Ribuan anak muda Jepang tidak memiliki pacar dan banyak yang tidak menikah, menurut survei yang dikeluarkan pemerintah.

Hasil survei tentang seks dan pernikahan itu menunjukkan lebih dari 60% pria berusia antara 18-34 tahun tidak menikah sementara setengah dari wanita pada usia itu juga tidak memiliki pacar.

Berita terkait Link terkait

Topik terkait Persentase itu lebih tinggi dibandingkan hasil survei yang sama pada tahun 2005.

Lebih dari seperempat pria yang disurvei dan 23% perempuan mengatakan mereka bahkan tidak mau mencari pacar.

Belum pernah berhubungan seks
Banyak di antara mereka mengangkat alasan tidak punya uang, sementara yang lain mengatakan tidak mungkin mencari pacar setelah melewati usia 25 tahun.

Sejumlah besar perempuan yang disurvei mengatakan hidup sendiri lebih baik bagi mereka daripada menikah dan membangun rumah tangga.

Survei juga menunjukkan lebih dari seperempat pria dan wanita berusia antara 35-39 tahun yang belum menikah mengatakan mereka belum pernah berhubungan seks.

Jumlah orang yang menikah di Jepang menurun terus dibandingkan pada masa tahun 1970-an.

Tingkat angka kelahiran Jepang paling rendah di dunia dan menyebabkan jumlah penduduk akan menyusut drastis pada pertengahan abad ini.

Pemerintah Jepang melakukan survei tentang seks dan pernikahan setiap lima tahun.

by BBC Indonesia

 
Oleh Diah Madubrangti
Dipresentasikan pada Seminar Internasional “ Japanese Language, Education, and
Regional Learning: Linguistics, Culture, Ethos” di UHAMKA pada hari Kamis, 19
April 2012

