Brakk,,,Aku membanting pintu dengan kencang. Aku pergi. Ibu memanggil-manggil aku,mengkhawatirkan aku. Aku habis berantem dengan kakakku. Terkadang aku menginginkan dia tidak ada. Tapi jika dia ada. Semua barang itupun tidak ada. Aku tidak tahu harus kemana akhirnya aku ke sebuah taman. Ada air mancur di sana. Aku seperti berhalusinasi. Saat aku melihat anak laki-laki yang berumur sepuluh tahun. Aku melihat ia seperti sedang mengukir namaku. Amelia Az-Zahra. Dan ketika aku melihat anak balita sedang bermain pasir. Aku melihatnya ia seperti mengukir dengan sebuah ranting namaku tapi menggunakan huruf katakana. Oh tidak aku sudah gila. Dua anak tadi pasti tidak tahu namaku. Jadi, mereka pasti tidak mungkin sedang mengukir namaku. Jika mereka tahu namaku, itu juga mengerikan. Buat apa mereka menulis namaku.

Untuk menghilangkan rasa stres ku aku menonton film. Pertarungan antara samurai dan ninja. Menang siapakah ini? Ninja begitu hebat. Bisa menghilang begitu saja dan memiliki senjata rahasia. Dalam pertarungan ini sang ninja kalah telak. Film terasa 3 dimensi. Aku serasa masuk ke dalam film. Memerankan tokoh wanitanya. Bajuku pun berubah. Aku memakai kimono. Walaupun atasnya tetap kerudung.Sang ninja entah pergi kemana. Meninggalkan sang samurai. Aku menatap sedih kepada sang samurai. Jagoanku justru kalah membuatku kecewa. Tapi aku lebih sedih lagi melihat darahnya. Ia pingsan. Tak kuat menahan sakit. Akupun membersihkan darahnya. Dan membalut tangannya serta punggungnya. Terakhir aku membalut perban di kepalanya. Seketika sang samurai bangun membuat aku kaget. Akupun mentup wajahku dengan lengan bajuku. Menyisahkan 2 bola mata ini. Untuk melihat apa yang terjadi. Akupun bergegas pergi. Tapi dia memegang tanganku satunya dengan erat. Ia menatapku samar-samar. Mungkin yang ia lihat hanyaa kimono sakura berwarna merah jambu. Ia berkata dengan tertatih. “A,,ri,,gatou gozaimasu” Aku pun terbang. Jangan-jangan di film ini aku memerankan menjadi siluman. Hohoho,,,sungguh tragis sekali. Siluman yang menyukai manusia. Pasti ia ditentang oleh seluruh siluman. Yapz dugaanku benar. Di kerajaan siluman mereka memusuhiku karena aku mencintai seorang anak manusia. Yang entah sejujurnya manusia itu menaruh perasaan padanya atau tidak. Kurasa saat itu ia hanya berterima kasih padaku.

Aku dikurung di sebuah menara merana. Sungguh menyedihkan. Tapi tiba-tiba ada seorang siluman datang ia adalah siluman burung elang ia menghampiriku “Siluman burung pipit. Benarkah kau mencintai orang lain” Aku mengangguk takut. Ia menatapku tajam. Bahkan jangan-jangan dengan tatapannya saja ia mungkin bisa membunuhku. Ia melanjutkan perkataannya. “Tahukah dirimu,wahai burung pipit sejujurnya orang tua kita telah menjuduhkan kita. Lihatlah cincin di jari manismu. Yang kuberikan saat umurmu 17 tahun dan liontin mu yang ku berikan disaat kau baru lahir. Dan aku berumur 4 tahun. Kukira selama ini kau mencintaiku tapi ternyata kau mengkhianati cintaku.” Aku menjawab cepat “Sarangheo oppa,Aku memang mencintaimu tapi itu dulu” Ia menunduk sedih “Kita menjalani masa kecil bersama, tertawa bersama,bahkan saat aku menangis kau selalu menghiburku, Saat kau tumbuh dewasa. Kau tumbuh menjadi laki-laki tampan. Tubuhmu menjadi perkasa. Aku mengagumimu. Banyak yang mengejar-ngejarmu. Tapi aku tahu hatimu selalu ada untukku. Kau selalu memberikanku sebuah novel tiap bulan dan kita selalu membaca bersama. Sampai suatu ketika. Rasanya aku begitu jauh darimu. Kau sibuk dengan tugasmu. Kau melupakanku. Tiap malam aku merindukan kehadiranmu. Terkadang sebulan sekali kau mengirimi aku, surat cinta yang indah. Begitu romantis. Dan saat itu kau hanya datang sekali padaku di suatu malam untuk mengajakku makan malam bersama. Saat itulah kau memberikan aku liontin. Tapi akhirnya kau tidak datang lagi padaku bahkan kau sudah tidak mengirimi aku surat. Aku begitu kesepian,aku begitu merindukanmu. Tapi kau tak pernah peduli padaku,kau begitu sibuk dengan tugasmu. Aku berfikir kalau sekarang saja kau sudah seperti ini. Bagaimana jika kita sudah menikah” Aku menangis. Aku melepaskan cincin itu. Cincin yang mengikatkan aku pada dirinya. “ Kakak,biarkanlah aku pergi. Mencari cinta sejatiku” Dia melepaskan aku dari menara itu “Pergilah dik,kau berhak menjemput cinta sejatimu.” Aku memluknya erat berharap ia tak akan melupakanku. “Oppa berjanjilah kau tidak akan melupakanmu” Aku menatapnya. Dia menjawab dengan tenang “Aku akan selalu ada dalam hidupmu dan pikiranmu jika kau selalu memikirkan aku dan tidak melupakanku” Aku menatapnya penuh hasrat. Aku menciumnya sekilas. Dan aku mulai terbang. Itu adalah ciuman pertamaku. Begitu sekilas.

Belum lama aku pergi. Aku telah merindukannya. Sekarang aku sudah sampai di desa itu. Desa laki-laki itu tinggal. Tapi sial aku lupa merubah wujudku. Penduduk desa menyerbuku. Aku sungguh ketakutan. Aku tidak tahu harus melakukan apa. Seekor pipit betina kecil tak pernah diajarkan kekerasan. Jadi aku tidak tahu bagaimana aku harus menyelamatkan diriku. Aku masuk ke sebuah rumah. Ternyata rumah itu adalah rumah samurai itu. Ternyata insting seekor burung pipit memang hebat. Samurai itu sedang tertidur nyenyak. Aku pun bersembunyi di balik tubuhnya. Dalam hitungan menit para penduduk desa itu akan kesini menatapku. Tiba-tiba samurai itu menatapku. Akupun meronta-ronta membebaskan diri. Dia terbangun dan berteriak. Aku pun ikut berteriak karna seluruh penduduk desa itu ada di kamar ini sekarang.

Penduduk itu pun marah. “Hai gadis siluman jangan kau goda samurai itu dengan kecantikanmu.” Aku hampir menangis. Aku tersekap. Mereka semua bekerja sama untuk membunuhku. Aku mengutuki diriku. Tadi saja aku di tahan di menara itu. Lalu seketika mereka ingin menyerangku “Aku pun memejamkan mata memegang liontin itu berharap sang kakak datang menolongku.” Aku membuka mataku. Aku tidak apa-apa. Seluruh warga di sini telah tumbang di bunuh samurai itu. Dia hebat sekali. Padahal waktu itu ia kalah melawan ninja. Lukanya pun sudah pulih untuk ukuran manusia seharusnya ia sembuh satu bulan. Ia menyeretku.

“Ayo kita lari sebentar lagi polisi datang,kau tidak mau ditahan di sebuah penjara kan?”

Dia menggendongku dan berlari cepat. Sangat cepat sekali. Ia bahkan terlihat seperti ninja. Akhirnya kami bersembunyi di sebuah goa di kaki gunung. Goa itu dingin sekali. Kami membuat api unggun. Samurai itu siap siaga,ia berbisik “Ada yang datang.” Ternyata ninja itu datang. Entah untuk apa ia datang. Bukankah ia sudah menang. Ia pun berteriak “Aku mencium bau siluman di sini. Misi ku kali ini adalah mengurung siluman itu. Aku sih lebih suka membunuhnya. Tapi kaisar menginginkanmu hidup-hidup. Sepertinya kau akan dijadikan permaisuri” Aku bergidik, ternyata lebih menyenangkan dikurung di menara saja. Setidaknya aku tidak bertemu dengan kumpulan laki-laki seperti mereka ini.

Sang samurai membelaku “Jika kau ingin membawa gadis ini,kau harus mengalahkanku” rupanya samurai ini begitu polos sampai sekarangpun ia menganggapku seorang gadis. Padahal aku siluman burung pipit,tidak ada gen gadis sama sekali. Mungkin karena aku menyerupai seorang gadis. Ia jadi masih berfikiran seperti itu. Ninja itu tertawa terbahak-bahak “Mengalahkanmu? Hahaha,,,tentu saja itu mudah bagiku.” Aku lupa kemaren sang samurai pun kalah. Sekarang ia pun terus-menerus menjadi bulan-bulanan. Tapi tiap kali dia menatapku. Ia bangkit dan mengelaurka jurus samurainyaa. Tapi sayang ninja itu entah ada dimana, pakaian hitam-hitamnya membuatnya mudah bersembunyi. Yang ada aku yang malah berdarah.ckkk,,,

Samurai itupun menyuruhku lari. Aku berlari dengan cepat. Dan mencari tempat persembunyian. Tapi ninja itu tetap bisa menemukanku. Aku di bawanya pergi. Awalnya aku di kurung beberapa hari akhirnya aku pun di bawa ke sebuah istana yang megah. Akupun bertanya nasib samurai. Ternyata ia telah mati untuk menyelamatkan aku,Aku juga bertanya kenapa beberapa hari yang lalu sang ninja,melawan samurai. Ia menjawab dengan tenangnya “Kemaren aku memiliki misi untuk melawan samurai. Ternyata mudah sekali.”

Kaisar memberikanku pada pangerannya. Pangeran itu tampan. Ia jago memainkan samurai,panah,berkuda,bahkan terkadang ia belajar dari ninja juga jadi ia memiliki senjata rahasia. Aku dinikahkan dengan pangeran itu. Ternyata mereka lupa aku samurai.

