunggang langgang dibuatnya. Namun, bukan itu saja yang dilakukan oleh sang raksasa. Ia kemudian melompat turun ke tanah hingga menimbulkan bunyi bedebam yang luar biasa kerasnya. Bumm! Ia lalu memeluk batang pohon tsubaki yang besar tersebut. Dengan sekuat tenaga ia lalu mencabut pohon tersebut dan melemparkannya ke arah laut. Ketika pohon tersebut tercebur ke laut, percikan air laut naik sangat tinggi dan jatuh kembali seperti air terjun yang deras, sebagian percikan tersebut jatuh kembali ke laut dan sebagian lagi membanjiri ketiga desa tempat asal pohon tsubaki tersebut. Sang raksasa lalu melompat ke atas batang pohon yang mengambang di laut itu dan pergi entah kemana.

Sementara itu banjir besar yang melanda tiga desa itu akhirnya surut. Airnya tertampung di lubang bekas tercabutnya pohon tsubaki hingga membentuk sebuah danau yang lebar. Sang raksasa yang pergi itu tidak pernah kembali lagi, dan kehidupan desa tersebut berangsur-angsur tenang kembali. Oleh penduduk desa, danau baru tersebut diberi nama Danau Tsubaki.

Beribu-ribu tahun setelah kejadian itu, tepatnya ketika Zaman Edo, datanglah seorang saudagar yang bernama Shiraishi Jiroemon. Saudagar itu ingin membuka lahan pertanian di daerah tersebut. Namun, karena ada danau yang luas, maka ia memerintahkan para pekerjanya untuk menguras danau tersebut dan membuangnya ke laut. Daerah bekas danau tersebut akhirnya kering dan mulailah dibuka lahan pertanian yang luas. Daerah tersebut kini bernama Higata. Karena kesuburan tanahnya, daerah Higata banyak ditumbuhi pohon tsubaki. Saat musim semi tiba, daerah tersebut berubah menjadi merah laksana bunga pohon tsubaki yang berusia 88000 tahun.

——————————————————————————–

Judul asli: Hachiman Hassen no Tsubaki yang berasal dari Prefektur Chiba.
http://dongengjepang.wordpress.com/2008/01/11/pohon-tsubaki-berusia-88000-tahun/

 
Konon, di sebuah desa di perbukitan ada seorang anak gadis yang sangat cantik dan mempesona. Anak gadis tersebut bernama Oryu. Dia mempunyai kebiasaan untuk mengunjungi sebuah pohon oak besar yang tumbuh di atas bukit dekat desanya. Dia percaya bahwa pohon oak besar tersebut mempunyai roh penghuni. Ia sering datang ke tempat itu untuk memberikan persembahan.

Suatu saat Oryu bertemu dengan seorang pria muda yang tampan. Oryu dan pria muda tersebut saling jatuh cinta. Sebenarnya, pria tampan tersebut merupakan penjelmaan dari roh penghuni pohon oak besar yang selama ini ia kunjungi. Sejak saat itu, kebiasaan untuk mengunjungi pohon oak besar di atas bukit dihentikan. Sebagai gantinya Oryu dan pria tersebut saling bertemu di desanya. Pada saat malam ketika Oryu dan pria itu tidak bisa saling bertemu, angin akan berhembus daro arah bukit dengan membawa serta bau harum pohon dan beberapa lembar dauh pohon oak sampai ke jendela kamarnya.

Pada suatu hari, wajah sang pria kelihatan begitu sedih. Oryu memberanikan diri untuk bertanya.

“Hari ini engkau kelihatan sedih, ada apa gerangan?” tanya Oryu penuh perhatian.

“Setelah saat ini mungkin aku sudah tidak akan bisa lagi bertemu denganmu” kata sang pria dengan sedih.

“Kenapa kau bilang begitu? Ada apa? Kenapa kita tidak bisa bertemu lagi?” tanya Oryu agak bingung.

Tetapi sang pria tidak menjawabnya. Ia diam seribu bahasa.

Saat itu tersebar berita bahwa para bangsawan di Istana Kyoto akan membangun sebuah istana baru yang sangat besar. Karena itu mereka membutuhkan bahan kayu yang besar dan banyak pula. Di tempat lain tidak ada pohon oak yang sebesar yang ada di atas bukit itu. Keliling pohon oak di atas bukit itu sepanjang kurang lebih tiga meter, sudah pasti ia akan ikut ditebang untuk pembangunan istana di Kyoto.

Beberapa hari kemudian, akhirnya kekhawatiran sang pria menjadi kenyataan. Beberapa orang petugas penebang pohon berdatangan ke atas bukit. Mereka menyiapkan kapak yang besar-besar dan gerobak untuk mengangkut kayu pohon. Karena pohon oak tersebut sangat besar, maka waktu 1-2 hari tidak cukup untuk dapat merobohkannya. Namun, selain itu ada hal aneh yang terjadi. Setiap kali para penebang pohon itu menebang beberapa bagian batang pohon, keesokan harinya bekas tebangan tersebut telah hilang. Tidak ada bekas luka tebang pada pohon tersebut. Para penebang tersebut sangat bingung, berhari-hari mereka berusaha untuk menebang pohon oak tersebut tapi belum juga berhasil.

Sesungguhnya, setiap malam ketika para penebang itu tertidur, angin kencang bertiup ke arah pohon oak tersebut. Hembusan angin yang kencang itu membawa terbang serpihan-serpihan kayu bekas tebangan. Kemudian serpihan-serpihan kayu tersebut dihembuskan angin dan menempel kembali ke luka bekas tebangan. Demikianlah, akhirnya pohon tersebut utuh kembali keesokan harinya.