1. Orang Jepang Dahulu

Pengertian “Sudah Berubah” mengundang pertanyaan apa yang berubah dari orangdan
mengapa orang Jepang berubah. Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita analisis
dengan pendekatan kebudayaan.
Media massa Jepang akhir-akhir ini memuat berita yang mengatakan bahwa anak muda
sekarang cenderung tidak memberikan tempat duduknya kepada orang tua yang berdiri di
dalam perjalanan kereta api, ada pula yang mengatakan bahwa anak sekarang lebih memilih
makanan Eropa daripada makanan Jepang, bahkan ada pula yang mengatakan bahwa, ofuro
di Jepang sekarang hanya sebagai tempat-tempat yang didatangi turis saja. Orang Jepang
sudah jarang pergi mandi di Ofuro, kalaupun ada, hanya para orang tua yang datang mandi di
Ofuro, dan sebagainya. Fenomena ini sebenarnya bukan hanya terjadi di Jepang, tetapi juga
di Indonesia dan di negara-negara lainnya. Apabila dilihat dari fenomena generasi anak muda,
kehidupan masyarakatnya bergerak begitu cepat dalam gaya hidup dan aktifitas yang
menunjukkan proses dinamika kehidupannya. Mereka berada dalam tahap perkembangan
dengan sikap dan nilai yang sedang berada pada tahap pembentukan. Mereka masing-masing
memiliki karakteristik yang berbeda sesuai dengan fenomena yang terjadi di lingkungan
masyarakatnya.
Sementara, orang Jepang dahulu, yaitu orang Jepang yang saya kelompokkan pada
orang-orang yang masih memegang kuat tradisi yang berlaku pada masanya, seperti peran
dalam struktur yang diterimanya melalui pendidikan di sekolah, di rumah dan di lingkungan
masyarakatnya ketika masa kecilnya. Perilaku yang telah tertanam merupakan totalitas dari
sesuatu yang dipelajarinya dan menjadi kebudayaannya. Kebudayaan merupakan akumulasi
dari pengalaman yang disosialisasikan melalui pembelajaran, yang diwariskan melalui proses
komunikasi dan peniruan dari satu geneasi ke generasi berikutnya. Kebudayaan merupakan
pengalaman manusia, simbol dalam menginterpretasikan makna, seperangkat pengetahuan
yang disampaikan secara turun temurun dan berlangsung di dalam kehidupan masyarakatnya
1
sejalan dengan perkembangan zaman. Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan merupakan
sekumpulan sikap, nilai, keyakinan, dan perilaku yang dimiliki bersama oleh sekelompok
orang, yang dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui bahasa atau
melalui media komunikasi. Sekumpulan perilaku ini mengalami proses sosialisasi yang sama
dan mempunyai enkulturalisasi dengan cara-cara yang mirip. Dengan kata lain, setiap orang
sebagai manusia yang berkebudayaan diatur oleh norma-norma yang berlaku dalam
masyarakatnya (Gerrtz, 1973).
Orang Jepang dikenal sebagai orang yang sangat mempertahankan nilai-nilai yang
menjadi kebudayaan masyarakatnya. Sampai sebelum Perang Dunia II, sistem ie merupakan
sistem yang paling penting yang dianut oleh masyarakat Jepang. Dalam sistem ie, semua
anggota keluarga harus tunduk pada kepala keluarga. Kepala keluarga merupakan pemegang
kekuasaan terbesar yang tidak dapat dibantah. Dibawah sistem ie pula, wanita menempati
posisi yang amat rendah bila dibandingkan dengan posisi laki laki (Fukutake, 1967).
Masyarakat tradisional Jepang adalah masyarakat agraris yang di dalam kehidupan
masyarakatnya, mereka mempunyai kesadaran yang tinggi akan rasa kekeluargaan.
Ie,sebagai sebuah sistem mengatur kehidupan para anggota yang menjadi kerabat, baik
dalam bidang ekonomi maupun sosial (Fukutake, 1977). Kehidupan keluarga dengan sistem
ie pada masyarakat agraris di Jepang sudah ada sejak zaman Nara (abad ke-7) dan terus
berlangsung sampai pada zaman Edo, masa pemerintahan rezim Tokugawa (1600-1868).
Pada masa pemerintahan Tokugawa ini, setiap pekerjaan merupakan pekerjaan untuk
kepentingan bersama. Mereka bekerja keras untuk menunjukkan keberhasilan pekerjaan yang
dilakukannya. Mereka rela dan loyal melakukan tugas yang sudah menjadi kewajibannya
demi kepentingan keluarga dan negara, walaupun pekerjaan itu berat. Sikap loyal diperlukan
dalam usaha memenuhi kebutuhan hidup di dalam masyarakat yang menjadi ie-nya
(Enomoto, 1998: 164-167).
Terdapat beberapa hal yang mendasari sikap orang Jepang dalam bertindak, yaitu
bertindak dengan berusaha menghindari “rasa malu”, karena rasa malu merupakan sanksi
masyarakat yang utama dalam kehidupan masyarakatnya. Oleh karena itu, sebelum sanksi
masyarakat itu jatuh pada dirinya, mereka bertindak seolah-olah mengungkapkan pengakuan
dirinya dengan sikap “rasa bersalah”. Rasa malu adalah reaksi terhadap kritik yang
dibayangkan seolah-olah ia sedang diperolok-olok oleh orang lain, sedangkan rasa bersalah
2
Okasan
Saturday, 7:53 PM
Added Text
merupakan bagian dari tata krama dalam bertindak. Bersikap yang didasari atas rasa malu dan
rasa bersalah ini sudah merupakan bagian sikap yang sudah melekat pada orang Jepang.
Berdasarkan ke dua hal ini Ruth Benedict mengatakan bahwa, “budaya malu” (hajino bunka)
dan “ budaya rasa bersalah” (tsumino bunka) merupakan budaya yang berlangsung dalam
kehidupan masyarakat Jepang (Benedict, 1979).
Untuk menghindari ‘rasa malu”, masyarakat Jepang dalam bersosialisasi berusaha
menjaga hubungan dengan memegang prinsip “meiwakuni sarenaiyouni meiwakuwo shinai”
‘jangan mengusik orang, supaya tidak diusik orang”. Sikap ini seringkali memberikan
penilaian bahwa orang Jepang adalah orang yang sangat individualis, yang kurang
bertenggang rasa. Padahal justru sebaliknya, saya berpikir bahwa orang Jepang sangat
memiliki tenggang rasa yang sangat besar. Misalnya, ketika saya melakukan penelitian di
Jepang, saya mendapat kabar bahwa ayah meninggal. Orang yang pertama kali membawa
berita duka itu pada saya adalah profesor pembimbing saya. Selebihnya, tidak ada satu orang
pun di ruang kerja saya yang mengucapkan belasungkawa pada saya. Bagi mereka, profesor
pembimbing sudah mewakili teman-teman peneliti Jepang di ruang kerja. Ada birokrasi tidak
tertulis yang sudah melekat pada masyarakat Jepang, bahwa sesuatu yang sudah disampaikan
oleh pimpinan atau kepala dalam kelompok kerja sudah merupakan keputusan atau
kesepakatan para anggota kelompok. Hal ini merupakan bentuk dari prinsip “meiwaku wo
shinaikoto” (tidak ingin mengusik).
Rumusan masalah dalam paparan ini adalah mampukah budaya yang ditradisikan dari
generasi ke generasi dan sebagai aturan yang membentuk perilaku menjadikan orang Jepang
berubah. Tujuan pemaparan ini adalah menunjukkan fondasi moral yang kuat pada orang
Jepang menyebabkan tidak mudah bila dikatakan bahwa orang Jepang sudah berubah.
2. Orang Jepang Sekarang
Di dalam suatu masyarakat ada pranata-pranata yang sama dalam menjalani
kehidupan sosialnya. Pranata-pranata itu diterima oleh masyarakatnya sebagai suatu kesatuan
sistem tertentu yang menunjukkan bahwa kehidupan sosial suatu masyarakat pada dasarnya
adalah sama. Untuk menata pranata-pranata sebagai satu kesatuan sistem diperlukan strategistrategi,
gagasan-gagasan, dan aturan-aturan yang dibangun oleh faktor-faktor biologis,
psikologis, dan nilai-nilai budaya yang memungkinkan orang mendapatkan fondasi moral dan
etika sebagai pandangan untuk dijadikan pola-pola kebudayaan masyarakatnya. Oleh karena
3
itu, setiap manusia dengan strategi-strategi, gagasan-gagasan, serta aturan-aturan itu berusaha
menghindari konsekuensi-konsekuansi negatif, dan berusaha menghindari supaya
konsekuensi negatif itu tidak terjadi. Masing-masing individu dan pranatanya merupakan satu
kesatuan sistem di dalam suatu masyarakat ini bertindak saling mempengaruhi antara yang
satu dengan yang lain. Hal ini terjadi karena individu mempunyai kemampuan untuk
menerima, menanggapi, serta menentukan yang menjadi pilihannya dan yang sesuai dengan
kebutuhan yang diperlukan di dalam kehidupan masyarakatnya Di dalam sebuah masyarakat
sebagai sebuah sistem, setiap unsurnya mempunyai tugas dan kewajiban yang mengatur
kehidupan sosial suatu masyarakat (lihat Geertz, 1973: 34-46).
Namun, kaum muda di Jepang sekarang dikatakan sedang berada pada tahapan
mengambang dan bimbang (Shimizu, 1991) Kalau melihat foto di bawah ini, terkesan bahwa
memang anak muda sekarang sudah berubah.
4
Apakah gambar ini menunjukkan bahwa telah terjadi krisis identitas (upaya mencari
identitas) pada anak muda Jepang? Fenomena ini tidak hanya ditemukan pada anak Jepang, tetapi
anak muda hampir di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Menurut Barker (2000) perubahan
semacam ini bukan menunjukkan esensi tetap dari identitas, tetapi merupakan entitas (satuan
bentuk yang berwujud) yang selalu siap untuk dibuat dan dibuat lagi. Suatu entitas dapat diubahubah
menurut sejarah, waktu dan ruang tertentu. Berubah berdasarkan ruang dan waktu, karena
pada masa kanak-kanak ia sangat bergantung pada orang tuanya dan setelah meningkat dewasa ia
memasuki masa pembentukan dalam mengambil aturan-aturan tertentu yang ada dalam fenomena
anak muda.
5
( SMP Kamishakuji, Di Kuil Toshimaen,Tokushima, Shikoku, 14 Januari 2009)
Pada situasi dan kondisi tertentu, mereka membutuhkan dukungan dan nasehat orang
dewasa yang lebih mempunyai pengalaman dalam mempersiapkan diri lepas dari keluarga.
Pada ritual Seijinshiki, ritual anak memasuki masa dewasa, keberhasilan yang dicapai anak
sejalan dengan usianya menunjukkan kompetensi pada masa itu. Pada saat itu orang tua
sudah harus bisa menentukan atau mengambil suatu keputusan penting yang berhubungan
dengan aktifitas anaknya. Sebagai orang tua, setiap saat ia harus bersedia melibatkan dirinya
pada kepentingan anaknya bila diperlukan. Hal ini diajarkan kepada anak melalui kegiatan
kelompok sejak dini. Aktivitas dalam berbagai kelompok mendudukkan seseorang pada
berbagai status dan peran. Setiap kegiatan yang dilakukan menjadi pengalaman anak
sepanjang kehidupannya.
6
Awa Odori, Shikoku, Agustus 2011
Di Jepang ada istilah oyabun-kobun (Nakane,1967) dalam struktur sosial masyarakat
tradisonal. Oyabun adalah orang yang berstatus orang tua (oya), dan kobun adalah orang yang
berstatus anak (ko). Hubungan oyabun-kobun secara harfiah berarti hubungan orang yang
berstatus orang tua dan anak. Namun, kemudian terjadi pergeseran makna menjadi pengertian
yang bermakna hubungan atasan-bawahan, tuan tanah-penyewa, atau guru-murid.
Struktur oyabun-kobun sudah berlangsung sejak orang Jepang mengenal sistem ie di
dalam kehidupan sosialnya. Seseorang yang berstatus anak (ko) merasa aman karena
kebutuhan sosialnya terpenuhi, termasuk kebutuhan integratif, seperti kebutuhan berteman,