Hari-hari di istana begitu menyenangkan. Pangeran membawaku berkeliling kota dengan kudanya. Kami melihat banyak festival. Aku juga menghadiri latihan pangeran. Ia begitu pandai memanah. Dia juga begitu romantis. Tiap malam ia selalu membacakan aku puisi cinta. Tapi entah mengapa aku jadi teringat Elang. Aku menatap liontinku. Bergambar burung elang dan burung pipit. Pangeran memperhatikanku ia pun memegang liontin itu. Ia bertanya penuh selidik “Dari siapa?” Aku hanya menjawab singkat “Dari ibuku” Dia masih memperhatikan liontinku. “Liontin yang bagus esok aku akan membelikannya juga untukmu. Tapi Burung elang ini terlihat seperti laki-laki.” Aku menjawab cepat “Kalau begitu itu diibaratkan ayahku. Mungkin agar aku tidak lupa dengan ayahku. Oh ya kau tidak perlu membelikanku liontin. Memakai dua-duanya pun malah terlihat lucu. Lagipula cincin pernikahan yang kau pakaikan di jari manisku juga itu sudah cukup” Sang pangeran masih meminta “Tapi aku ingin menatap liontin ku seakan-akan kau terus merindukanku” Aku tertawa renyah “Kalau begitu aku akan menatap cincinku seakan-akan aku sedang merindukanmu” Dia tetap tidak setuju. “Tidak,kalau kau menatap cincin itu malah kau seolah-olah menyukai cincin itu bukan diriku. Pokoknya besok kau harus mengenakan liontin dariku” Aku menghela nafas “Ok baiklah kau menang,kau puas?” Aku melempar bantal ke arahnya. Ia pun melempar ke arahku dan akhirnya kami jadi perang bantal.

Pagi hari yang cerah ia mengenakan liontin itu ke leherku. Jadilah aku mengalungkan dua kalung sekaligus. Yang satu pendek dan yang satu panjang. Liontin baruku panjang dengan inisial namanya dan inisial namaku. Background liontin itu hati. Dan ternyata bisa di buka. Ketika dibuka terdengarlah suara pangeran menyanyikan lagu cinta untukku. Aku dan pangeran pergi ke hutan untuk berburu. Biasanya ia memburu burung-burung. Akupun melarangnya. Dan memintanya memburu yang lain saja. Dia pun menurut. Aku menunggang kudaku sendiri. Tapi aku kehilangan dirinya. Aku berteriak-teriak memanggilnya. Aku takut sekali.

Tiba-tiba ada harimau muncul kudaku panik. Ia berlari kencang. Tapi malah mengarahkan aku ke sarang harimau. Aku hampir menangis berharap ia segera datang. Tapi harimau itu menyergapku dan meloncat ke arahku. Untunglah seseorang datang. Dia membunuh semua harimau itu. Tanpa senjata. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Tarzan. Ia membawaku ke rumahnya. Aku masih mencari-cari suamiku. Rumah Tarzan begitu tinggi. Aku mendengar suara letusan peluru. Itu pasti dirinya aku berlari menaiki kuda ternyata Tarzan juga mengikutiku dengan meloncat dari dahan pohon yang begitu tinggi. Dahan itu lebih mirip tali jadi memudahkannya untuk meloncat. Aku menemukan suamiku dengan seekor harimau. Suamiku,Yoshi Kakinya berdarah. Banyak sekali darah itu keluar. Aku menangis melihatnya. Ia menatap tajam ke arahku “Siapa laki-laki itu,apa dia melukaimu,atau tadi kau diculik olehnya” Aku menggeleng “ Tidak justru ia yang akan menolong kita.” Aku pun membalut lukanya dengan merobek bajuku. Untunglah kimono musim panas ini mudah di robek. Ia tidak setuju aku merobek baju ini. “Kenapa kau merobeknya. Laki-laki itu bisa melihat tanganmu” Lalu ia melepaskan yukatanya dan memakaikanya kepadaku. Sang Tarzan sudah sedari tadi melawan harimau itu. Aku memujinya. “Sang tarzan itu hebat sekali ya. Bisa melawan harimau itu tanpa senjata. Bahkan tadi dia menolongku dari serbuan beribu-ribu harimau” Ia pun langsung menyela “Tidak biasa saja. Aku pun bisa mengalahkannya andai aku tadi tidak terlalu panik kehilanganmu. Kemana saja kau? Atau jangan-jangan tadi kau melihat si tarzan itu lalu kau mengikutinya karena tertarik.” Akupun marah “Kau cemburu padaku ya?” ia memalingkan wajahnya “Tentu saja aku tidak cemburu padamu. Dan kenapa aku cemburu pada gadis sepetimu?” Mukaku semerah kepiting rebus darahku naik sampai ke rambut-rambutku. Tapi untungnya tarzan itu menengahi kami dengan berkata “Apa kalian ingin mampir  dulu ke rumahku untuk istirahat sejenak. Lagipula lukamu belum pulih tuan. Aku bisa memberimu obat di rumahku.” Dengan cepat suamiku menolak. Tapi aku pun meminta obat itu. Yoshi tambah marah padaku. “Bagus jangan-jangan kau menyukainya. Jadi,kau ingin berlama-lama di sini bersamanya.” Akupun tersenyum”Akuilah kau cemburu pada gadis manis ini kan” Ia memalingkan wajahnya. Tarzan itu datang membawakan obatnya. Aku membalurkannya pada kaki suamiku. Ia pun menolak dan ingin membalurkannya sendiri. Tapi terasa begitu panas. Dia pun marah-marah pada sang tarzan “ Apa yang kau berikan ini? Kau ingin membunuhku agar bisa memiliki istriku ya?” Dengan tergesa-gesa Tarzan itu menjawab “Tidak tuan, memang seperti itu rasanya. Tapi dijamin dalam satu jam kakimu akan sembuh dan kau bisa jalan. Efek sampingnya adalah kaki tuan akan terasa panas.”

Dengan hati-hatiku oleskan obat itu. Dia hanya merintih. Aku dan Tarzan itupun menaikkannya ke kudanya. “Ai kau harus naik ke kudaku juga. Aku takut kau lebih memilih tinggal di sini.” Aku pun menertawakannya dan meledeknya “Haha,,, Yoshi cemburu,,,cemburu,,,cemburu.” Begitu terus sampai akhirnya dengan kesal ia mengakuinya. “Ya aku memang cemburu karena aku begitu mencintaimu sampai-sampai aku tidak ingin ada orang lain memilikimu.” Kami pun berhenti di sungai ia merasa kaki nya begitu panas. Ia ingin menceburkan kakinya. “Yoshi,aku takut kakimu kenapa napa. Aku memegang kakinya. Agar ia tidak menceburkan kakinya. Sembentar lagi satu jam. Bersabarlah. Jika kau celupkan ke air aku takut. Kau jadi tidak bisa jalan untuk selamanya. Tapi walaupun kau sudah tidak bisa jalan aku akan tetap mencintaimu. Dia terharu akhirnya ia memutuskan bersabar walaupun kakinya terasa begitu panas aku pun mengipasinya. Tapi masih tetap panas. Sekarang ku rasa kepalanya yang panas. Aku mengompres kepalanya. “Yoshi bertahanlah,jangan tinggalkan aku,aku tidak ingin hidup tanpamu.” Yoshi hampir pingsan tapi karena mendengar suaraku dan merasakan air mataku jatuh ke pipinya. Ia pun mengenggem tanganku kuat “Bodoh,aku tidak akan mati semudah itu. Tapi biarkanlah aku tertidur sebentar agar aku tidak merasakan rasa panas ini.”

Aku semakin panik “Tapi bagaimana jika kau benar-benar tak akan kembali lagi?” Yoshi pun tersenyum. “Aku berjanji akan kembali. Tapi jika aku begitu tidak kuat menahan panas ini. Dan jika aku tidak kembali ke pelukanmu. Berjanjilah kau akan menatap liontin itu dengan penuh kerinduan.” Aku memeluknya “Yoshi,kau tidak boleh berkata seperti itu,itu lebih seperti terdengar pesan terakhir. Kau hanya bercandakan? Katakanlah kau hanya bercanda.” Aku menangis, menjerit, dan memeluknya begitu erat. Berharap ia tidak akan pergi meninggalkan aku. Aku bingung harus bagaimana. Apa sebaiknya aku berikan air saja ke kakinya. Tak masalah jika ia tidak bisa berjalan. Tapi akan menjadi masalah besar jika ia meninggal.

Aku menyeburkan dirinya ke sungai aku pun ikut menyeburkan diri ke sungai. Aku terus menangis,memeluk dirinya erat-erat tidak ingin di tinggalkan. Seketika ia tertawa “Haha,,,Ai begitu mencintaiku sampai-sampai ia tidak ingin kutinggalkan. Aku pun melepaskannya. Sial ternyata dia sudah sembuh dari tadi. Aku di tipu. Aku pun terus diledek olehnya dengan kata-kata tadi. Sampai akhirnya aku mengakuinya karena aku bosan ia berkata seperti itu terus menerus tanpa bosan,tanpa rasa capai. “Ya kau memang cinta sejatiku karena aku begitu mencintaimu sampai-sampai aku tidak ingin kau meninggalkanku untuk berpisah denganku.”

Dia pun memelukku dan aku mendekap tangannya. Kami pun pulang ke peraduan kami. Esok paginya ayahanda dan ibunda datang. Inti kedatangan mereka adalah mereka menginginkan seorang cucu laki-laki. Yoshi tersenyum manja padaku. Akupun lari dan ia mengejarku.