Setelah merasa frustasi dan bingung, pada suatu hari datanglah salah seorang istri penebang kayu. Dia mengatakan bahwa semalam bermimpi mengenai pohon oak tersebut. Dalam mimpinya ia mendapat petunjuk cara menebang pohon besar itu. Menurut petunjuk mimpi tersebut, setiap kali menebang pohon itu, serpihan-serpihan kayunya harus dikumpulkan dan langsung dibakar. Demikian seterusnya hingga serpihan kayu terakhir saat pohon tersebut roboh. Akhirnya, para penebang pun mencoba melakukan pekerjaannya sesuai petunjuk dalam mimpi tersebut. Dan ternyata berhasil. Pohon oak yang kelilingnya tiga meter itu dapat ditumbangkan. Setelah memotong batang pohon itu menjadi beberapa potong, para penebang itu lalu menaikkan ke atas gerobak. Namun hal aneh terjadi lagi. Gerobak pembawa pohon oak tersebut tidak bisa digerakkan maju. Akhirnya pimpinan penebang itu mengusulkan agar mereka meminta tolong Oryu di desa karena Oryu yang selama ini memberi persembahan kepada sang pohon. Mungkin roh penghuni pohon itu akan mau menuruti perkataan Oryu. Setelah Oryu berada di depan gerobak, maka gerobak itupun mau berjalan hingga ke Kyoto. Tidak beberapa lama kemudian, istana baru di Kyoto berhasil dibangun dengan sempurna

——————————————————————————–

Judul asli: Oryu Yanagi (Pohon Oak Oryu) berasal dari Prefektur Hyogo. Tema cerita tentang roh penunggu pohon atau benda-benda alam lainnya sangat banyak di kalangan masyarakat Jepang yang agraris.


http://dongengjepang.wordpress.com/2008/01/26/anak-gadis-yang-jatuh-cinta-pada-pohon-oak/
 
Pada zaman dahulu terdapatlah seorang pemuda pencari kayu bakar yang baik hati. Pada suatu hari ketika ia sedang dalam perjalanan pulang dari mencari kayu bakar, ia mendengar suara rintihan binatang dari balik semak-semak. Setelah diperiksanya ternyata seekor anak rubah sedang terperangkap kakinya dalam perangkap pemburu. Karena merasa kasihan, maka dilepaskannyalah kaki sang anak rubah itu dari perangkap. Dan anak rubah itupun segera lari menjauh.

Beberapa hari kemudian, ketika ia sedang dalam perjalanan pulang dari mencari kayu bakar, tiba-tiba dari arah depan datanglah seekor anak rubah mendekatinya. Setelah diamati benar-benar, ternyata ia adalah rubah yang ditolongnya beberapa hari yang lalu.

Rubah itu mengajak sang pemuda untuk mengikutinya. Setelah beberapa lama ia mengikuti sang anak rubah, sampailah ia di sebuah lubang dalam tanah. Dari dalam lubang itu muncul ibu sang rubah kecil tadi. Dengan membungkuk sopan sang ibu rubah berkata, “Terima kasih atas pertolongan Anda beberapa waktu yang lalu. Sebagai tanda terima kasih kami, tolong terimalah tudung kepala tua ini!” kata sang ibu rubah sambil menyerahkan sebuah tudung kepala yang sudah usang.

Dalam perjalanan pulang, karena merasa sangat dingin, maka sang pemuda mengenakan tudung pemberian ibu rubah itu dikepalanya. Tiba-tiba, saat ia sedang berjalan di bawah pohon ia bisa mendengar suara burung pipit yang sedang bercakap-cakap di atas pohon. “Oh, ini mungkin karena aku memakai tudung kepala ajaib ini!” kata sang pemuda sambil terus mendengarkan percakapan kedua burung pipit tersebut.

“Yang disebut manusia itu sepertinya pintar, tapi ternyata benar-benar bodoh ya! Batu di tengah-tengah sungai yang setiap kali diinjaknya itu kan sebenarnya bongkahan batu emas, tapi kenapa mereka tidak menyadarinya ya?” kata burung pipit tersebut.

Mendengar hal tersebut sang pemuda segera menuju sungai yang biasa ia lewati. Di tengah-tengah sungai tersebut memang terdapat sebongkah batu yang biasanya digunakan sebagai tumpuan kaki untuk menyeberang. Setelah batu itu dibersihkan dengan air, ternyata memang sebongkah batu emas yang bersinar-sinar terkena sinar matahari. Dengan gembira lalu dibawanya batu itu pulang ke rumah. Namun, di tengah perjalanannya lagi-lagi ia mendengar percakapan burung gagak.

“Anak gadis orang kaya di desa ini benar-benar kasihan ya. Sudah berpuluh-puluh tabib didatangkan untuk menyembuhkan penyakitnya namun tak kunjung sembuh juga. Sebenarnya sakit yang diderita anak gadisnya itu bukan sakit biasa. Ketika membangun atap rumah baru, secara tidak sengaja ada seekor ular yang salah masuk ke dalam atap. Jadinya sampai sekarang ular tersebut tidak juga bisa keluar dan hampir sekarat. Kalau saja ular tersebut dapat dikeluarkan dari dalam atap itu, mungkin anak gadisnya akan segera sembuh” kata sang burung gagak. Mendengar percakapan burung gagak itu, sang pemuda segera pulang.