bersahabat, kasih sayang, keindahan dan sebagainya yang berhubungan dengan kejiwaannya.
Selain itu, apabila orang tua (oya) berhasil dalam pekerjaannya atau dapat mempertahankan
kelangsungan hidup keluarganya, termasuk keberhasilan dalam kenaikan jabatan, berarti anak
akan berusaha untuk mempertahankan dan memelihara kesejahteraan keluarganya. Hubungan
orang yang berstatus ayah (oyabun) dengan orang yang berstatus anak (kobun) menunjukkan
hubungan sosial antara orang yang lebih mempunyai pengalaman dengan orang yang belum
mempunyai pengalaman sebagai hubungan yang bersifat saling melengkapi. Hal ini bisa
terlihat pada acara musim panas setiap daerah di Jepang. Misalnya, ada festival daerah
dengan tema “Orang tua dan Anak” . Hal ini menunjukkan bahwa seorang anak merasa
bahagia dan akan lebih bersemangat dengan hadirnya orang tua yang datang menonton acara
pentas para anak-anaknya.
Orang Jepang sering mengatakan bahwa masyarakat Jepang masa kini sudah berubah
dan tidak lagi memiliki nilai budaya seperti yang dimiliki oleh orang-orang dari generasi
terdahulunya, kehidupan kelompok yang didasari dengan nilai budaya tersebut masih terus
berkembang dan tumbuh di lingkungan kehidupan masyarakat Jepang hingga kini.
Meiwaku wo shinaikoto sebagai unsur dari budaya malu dapat dilihat dalam
pendidikan sekolah di Jepang. Guru sekolah mengajarkan kebiasaan-kebiasaan yang
dilakukan oleh orang Jepang kepada murid agar mereka mematuhi aturan, pola yang
dijadikan pedoman menyeluruh bagi kehidupan masyarakat Jepang yang menjadi
kebudayaannya. Sebagai contoh, guru mengajarkan bagaimana setiap orang harus
menyelamatkan diri ketika ada bencana seperti gempa bumi, kebakaran, dan lain-lain tanpa
harus minta bantuan dari orang lain, karena meminta bantuan berarti kemungkinan akan
7
mengganggu pribadi orang lain. Contoh lain dari sikap “meiwaku wo kakenaikoto” pada
orang Jepang, saya mempunyai pengalaman sebagai berikut. Pada suatu hari di kelas kursus
melukis yang gurunya adalah orang Jepang, tempat saya belajar melukis, ada seorang peserta
kursus melukis yang berasal dari Jepang. Pada hari itu ia datang bersama anaknya yang
berumur 2 tahun dan 4 tahun. Setelah pelajaran melukis selesai, kebiasaan yang dilakukan
oleh guru lukis saya, yaitu menyediakan kudapan ringan setelah kursus di ruang tamunya
berupa minuman teh atau kopi dan kue atau makanan ringan lainnya yang dibuat oleh guru
itu sendiri. Kursus selesai pukul 3.00 petang. Selama kursus, ke dua anak itu tidak duduk
bersama ibunya, tetapi bermain sendiri tanpa harus mengganggu ibunya. Ketika kami selesai
kursus, ke dua anak itu pun menghentikan kegiatan bermainnya dan turut duduk bersama
kami di meja yang sama dengan kami untuk minum teh. Si Ibu, segera menyiapkan minuman
dan snack untuk ke dua anaknya yang dibawanya dari rumah. Anaknya terlihat sangat
gembira ketika menyantap kudapannya yang disiapkan oleh ibunya. Mereka berdua tidak
datang untuk minta atau mengambil kue yang ada di atas meja yang disiapkan oleh guru
kursus. Ini adalah salah satu wujud orang tua Jepang mendidik anaknya dalam usaha
menerapkan sikap “meiwaku wo shinai koto”.
Selain itu, sikap mendasar yang melekat pada orang Jepang hingga kini, yaitu sikap
solidaritas, salah satu unsur nilai yang ada pada orang Jepang sejak ratusan tahun lalu dan
tetap masih berlangsung dalam kehidupannya hingga kini. Salah satu contoh sikap solidaritas.
Peristiwa bencana Tsunami dan gempa bumi di Jepang pada tanggal 11 Maret 2011 mereka
dihadapkan dengan berbagai krisis, termasuk krisis pangan. Seperti yang kita lihat pada
tayangan televisi, bagaimana orang Jepang tidak terlihat panik dan dengan rapi antri untuk
mendapatkan jatah atau pembagian makanan. Tidak ada satu orang pun yang menyerobot
keluar dari antrian belanja di super market atau antrian ketika akan naik kereta api di stasiun.
Mereka dengan sabar menunggu gilirannya. Begitu juga ketika saya pada malam harinya
menelepon seorang teman yang tinggal di Chiba untuk menanyakan kondisinya. Dia
menceritakan bagaimana panik dan ketakutannya ketika melihat tanah di depan apatemennya
terbelah sementara dia harus turun dari lantai 11 di apartemennya tanpa lift. Mereka masih
bisa makan, karena masih ada makanan yang bisa dibeli dan dimakan, karena kerusakan di
daerahnya tidak seperti kerusakan separah di Fukushima. Ketika saya tanyakan, apakah
dirinya sudah makan, dia mengatakan bahwa ia belum makan, karena orang-orang yang
terkena musibah di Fukushima juga belum makan. Sikap solidaritas ini bukan dibuat-buat,
8
tetapi memang sudah ada pada diri orang Jepang dan sudah tertanam pada dirinya sejak dia
mendapat pendidikan di rumah dan di sekolahnya. Sikap spontanitas ini membuatnya tidak
merasa tersiksa walaupun tidak makan.
Hubungan antaranggota kelompok di dalam kebersamaan menunjukkan . hubungan
saling bekerjasama sesuai dengan tugasnya masing-masing. Setiap individu melakukan
kegiatan atau aktivitas yang dapat membangun suatu kehidupan sosial yang sedang terkena
musibah sebagai usaha yang menunjukkan sikap solidaritasnya (Fukutake, 1997).
Kebersamaan yang didasari atas kesadaran yang tinggi terhadap kepentingan kelompok/
masyarakat Jepang, dapat dilihat dari bagaimana mereka berupaya untuk dapat meringankan
beban atau mental masyarakat terkena gempa akibat bencana alam. Pembagian kerja yang
dikoordinir oleh pemerintah bersama badan-badan penyelamat bencana terorganisasikan
dengan rapi sesuai dengan tugas dan kewajibannya masing-masing. Hal ini merupakan sistem
kehidupan kelompok dalam melakukan berbagai kegiatan yang diperlukan sebagai wujud
tanggung jawab masyarakatnya. Mereka berusaha keras menjalankan tugas dan kewajiban
sebagai tanggung jawabnya agar mereka yang terkena bencana dapat segera menjalankan
aktifitasnya seperti semula.
Hal ini menunjukkan, bahwa pada masyarakat Jepang sekarang ini masih terlihat
kental nilai moral budaya yang disampaikan oleh generasi terdahulunya dan diteruskan oleh
masyarakat Jepang modern dalam kehidupan sosialnya. Ada semacam pesan yang masih terus
berlangsung di dalam kehidupan masyarakat Jepang. Rasa kebersamaan merupakan satu
sikap yang dilakukan sebagai pengetahuan yang dimiliki dan berkembang sebagai
pengalaman yang dapat menyejahterakan kelompoknya. Tanggung jawab yang didasari
semangat bekerja sama dan gotong royong menunjukkan usaha mempertahankan harmoni
masyarakatnya sebagai harmoni bangsanya. Harmoni kelompok terwujud bukan dari hasil
keputusan seseorang yang secara ikhlas ditujukan untuk kepentingan kelompok dan bukan
pula yang dibuat kelompok sebagai usaha menyingkirkan pendapat-pendapat individu
sebagai anggota kelompok, tetapi harmoni yang terjadi dari sistem kerja gotong royong yang
menghasilkan solidaritas. Solidaritas adalah sikap yang ditimbulkan oleh keparcayaan,
perasaan, dan tingkah laku yang sama dalam menunjukkan kebersamaan
Di Jepang, hingga sekarang kegiatan kehidupan kelompok dalam menanamkan
tanggung jawab, saling menghargai, rasa kebersamaan, solidaritas dan sebagainya tetap
diajarkan pada anaknya sejak anak duduk di bangku sekolah sebagai pendidikan moral.
9
3. Kesimpulan
Suatu perilaku budaya diharapkan mempunyai kemampuan untuk menanggapi,
mengatur, dan mengarahkan tindakan-tindakan yang tidak teratur dalam membangun sebuah
konstruksi kehidupan sosial berdasarkan peristiwa yang dialaminya sebagai pengalaman di
dalam lingkungannya. Semua itu diperoleh dari orang-orang terdahulu dan dari sesamanya
melalui pendidikan baik di rumah, di sekolah maupun di lingkungan tempat tinggalnya.
Fenomena perubahan yang dialami masyarakat Jepang sekarang ini dapat dilihat dari situasi,
kesempatan, atau peristiwa yang sedang populer pada masanya. Adakalanya perubahan
memiliki kecenderungan menuju perkembangan yang menunjukkan sikap dan perilaku yang
bertentangan dengan menunjukkan sikap penolakan. Sikap penolakan ini tidak bersifat
universal dan tetap, tetapi lebih pada reaksi sikap berdimensi fungsi waktu, tempat, dan relasi
sosialnya. Dorongan perubahan yang terjadi tidak dapat dihubungkan dengan budaya yang
dibangun oleh seperangkat sistem yang diajarkan oleh orang tua kepada anak-anaknya
sebagai pengetahuan dan kepercayaan dalam menata kehidupan sosial di lingkungannya.
Kehidupan masa kini berkembang sesuai dengan gaya hidup, aktivitas, penggunaan bahasa
yang diasosiasikan oleh kaum muda sekarang hanya sebagai perubahan konstruksi sosial.
Namun, penanaman rasa kebersamaan dan solidaritas yang merupakan unsur yang
diperlukan dalam kehidupan masyarakat Jepang sudah mengakar sebagai budaya dalam
perilaku kehidupan sehari-hari melalui kerja sama dan berbagai kegiatan kelompok
disosialisasikan dalam tim kerja atau kelompoknya, dan melalui berbagai kegiatan. Hal ini
menunjukkan bahwa fondasi moral yang kuat pada orang Jepang sulit untuk mengatakan
bahwa orang Jepang sudah berubah.
Hingga kini, mereka tetap melaksanakan tugas dan kewajiban yang menunjukkan
hubungan saling menghargai agar tidak mengusik kepentingan pribadi orang lain. Perilaku
dan tindakan merupakan keseluruhan pemahaman yang merajut kehidupannya sebagai
budaya yang ada pada diri setiap individu. Setiap individu akan tetap melihat budaya sebagai
warisan yang ditradisikan dari generasi ke generasi berikutnya. Budaya yang ditradisikan dari
generasi ke genrasi ratusan tahun sebagai aturan sudah membentuk perilaku yang cenderung
menunjukkan sikap dan perilaku orang Jepang sukar berubah.
10
DAFTAR PUSTAKA
Barker, Chris
2000 Cultural Studies, Theory and Practice, Sage Publications
Benedict, Ruth
1979 The Chrysantthemum and the Sword, Tuttle Company, Tokyo: Japan
Enomoto, Hiroaki
1998 “Jiko” no Shinrigaku (Psikologi “Diri”). Saiensusha: Tokyo Fujihara,
Masamitsu.
1976 “Do u c h o u s e i n o Ha t t a t s u t e k i He n k a n i Ka n s u r u J i k k e n t e k i
Kenkyuu” (Penelitian Mengenai Perubahan Perkembangan Solidaritas) dalam
The Japanese Journal of Psychology, Vol. 47, No. 4 (Tokyo Touritsu Daigaku,
Tokyo).
Fukutake, Tadashi
1967 Japanese Rural Society, trans R. P. Dore. United Kingdom :
Oxford University Press
1997 Nihon Shakai No Koozoo (Struktur Masyarakat Jepang) Edisi 3. Tokyo Daigaku
Press: Tokyo.
Geertz, Clifford
  1973 The Interpretation of Cultures, Basic books, Inc, USA 
Nakane, Chie
1967 Tate Shakai no Ningen Kankei (Hubungan Individu dalam Masyarakat Vertikal).
Kodansho: Tokyo.
Shimizu, Yoshihiro (ed)
1991 Kodomoha dousoudatsunoka, Yuushikoudou Bunka: Tokyo
 