***

Ternyata aku sudah mengandung anaknya. Ayahanda dan ibunda begitu senang ia memperlakukanku bagai seorang putri raja. Sekarang aku memang seorang putri. Semua yang kuinginkan dan yang ku perlukan di penuhi. Bahkan sampai yang tidak kuminta. Dan yang tidak kubutuhkan. Yoshi sudah menjabat menjadi raja menggantikan ayahnya. Sekarang aku menjadi permaisuri. Aku mengidam yang aneh-aneh. Tapi yang aku butuhkan lebih dari apapun adalah keberadaan Yoshi sekarang karena ia menjadi Raja ia sibuk berperang. Menyedihkan. Sekarang ia sudah seperti  Elang dan mungkin akan benar-benar menjadi seperti Elang. Ia akan jarang menemuiku. Bahkan yang paling pahitnya adalah ia akan melupakanku. Dan mereka sudah tidak ada dalam pikiranku dan hidupku. Aku menangis. Aku menatap kedua liontin itu. Burung elang dan pipit,serta Inisial A & Y dan yang lebih menyenangkanya adalah ketika aku membuka hati ini. Akan terdengar suara Yoshi bernyanyi,merdu sekali. Lagu cinta untukku. Romantis sekali seperti Elang yang selalu memberikan puisi cinta padaku bedanya Aku yang harus membacanya. Dan kini aku merindukan Yoshi tepat seperti dulu aku merindukan Elang. Bedanya dulu aku tidak menikah dengan Elang dan belum mengandung seorang anak. Dulu aku hanya tunangan. Sekarang permintaan mereka berdua agar aku menatap kedua liontin serta memikirkan mereka berdua juga sudah lengkap. Aku pun mengantuk aku tertidur.

Aku bermimpi buruk kota dalam keadaan kacau balau. Kebakaran ada di mana-mana. Aku berusaha melindungi anakku dalam gendonganku. Untunglah Yoshi datang untuk memberikan tempat yang aman padaku. Dia menggendong Hatori dengan sangat erat. Saat itu aku merasa jauh dari mereka berdua.

 Sudah bulan kesembilan. Yoshi benar-benar akan melupakanku seperti Elang yang sudah melupakan aku. Aku pasrah melahirkan anak ini tanpa Yoshi. Bahkan aku malah berfikir kelahiran anak ini tidak di inginkan ayahnya. Yoshi hanya ingin membuat senang kedua orang tuanya. Aku menangis sedih. Aku pun terbayang wajah Yoshi yang kalah perang. Dan sembentar lagi ia akan meninggal. Aku merasa lebih sedih lagi. Yoshi jangan tinggalkan aku. Aku menangis lebih hebat dari pada tadi. Aku melahirkan sambil menangis. Tiba-tiba ada tangan lembut. Yang menghapus air mataku. Tangan ini seperti tangan Yoshi dan memang benar dia adalah Yoshi. Aku gembira ia datang di saat yang penting seperti ini.

Dia mengusap perutku. Dan memberiku semangat untuk mengeluarkan sang bayi. Sang bayi pun lahir. Dan kuberi nama Hatori. Burung Merpati. Yoshi mencium anak kami. Dia bangga memiliki anak ini. Hatori tumbuh cepat. Baru beberapa bulan ia sudah bisa berjalan. Bahkan kini ia sudah bisa terbang. Ketika Yoshi pulang. Ia melihat Hatori sedang terbang aku gugup,dan begitu takut. Bagaimana jika akhirnya mereka sadar Hatori setengah siluman, dan setengah manusia. Hatori terbang ke arah Yoshi, tersenyu, dan mengatakan “Chichi.” Ia berkata dengan sangat jelas. Yoshi menatap Hatori dengan penuh terpesona. Lalu ia memeluknya “Huwaa,,,anakku sudah bisa memanggilku. Ibumu memang hebat mengajarimu”

Yoshi harus tahu ini, cepat atau lambat ia pasti akan mengetahuinya “Yoshi, apakah tadi kau tidak melihat Hatori terbang?” Yoshi mengangguk “Ya,sangat jelas sekali,rupanya ia sudah bisa terbang,hebat.” Dia masih mengangguk-angguk penuh kebanggaan. “Kau tidak marah anakmu setengah manusia,setengah siluman.?” Ia menatapku,tersenyum “Aku akan marah jika ia murni siluman. Itu artinya kau telah mengkhianati cintaku.” Aku menjawab dengan tenang “Kukira kau sudah lupa bahwa aku siluman.” Dia pun menjawabnya dengan mengelap samurainya. “Aku justru menikahimu karena kau siluman.  Aku melihatmu sedang dikejar-kejar oleh penduduk desa. Tadinya aku ingin menolongmu. Tapi aku tidak menemukanmu bersembunyi dimana. Jadi aku meminta ayah menikahkan dirimu denganku. Awalnya ia menolak tapi karena aku anak satu-satunya. Dan jika keinginanku tidak dikabulkan aku meminta mengundurkan diri untuk jabatan menjadi Raja. Maka dari itu ia langsung mengabulkannya. Jadi, berjanjilah. Agar kau hanya menjadi milikku saja.”

Aku merajuk “Aku akan berjanji jika kau juga berjanji tidak akan meninggalkan aku dan Hattori. Jika,kau meninggalkan kami berdua maka aku akan benar-benar pergi dari hidupmu.” Dia memelukku dan Hatori “Oke sekarang kita berjanji” Aku masih belum puas “Tunggu,bagaimana jika kau sedang kerja,bukankah sama saja kau sedang meninggalkan aku?” Ia pun tertawa “Hai,ayolah aku kan hanya meninggalkanmu sebentar bukan untuk selamanya.” Aku masih merajuk “Kalau begitu aku akan pergi dari hidupmu sebentar.” Sekarang ia yang tidak setuju “Hai aku kan pergi untuk bekerja bukan untuk bermain.” Aku diam. Dan dia berkata “Berjanjilah kau dan Hatori akan tetap berada disini.” Aku pun pergi ke halaman belakang bersama Hatori. Ia mengikutiku. “Hai kau mau lihat latihan samuraiku?” Aku pun terduduk dengan Hatori. Ia memainkan dengan sangat indah “Hatori cepatlah dewasa agar aku bisa mengajarkanmu menggunakan samurai ini.

Anak yang merasa di tantang itu akhirnya terbang dan memegang samurai satunya. Aku dan Yoshi terpana. Lalu mereka berdua pun duel. Hebat sekali. Hatori pun  di ajaarkan naik kuda, dan memanah. Hebat bahkan anak itu baru beberapa bulan usianya. Yoshi akan berburu dan mengadakan agresi di kerajaan selatan. Jadi,ia akan meninggalkan aku dan Hitori lagi. Aku sangat sedih dengan kepergiannya. Sebulan kemudian aku mengandung anaknya lagi. Ibunda yang khwatir terhadapku membawa ke Istana sebelah barat. Tempat peristirahatannya. Di sana aku begitu diperhatikan,dan di jaga baik-baik. Kandunganku berusia 4 bulan saat itu. Tapi perutku sudah begitu membesar. Nenek Yoshi datang. Ia melihat ke adaanku. Hatori merengek mengajakku ke alun-alun. Tapi sayangnya perutku begitu sakit sehingga tidak bisa membawanya ke alun-alun kota. Aku menyuruh para dayang untuk mengajak Hatori ke alun-alun. Tapi Hatori berulah dia terbang seenaknya. Karena ia dilarang terbang akhirnya ia mengamuk. Ia menghembuskan api dari mulutnya. Rumah warga di bakar semua. Neneknya Yoshi panik. Ia ke kamarku dan memarahiku. Ia baru tahu aku dan anaku siluman. Ia mengutuki aku dan anakku. Lalu ia mengusirku. Seluruh penduduk desa marah. Ia ingin membunuh Hatori. Aku bangkit menahan rasa sakitku,terlebih rasa sakit hatiku. Aku berlari ke alun-alun kota. Hitori tidak ada di sana. Salah satu dayang mengatakan Hitori ada di sebuah desa. Diarak oleh warga. Aku berlari ke desa. Aku menangis. Aku takut terjadi apa-apa pada Hatori.

Aku melihat Hatori diikat di sebuah kayu dan di bawahnya ada api. Ia merintih kepanasan. Sembentar lagi ia kepanasan. Aku menangis. Seluruh warga ingin melemparkan batu padanya. Aku mengeluarkan kekuatan. Dan mengeluarkan angin ribut dalam diriku. Aku terbang melepaskan Hitori. Untuklah belum ada batu yang mendarat dalam tubuhnya. Aku membuat kota itu hancur lebur. Aku melarikan diri ke sebuah gunung dan bersembunyi di dalam goa. Aku menangis terisak. Saat itu datanglah Elang. Mengusap air mataku  dan merangkulku. Saat itulah datang Yoshi. Ia sudah tau apa yang sudah terjadi di desa. Karena para ninja itu memberitahunya. Terlebih ninja itu mengatakan aku ada di goa ini.

Yoshi melihatku dalam pelukan orang lain. Ia begitu marah sampai-sampai akhirnya mereka berdua berantem. Begitu seru. Yoshi yang sudah memiliki senjata rahasia para ninjapun. Bisa menyeimbangkan kekuatan siluman Elang. Tapi sayang ia hampir kalah. Aku pun menyudahi perkelahian itu. Aku memeluk Yoshi yang mengeluarkan darahnya dari mulut. Ia hampir tewas. Atau memang ia sudah tewas. Aku menangis sedih. Aku tidak bisa menerima kenyataan dirinya tewas. Maka akupun mengeluarkan kekuatanku utuk menghidupi Yoshi. Elang melarangku. “Jangan Ai. Kau akan kehilangan kekuatanmu. Bahkan kau tak akan bisa membela dirimu sendiri saat dibutuhkan. Bahkan karena kau terlalu lemah kau bisa sakit-sakitan terus. Dan umurmu berkurang setengahnya. Jika itu terjadi aku akan sedih. Kita tidak akan bersama suatu saat nanti.”

“Tidak Elang biarlah aku hidup setengahnya asalkan aku hidup bersama Yoshi.” Elang tertunduk, ia sedih karena belahan jiwanya mencintai orang lain. Ia sedih melihat belahan hatinya tak akan bahagia walau hidup bersamanya. Suatu saat jika mereka berdua bersatu. Ai akan tetap sedih dan merindukan Yoshi. Tiap hari ia akan selalu dalam bayang-banyagnya. Ia melihat dua liontin di leher Ai. Liontin pemberian laki-laki itu dan pemberianku. Setidaknya Ai tidak melupakanya. Elang pun menghilang. Ia pergi ke dunia siluman. Mencari bagian dari hidupnya yang belum ia temukan. Mencari sekeping hatinya lagi yang entah ada di mana. Ia mengucapkan selamat tinggal dengan lirih kepada Ai. Tapi Ai begitu sibuk dengan Yoshi. Elang pun mengecup kening Hatori. “ Kau adalah pahlawanku nak.”. Lalu Elang benar-benar menghilang yang tertinggal hanyalah sebuah kabut. Dan burung Elang yang terbang melintasi awan. Hatori melambaikan tangannya.

