Hazzel terbanngun dari tidurnya. Rasanya ia begitu ingin muntah. Ia mendekap mulutnya dengan erat, dan satu tangan lainnya mencengkram perutnnya. Rasannya begitu mual dan ia begitu muak. Rasanya ingin sekali memuntahkan semua ini tapi tak bisa. Pandangan matanya meredup.  Saat itu sore hari, kamarnya begitu gelap. Hanya seberkas sinar yang terbias dari jendela kamarnya dan tersamarkan oleh jendelanya. Seberkas siluet tubuhnya hadir di jendela itu.

Karena ia sudah tidak kuat berdiri, ia pun membaringkan tubuhnya ke kasur. Kepalanya masih pusing, samar-samar ia memandang pergelangan tangannya. Dengan menyipitkan mata ia meraba lengannya. Seperti  ada darah yang keluar dari pergelangan tangannya. Kepalannya semakin pusinnng, tubuhnya menndingin, nafasnnya melemah. Ia sudah tidak kuat lagi. Ia memandang tangannya dengan iba, lalu memejamkan mata. Rasa mualnya masih bertahan ia masih ingin muntah tapi rasanya begitu sulit untuk mengeluarkannya.

Sang ibu datang ke kamar Hazzel. Ia menyalakan lampu kamar anak itu. Lalu terpaku mennatap tubuh anaknya yang terbbarinng lemah. Lalu dengan segera ia merangkul tubuh anaknya. Dengan panik ia menelpon ambulan. Lalu dengan segera ia membawa tubuh Hazzel ke rumah sakit terdekat. Ia di bawa ke sebuah ruangan serba putih, tangannya di infus dan segera diberi perawatan.

Orang tua dirinya pun mendonorkan darah mereka karena saat ini Hazzel sangat kekurangan darah, bahkan mungkin untuk bernafas pun begitu sulit. Rasanya kepalanya begitu berat. Ia masih ingin muntah.

Hazzel terbangun dari tubuhnya. Terduduk lemas. Pandangan dan tatapannya begitu kosong. Kepalanya masih pusing, dan ia meraba sebuah guratan di pergelangan tangannya. Ia tersenyum tipis, bukan karena bahagia tapi ia tersenyum karena berfikir bahwa ternyata luka itu tidak akan pernah hilang. Dan luka itu mungkin akan mengingatkanya pada suatu hal.

Tubuh Hazzel masih mendingin dan kepalanya masih pusing tapi tatapannya sudah tidak kosong lagi. Dan pikiran serta pandangannya pun sudah tidak memudar. Hazzel berusaha berdiri dari kursi taman itu. Ia menatap ke sekitar semuanya serba putih. Tidak ada pembatas antara lantai dinding dan atap. Semuanya hanya putih dan kosong.

Hazzel berusaha berjalan dengan tubuh lemasnya. Kepalanya masih pusing tapi tinnggal sedikit. Ia berusaha keras agar tidak pingsan. Ia pun masih tetap berjalan. Tiap langkah ia selalu berfikir bahwa dirinya sehat dan kuat unntuk berjalan. Hingga pada akhirnya ia berada di sebuah taman. Semuanya tidak putih lagi. Kini sebuah rumput hijau menghiasi jalanan. Ia menatap sekitar ada sebuah pohon sakura, dan di sebelah ujung sana ada pohon maple. Di bawah pohon sakura ada sebuah kursi taman yang begitu percis dengan yang ia duduki tadi. Tidak jauh dari pohon sakura ada sebuah kolam ikan yang ukurannya sedang. Di dalam kolam itu ada dua ekor ikan koi yang sangat cantik. Yang satu berwarna orange keemasan dan yang satu lagi berwarna merah belang putih.

Hazzel mencelupkan tangan dan kakinya di air kolam itu. Rasanya begitu dingin, jadi ia mengurungkan untuk merendamkan tubuhnya di kolam itu. Ia pun keluar dari kolam yang memanjang ini. Dan ia menyebrangi sebuah jembatan yang sangat indah. Jembbatan ini membawanya ke sebuah tempat dataran tinggi. Di bawahnya ada sebuah kota. Dan di ujung sana ada sebuah gunung.




Leave a Reply.