Temari adalah simbol perfeksionisme di Jepang. Temari kerap dijadikan buah tangan  yang diberikan saat berbahagia. Dahulu temari juga dikenal sebagai "bola kesayangan para ibu" . Di  sekitar tahun 1800 hingga 1950, temari adalah mainan yang dibuat untuk anak-anak.

Simbol kesempurnaan Di dalam simbol-simbol Cina, mutiara bercahaya sering tampak dalam cengkeraman naga. Mutiara adalah simbol kemakmuran atau pun kekuatan alam.  Dalam parade tahun baru di Cina, biasanya boneka naga diarak memanjang bersama bola hias. Di depan gedung-gedung di Cina sering tampak sepasang patung singa menjaga pintu masuk. Singa betina tampak memeluk anaknya sedangkan singa jantan mencengkeram bola.

Kemungkinan temari diilhami dari bola sepak kulit gantung pria dewasa yang  berasal dari Cina. Penggunaannya mirip dengan sandsack masa kini, namun digunakan untuk disepak, bukan ditinju. Bukti adanya permainan ini tercatat dalam kitab peradilan kerajaan tahun 644. Bentuk bola sepak gantung ini seperti gabungan dua bakpao yang ditangkupkan dan diikat menyatu. Kemungkinan bola itu berisi rambut kuda atau rangka bambu berbalut kulit kandung kemih binatang.