Ai masih sibuk dengan Yoshi,memluknya,mengecupnya dan memberikan sebagian jiwanya. Yoshi terbangun tapi kini Ai yang jatuh pingsan. Yoshi mengangkat tubuh Ai. Dia membawa mereka berdua pulang. Di peraduan ia begitu merawat Ai yang terus sakit-sakitan. Neneknya Yoshi datang marah-marah. Karena Ai dan Hitori masih ada di istana itu. Yoshi diam saja tak menggubris. Sampai pada akhirnya saat Hitori memainkan bola yang sangat besar sembari terbang. Nenek itu datang. Dan memukul Yoshi dengan kencang. Yoshi yang belum pernah dipukul, dan sekalinya di pukul ia dipukul dengan sangat kencang sekali. Ia menangis,meronta dan menjerit. Yoshi mendengar suara anaknya. Dan akhirnya ia melihat darah dagingnya sedang dipukuli oleh neneknya sendiri. Mata Yoshi dipenuhi api kemarahan. Dia merebut Hatori dari tangan sang nenek. Tubuh Hatori biru legam,yang bila disentuh tanpa tekanan pun akan membuatnya menjerit kesakita.

Yoshi begitu marah besar sampai akhirnya. Ia menaruh tahta nya. Ia pergi dari istana bersama anak dan istrinya. Serta membangun rumah di puncak gunung. Ayah Yoshi begitu marah. Dan memohon kepada Yoshi untuk pulang dan menjadi Raja lagi. Yoshi tetap menolak sampai sang nenek datang meminta maaf pun ditolak. Bahkan walaupu sang nenek membantu mengobati Hatori dengan obat yang membuat luka Hatori langsung sembuh dalam hitungan satu detik pun Yoshi tetap menolak. “Nek mungkin luka di kulit anak saya bisa sembuh tapi luka di hatinya tidak akan pernah sembuh” Sang nenek masih bersi keras “Walaupun dengan pelukan?” Yoshi masih menegaskan “Yah. Walau dengan pelukan.” Sang nenek pun menangis meratapi apa yang telah ia lakukan. Ia menatap tangan keriputnya dengan tatapan dingin. Lalu ia berkata “Kalau tanganku begitu bersalah sampai- sampai kau tidak ingin memaafkan diriku biarlah tanganku dipotong saja. Tapi mengertilah nak. Kerajaan kita sedang di serang sekarang. Pihak musuh memanfaatkan kerenggangan jabatan ini untuk mengalahkan kita. Kalau kau masih memiliki hati nurani. Maka kembalilah ke kerajaan nak. Dan bertarunglah menolong kami. Mungkin nenekmu begitu bersalah. Tapi jangan biarkan warga kota dan desa yang tidak bersalah ikut terkena imbasnya.”  Yoshi menunduk. Akhirnya aku mengatakan juga. “Sayang bertarunglah demi warga desa yang tidak mengerti apa-apa itu. Bertarunglah demi aku, anak kita,nenek ibunda,ayahanda dan kita semua.

Yoshi pun akhirnya berperang. Kami semua kembali kekota. Aku di urus oleh ibunda. Dan Hatori diasuh oleh nene buyutnya. Tampanya ia berlimpahan kasih sayang. Sampai-sampai mungkin ia akan melupakan aku.

***

Kandunganku sudah memsaki bulan ke sembilan. Suatu hari aku bermimpi Elang datang kepadaku. Dia begitu merindukanku. Dia berkata kepadaku anakku seorang wanita. Ia adalah burung pipit kecil yang lucu,manis dan cantik, begitu mirip denganku. Elang tidak bisa hidup tanpaku tiap hari perasaan rindunya kian menambah hingga akhirnya ia datang kesini untuk meminta burung pipit kecilku.

Aku terbangun. Kini perutku begitu sakit,melilit, aku seperti ingin melahirkan, ternyata pipit kecilku ingin cepat-cepat bertemu Elang. Pipit kecilku pun akhirnya lahir juga. Sesuai keinginan Elang. Ia datang kepadaku untuk meminta dirinya mengasuh pipit kecil. Aku hanya bisa mengikhlaskannya. Dia pun pergi membawa putri kecilku. Yoshi dan keluarganya begitu tampak merasa sedih. Aku hanya bisa menenagngkan dengan berkata “ Dia akan baik-baik saja. Dia menjadi pipit yang lucu dan lincah”

Bertahun-tahun telah berlalu. Kini Hatori sudah menjadi seorang ksatria. Dia adalah pangeran kecilku yang gagah berani. Tapi tragedi itu terjadi. Saat aku mengandung anak ketiga. Kerajaan kami diserang. Kota hancur lebur. Pertahanan kami semakin mundur. Semuanya kacau balau. Aku diungsikan ke suatu tempat. Tapi aku tidak bisa meninggalkan Yoshi dan Hitori. Mereka semua dalam bahaya. Malaikat maut mengintai mereka. Nyawa mereka sedang di pertaruhkan. Bagaimana bisa aku hanya duduk tenang di suatu tempat sedangkan mereka dalam bahaya. Kalaupun kami harus mati. Kami harus mati bersama. Atau setidaknya aku bersama mereka di saat-saat terakhir mereka.

Aku pun menggabungkan diri dengan mereka. Membantu mereka untuk melawan musuh. Aku sudah memiliki kemajuan. Walaupun aku kehilangan kekuatan. Tapi aku masih memiliki kemampuan untuk melawan mereka. Tapi ketika sebuah samurai melintas ke tubuhku. Hatori datang ia menyelamatkan aku dengan nyawanya. Aku terpaku melihat semua ini. Aku tidak mempercai ini. Aku yang datang untuk menolong mereka,ternyata hanya membuat mereka kehilangan nyawa. Ternyata benar perkataan Yoshi saat itu. Melawan musuh sembari melindungi orang itu adalah hal yang sulit. Saat aku terdiam membisu dan terpana. Sebuah busur beracun mengarah padaku. Saat itulah Yoshi melihatku. Iapun melindungiku,dengan menukarkan nyawaku dan nyawanya. Aku menangis aku terbang membawa Yoshi dan Hatori ke sebuah pegunungan. Hitori sudah tidak tertolong. Tapi racun yang ada dalam tubuh Yoshi,sudah menebar ke seluruh tubuh. Hingga pada akhirnya ia menghadiahiku senyuman dan ciuman terakhirnya. Dia sudah pergi. Aku menangis berteriak. Aku sudah  tidak tahu lagi. Aku harus kemana. Semuanya telah hilang. Aku sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi di dunia ini. Aku sudah tidak memiliki seseorang lagi untuk kucintai. Tapi akhirnya anakku yang berada dalam kandungan memprotes,membuat perutku kesakitan. Tapi akhirnya aku memiliki motivasi untuk hidup,yaitu untuk membesarkan anakku. Akupun kembali ke dunia siluman. Aku melihat semuanya masih sama seperti dulu ,ketika aku meninggalkan tempat ini.17 Tahun yang lalu,Tak terasa aku meninggalkan tempat ini selama itu. Semuanya begitu sama sampai-sampai semua tempat ini sedang menghadirka bejuta kenanganku semasa kecil. Sungai yang membuatku tertawa riang saat bermain dengan Elang. Aku pun sadar. Di mana ia sekarang? Apakah rumahnya sama seperti dulu. Tapi bukankah itu rumah orang tuanya?

Aku yang tidak mengetahui jawaban itu akhinya berjalan ke wilayah tempat tinggalku. Aku disambut ayahku selaku Walikota dan ibuku. Ibu tersenyum menangis memelukku. Ayahku merajuk marah “Kau pergi begitu saja, tidak pamit pada kami. Seakan kamu tidak memiliki orang tua. Nak kalau kau sudah tidak menganggap kami orang tuamu lagi. Maka pergilah dan jangan ke sini lagi. Aku memeluk ayahku. Bersimpuh di kaki nya. Dan mencium pipinya “Ayah maafkan aku,saat itu aku begitu terburu-buru. Ku kira aku hanya akan bermain-main di dunia manusia sebentar. Seperti kemarin-kemarin”

Ayahku menatap mataku penuh selidik “Begitu terburu-burukah sampai-sampai tidak sempat meminta izin pada kami?Kata Elang akhirnya kau menikah dengan anak manusia. Tapi katanya pula ia bukan anak laki-laki dewasa. Melainkan anak seorang ksatria. Begitu?” Aku mengangguk “Ia, benar begitu ayah. Sampai sekarang aku akan di karuniai 3 anak darinya.” Ayahku menatap perutku. “Bukankah waktu itu kau mencintai seorang ksatria?”

“Yah,itu dulu saat ksatria itu masih hidup. Kini takdir mempertemukan aku dengan Pangeran itu. Tapi sekarang takdir pulalah yang memisahkan aku. Ia meninggal bersama putra pertama ku. Mereka meninggal saat perang demi menyelamatkan aku. 2 nyawa untukku. Hiks,,,” Akupun menangis mengingat kisah itu. Rasanya seperti sedang mengorek luka lama yang belum kering benar.

Ayahku mengangguk” Nak kau harus meminta maaf dengan keluarga Elang. Kau mempermalukan keluarga mereka. Dari seluruh generasi mereka. Tidak ada perjodohan yang tidak jadi. Tidak ada mempelai wanita atau laki-lakinya yang lari melarikan diri. Suka atau tidak. Cinta atau tidak. Mereka tetaap menikah.”

Aku pun menatap miris.”Jadi,mereka tetap nekat menikah walaupun tidak saling mencintai?” Ayahku pun menjawab. “Yah begitulah takdir menjodohkan mereka. Hingga pada akhirnya mereka saling mencintai. Dan melahirkan buah hatinya.” Aku masih bertanya “Tak bisakah mereka melawan takdir,misal karena mereka tidak saling mencintai mereka membatalkan pernikahan mereka. Aku yakin walaupun mereka membatalkan pernikahan mereka. Takdir tidak akan marah. Takdir bisa kita kendalikan sendiri.” Ayahku hanya menggeleng. “Entahlah nak,mungkin karena takdir membuat mereka tidak membatalkan pernikahan,Jadi mereka tetap menikah. Mungkin dalam kasusmu. Takdir menginginkan kau membatalkan pernikahan ini.” Aku pun bertanya dimana Elang tinggal. Ayah memberi tahuku. Ibupun menyudahi diskusi kami dengan mengajak kami makan.