Keesokan harinya, ia berkunjung ke rumah orang kaya di desa itu. Di depan pintu gerbangnya tertulis, “Siapa saja yang ingin menyembuhkan anak gadisku silakan masuk.” Karena itu sang pemuda masuk dan berkata kepada orang kaya pemilik rumah itu, “Perkenankan saya mencoba menyembuhkan sakit anak gadis tuan!” kata sang pemuda. Setelah melihat kondisi anak gadis itu, sang pemuda teringat pada percakapan burung gagak kemarin.

“Tuan, sesungguhnya sakit yang diderita anak gadis tuan ini bukan sakit biasa. Hal ini disebabkan oleh seekor ular yang sedang terperangkap di atap rumah tuan. Ular tersebut kini sedang sengsara hidupnya sehingga kehidupan seluruh penghuni rumah ini juga sengsara, terutama anak gadis tuan. Maka kalau ular tersebut tidak segera dikeluarkan, sakit anak gadis tuan mungkin juga tidak akan sembuh!” kata sang pemuda menjelaskan.

Mendengar perkataan sang pemuda, orang kaya tersebut segera memerintahkan para pelayannya untuk membongkar atap rumahnya dan mencari ular yang sedang terperangkap di dalamnya. Dan ternyata benar. Seekor ular yang sedang sekarat pun ditemukan. Kemudian dibasuhlah ular itu dengan air dan diberinya makan telur agar cepat sembuh. Perlahan-lahan keadaan ular pun membaik. Bersamaan dengan itu anak gadisnya pun sudah mulai sembuh dari sakitnya. Bukan main gembiranya hati ayahnya. Maka dinikahkannya anak gadisnya itu dengan sang pemuda. Mereka pun akhirnya hidup dengan bahagia.

——————————————————————————–

Judul asli: Kikimimi Zukin (Tudung Kepala yang Bisa Mendengar) berasal dari Prefektur Niigata.
http://dongengjepang.wordpress.com/2008/02/06/tudung-kepala-ajaib/

 
Konon, pada zaman dahulu kala hiduplah sepasang suami istri yang sudah lama sekali tidak dikaruniai anak. Meskipun sudah berkali-kali berdoa di kuil untuk memohon tetapi masih juga belum dikaruniai anak. Akhirnya suatu ketika mereka kembali lagi ke kuil untuk berdoa.

“Ya Tuhan, biar sekecil jari telunjuk pun tolong berilah kamu anak!” pinta sang istri dalam doanya. Akhirnya sang istri pun benar-benar melahirkan seorang anak sebesar jari jempol. Mereka memberi nama anak itu Issunboushi. Meskipun anak mereka sangat kecil, tetapi karena itu adalah pemberian dari Tuhan, mereka merawatnya dengan penuh kasih sayang.

Suatu hari Issunboushi menghadap ayah ibunya dan berkata, “Ayah dan Ibu, tiba saatnya bagiku untuk pergi merantau. Karena itu saya mohon pamit untuk berangkat besok!”

Mendengar hal itu, ayah dan ibu Issunboushi sangat terkejut. Semula mereka melarang kepergian anak satu-satunya yang sangat disayangi itu, tapi karena kemauan Issunboshi yang sangat kuat akhirnya mereka mengijinkannya juga. Esok paginya Issunboushi berangkat. Setelah memberi bekal makanan secukupnya, Issunboushi berangkat dengan memakai sebuah batok kelapa dengan melalui arus sungai. Arus sungai itu akhirnya membawa Issunboushi sampai ke sebuah kota yang sangat besar dan ramai. Karena badan Issunboushi sangat kecil, maka ia harus benar-benar berhati-hati ketika berjalan di tengah keramaian. Beberapa kali ia harus diam di pinggir tembok untuk menunggu jalanan mulai sepi. Setelah dirasa cukup sepi, ia harus berlari menyebrangi jalan agar tidak sampai terinjak orang atau kuda yang setiap saat bisa melintas di jalanan.

Akhirnya sampailah ia di sebuah rumah yang sangat besar dan luas. Mungkin rumah itu milik seorang pembesar di negeri itu. Issunboushi ingin bekerja di rumah itu. Sesampai di depan pintu, ia mulai berteriak sekencang-kencangnya agar terdengar si pemilik rumah. “Permisi… Permisi…!” teriaknya. Tetapi tak seorang pun keluar untuk menemuinya. Ia pun berteriak lagi dengan lebih keras. Nah, kali ini ada seorang kakek-kakek dengan pakaian yang sangat indah keluar dari dalam rumah.

“Hah, siapa yang berteriak-teriak tadi ya? Kok aneh, tidak ada seorang pun?” kata sang kakek yang nampaknya pemilik rumah itu dengan keheranan. Karena tidak ada seorang pun maka ia hendak kembali ke dalam. Tetapi…

“Tuan, saya ada disini! Di bawah!” teriak Issunboushi dengan kencang. Akhirnya kakek tersebut dapat menemukan keberadaan Issunboushi. Diambilnya Issunboushi dan ditaruhnya di atas telapak tangannya. Kakek tersebut sangat senang bertemu dengan Issunboushi, karena itu dengan mudah Issunboushi pun mendapat pekerjaan di rumah itu. Adapun pekerjaan Issunboushi setiap hari adalah menemani putri kakek itu untuk bermain. Issunboushi sangat senang bisa menemani putri yang sangat cantik jelita itu. Demikian juga dengan sang putri yang merasa sangat senang mendapatkan teman bermain yang mungil dan lucu.