Dalam perkembangan selanjutnya, bola berkembang menjadi bola lempar mainan anak-anak . Ketika perang berkecamuk, anak-anak kerap bermain di halaman atau di dalam rumah.  Karena ditujukan untuk anak-anak maka bola dibuat dari gulungan kain bekas, tikar ataupun bahan rajut. Bagian terluar yang menjadi pembungkus adalah kain atau pun kertas yang dijahit rapih dengan beragam warna indah.

Para wanita kerajaan di abad ke-17 bahkan mengadakan kontes bola tercantik dengan menggunakan beragam warna dan corak hiasan termasuk menggunakan teknik sulam Jepang yang halus menggunakan benang sutera. Corak taman dan bunga serta pohon menjadi favorit sementara corak lain adalah pola geometris seperti yang kerap kita lihat saat ini. Temari dengan sulaman halus ini tampaknya meniru kesempurnaan hiasan dalam mutiara bersinar yang menyimbolkan kebahagiaan dan kemakmuran.

Di Jepang ada berbagai jenis temari; bola Kuke dari Hachinoe, Aomori yang merupakan bola kertas berlapis kain perca dengan patron yang kaya warna. Tipe lain adalah bola Tsugi yang dilapisi potongan kain berpola persegi panjang. Bola Goten dari Yamagata terbuat dari kertas dan katun berhias benang. Di masa lalu, bola-bola ini dibuat oleh para dayang istana dan digunakan sebagai alat permainan di lingkungan istana namun sekarang bola ini lebih dikenal sebagai mainan rakyat. Temari memiliki masa lalu yang glamour di istana dan perlahan berubah menjadi seni kerajinan rakyat dan kerajinan rumahtangga seiring dengan bergantinya waktu dan kehidupan istana yang lebih konservatif. 

"Mingei" berarti kerajinan rakyat. Temari termasuk bagian dari hal ini. Mingei adalah kerajinan rakyat yang dibuat berdasarkan tujuan tertentu, kegunaan, keindahan dan digunakan oleh banyak orang dan jarang dibuat oleh seniman atau pun ahli kerajinan tangan. Sebagai kerajinan rumahan yang dibuat oleh kaum ibu dan nenek untuk menghibur para balita, tradisi temari mulai memudar lebih karena produksi mainan bola karet dan plastik yang lebih modern. Untuk mencegah kepunahannya, kini temari diproduksi di seluruh Jepang, terbuat dari kertas, gulungan kain atau pun katun yang dibebat dengan kain ataupun benang serta dihiasi dengan sulaman. Bola bola itu sekarang lebih mementingkan kompleksitas desain dan dibuat lebih sebagai hiasan dan tidak dimainkan lagi.

 
Model SHAKUHACHI (seruling Jepang) yang dikenal masyarakat saat ini disebut “FUKESHAKUHACHI”, berasal dari zaman pertengahan era KAMAKURA. Pada zaman tersebut seorang biksu ZEN bernama Kakushin, belajar di negeri Cina dan mempelajari lagu SHAKUHACHI untuk menyampaikan ajaran FUKE, guru agama Budha aliran ZEN. Kakushin mempelajarinya dari seorang guru Cina, CHOSHIN, dan membawa pulang lagu dan alat musiknya ke Jepang. Sejak itu SHAKUHACHI digunakan sebagai alat penyebaran agama oleh biksu-biksu aliran HOTTOHA RINZAISHU, salah satu bagian dari aliran ZEN. Dari sejarah ini juga bisa diketahui bahwa semua lagu klasik SHAKUHACHI yang disebut “SHAKUHACHI KOTEN HONKYOKU (lagu klasik khusus SHAKUHACHI)” memuat ajaran agama Budha Zen. Ukuran panjang FUKE-CHAKUHACHI adalah kurang-lebih 54cm atau dalam satuan ukuran tradisional Jepang,1 SHAKU 8 SUN. Namun akhir-akhir ini ukuran panjang SHAKUHACHI bervariasi dan nada dasar ditentukan berdasarkan ukuran panjang tersebut.

SHAKUHACHI dibuat dari bambu, di bagian dekat akar, dengan diameter 3.5cm-4,0cm. Ada 5 lubang, 4 di bagian depan dan 1 di bagian belakang. Sisi dalam SHAKUHACHI digosok sampai halus, bahkan belakangan ini bagian dalamnya diolesi SHU-URUSHI (bahan pewarna alam berwarna merah) atau KURO-URUSHI (bahan pewarna alam yang berwarna hitam), agar menghasilkan suara yang halus dan indah. Dulu, bagian mulut SHAKUHACHI dipotong menyerong, tetapi sekarang pada bagian mulut dipasangi tanduk rusa atau kerbau supaya lebih kokoh. SHAKUHACHI merupakan seruling yang dapat menghasilkan warna suara yang bervariasi dan nada suara yang paling sensitif di antara seruling tradisional Jepang, baik seruling tiup samping (horizontal) maupun seruling tiup depan (vertikal). Oleh karena ciri khas itu SHAKUHACHI mempunyai posisi tersendiri di dalam alat musik tradisional Jepang.

 
Tentang sejarah KOTO

KOTO adalah alat musik yang menyerupai kecapi di Indonesia, disebutkan masuk ke Jepang sejak abad ke-7. Di masa itu, KOTO dimainkan sebagai salah satu bagian musik Istana. Formasi KOTO yang dimainkan sebagai alat musik tunggal, tanpa iringan alat musik lain, menjadi populer di masyarakat sejak abad 17. Pada abad 17 lahir maestro KOTO dan pencipta “HACHIDAN”(delapan babak)”dan “MIDARE” (lagu berirama lepas) YATSUHASHI KENGYO. Ia menciptakan pakem dasar untuk SOKYOKU (lagu-lagu KOTO).

Pada dasarnya musik tradisional Jepang memiliki 5 tangga nada, kurang 2 tangga nada dibandingkan dengan musik barat yang mempunyai 7 tangga nada “do re mi fa so la si”. Namun, musik Jepang tradisional juga menyerap beragam tangga nada lainnya sehingga menghasilkan irama yang sangat berbelit. Dasar-dasar musik istana atau musik aristokrat diciptakan dengan menggunakan nada “do re mi so la” atau “re mi so la si”. Cara ini disebut “YO-ONKAI” yang memiliki nada yang relatif riang. Sedangkan YATSUHASHI KENGYO membuat “HIRAJOSHI” atau nada datar yang di dalam tangga nadanya menggunakan “mi fa la si do” yang di antaranya ada semitone sebagai nada dasar. Nada ini disebut “IN-ONKAI” yang lebih sendu dan menggugah emosi sehingga masyarakat Jepang di jaman itu kerap terharu mendengarkan nada ini. Setelah YATSUHASHI KENGYO memperkenalkan “HIRAJOSHI”, SOKYOKU sangat berkembang dan dicintai sehingga diakui sebagai musik rakyat Jepang.