Setelah makan. Aku pergi ke rumah orang tua Elang. Tapi sayang keberadaanku di sana begitu tidak diharapkan. Aku menyesal telah datang. Bagi mereka kedatanganku hanya membawa kesuraman dan kesialan. Bagi mereka kedatanganku hanya membuat luka mereka tidak sembuh-sembuh. Awalnya aku begitu tidak diperhatikan. Aku ada bagaikan tidak ada. Aku menunggu di ruang tamu mereka sendirian selama tiga jam tanpa disuguhi apa-apa. Aku seperti bertamu ke rumah orang yang sedang pergi. Akhirnya aku bangkit pulang, kukira mereka akan bahagia jika aku pulang tapi ternyata aku ditarik. Seorang nyonya tua paruh baya. Menarik tanganku sangan kencang. Ketika ia melepaskan tanganku aku meringgis kesakitan. Ketika dirumah dan aku membuka bajuku. Ditanganku masih ada bekas cengkraman nyonya tua itu. Sampai beberapa hari bekas itu masih biru legam.

Nyonya tua itu berkata “Ku kira kau tidak akan pernah betah berada di rumahku. Kini dugaanku tepat sekali. Baru tiga jam sekarang kau sudah ingin pulang. Wanita ini begitu terlihat tua. Kurus keriput. Tampangnya lebih mirip seperti penyihir yang suka membuat ramuan di kualinya. Aroma mulutnya bau,menandakan ia habiss memakan bawang putih dan bawang bombay dengan kapasitas yang banyak. Dia masih mencengkram tanganku dengan keras agar aku tidak lari. Walaupun ia melepaskan tanganku akupun tidak akan lari. Jadi aku memintanya melepaskan tanganku. Rasanya lenganku begitu sakit. Aku terus meringis kesakitan. Orang tua ini adalah nenek Elang padahal sewaktu aku kecil. Ia baik sekali memberikan aku dan Elang kue buatannya. Sampai-sampai ibu Elang marah-marah kepada kami. Meminta kami untuk tidak memakan kue itu lagi karena bisa merusak gii kami. Ibunya Elang selalu mengatakan kue itu adalah kue ramuan nenek sihir. Kami tidak boleh memakannya. Kini nenek Elang lebih terlihat seperti nenek sihir benar seperti perkataan ibu Elang.

Nyonya stuard ibu Elang datang dan meminta nenek untuk melepaskan tanganku “Lepaskan tangan anak itu nek. Memegangnya hanya membuat tanganmu kotor. Kini diseluruh tubuhnya sudah tercium bau manusia. Entah apa saja yang telah mereka perbuat. Ai buat apa kau datang ke sini? Belum cukupkah kau membuat keluarga kami malu? Dengan cintamu kepada anak manusia. Kaum terendah dari seluruh jagat raya.” Aku hanya  bisa menatapnya dengan meminta maaf. Dia tidak menjawabku entah apakah itu artinya ia memaafkan aku atau tidak. Akupun pamit untuk undur diri. Sudah terlalu lama aku di sini. Tapi hanya sebentar waktu yang kuhabiskan untuk berbicara kepada mereka. Tapi saat aku ke rumah Elangpun aku bahkan tidak mengucapkan sesuata patah kata apapun.

Rumah Elang agak jauh dari kawasan ini. Ia lebih memilih tinggal di hutan terlarang. Entah apa maksudnya. Mungkinia ingin menjauh dari penduduk kota. Rumahnya di penuhi semak belukar. Rumahnya bagaikan menara di zaman kejayaan Victoria dengan wanita-wanita bergaun. Yah istrinyapun memakai gaun. Dan putri kecilkupun dikenakan gaun. Elang sedang berladang dengan anak laki-lakinya yang mungkin sedang berumur 7 tahun. Istrinya yang sedang hamil tua. Sedang merajut di halaman rumahnya. Putri keciku sedang berlari-lari bermain dengan kelinci. Mungkin umurnya 10 tahun sekarang. Beda 7 tahun dari Yoshi yang saat itu berumur 7 Tahun belajar memainkan samurai dengan ayahnya. Mereka bagaikan keluarga bahagia. Aku cukup berterima kasih pada wanita itu telah menerima anakku sebegitu baiknya. Mungkin Elang juga tidak menceritakan latar belakang anakku. Putri mantan kekasihnya saat itu. Setelah puas melihat lihat di balik semak aku pun lekas pergi. Tapi tak disangka anak laki-laki Elang sudah berdiri di belakangku. Aku pun lekas pergi tidak ingin Elang melihatku. Sekarang aku membangun sebuah rumah di atas gunung. Perbatasan dunia manusia dan siluman. Tempat ini begitu tinggi di atas. Manusia tidak bisa sampai ke sini karena tebing yang begitu curam. Serta jurang yang menganga lebar. Siluman pun jarang datang ke sini karena rasa malasnya. Yash menyendiri itu menyenangkan. Anakku sekarang sudah lahir dia berumur satu tahun sekarang. Ia berlari begitu cepat mengejar kelinci yang juga berlari dengan cepat untuk bersembunyi ke liangnya. Melihat gadis kecilki ini aku jadi teringat gadis kecilku yang di asuh oleh Elang. Entah siapa nama gadis kecilku. Apa kesukaannya?ketidaksukaanya?sifatnya.?Apa yang sering ia takuti di tempat ini?bagaimana hidupnya,setiap hari ia melakukan apa? Apa hobinya?bakatnya?sudahkah skillnya dikembangkan? Bagaimana cara ia tertawa?Begitu maniskah ia saat tertawa?

Akupun berdiri aku begitu rindu pada putri kecilku. Aku memakai jurus menghilang agar anak laki-laki Elang tidak bisa melihatku,terlebih menemukanku. Aku melihat di setiap paginya. Anakku mengamb il air dari sumur untuk ia mandi. Lalu ia membantu ibu angkatnya memasak. Mereka makan bersama. Begitu bahagia keluarga ini. Canda tawa memenuhi ruangan ini. Aku senang anakku menjalani kehidupan normalnya. Ia dipenuhi kasih sayang oleh kedua orang tua angkatnya yang sudah menganggap dirinya sebagai anak kandung. Tidak lama kemudian Istri Elang terjatuh dari tempat duduknya. Mereka semu panik. Anak terkecilnya yang berumur satu setengah tahun ikut menangis. Elang begitu panik ia berlari memanggil dokter. Putriku dan anak laki-laki itu membawa ibu mereka ke tempat tidur.

Entah kenapa anak laki-laki kecilku. Seperti merasakan hawa keberadaanku. Dan ia mengatakan karena keberadaan hawa negatif ini ibunya jadi jatuh sakit. Hey,,,hey apa maksudnya ini?Dia ingin menyalahkanku begitu? Hem apa aroma ramuanku begitu menyengat? Terlebih ibunya siluman Anjing. Jadi pasti tercium. Dan anak ini pastilah siluman serigala. Anak laki-laki itu membalurkan tumbuhan obat yang diulek oleh anakku.

Anakku bangkit dan ia meminta izin untuk mencari buah penawar racun. Sedangkan adik laki-laki angkatnya diharuskan menunggu rumah menjaga adik kecil mereka serta merawat ibu mereka. Anakku berlari ke dalam hutan. Bukankah hutan itu adalah hutan terlarang? Anakku terus masuk ke dalam aku mengikutinya aku begitu takut anak ini tersasar atau dimakan binatang buas misalnya. Ia mencari buah itu dan ia menemukan tumbuhan penyembuh segala macam penyakit. Setelah ia menemukan apa yang ia butuhkan. Dia terlihat begitu bingung. Semua pohon dan jalanan ini terlihat sama. Ia merasa berputar-putar. Dan hingga akhirnya  ia menyadari ia telah nyasar. Terlebih kakinya membawa dirinya ke sebuah kerumunan hewan buas. Anakku benar-benar dalam bahaya. Tapi ternyata hanya 1 Harimau yang bisa ia lawan. Harimau ini begitu beringas,dan lapar ada banyak sekali Harimau di situ. Aku pun membawanya terbang dan menurunkannya di rumahnya.

Ia sangat senang sekali. Dan mengatakan kepada adik angkatnya bahwa dirinya bisa terbang. Adiknya hanya menjawab “Tidak heran kau adalah siluman burung. Sama seperti ayah.”  Ayahnya pun datang dengan seorang dokter. Berangsur-angsur ibunya sembuh. Tapi setelah beberapa tahun kemudian Penyakitnya kambuh sekali. Dan sekarang sudah batas klimaks. Ia sudah tidak bisa menahan rasa sakitnya. Dokterpun tidak bisa berbuat banyak. Tiap hari putriku ke hutan. Memberiku kesempatan untuk bertemu dengannya. Dan berkenalan. Saat ia sedang mengambil buah itu. Aku menyapanya dan tersenyum ramah “Hai gadis kecil.” Dia membalikkan tubuhnya dan menghadap ke belakang. Mulutnya menganga ia tampak kaget dan terpana. Ia melihatku dengan terpesona. Ia menatap diriku dan anak laki-lakiku yang berumur 3 tahun dengan penuh tanda tanya. “Apakah kau peri hutan dan dia kurcaci kecil?” Aku menatap diriku aku memakai gaun putih ke merah mudaan serta anakku memakai baju hijau serta topi hijaunya rajutanku. Aku masih memakai 2 liontin itu. Dan di kepalaku bermahkotakan bunga-bunga. Karena aku tidak bisa menceritakan kisahku dan siapa diriku. Karena aku takut ia mengatakan ini kepada ayahnya. Jadi aku mengangguk tersenyum.

Akupun berbalik bertanya “Apakah kau gadis bernama Alice Emely?” Ia mengangguk “ Yah begitulah Yang Mulia putri.” Aku terkekeh mendengarkan jawabanya. Entah apa yang di ceritakan oleh Elang padanya. Sehingga pikirannya di penuhi dunia hayal tingkat tinggi. “Jadi,akan kupanggil apa dirimu Alice atau Emely ?” Dia menjawab “Seterah anda tapi karena di rumah aku selalu di panggil Alice aku pun ingin ada seseorang memanggilku Emely. Aku pun tersenyum ramah “Nah Emely apakah kau ingin berjalan-jalan bersamaku sebentar atau kau ingin langsung pulang ke rumah?” Emely pun meminta pulang “ Kayanya aku pulang aja deh. Kata ibuku aku tidak boleh berbicara dengan orang asing. Lagipula ayahku bilang agar aku langsung pulang karena ibuku membutuhkan obat ini.”