Suatu hari sang putri ingin mengunjungi sebuah kuil yang berada di atas sebuah bukit. Sang putri ingin berdoa bagi ibunya yang sudah meninggal. Dengan penuh suka cita Issunboushi pun menemani perjalanan sang putri. Adapun kuil tersebut letaknya agak jauh. Mereka harus melewati hutan lebat yang menurut cerita orang-orang terdapat seorang raksasa yang jahat dan kejam. Setelah berdoa di kuil tersebut mereka pun pulang. Tapi ketika melewati hutan yang lebat itu, perjalanan sang putri dihadang oleh raksasa jahat. Raksasa itu hendak menculik sang putri. Tentu saja hal itu membuat Issunboushi marah dan menantang raksasa jahat itu untuk berkelahi. Dengan menghunuskan pedangnya Issunboushi siap berkelahi untuk menyelematkan sang putri. Tetapi karena badannya sangat kecil, maka dengan mudah ia dapat ditelan oleh sang raksasa.

Di dalam perut sang raksasa, Issunboushi yang masih hidup itu menusuk-nusuk perut sang raksasa hingga sang raksasa pun merasa kesakitan dan akhirnya memuntahkan Issunboushi keluar lagi. Raksasa itu pun lari terbirit-birit karena kesakitan. Dan sang putri pun selamat. Ketika sang raksasa lari pontang-panting, dari pakaiannya terjatuh sebuah benda mirip gendang kecil.

“Benda apakah ini, Putri?” tanya Issunboushi.

“Oh, ini adalah benda ajaib milik raksasa jahat tadi!” jawab sang putri seraya mengambil benda tersebut dari hadapan Issunboushi.

“Benda ajaib? Apa gunanya?” tanya Issunboushi dengan penasaran.

“Menurut cerita kakek, benda ini dapat mengabulkan semua permohonan manusia” kata sang putri sambil tersenyum.

“Kalau begitu, tolong minta agar badan saya menjadi besar!” pinta Issunboushi.

Ternyata sungguh ajaib. Ketika sang putri menabuh gendang kecil itu dan memohon agar badan Issunboshi menjadi besar, beberapa detik kemudian Issunboushi yang tadinya kecil berubah menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah.

“Terima kasih, Putri” kata Issunboushi yang sudah berubah itu. Dengan wajah yang memerah karena malu, sang putri pun akhirnya diantar oleh Issunboshi sampai ke rumah lagi. Akhirnya, karena keluarga sang putri merasa sangat berhutang budi kepada Issunboushi mereka pun menikahkan putri mereka yang cantik jelita itu dengan Issunboushi. Dalam pesta pernikahannya, Issunboushi tidak lupa untuk mengundang kedua orang tuanya di desa. Akhirnya mereka pun hidup berbahagia bersama

——————————————————————————————-

Judul asli: Issunboushi (Si Jempol) berasal dari Prefektur Okayama.

Antonius R. Pujo Purnomo, M.A. KAGUYA-HIME Kumpulan Cerita Rakyat Jepang Pilihan. Era Media. 2007

 
Konon, hiduplah seorang saudagar yang kaya raya. Saudagar tersebut mempunyai tiga anak gadis yang cantik dan belum menikah. Suatu ketika, saudagar tersebut pergi jalan-jalan menengok sawahnya. Tiba-tiba, di pematang sawah, ia melihat seekor ular memangsa seekor katak. Katak itu menjerit kesakitan. “Kiik.. kiik…” begitulah suara jeritannya. Karena merasa kasihan, maka sang saudagar berseru kepada sang ular. “Wahai ular, tolong lepaskan katak itu. Aku punya tiga orang anak gadis. Kalau kau melepaskan katak itu aku akan memberikan seorang dari mereka untuk jadi istrimu” kata sang saudagar. Mendengar perkataan tersebut, ular pun melepaskan mangsanya dan pergi ke semak-semak. Lama setelah kejadian itu, sang saudagar pun lupa terhadap janjinya.

Sampai pada suatu hari, datanglah seorang samurai muda yang gagah dan tampan menemui sang saudagar di rumahnya. Samurai tersebut lalu memperkenalkan diri.

“Saya adalah jelmaan dari ular. Saya datang untuk menagih janji menikahi salah seorang anak gadis Anda” kata sang samurai.

Mendengar perkataan itu, sang saudagar teringat kembali janjinya yang dulu. Akhirnya ia meminta agar sang samurai datang kembali pada waktu yang dijanjikan. Dan sang samurai pun menerima hal itu. Ia akan datang lagi untuk menjemput pengantinnya.

Berhari-hari sang saudagar tidak bisa tidur nyenyak karena terus memikirkan perjanjiannya dengan sang ular. Akhirnya suatu pagi, anak-anak gadisnya berkumpul dan bertanya kepada ayahnya.

“Ayah, akhir-akhir ini engkau kelihatan kurang sehat. Ada masalah apa?” tanya salah seorang anak gadisnya.

Sang ayah pun akhirnya menceritakan permasalahan yang dialaminya kepada anaknya. Mendengar penjelasan ayahnya, mereka semua terdiam. Anak pertama dan kedua menolak menjadi pengantin sang ular. Namun anak terakhir bersikap lain.

“Baiklah, aku tidak akan mengecewakan ayah. Aku bersedia menjadi pengantin ular itu!” katanya dengan tenang. Sang ayah pun lega dibuatnya.