YATSUHASHI KENGYO bisa disebut sebagai pencipta SOKYOKU dan meninggal dunia pada tahun 1685. Jika kita menengok ke negara barat, Bach, yang dikenal sebagai pencipta musik barat lahir pada tahun saat YATSUHASHI KENGYO meninggal.

 

Seputar alat musik KOTO

Bagian badan terbuat dari “KIRI” atau kayu paulownia yang dilubangi bagian dalamnya. KOTO memiliki 13 dawai. Karena KOTO menggunakan 5 tangga nada maka dengan 13 dawai biasanya KOTO dapat menghasilkan sekitar 2.5 oktaf. Antara bagian badan dan dawai ada “JI” sebagai penyangga dawai. Jika “JI’ digeser maka hasil suara pun berubah. Mengatur nada (tuning), yang merupakan persiapan dasar untuk permainan Koto, juga dilakukan dengan menggeser posisi “JI”. Selain “HIRAJOSHI”, ada berbagai aturan nada(tuning) yang dikembangkan dari “HIRAJOSHI”.

Dengan menggunakan tangan kiri yang menekan dan menarik dawai, tangga nada dapat berubah atau pun menghasilkan suara bernuansa vibrato. Pada awalnya dawai dibuat dari sutera, tetapi zaman sekarang dawai juga menggunakan bahan lain seperti bahan sintetis. Pemain dapat menggunakan “TSUME” atau kuku palsu untuk 3 jari di tangan kanan. Pada dasarnya KOTO dimainkan dengan menggunakan “TSUME” yang terkadang digunakan pada jari lain atau pun pada jari-jari di tangan kiri. Di dalam lagu SOKYOKU terkadang ada juga suara nyanyian.

KOTO memang dimainkan bukan untuk mengiringi nyanyian, tetapi suara nyanyian juga dianggap sebagai salah satu jenis alat musik. Dalam artian, alat musik dan suara sama-sama dianggap berperan penting untuk menghasilkan musik. Di Jepang, sejak zaman dahulu hingga saat ini KOTO sering diibaratkan sebagai “RYU” atau “Naga” sehingga bagian-bagian alat musik ini juga dinamai “RYUKAKU” (tanduk Naga), “RYUKOU” (mulut Naga), “RYUBI” (ekor Naga), dll. Di berbagai negara di Asia, naga dihormati seperti dewa dan dianggap sebagai mahluk mitos spiritual tinggi. Dengan demikian bisa dibayangkan bila KOTO juga sangat dicintai oleh masyarakat Jepang.

 
Pertunjukan shamisen Shamisen atau samisen (三味線?) adalah alat musik dawai asal Jepang yang memiliki tiga senar, dan dipetik menggunakan sejenis pick yang disebut bachi.

Di dunia musik Jepang abad modern (kinsei hōgaku) seperti genre jiuta dan sōkyoku (sankyoku), shamisen dikenal sebagai san-gen (三弦, 三絃?, tiga senar), sedangkan di daerah Okinawa dikenal dengan sebutan sanshin (三線?).

 
Kabuki, sebuah seni teater asli dari kebudayaan Negeri Sakura, Jepang. Posting mengenai Kabuki ini saya ambil dari berbagai sumber. Kabuki merupakan seni teater tradisional dan budaya asli dari Negeri Sakura, Jepang, yang memiliki nilai seni cukup tinggi, karena Kabuki adalah seni teater yang menggabungkan antara Bernyanyi dan Menari. Kekhasan dari Kabuki ini adalah dari make up yang dipergunakan dan pakaian khusus yang super mewah.

Dari sumber yang saya dapat, banyak pendapat tentang penamaan adalah kabusu yang ditulis dengan karakter kanji 歌舞(kabu) dengan ditambahkan akhiran す(su) sehingga menjadi kata kerja 歌舞す(kabusu) yang berarti bernyanyi dan menari. Selanjutnya disempurnakan menjadi, Kabuki (歌舞伎) yang ditulis dengan tiga karakter kanji, yaitu uta 歌(うた) (lagu), mai 舞(まい) (tarian), dan ki 伎(き) (tehnik). Setelah melalui beberapa perkembangan akhirnya kabuki ditulis dengan tiga karakter kanji yaitu uta 歌(lagu), mai 舞(tarian), dan ki 妓(teknik) yang kemudian karakter kanji ki 妓 diubah menjadi ki 伎, sehingga kabuki ditulis menjadi Kabuki 歌舞伎(かぶき) yang sekarang ini. Penamaan Kabuki dengan menggunakan tiga karakter kanji di atas, dikarenakan tiga karakter di atas dianggap sesuai dengan unsur-unsur yang ada di dalam pertunjukan teater kabuki itu tersebut. Adapun pada awalnya karakter ki, ditulis dengan 妓 dikarenakan kabuki pada awalnya lahir dari seorang seniman wanita yang bernama Okuni 阿国(おくに) dari Kuil Izumo.

Musik yang dipergunakan dalam pertunjukkan Kabuki terbagi berdasarkan arah sumber suara. Musik yang dimainkan di sisi kanan panggung dari arah penonton disebut Gidayūbushi. Takemoto (Chobo) adalah sebutan untuk Gidayūbushi khusus untuk kabuki. Selain itu, musik yang dimainkan di sisi kiri panggung dari arah penonton disebut Geza Ongaku, sedangkan musik yang dimainkan di atas panggung disebut Debayashi.

Beberapa di antara istilah Kabuki diserap ke dalam perbendaharaan kata bahasa Jepang, misalnya:

  • Sashigane
Di atas panggung bila perlu adegan yang melibatkan aktor kabuki mengejar kupu-kupu atau burung, pembantu yang disebut Kōken (asisten di panggung yang sering berpakaian hitam) memegangi tongkat panjang yang diujungnya terdapat kupu-kupu atau burung yang disebut Sashigane. Dalam bahasa Jepang, istilah “Sashigane” digunakan dalam konotasi negatif “orang yang mengendalikan“.
  • Kuromaku
Di panggung pertunjukan Kabuki, malam dinyatakan dengan tirai (maku) berwarna hitam (kuro). Dalam bahasa Jepang, dalam istilah “sekai no kuromaku” (dunia tirai hitam) kata “kuro” (hitam) berubah arti menjadi “jahat“. Dalam bahasa Jepang “kuromaku” berarti Dalang seperti dalam arti “dalang kejahatan“.
Credits : id.emb-japan.go.jp
            en.wikipedia.org

 

Noh

6/9/2012

0 Comments

 
Noh atau No (Jepang:能 Nō) ialah bentuk utama drama musik Jepang klasik yang telah dipertunjukkan sejak abad ke-14. Noh tersusun atas mai (tarian), hayashi (musik) dan utai (kata-kata yang biasanya dalam lagu-lagu).Pelakon menggunakan topeng dan menari secara lambat. Zeami Motokiyo dan ayahnya Kan'ami membawa Noh kepada bentuk terkininya selama masa Muromachi.