“Kalau begitu naiklah ke punggungku Emely” Emely menggeleng”Tidak aku bisa pulang sendiri. Biasanya aku pulang dengan terbang. ” Dan ia pun mencoba terbang. Entah kenapa ia tidak bisa terbang. Seperti putra kecilku ini. Padahal Hatori sebelum berumur satu tahun sudah bisa terbang dan menimbulkan masalah untukku. Atau mungkin aku terlalu memanjakan kedua anakku ini dengan terus menerbangkan mereka? Aku segera menaikkan putra kecilku Minoru dan Emely.” Ia kaget. Akupun hanya menjawab. “Kita bisa belajar terbang besok. Tapi itupun asalkan kau datang kesini lagi.”  Ia mengangguk “Aku akan kesini esok hari untuk mengambikan buah dan tumbuhan untuk ibuku. Jadi,maukah engkau mengajariku?” Aku pura-pura kaget “Oh bukankah kau sudah bisa terbang? Bukankah kau selalu pulang dengan terbang?” Dia hanya menggeleng “Entahlah mungkin itu hanya kebetulan karena ketika aku ingin ke hutan aku tidak bisa terbang. Hanya saat aku pulang saja aku bisa terbang.” Akupun tidak menanggapi jawabanya lagi karena aku ti tahu ingin berkata apa.

Esok harinya ia datang dan ingin belajar terbang padaku. Akupun memutuskan untuk melatih Minoru juga. Biar sekalian. Emely melihatnya sinis. Bukankah ia kurcaci? Dan ia masih balita. Semua kurcaci tidak bisa terbang.” Aku hanya tersenyum “Kini dengan kekuatan peri Hutan sang kurcacipun bisa terbang.” Tapi di buku dongeng tidak ada cerita seperti itu.” Aku hanya tersenyum dalam hati aku berkata kesal persetan dengan buku dongeng nak. Lagipula Minoru Siluman bukan Kurcaci. Aku salah memberinya peran kurcaci. Aku pun menjelaskan kepada Emely “Emely ini bukanlah buku dongeng. Jadi kisah ini tidak perlu sama dengan cerita dongeng. Kita harus punya kreativitas sendiri. Tidak perlu mengikuti orang lain. Karena diri kita bukanlah mereka.”

Dan akhirnya pun aku melatih mereka berdua. Ternyata cukup sulit untuk melatihnya. Saat pertama kali aku terbang dulu akupun lupa prosesnya bagaimana. Yang aku ingat saat itu aku sedang mengintip ke Dunia manusia. Aku memperhatikan mereka dan aku pun ingin menjadi seperti mereka. Dan saat itulah pertama kali aku terbang. Aku terbang karena aku memiliki tujuan,serta adanya niat dan motivasi. Mungkin aku harus membuat mereka memiliki tujuan untuk apa ia terbang. Sejauh ini mereka sudah ada niat dan motivasi. Hanya tinggal membuat mereka memiliki tujuan untuk terbang.

Aku pun mengambil botol susu coklat yang dipegang Minoru ia sangat menyukai susu itu. Dan aku mengambil buah dan tumbuhan di keranjang yang dipegang Emely. Anak-anak jika kalian begitu menginginkan ini. Ma ka kejarlah aku. Satu tips agar kalian bisa terbang. Kalian harus mengejar hal yang kalia sukai. Aku pun terbang. Minoru berusaha terbang tapi ia tak bisa. Ia malah berlari. Sedangkan Emely sudah ada kemajuan tapi sayang ia jatuh lagi. Setidaknya dia sudah bisa terbang sedikit. Kali ini Minoru tidak berlari tapi meloncat. Tampaknya ini akan menjadi hari yang panjang. Akupun kelelahan dan kini duduk di dahan. Tapi sayangnya Minoru lebih senang memanjatnya di banding terbang. Aku pun terbang menjauh dari pohon itu. Dengan nekat Minoru juga menjauh dari pohon itu. Ia seperti sedang meloncat apakah ia akan terjatuh aku panik. Aku mulai ingin menolongnya. Tapi ternyata Minoru terbang. Satu pelajaran untukku. Kemampuan itu ada saat begitu di butuhkan terkadang yang membuka kunci kemampuan itu adalah otak bawah sadar kita. Aku yang meleng dan memperhatikan Minoru yang sedang bahagia karena sudah bisa terbang ternyata. Emely langsung menerjang ku dan mengambil keranjangnya dan bototl itu. Dia pun berteriak. “Minoru jika kau menginginkan susu ini maka terbanglah dan kejar aku” Dan mereka pun terbang saling berkejaran. Aku kelelahan akupun bersandar ke sebuah pohon tapi. Aku merasa ini terlalu lunak untuk tempatku bersandar. Ketika aku melihat ke belakangku. Ternyata dia adalah Elang. Akupun kaget “Kenapa kau ada di sini?” Dia menjawab seenaknya “ Seharusnya aku yang bertanya kenapa kau ada di sini dan kenapa kau bersama anakku. Karena akupun ke sini sedang mencari dia. Sudah terlalu sore dan dia belum pulang aku males mencarinya malam hari. Jadi,kuputuskan untuk mencarinya sekarang.” Aku meralat perkataannya “Itu anak-anak ku bukan anakmu. Lagipula aku ke sini untuk melihatnya. Serta bertemu dengannya. Sekarang dia sudah tumbuh menjadi gadis kecil yang lucu tapi tetap pembrani. Dan sepertinya kau terlalu cepat mencarinya. Jika kau menunggunya satu jam lagi maka kemungkinan besar Emely pulang dengan berita yang menggembirakan. Oh ya Bagaimana keadaan istrimu.”  Dia menatap anak-anak yang sedang berkejar-kejaran ia menatap seakan-akan takut ada yang terjatuh,atau terbentur pohon. “Dia akan baik-baik saja jika Emely pulang lebih cepat.” Aku kesal “Tapikan ia pulang terlambat demi belajar terbang. Lagipula aku juga membutuhkan dia. Aku merindukannya. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya. Aku kan juga ibunya.”

“Matahari sudah terbenam ayo kita pulang. Dan mungkin kau tidak perlu memakai serbuk ramuanmu agar kau tidak terlihat ketika ke rumahmu. Karena Mizu alergi pada serbuknya.” Aku menatapnya “Jadi namanya Mizu. Kau kenal dia dimana? Sepertinya aku juga mengenalnya samar-samar.” Dia balik menatapku. “Kan kau yang memperkenalkan aku sewaktu kita masih kecil. Ituloh anak yang datang ke sini tiap musim panas itu. Masa kau lupa. Mentang-mentang sudah 17 tahun hidup di dunia manusia.” Aku teringat kembali tentang anak itu,aku mengutuki diri sendiri. Tadi aja tidak usah kukenalkan. Aku pun bertanya lagi. “Jadi kalian sekeluarga sudah tau tentang diriku yang secara diam-diam main ke rumahmu?”

 Dia pun menjelaskan. “Tidak semuanya. Emely dan Hachi tidak tahu karena mungkin mereka terlalu lugu. Sekarang umur Hachi tiga tahun setengah. Awalnya yang menyadari baru Kilua karena penciumannya yang hebat saat kau datang ke ladang untuk pertama kali. Kilua memberi tahuku kedatanganmu. Dan dia berdiri di belakangmu untuk sekedar membuatmu kaget dan mengundangmu datang ke rumah tapi sayang kau pergi. Lalu saat kau datang ke rumah dengen efek penghilang aromanya tercium sekali mebuat istriku alergi. Akupun baru tahu. Wanita yang mengintip saat itu dan yang memakai efek penghilang itu adalah kau baru saat tadi. Tapi tenang istriku tidak tahu. Paling hanya Kilua yang penciumannya terlalu tajam.” Aku pun bertanya panik “Apakah Kilua sudah jinak?” Dia pun tertawa “ Kau kira anakku itu apa?”

Kami berempat pun datang. Ke rumah itu. Rasanya aku agak canggung. Aku takut Kilua dan Mizu tidak menyukaiku. Mizu terbaring lemah aku membantu Kilua membalurkan tumbuh-tumbuhan ini ke kulitnya yang entah mengapa membengkak “ Aku pun bertanya pada Kilua. “Nak ibumu sakit apa?” Kilua menggelang “Entah nona,bahkan Dokterpun  tidak tahu. Aku sangat menderita sekali tinggal di pedalaman seperti ini. Andai kami tinggal di kota. Ayah bisa membawa ibu ke rumah sakit untuk di rawat. Serta ibu bisa mendapatkan obat yang layak dan kita bisa mengetahui apa nama penyakit ibu serta menunggu ibu sembuh.”