Akhirnya, hari pernikahan pun tiba. Sang anak bungsu minta agar ia dibekali beberapa labu panjang dan jarum tenun. Setelah itu, sang pengantin pria membawa pengantin wanita pulang ke rumahnya. Rumah pengantin pria berada di balik bukit. Beberapa lama kemudian, mereka sampai di sebuah kolam yang besar.

“Ini adalah rumahku. Silakan kau dulu yang masuk ke dalam air!” kata pengantin pria.

Tetapi sang pengantin wanita menolak dengan halus. “Barang bawaanku banyak. Tolong kau dulu yang masuk dengan membawakan barang-barangku tersebut” kata sang pengantin wanita.

Demikianlah, akhirnya pengantin pria dengan membawa barang-barang milik pengantin wanita, masuk ke dalam kolam. Ketika masuk ke kolam, labu panjang yang ia bawa menyembul ke permukaan kolam beberapa kali. Saat ia memasukkan beberapa labu itu, labu lainnya menyembul lagi ke permukaan. Sang pria pun merasa jengkel, labu-labu itu akhirnya mengapung semua ke permukaan kolam. Karena terlalu lelah, perlahan-lahan tubuh pria itu berubah menjadi wujud aslinya, yaitu ular. Ular itu naik ke tanggul kolam dan tertidur disana. Melihat bahwa ular sedang tertidur pulas, pengantin wanita itu segera mengeluarkan jarum tenunnya. Ia lalu menancapkan jarum tenunnya ke atas kepala hingga ekor sang ular. Ular itu pun mati.

Setelah berhasil membunuh sang ular, anak gadis itu segera pergi dari kolam. Namun karena hari sudah gelap, ia tersesat di dalam hutan. Setelah berjalan menyusuri hutan, ia menemukan sebuah pondok kecil. Pondok tersebut dihuni oleh seorang nenek tua. Selama beberapa lama sang gadis menginap di pondok itu. Sampai pada suatu hari, sang nenek bercerita bahwa dia sebenarnya adalah penjelmaan dari katak yang pernah ditolong oleh ayah sang gadis. Karena ingin membalas budi ayahnya, ia pun ingin menolong anak gadisnya. Sang nenek menyarankan agar sebelum kembali ke rumahnya, ia bekerja dulu di rumah seorang saudagar kaya di dekat desa. Namun karena jarak ke desa terdekat itu agak jauh, sang nenek pun khawatir kalau anak gadis secantik itu akan diganggu oleh orang jahat selama dalam perjalanannya nanti. Sang nenek memberikan sebuah pakaian dari kulit untuknya.

“Pakailah pakaian dari kulit ini, agar bisa menyamarkan kecantikanmu” kata sang nenek sambil menyerahkan sebuah pakaian yang terbuat dari kulit katak yang kasar.

“Dengan memakai pakaian kulit itu, kecantikanmu akan tersembunyi. Hal itu lebih baik agar kamu tidak diganggu oleh orang-orang jahat nantinya” kata sang nenek.

“Rumah saudagar itu sedang membutuhkan pembantu untuk mengurus dapur dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Bekerjalah disana untuk beberapa waktu!” saran sang nenek.

Setelah mengenakan pakaian dari kulit itu, sang gadis berubah menjadi seorang nenek yang kulitnya sudah berkeriput. Ketika sampai di rumah sang saudagar, ia menemui sang pemilik rumah dan memohon agar ia diterima sebagai pembantu rumah tangganya. Demikianlah, sejak saat itu sang gadis bekerja di rumah itu. Setiap hari ia harus bangun pagi, menanak nasi dan membersihkan rumah besar tersebut.

Pada suatu hari, ketika para anggota keluarga sedang pergi menonton rombongan pemain sandiwara di balai desa, sang gadis tinggal sendirian di rumah. Karena tidak ada seorang pun di rumah, maka ia melepaskan pakaian kulitnya. Sudah lama ia ingin melihat dirinya yang sebenarnya. Ia melihat wajahnya di kaca. Ternyata tidak ada yang berubah. Ia tetap cantik seperti sebelum memakai pakaian kulit pemberian sang nenek. Pada saat itu, seorang anak pria putra bangsawan datang ke rumah untuk mengambil sesuatu. Karena di rumah tidak ada seorang pun ia menjadi penasaran. Ia sangat terkejut ketika melihat sesosok gadis yang cantik jelita berada di dalam kamar. Putra bangsawan itu pun jatuh hati kepada sang gadis.

Beberapa hari kemudian, sang pemuda jatuh sakit. Berhari-hari ia tidak mau makan. Tubuhnya sangat lemah. Tidak ada obat yang dapat menyembuhkannya. Ketika seorang tabib datang memeriksa, ketahuan bahwa sakit yang diderita sang putra bangsawan tersebut dikarenakan cinta. Pemuda tersebut telah jatuh cinta pada seorang gadis yang pernah dilihatnya. Namun karena gadis tersebut tidak ia temukan lagi, maka ia pun jatuh sakit. Keluarganya pun sangat kebingungan, nenek pembantu rumah tangga pun menyadari bahwa gadis yang dilihat oleh putra bangsawan tersebut pasti adalah dirinya ketika ia melepas pakaian kulitnya beberapa waktu yang lalu. Karena merasa kasihan, ia pun melepaskan pakaian kulitnya lagi dan menemui putra bangsawan yang sedang sakit tersebut. Melihat wajah cantik jelita itu, sang pemuda tersenyum dan sakitnya pun berangsur-angsur sembuh kembali. Demikianlah, akhirnya sang gadis dinikahkan dengan putra bangsawan tersebut. Mereka hidup dengan bahagia.