Tipe drama Noh Potongan teater Noh diklasifikasikan dalam 5 kelompok.

  • Divine; pahlawannya bagaikan Tuhan, tokoh akhirat dsb. Pahlawannya berdoa di akhir drama.  
  • Shura-mono (Jawara); pahlawan (jarang pahlawati) ialah jawara, biasanya hampir mati.
  • Kazura-mono (Wanita); pahlawati dan sering romantika cintanya menjadi fokus.
  • Zatsu-no (Serbaneka) ; Noh yang tidak bisa dikelompokkan atas 4 kelompok lainnya.
  • Oni-noh (Oni; setan) ; bukan manusia, seperti oni, tengu, peri, singa ialah pahlawan dari jenis ini. Terutama dimainkan di akhir drama.
Pelakon Noh Biasanya, semua pelakon Noh ialah laki-laki. Kemampuan mereka telah dilatih ayahnya. Saat seorang wanita atau anak perempuan muncul di drama ini, aktor pria memainkan perannya dengan mengenakan topeng wanita.

Ada 3 macam pelakon Noh: shite, waki dan kyogen. Shitememerankan pahlawan maupun pahlawati. Ia berbicara, menyanyi, dan menari. Waki (berarti "pihak") berperan sebaai kawan Shite, dan biasanya memerankan peran pelancong di tempat tertentu. Ia memperkenalkan pemirsa dengan dunia drama. Kyogen muncul di pertengahan drama jika memiliki 2 bagian, dan berperan sebagai warga lokal. Ia berbicara kepada Waki dan menyuruhnya melihat apa yang belum dilihatnya sebelum pembicaraan mereka.

Musik Hayashi berarti instrumental musik, terdiri atas drum (Tuzumi, Taiko) dan seruling (Fue) yang biasa digunakan di teater.

 
Upacara minum teh (茶道 sadō, chadō?, jalan teh) adalah ritual tradisional Jepang dalam menyajikan teh untuk tamu. Pada zaman dulu disebut chatō (茶の湯?) atau cha no yu. Upacara minum teh yang diadakan di luar ruangan disebut nodate.

Teh disiapkan secara khusus oleh orang yang mendalami seni upacara minum teh dan dinikmati sekelompok tamu di ruangan khusus untuk minum teh yang disebut chashitsu. Tuan rumah juga bertanggung jawab dalam mempersiapkan situasi yang menyenangkan untuk tamu seperti memilih lukisan dinding (kakejiku), bunga (chabana), dan mangkuk keramik yang sesuai dengan musim dan status tamu yang diundang.

Teh bukan cuma dituang dengan air panas dan diminum, tapi sebagai seni dalam arti luas. Upacara minum teh mencerminkan kepribadian dan pengetahuan tuan rumah yang mencakup antara lain tujuan hidup, cara berpikir, agama, apresiasi peralatan upacara minum teh dan cara meletakkan benda seni di dalam ruangan upacara minum teh (chashitsu) dan berbagai pengetahuan seni secara umum yang bergantung pada aliran upacara minum teh yang dianut.

Seni upacara minum teh memerlukan pendalaman selama bertahun-tahun dengan penyempurnaan yang berlangsung seumur hidup. Tamu yang diundang secara formal untuk upacara minum teh juga harus mempelajari tata krama, kebiasaan, basa-basi, etiket meminum teh dan menikmati makanan kecil yang dihidangkan.

Pada umumnya, upacara minum teh menggunakan teh bubuk matcha yang dibuat dari teh hijau yang digiling halus. Upacara minum teh menggunakan matcha disebut matchadō, sedangkan bila menggunakan teh hijau jenis sencha disebut senchadō.

Dalam percakapan sehari-hari di Jepang, upacara minum teh cukup disebut sebagai ocha (teh). Istilah ocha no keiko bisa berarti belajar mempraktekkan tata krama penyajian teh atau belajar etiket sebagai tamu dalam upacara minum teh.


Sejarah Lu Yu (Riku U) adalah seorang ahli teh dari dinasti Tang di Tiongkok yang menulis buku berjudul Ch'a Ching (茶经) atau Chakyō (bahasa Inggris: Classic of Tea). Buku ini merupakan ensiklopedia mengenai sejarah teh, cara menanam teh, sejarah minum teh, dan cara membuat dan menikmati teh.

Produksi teh dan tradisi minum teh dimulai sejak zaman Heian setelah teh dibawa masuk ke Jepang oleh duta kaisar yang dikirim ke dinasti Tang. Literatur klasik Nihon Kōki menulis tentang Kaisar Saga yang sangat terkesan dengan teh yang disuguhkan pendeta bernama Eichu sewaktu mengunjungi Provinsi Ōmi di tahun 815. Catatan dalam Nihon Kōki merupakan sejarah tertulis pertama tentang tradisi minum teh di Jepang.

Pada masa itu, teh juga masih berupa teh hasil fermentasi setengah matang mirip Teh Oolong yang dikenal sekarang ini. Teh dibuat dengan cara merebus teh di dalam air panas dan hanya dinikmati di beberapa kuil agama Buddha. Teh belum dinikmati di kalangan terbatas sehingga kebiasaan minum teh tidak sempat menjadi populer.

Di zaman Kamakura, pendeta Eisai dan Dogen menyebarkan ajaran Zen di Jepang sambil memperkenalkan matcha yang dibawanya dari Tiongkok sebagai obat. Teh dan ajaran Zen menjadi populer sebagai unsur utama dalam penerangan spiritual. Penanaman teh lalu mulai dilakukan di mana-mana sejalan dengan makin meluasnya kebiasaan minum teh.

Permainan tebak-tebakan daerah tempat asal air yang diminum berkembang di zaman Muromachi. Permainan tebak-tebakan air minum disebut Tōsui dan menjadi populer sebagai judi yang disebut Tōcha. Pada Tōcha, permainan berkembang menjadi tebak-tebakan nama merek teh yang yang diminum.

Pada masa itu, perangkat minum teh dari dinasti Tang dinilai dengan harga tinggi. Kolektor perlu mengeluarkan banyak uang untuk bisa mengumpulkan perangkat minum teh dari Tiongkok. Acara minum teh menjadi populer di kalangan daimyo yang mengadakan upacara minum teh secara mewah menggunakan perangkat minum teh dari Tiongkok. Acara minum teh seperti ini dikenal sebagai Karamono suki dan ditentang oleh nenek moyang ahli minum teh Jepang yang bernama Murata Jukō. Menurut Jukō, minuman keras dan perjudian harus dilarang dari acara minum teh. Acara minum teh juga harus merupakan sarana pertukaran pengalaman spiritual antara pihak tuan rumah dan pihak yang dijamu. Acara minum teh yang diperkenalkan Jukō merupakan asal-usul upacara minum teh aliran Wabicha.