Aku pun terdiam membisu. Kami hanyut dalam pikiran masing-masing lalu ia pun membuka pembicaraan “Nona, jadi kau yang masuk ke keluarga kami dengan ramuan penghilang?” Aku pun terkaget Minoru,Hachi serta Emely sedang sibuk bermain Emely pun menyiapkan makanan. Elang masih sibuk di ladangnya. Dan hewan ternaknya. Tidak ada yang bisa membantuku keluar dari pembicaraan tidak enak ini. Aku pun mengangguk bingung ingin bicara apa. Ia pun balik bertanya. Oh Tuhan kenapa kau ciptakan anak suka mau tau seperti ini. Ketika ia dewasa nanti pasti ia akan menjadi anak sok tahu. “Nona,kenapa kau selalu ke sini? Apa anda mengenal keluarga kami?” Pertanyaannya benar—benar ke inti pembicaraan. Apakah aku harus menjawabnya. Apakah aku harus menghindar dengan mengalihkan pembicaraan. Semoga saja tiba-tiba salah satu dari Minoru dan Hachi menangis sehingga aku harus keluar ruangan ini. Atau Emely memanggil kami untuk makan malam. Tapi keberuntungan itu tidak datang akhirnya aku pun menjawab. “Yah kami bertiga teman semasa kecil. Aku,ayahmu serta ibumu. Ibumu datang ke kota kami saat musim panas tiba dan selalu begitu.” Ia pun menatap penuh selidik. Bagus tampaknya ketika dewasa nanti ia akan berbakat menjadi Detektif,polisi atau pengacara. “Jadi dengan kata lain anda teman ayah saya? Benar begitu? Lalu semenjak kapan kalian bersahabat?” Dia benar-benar bagaikan pengacara yang sedang bertanya pada terdakwa ckkk... “ Baiklah nak karena kau terus memaksa aku pun akan menceritakan sebuah kisah. Aku dan ayahmu sudah bersahabat dari aku lahir. Saat itu umurnya empat tahun dan ia memberikan liontin ini.” Aku menunjukkan liontin Burung Elang dan burung pipit. Dengan latar belakang simbol love. Lalu ia menatap liontin lain. “Lalu yang itu dari siapa?” Aku pun mengizinkannya lihat” Ini dari suamiku kalau dibuka akan terdengar suara nyanyiannya.” Ia pun membukanya “Romantis sekali, Jadi,anda sudah menikah ku kira anda masih muda.”  Akupun menjawab dengan terkekeh “ Kau kira siapa Minoru itu hah? Lagipula anak tertuaku sudah meninggal umurnya 17 Tahun ia meninggal 3 tahun lalu. Dia meninggal bersama ayahnya saat berperang.” Ternyata aku sedang menyulut api ke sebuah tempat minyak. Anak itupun berapi-api untuk bertanya padaku dari kalimatku tadi “Berperang? Tampaknya dunia siluman aman-aman saja tidak pernah berperang.” Aku mulai mengutuki diriku sendiri. Bagus ia akan tahu tentang semua kisah hidupku. Aku pun menceritakan lagi “ Aku menikah dengan manusia ia seorang pangeran.” Dia terpana memandangku. Entah dia merestuiku atau tidak.

Mizu terbangun. Tapi ternyata ia tidak bisa melihat. Ia pun sudah tidak bisa bergerak. Suaranya serak dan parau. Tubuhnya kurus kering dan begitu ringkih. Entah apa yang terjadi pada dirinya ia pun mengikuti pembicaraan ini. Ternyata dari tadi ia mendengarkan ku kira ia tidur. “Jadi, kau yang datang Ai? Tega sekali kau meninggalkan Elang. Aku tahu aku begitu mencintai Elang sampai aku terus mengejar-ngejarnya. Tapi sayang sekali pernikahanku tidak bahagia. Mungkin aku bisa memiliki tubuhnya hingga kami memiliki dua anak. Tapi aku sama sekali tidak bisa berada di hati dan fikirannya walau hanya satu detik. Itu sungguh menyedihkan. Aku terus mengutuki diriku sendiri kenapa aku menikah dengan laki-laki yang tidak mencintaiku. Maka dari itu aku sering sakit-sakitan seperti ini. Aku sudah tidak kuat menahan rasa sakit ini. Tapi yang lebih tak bisa kutahan adalah rasa sakit hatiku. Kukira dengan memiliki anak darinya ia bisa mencintaiku atau paling tidak ia bisa lebih mencintai anakku daripada Emely. Tapi ternyata tidak, Ia begitu mencintai Emely. Terkadang setiap aku melihat Emely aku seperti melihat kau saat kecil. Ingin rasanya aku mencampakkan Emely. Tapi aku tahu Elang begitu mencintai Emely. Pasti ia akan lebih membenciku jika aku perlakukan Emely sebagai anak Emely. Jadi,sebagai tanda cintaku pada Elang aku pun berusaha mencintai Emely,berusaha menjadi ibu kandungnya. Yang sedangkan ibu kandungnya sendiri mungkin sedang bersenang-senang dengan laki-laki lain di dunia manusia. Aku sudah tidak pernah melihat senyuman dari wajah Elang berbeda sekali saat ada kau sewaktu dulu. Penyakit ini sudah terlalu menyakitkan. Aku sudah tidak lagi biarkan aku istirahat dengan tenang.”

Aku meralat perkataannya “Yang kau bilang laki-laki lain itu adalah suamiku. Kau jangan berbicara aneh tentang suamiku.” Kilua menatapku tajam. “Ibuku tidak mengatakan hal aneh tentang suamimu Nyonya.” Elang datang entah ia mendengarkan semua percakapan kami atau tidak. Ia merangkul Mizu. Dia membawanya terbang ke rumah sakit terdekat. Kilua berteriak “Ayah bawalah dia ke rumah sakit di kota. Ia pasti akan sembuh.” Kami makan malam berlima. Aku menyuapi Hachi dan Minoru tampaknya mereka sudah bersahabat baik. Mereka pun saling menyuapi. Manis sekali. Sudah tiga hari dan Elang beserta Mizu belum pulang juga. Aku terus di rumah mereka. Mengurus anak-anak. Membersihkan rumah dan mengajak anak-anak membantuku di ladang serta di kandang tempat hewan ternak berkumpul. Semakin lama aku semakin cemas. Akupun meminta Emely serta Kilua untuk menjaga  Minoru dan Hachi. Kukira walaupun mereka masih anak-anak mereka bisa di andalkan.

Akupun ke rumah sakit di kota. Aku segera ke ruangan Mizu di rawat. Tapi aku datang saat tidak tepat mareka sedang berciuman,berpelukan dan saling mengatakan cinta. Aku segera pergi dari ruangan itu. Ku kira Mizu salah. Elang begitu mencintainya. Atau mungkin Mizu hanya meminta waktu untuk berduaan. Aku pergi. Aku menatap nanar liontin itu. Akhirnya aku jatuhkan dan kutelantarkan Liontin itu. Betapa bodohnya aku. Maih menyimpan liontin itu. Bahkan mungkin cincin yang ku kembalikan kepada Elang sudah di berikan kepada Mizu. Ternyata cincin itu sangat cocok di jari manis Mizu. Ternyata takdir memilih Mizu untuk Elang dengan membuatku jatuh cinta dengan Yoshi. Ternyata oh ternyata aku tidak menegerti semua ini. Kami yang membuat takdir itu terjadi atau takdir yang membuat kami melakukan sesuatu jadi takdir itu terjadi. Ternyata Liontin itu salah seharusnya bukan simbol burung Elang dan pipit tapi Elang dan Anjing. Serta Pipit dan Manusia seperti simbol inisial yang masih menempel di leherku. Atau mungkin sebaiknya Elang membelikan sebuah liontin lagi sebagai tanda cinta pada dirinya.

Aku pun tertidur nyenyak di kamar Elang. Wangi yang sama saat kami bermain sewaktu masih kecil. Aku tertidur nyenyak. Aku mengulang rekaman dalam memory otakku saat kami masih bersama. Saat aku dan Elang bermain bersama. Saat Elang mengirimi aku surat cinta. Saat kami bermain di anak sungai ketika kami masih kecil saat Elang bermain ke rumahku ketika aku balita. Saat berjuta kenangan itu bergulir. Disaat takdir berbicara untuk merebut Elang dariku. Atau aku yang memutuskan pergi dari kehidunnya. Aku teringat saat aku meninggalkan dirinya dan pergi dari kehidupannya. Aku teringat aku telah mengkhianati cintanya hanya karena aku benci sudah tidak diperhatikan. Hanya karena dia begitu sibuk dengan tugas dan pekerjaannya. Saat itu aku merasa jahat sekali. Pasti rasanya begitu sakit sekali. Sesakit saat aku melihat mereka berciuman. Sesakit seperti saat mereka tertawa bahagia saat di meja makan. Hah rasanya aku seperti penghalang dari kehidupan mereka. Rasanya aku seperti orang ketiga. Mungkin ketika mereka sudah kembali. Aku harus pergi dari rumah ini. Tapi aku harus kemana. Rumah di atas gunung itu tidak memberi kebahagiaan. Kembali ke rumah orang tuakupun. Tidak menyenangkan aku bukan anak kecil lagi bahkan sekarang aku yang memiliki anak kecil masa aku harus menghabiskan waktuku untuk tinggal bersama orang tua.

Pagi yang cerah tidak secerah wajahku. Tadi aku bermimpi Elang sudah tidak mencintaiku lagi. Ia sudah di rebut orang lain. Ia sudah di miliki perasaan orang lain. Seharusnya aku tidak perlu sedih. Dan kenapa juga aku meminta Elang mencintaiku dan kembali padaku. Bukankah aku yang meninggalkannya?Mungkinkah ini pelajaran untukku. Ini salahku sendiri dan ini adalah hukumanku. Aku tidak boleh marah pada Elang lagi pula mereka suami istri dan aku bukan siapa-siapa yang aku punya hanya kenangan masa lalu. Tapi bahkan aku sudah membuangnya. Berarti di sini aku sudah bukan siapa-siapa haruskah aku pergi? Tampaknya harus. Aku hanya menjadi penghalang bagi cinta mereka. Takdir telah menjodohkan mereka berdua hanya karena kebodohanku untuk pergi. Dan karena keputusan bodohku aku harus menanggung ini. Semoga Elang dan Mizu bahagia. Siang itu Kilua berteriak dan dia memberitahuku Elang sudah pulang.

Aku bersiap-siap keberadaanku di sini sudah tidak diinginkan,aku hanya akan menghancurkan keluarga mereka. Atau bahkan aku yang hancur karena Elang begitu mencintai istrinya. Sepertinya aku yang akan hancur. Aku pun memeluk Emely dan memberikan liontin pemberian ayahnya. Agar ia juga bisa mendengar suara ayahnya. Aku bersiap pergi bersama Minoru. Aku pergi ke sebuah tempat yang dingin sedingin hatiku. Bukan karena salju tapi memang tempat itu dingin tempat itu berada di pegunungan tempat tinggal manusia. Walaupun di pegunungan tapi tempat ini ramai penduduk. Mereka semua menanam teh di tempat itu. Air di tempat ini begitu dingin. Pemandangan di sini begitu bagus. Udaranya bagus,orang-orangnya ramah. Mungkin aku akan senang di sini.