Setelah beberapa lama menikah timbul kerinduannya terhadap ayah dan kedua saudarinya. Ia pun meminta agar suaminya mengantarkan pulang ke rumah orang tuanya. Orang tua sang gadis yang semula mengira bahwa putri bungsunya tidak akan pernah kembali lagi, merasa sangat bahagia ketika bertemu kembali. Mereka terharu mendengar cerita pengorbanan putri bungsunya. Sejak saat itu mereka bisa berkumpul kembali dan hidup dengan bahagia.

——————————————————————————–

Judul asli: Hebi no Yomeiri (Pengantin Perempuan Ular) berasal dari Prefektur Hyogo.

Antonius R. Pujo Purnomo, M.A. TANABATA Kumpulan Cerita Rakyat Jepang Pilihan. Era Media. 2007

 
Dahulu kala ada seorang petani yang bernama Kumazo. Kumazo adalah petani yang rajin bekerja. Ia berbadan tinggi besar dan disegani banyak tetangga. Suatu hari, dengan memikul bakul di pundaknya Kumazo pergi ke ladangnya. Hari ini ia akan memberi pupuk pada tanamannya agar tumbuh dengan subur. Namun, saat ia sedang asyik menyebarkan pupuknya tiba-tiba terdengar suara desisan yang sangat keras. Dan hampir bersamaan dengan itu muncullah dari arah bukit seekor ular raksasa yang panjangnya mencapai 6-7 meter. Kumazo sangat terkejut. Ia merasa tidak pernah mempermainkan ular, namun entah kenapa ada induk ular yang datang menemuinya. “Aduh, kenapa ada ular sebesar ini datang kemari ya?” katanya dengan gemetar.

Ia lalu meraih gagang pikulnya dan secepatnya lari meninggalkan ladang. Namun belum sampai ia lari jauh, tiba-tiba kakinya terantuk gundukan tanah di ladang. Dan ular raksasa pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan menjulur-julurkan lidahnya yang berwarna merah, ia mulai mendekati tubuh Kumazo. Kumazo tidak mau menyerah begitu saja. Ia terus mengayun-ayunkan pikulnya agar sang ular tidak bisa mendekatinya. Tiba-tiba, gagang pikul Kumazo pun patah. Saat itu juga sang ular langsung membelit tubuh Kumazo.

“Tu.. tunggu sebentar. Lepaskan aku!” teriak Kumazo.

Ular itu diam sejenak. “Ada apa?” pikirnya.

“Tunggu sebentar. Lepaskan aku dulu. Aku harus kembali ke rumahku dulu untuk berpamitan kepada keluarga. Setelah itu aku berjanji akan segera kemari untuk menyelesaikan pertarungan kita” kata Kumazo untuk meyakinkan ular tersebut.

Sejenak ular tersebut terdiam. Namun seolah-olah mengerti perkataan Kumazo, ia pun melepaskan belitannya. Setelah terlepas dari belitan, Kumazo mengucapkan terima kasih lalu berlari pulang menuju desanya. Sementara itu, sang ular melingkarkan tubuhnya sambil menunggu kedatangan Kumazo kembali.

Kumazo berlari-lari sambil berteriak-teriak kepada penduduk desa. “Ada ular raksasa di ladang!” teriaknya. Mendengar teriakan itu, para penduduk desa segera mengambil senjata tajam masing-masing. Ada yang membawa pedang, golok, tombak, dan pentungan kayu. Mereka pun beramai-ramai menuju ladang tempat Kumazo bertemu dengan ular. Namun setelah mereka tiba di ladang mereka tidak menemukan ular raksasa itu.

“Hei, Kumazo. Mana ular raksasa yang kau sebutkan itu?” tanya para penduduk dengan tidak sabar.

“Tadi ada disini kok!” kata Kumazo sambil menunjukkan bekas-bekas pertarungannya.

“Iya, benar. Ini ada jejak ular yang besar” kata salah seorang penduduk sambil menunjukkan tanah bekas tempat ular melingkarkan tubuhnya.

Para penduduk lalu menyisir ladang dan bukit di dekatnya. Mereka membabat rumput maupun ilalang disekitarnya. Namun tak juga mereka temukan ular raksasa itu. Setelah mendengar cerita Kumazo itu, para penduduk lebih berhati-hati ketika bekerja di ladang. Mereka juga mengingatkan anak-anaknya untuk tidak lagi mengganggu ular.

——————————————————————————–

Judul asli: Daija to Tatakatta Otoko (Laki-laki yang Bertarung dengan Ular Raksasa) berasal dari Prefektur Kumamoto.

Antonius R. Pujo Purnomo, M.A. KAGUYA-HIME Kumpulan Cerita Rakyat Jepang Pilihan. Era Media. 2007

 
Pada jaman dahulu kala, di sebuah desa ada seorang pemuda yang rajin dan baik hati. Suatu hari, ketika sang pemuda hendak pergi untuk bekerja, ia melihat beberapa anak sedang mencoba menangkap seekor belut putih. Di tangan mereka tergenggam tongkat kayu yang sekali-kali diayunkan untuk memukul belut tersebut. Sejenak sang pemuda berhenti dan mendekati anak-anak tersebut. Karena merasa kasihan, sang pemuda berkata kepada anak-anak itu, “Jangan mengganggu binatang. Belut itu juga makhluk hidup seperti kita. Biarkan dia pergi!”. Anak-anak itu pun berhenti seketika. Dengan perasaan dongkol mereka pun pergi meninggalkan tempat itu. Demikian juga sang belut pergi ke arah genangan air di sawah. Sang pemuda pun pergi melanjutkan perjalanannya.