Wabicha dikembangkan oleh seorang pedagang sukses dari kota Sakai bernama Takeno Shōō dan disempurnakan oleh murid (deshi) yang bernama Sen no Rikyū di zaman Azuchi Momoyama. Wabicha ala Rikyū menjadi populer di kalangan samurai dan melahirkan murid-murid terkenal seperti Gamō Ujisato, Hosokawa Tadaoki, Makimura Hyōbu, Seta Kamon, Furuta Shigeteru, Shigeyama Kenmotsu, Takayama Ukon, Rikyū Shichitetsu. Selain itu, dari aliran Wabicha berkembang menjadi aliran-aliran baru yang dipimpin oleh daimyo yang piawai dalam upacara minum teh seperti Kobori Masakazu, Katagiri Sekijū dan Oda Uraku. Sampai saat ini masih ada sebutan Bukesadō untuk upacara minum teh gaya kalangan samurai dan Daimyōcha untuk upacara minum teh gaya daimyō.

Sampai di awal zaman Edo, ahli upacara minum teh sebagian besar terdiri dari kalangan terbatas seperti daimyo dan pedagang yang sangat kaya. Memasuki pertengahan zaman Edo, penduduk kota yang sudah sukses secara ekonomi dan membentuk kalangan menengah atas secara beramai-ramai menjadi peminat upacara minum teh.

Kalangan penduduk kota yang berminat mempelajari upacara minum teh disambut dengan tangan terbuka oleh aliran Sansenke (tiga aliran Senke: Omotesenke, Urasenke dan Mushanokōjisenke) dan pecahan aliran Senke.

Kepopuleran upacara minum teh menyebabkan jumlah murid menjadi semakin banyak sehingga perlu diatur dengan suatu sistem. Iemoto seido adalah peraturan yang lahir dari kebutuhan mengatur hirarki antara guru dan murid dalam seni tradisional Jepang.

Joshinsai (guru generasi ke-7 aliran Omotesenke) dan Yūgensai (guru generasi ke-8 aliran Urasenke) dan murid senior Joshinsai yang bernama Kawakami Fuhaku (Edosenke generasi pertama) kemudian memperkenalkan metode baru belajar upacara minum teh yang disebut Shichijishiki. Upacara minum teh dapat dipelajari oleh banyak murid secara bersama-sama dengan metode Shichijishiki.

Berbagai aliran upacara minum teh berusaha menarik minat semua orang untuk belajar upacara minum teh, sehingga upacara minum teh makin populer di seluruh Jepang. Upacara minum teh yang semakin populer di kalangan rakyat juga berdampak buruk terhadap upacara minum teh yang mulai dilakukan tidak secara serius seperti sedang bermain-main.

Sebagian guru upacara minum teh berusaha mencegah kemunduran dalam upacara minum teh dengan menekankan pentingnya nilai spiritual dalam upacara minum teh. Pada waktu itu, kuil Daitokuji yang merupakan kuil sekte Rinzai berperan penting dalam memperkenalkan nilai spiritual upacara minum teh sekaligus melahirkan prinsip Wakeiseijaku yang berasal dari upacara minum teh aliran Rikyū.

Di akhir Keshogunan Tokugawa, Ii Naosuke menyempurnakan prinsip Ichigo ichie (satu kehidupan satu kesempatan). Pada masa ini, upacara minum teh yang sekarang dikenal sebagai sadō berhasil disempurnakan dengan penambahan prosedur sistematis yang riil seperti otemae (teknik persiapan, penyeduhan, penyajian teh) dan masing-masing aliran menetapkan gaya serta dasar filosofi yang bersifat abstrak.

Memasuki akhir zaman Edo, upacara minum teh yang menggunakan matcha yang disempurnakan kalangan samurai menjadi tidak populer di kalangan masyarakat karena tata krama yang kaku. Masyarakat umumnya menginginkan upacara minum teh yang bisa dinikmati dengan lebih santai. Pada waktu itu, orang mulai menaruh perhatian pada teh sencha yang biasa dinikmati sehari-hari. Upacara minum teh yang menggunakan sencha juga mulai diinginkan orang banyak. Berdasarkan permintaan orang banyak, pendeta Baisaō yang dikenal juga sebagai Kō Yūgai menciptakan aliran upacara minum teh dengan sencha (Senchadō) yang menjadi mapan dan populer di kalangan sastrawan.

Pemerintah feodal yang ada di seluruh Jepang merupakan pengayom berbagai aliran upacara minum teh, sehingga kesulitan keuangan melanda berbagai aliran upacara minum teh setelah pemerintah feodal dibubarkan di awal era Meiji. Hilangnya bantuan finansial dari pemerintah feodal akhirnya digantikan oleh pengusaha sukses seperti Masuda Takashi lalu bertindak sebagai pengayom berbagai aliran upacara minum teh.

Pada tahun 1906, pelukis terkenal bernama Okakura Tenshin menerbitkan buku berjudul The Book of Tea di Amerika Serikat. Memasuki awal abad ke-20, istilah sadō atau chadō mulai banyak digunakan bersama-sama dengan istilah cha no yu atau Chanoyu.

Aliran upacara minum teh Lihat pula Referensi
 
Furoshiki adalah kain berbentuk segi empat dengan beragam warna dan corak yang kerap digunakan untuk mengemas, menjinjing dan menyimpan barang-barang. Kerap digunakan sebagai pembungkus hadiah, dibentangkan di lantai sebagai alas lantai atau pun sekedar menjadi dekorasi ruangan.

Awalnya furoshiki digunakan di rumah pemandian umum -pusat berkumpulnya masyarakat kalangan biasa – sebagai kain pembuntal pakaian dan perlengkapan mandi mereka yang pergi membersihkan diri di tahun 1600-an. Selanjutnya, penggunaan furoshiki sebagai kain pembuntal cepat tersebar seiring dengan meningkatnya aktifitas masyarakat di masa tersebut.

Pada perkembangan berikutnya, Furoshiki juga digunakan saat pesta pernikahan sebagai pembuntal seserahan. Kain yang digunakan umumnya bermotif burung bangau, kipas, pohon cemara dan ombak yang dipercaya akan membawa berkah dan kebahagiaan bagi penggunanya.

Belakangan ini pengunaan furoshiki untuk membuntal barang bawaan kembali dihidupkan sebagai gerakan untuk menjaga lingkungan sekaligus pengkajian kembali budaya tradisional Jepang. Sejumlah cara penggunaan yang inovatif pun bermunculan. Furoshiki menjadi lebih digemari dan semakin sering digunakan misalnya sebagai tas, sebagai pembungkus kado dan dekorasi interior.

Hal yang terpenting dari furoshiki ini adalah konsep ‘penggunaan’ yang berulang. Furoshiki tidak untuk digunakan sekali pakai. Menggunakan furoshiki juga berarti mengurangi penggunaan materi baru untuk pengemasan sekaligus mengurangi pengunaan kemasan yang berlebihan. Sebagai tambahan para penggunanya juga memberikan kontribusi bagi penghematan sumber energi.