Malam harinya, ketika sang pemuda hendak bersiap-siap untuk tidur, tiba-tiba pintu rumahnya diketuk orang. “Tok.. tok”. Sang pemuda heran, tidak biasanya malam-malam begini ada tamu yang datang ke rumahnya. Akhirnya ia pun membuka pintu rumahnya. Bukan main terkejutnya sang pemuda, ternyata di hadapannya telah berdiri seorang gadis yang cantik jelita.

“Selamat malam. Mohon maaf sebelumnya. Saya sedang tersesat dan kemalaman di jalan. Bolehkah saya menumpang istirahat barang satu malam di rumah tuan?” pinta sang gadis.

“Silakan masuk!” kata sang pemuda dengan gugup. Malam itu sang gadis pun menginap di rumah sang pemuda.

Keesokan paginya, sang gadis berkata kepada sang pemuda, “Sebenarnya saya sudah tidak mempunyai orang tua dan sanak saudara lagi. Saya hidup sebatang kara dan tidak punya rumah untuk pulang. Tolong ambil saya sebagai istri tuan. Saya akan bekerja keras setiap hari untuk membantu tuan” kata sang gadis. Mendengar hal itu sang pemuda merasa iba. Akhirnya ia dan gadis itu menikah. Mereka hidup dengan bahagia dan dikaruniai seorang bayi laki-laki yang lucu.

Pada suatu hari, pekerjaan sang pemuda di ladang telah selesai lebih cepat dari hari-hari sebelumnya. Ia pun berniat pulang lebih cepat dari biasanya. Ketika sampai di rumah, ia melihat suasana sangat sepi dan pintu rumah juga terkunci rapat. Karena merasa curiga maka ia coba melihat keadaan di dalam rumah dari jendela di kamarnya. Bukan main terkejutnya saat sang pemuda melihat pemandangan di dalam kamarnya. Ia melihat seekor binatang yang menyerupai belut  sedang melingkarkan tubuhnya di lantai kamar. Di tengah-tengahnya tergeletak sang bayi. Lidah binatang yang berwarna merah itu menjulur menjilati tubuh sang bayi. Anehnya sang bayi justru merasa senang dan tidak takut. Sang pemuda sangat ketakutan dan lari menginggalkan rumahnya. Ia berpikir bahwa belut besar di kamarnya tadi tidak lain adalah jelmaan istrinya sendiri. Namun untuk memastikan dugaannya itu, sore harinya ia kembali pulang ke rumahnya. Sesampai di depan rumahnya ia melihat istrinya sedang menggendong sang bayi. Seperti tidak terjadi apa-apa ia lalu makan malam bersama sang istri.

Namun, sang istri ternyata tahu bahwa suaminya telah melihat wujud aslinya. Sang istri pun berkata, “Suamiku, akhirnya engkau telah melihat wujud asliku siang tadi. Sebenarnya aku adalah jelmaan belut yang telah kau tolong dari gangguan anak-anak setahun yang lalu. Aku ingin sekali membalas budimu. Namun, karena engkau telah melihat wujud asliku, maka aku tidak dapat hidup lagi bersamamu. Aku harus pergi. Tapi bayi kita adalah bayi manusia, maka engkau harus memeliharanya dengan baik” kata sang istri sedih. Kemudian ia mengeluarkan sebuah bola putih kecil dan memberikannya kepada suaminya.

“Kalau bayi kita menangis karena haus atau lapar berikan bola ini agar ia dapat menghisapnya. Ia tidak akan menangis lagi” kata istrinya berpesan.

Setelah mengatakan hal itu, sang istri pun pergi keluar rumah. Sang suami dengan sedih mencari-carinya, namun sang istri sudah lenyap di kegelapan malam.

Sejak saat itu sang suami membesarkan bayinya seorang diri. Sesuai pesan istrinya, ia membiarkan sang bayi menghisap dan mengulum bola putih yang lentur itu. Bayi itu terus tumbuh dengan sehatnya. Tidak pernah sekalipun sang bayi jatuh sakit. Kehebatan bola putih itu terdengar ke seluruh wilayah, hingga sampai ke telinga sang penguasa wilayah. Akhirnya bola putih itu pun diambil secara paksa oleh sang penguasa. Dan sejak saat itu juga sang bayi mulai mengangis tak henti-hentinya. Bukan main bingungnya sang suami. Ia pun berjalan menyusuri hutan untuk mencari istrinya. Setelah lama berjalan, akhirnya ia tiba di sebuah danau. Dengan putus asa ia berteriak.

“Wahai istriku, sejak kepergianmu sungguh merana hidupku. Kalau memang engkau ada disini, tunjukkanlah dirimu. Aku ingin berjumpa denganmu!” katanya dengan pilu.

Tiba-tiba permukaan air danau tersebut bergelombang, dan dari dalamnya mucul seekor belut yang sangat besar.

“Apa kabar suamiku? Apa yang membuatmu bersedih hati?” tanya belut tersebut. Akhirnya sang suami menceritakan tentang bola putih pemberian istrinya yang telah diambil oleh sang penguasa.

“Suamiku, bola putih itu sebenarnya adalah bola mataku sendiri. Ia berguna sebagai pengganti air susu bagi bayi kita. Kalau aku berikan bola mata satu lagi, aku tidak akan bisa melihat lagi” kata sang belut.

“Tolonglah istriku, anak kita menangis tiada henti-hentinya” kata sang suami.

“Baiklah kalau begitu. Aku akan berikan bola mata yang satunya. Tapi kau harus berjanji. Agar bola mata ini tidak diambil orang lain, bawalah bayi kita dan pergi jauh-jauh dari desa” kata sang belut sambil memberikan sebutir bola putih.

“Terima kasih istriku. Jagalah baik-baik dirimu!” ucap sang suami dengan meneteskan air mata.

“Jagalah dirimu dan rawat baik-baik anak kita!” kata sang belut.

Setelah mengucapkan salam perpisahan, sang belut kembali ke dasar danau, dan suaminya pun pulang dengan hati yang sangat sedih.

Setelah sampai di rumahnya, ia segera mengumpulkan barang perbekalannya lalu pergi meninggalkan desa tersebut bersama sang anak yang masih kecil. Beberapa waktu kemudian di wilayah desa tersebut timbul gempa bumi yang sangat hebat. Semua bangunan hancur, termasuk istana sang penguasa yang telah mengambil paksa bola mata milik sang belut. Sang penguasa sendiri pun mati akibat tertimpa reruntuhan bangunannya. Demikianlah, menurut kepercayaan tradisional masyarakat Jepang, gempa bumi diakibatkan oleh belut raksasa yang bergerak di dalam tanah. Belut itu menabrak benda di sekelilingnya karena tidak mempunyai mata lagi untuk melihat.

—————————————————————————–

Judul asli: Mekura no Mizu no Kami (Dewi Air yang Tidak Bisa Melihat) berasal dari Prefektur Saga.

Antonius R. Pujo Purnomo, M.A. TANABATA Kumpulan Cerita Rakyat Jepang Pilihan. Era Media. 2007

 
Suatu hari ada seekor kucing besar dan seekor kucing kecil. Dua ekor kucing tersebut menemukan dua buah onigiri. Kucing yang besar menemukan onigiri kecil, sedangkan kucing yang kecil menemukan onigiri besar. Karena hanya mendapatkan onigiri yang kecil, kucing besar itu berkata kepada kucing yang kecil.

“Hei, kucing kecil. Lihatlah, badanmu kan kecil kenapa kamu mau makan onigiri yang besar? Ayo tukarkan dengan onigiriku saja” kata kucing besar.

“Enak saja. Aku kan yang menemukan onigiri besar ini, jadi walaupun badanku kecil aku berhak makan onigiri besar” kata kucing kecil.

“Heh, dimana-mana itu kalau kucing kecil makannya ya sedikit. Kalau kucing besar makannya ya banyak. Kok begitu saja kamu tidak tahu sih?”

“Nah, aku kini tahu akal bulusmu. Kamu khawatir kan kalau aku makan onigiri besar ini badanku akan menjadi besar. Kalau badanku besar, kamu takut kalah saingan kan?”

“Bukan begitu. Tapi wajarnya karena badanmu kecil, ya makanmu juga sedikit saja. Nanti kalau makan kebanyakan perutmu akan sakit”

“Ah, kamu ini mau mencoba membujukku ya? Pokoknya aku gak mau!”

Karena tidak ada yang mau mengalah, akhirnya kedua kucing itu saling bertengkar. Pada saat bertengkar itu, kucing besar mendapatkan ide.

“Begini saja, bagaimana kalau kita pergi bertanya kepada kera. Mungkin dia mempunyai pendapat yang lebih bagus” kata kucing besar.

“Baiklah aku setuju” kata kucing kecil.

Akhirnya dengan menggelindingkan onigiri di sepanjang jalan, mereka pergi menemui kera. Kedua kucing itu lalu menceritakan persoalan yang sedang mereka hadapi.

“Hmm… sulit juga ya. Tapi kalau menurut pendapatku, bagaimana kalau dua onigiri ini dibagi rata hingga mencapai besar yang sama?” tanya kera.

“Baik, saya setuju”

“Saya juga setuju”

“Baiklah, sementara aku menimbang berat onigiri ini, kalian pergilah sedikit menjauh”

Akhirnya kera memegang dua buah onigiri itu di tangan kanan dan kirinya. Ia mencoba menimbang-nimbang dengan tangannya.

“Hmm… kok berat yang kanan ya?” kata kera seraya mengambil sedikit bagian onigiri di tangan kanannya lalu memakannya.

Kera lalu menimbang-nimbang lagi.

“Kok terasa berat yang kiri ya?” katanya lagi seraya mengambil sedikit bagian onigiri dari tangan kirinya lalu memakannya.

Kera terus menimbang-nimbang berat onigiri itu. Namun ia tetap tidak bisa merasakan berat onigiri yang sama. Sampai akhirnya dua buah onigiri itu pun habis dimakannya sedikit demi sedikit. Melihat kedua onigiri mereka habis, kedua kucing itu pun sangat kecewa. Mereka pulang sambil menangis tersedu-sedu. Miauww…

Judul asli: Futatsu no Omusubi (Dua Buah Omusubi) berasal dari Prefektur Fukuoka.

dikutip dari: KAGUYA-HIME Kumpulan Cerita Rakyat Jepang Pilihan. Era Media. 2007