Suatu hari Elang datang bersama anak-anak. Anehnya ia tidak datang bersama istrinya. “Ai apakah kau menjatuhkan liontin ini di Rumah sakit? Saat itu kau datang ya? Kenapa tidak masuk ke dalam. Aku tidak tahu kau datang.” Dia memegang liontin burung Elang dan burung merpati putih dengan background simbol love. Aku diam membisu. Tidak tahu apa yang harus kukatakan. Aku hanya pasrah dia memakaikan kembali ke leherku. Ia melihat-lihat rumah itu. “Rumah yang asri ya Ai. Tampaknya akan menyenangkan tinggal di sini.” Aku hanya mengangguk. Dia melankutkan perkataannya “Rumah kami sudah tidak seperti dulu karena ada seseorang yang meninggalkan perannya. Aku ingin sekarang kau yang memainkan peran itu. Dan rumah itu kini hanya menghadirkan sejuta kenangan yang hanya membuatku menyesal kenapa aku tidak membalas cintanya mungkin karena aku masih mencintaimu. Dan rumah itu hanya membuat anak-anak sedih karena kini mereka jadi tidak memiliki ibu untuk memasakkan makanan mereka,menjaga,merawat dan mengasuh mereka. Mereka kehilangan sebuah tokoh. Dan aku ingin kau menjadi tokoh itu. Maafkan aku Ai ternyata aku tidak bisa mengasuh Emely sendirian karena aku membutuhkanmu untuk membantuku mengasuh mereka” Aku masih tidak paham apa yang ia bicarakan. Ia pun kembali melanjutkan perkataannya. “ Kami membutuhkan sebuah wanita. Yang bisa menjadi ibu untuk anak-anakku.” Aku menjawab dengan santai “Bukankah aku adalah ibunya Emely?” Ia menjawab lagi “Ia tapi kau belum menjadi ibu bagi anak-anakku yang lain. Bisakah kau mencintai anak-anakku yang lain seperti kau mencintai anak-anakku.” Akupun tertawa mendengar perkataanya “Bukankah Emely pun bukan anakmu?” Ia menjawab untuk menegaskan “Dia akan menjadi anakku bila kau mau menjadi istriku.” Aku pun tersenyum “Jika kau bisa mencintai Emely walaupun dia bukan hasil cinta kita berdua kenapa aku pun tidak bisa mencintai Kilua dan Hachi? Kau tahu bahkan saat aku berbicara dengan Kilua aku seperti berbicara dengan kau saat kecil. Dia begitu mirip denganmu.” Akupun tersenyum mengingat Kilua yang sok dewasa. Dia bertanya untuk menegaskan “Jadi kau ingin menikah denganku dan menjadi ibu bagi anak-anakku,anak-anakmu dan anak-anak kita berdua?” Aku tertawa nyaring “ Asalakan kau mau menuliskan surat cintamu lagi, tidak pergi-pergian,dan membantuku mengurus anak-anak ini.” Dia pun tersenyum dan memakaikan cincinnya ke jari manisku.

THE END

Dan aku pun menyadari takdir benar. Dia telah menakdirkan aku untuk Elang bahkan dari semenjak aku lahir. Walaupun aku menolak takdir. Takdirpun akan tetap terjadi. Walaupun kau melakukan hal lain yang bertentangan dengan takdir. Tapi takdir itu tetap akan terjadi. Kehidupan ini bagaikan panggung sandiwara. Semua kejadian sudah di tulis di skenario skrip naskal di laufuz manfuz. Semuanya sudah di sekenariokan oleh Allah  SWT.

Aku terhenyak dan berdiri dari kursi bioskop. Film yang menakjubkan aku sampai terbawa alur dan terhanyut menjadi pemeran utamanya. Aku kembali pulang untuk shalat ashar.

 
Genre : Misteri dan Romantis

Tokoh :Yume

        Hikari

            Ai

           Himitsu

            Kringgg,,,,,,,Jam 5 pagi jam beker bernyanyi bersaing dengan sang Ayam. Embun pagi masih setia menyelimuti sang daun.Udara dingin menyapa kulit.Membuat sang tangan mendekap erat selimut agar udara tidak bisa masuk ke celah-celah terkecil. Kriiiiing,,,bunyi jam weker terus berbunyi memnati sang empunya terbangun. Sang gadis pun tersadar subuh sudah tiba waktunya ia bangun dari hibernasinya. Ia sholat subuh dengan di sambung membaca tafsir Al-Qur`an beberapa ayat. Ia lekas mandi membereskan tempat tidur,dan bersiap-siap memakai baju serta membawa peralatan kerjanya Laptop,novel yang baru ia baca,Hp,uang buat makan siang. Pukul 06.00 ia sudah siap di dapur.Meramu experimen baru. Dan berharap semoga saja hasilnya memuaskan minimal untuk sang perut. Ia terus mengutuki dirinya seharusnya dari 5 tahun yang lalu ia belajar memasak,betapa malasnya engkau Yume ckkk. Dan akhirnya ia pun pergi juga mengunci rumah dan segera pergi menaiki motor setianya yang ia selalu bayangkan bahwa motornya adalah unicorn. Membawanya terbang keliling dunia,melihat betapa indahnya ciptaan Allah. Akhirnya ia pun sampai di kampus tercintanya ITB dengan Fakultas kesukaanya "Astronomi" betapa seperti mimpi. "Nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?"

             Selesai belajar ia pun masih harus menjalankan kegiatan di luar kampusnya. Hanya sore hari dan malam akhirnya waktunya bebas. Seperti biasa ia melanjutkan tulisannya.Untuk menyusul buku-buku yang telah ia terbitkan tahun lalu. Dering telpon berbunyi.Dari Mizu antara ragu-ragu Yume mengangkatnya. Sebenaarnya ia malas sekali mengangkatnya. Tapi akhirnya tangannya bergerak mengangkatnya."Assalamu`alaikum Yume bisakah kita bertemu di kafetaria terdekat?"tanya Mizu langsung ke pokok pembicaraan. Dengan malas Yume menjawab"Maaf Mizu aku sibuk deadline semakin dekat sedangkan aku baru mengerjakan sepertiganya". Mizu menghela nafas "Hei ayolah bukanya biasanya kau merampungkannya dengan cepat kenapa sekarang lama sekali ada apa ini?Apa kau begitu sibuk sekali?".

"Yeah begitulah Mizu Aktivitas di luar kampus begitu menguras energiku tapi aku senang. Setidaknya semuanya berjalan lancar."Jawab parau seseorang di sebrang.

"Oh tidak suaramu parau sekali sepertinya kau sakit.Aku akan datang ke rumahmu.Untuk melihat keadaanmu.Pastikan kau baik-baik saja."Jawab Mizu Khawatir

"Egh,,,tidak Mizu aku tidak apa-apa kau tidak perlu repot-repot menjengukku."Sergah Yume

"Hoho tidak Yume aku akan tetap datang ke rumahmu. Aku akan memastikan dengan mata kepalaku sendiri bahwa kau tidak apa-apa"Sela Mizu tidak mau kalau.

"Oh tidak Mizu,,,Mizu,,,dengarkan aku,,,,tut,,tut,,tut" telpon terputus.

            Hem,,,bagus akhirnya ia datang kesini.Yume yang sudah membuang masa lalunya. Kini masa lalunya hadir kembali menyedihkan. Untuk apa ia datang jauh-jauh keluar kota. Hanya untuk ketemuku.Oh manisnya sahabatku ini.Dan sekarang apa yang harus ku lakukan.Duduk manis di sini menunggunya dengan setia. Menyediakan kue manis untuknya?Oh tidak.Atau mungkin aku pergi saja. Hem,,,ide yang bagus. Tapi alasan apa yang aku berikan jika ia meneleponku dan mendapati aku sudah tidak ada di rumahku. Kasihan dia pergi jauh-jauh keluar kota untuk bertemu denganku. Hem,,,dan akhirnya Hati Nuraniku menang.Selamat.

***

               Aku menangis di tengah kolam. Dan tiba-tiba ada seorang laki-laki memberikan aku sebuah pisang berharap aku lupa pada rasa sedihku karna pemberiannya.

              "Ting Tong.Assalamu`alaikum.Yumeee,,,"Mizu berteriak dengan suara Altonya.Aku terkesiap dan bangun.Menyedihkan ternyata yang tadi mimpi. Aku membuka pintu dan mendapati "Hima?"ternyata Mizu datang bersama Hima seharusnya aku tahu itu. Dia selalu datang bersama Hima dari dulu,ia tak pernah sendiri.Aku tersenyum memaksakan diri entah Senyumku terlihat getir atau tidak.Aku menyuruh mereka masuk."Surprise"mereka berteriak dan menghentak-hentakan kaki."Hai Yume kau tidak lupa dengan hari ulang tahunmu kan?27 February tepat hari Minggu sesuai hari lahirmu.Oh ia Natsu tidak bisa datang karna ia ada tugas dari pekerjaannya.Sebagai gantinya ia memberimu ini.Oh ia bagaimana Thesismu?Ku dengar dari ibu mu sembentar lagi kau sidang?"Hima bertanya panjang lebar.Ada kemajuan biasanya ia hanya tersenyum manis.

               Aku mengangguk pelan menanggapi perkataannya yang panjang dan lebar.Natsu dan mereka berdua menghadiahi aku sebuah buku.Buku diary mereka bertiga.Apa maksudnya ini. Kalau mereka berharap dengan kejutan mereka aku bisa berhenti marah.Mereka salah. 

              Mizu seperti mengerti apa yang aku pikirkan.Lalu ia menjelaskan"Itu buku diary kami bertiga. Kami berharap kau bisa menerbitkannya"

              Haha apa ini mereka berdua datang hanya untuk memintaku menerbitkannya?Apa mereka sudah gila?2 jam berlalu bagiku rasanya begitu lama.Oh bagaimana nasib novelku yang belum rampung itu.Hiks,,,

Aku menggeletakkan diary mereka begitu saja tidak berniat untuk membacanya.Jam 12 malam akhirnya aku bisa menyelesaikan 1/5 nya oh akhirnya. Aku segera sholat Isya.Tadi tidak sempet setelah sholat Isya aku melihat diary itu. Tadinya aku ingin memalingkan wajahku saja tapi karna kecintaanku pada buku begitu besar akhirnya aku membacanya dan melahap ketiga buku tersebut. Di bagian pertengahan tepat di adegan itu tepat sebelum aku marah kepada mereka. Aku membacanya lagi aku menangis air mata ini meleleh bagaikan lelehan magma dari gunung meletus. Mereka menuliskan bahwa yang mereka lakukan tidak sengaja mereka tidak berniat jahat. Dan mereka melakukan itu dengan amat terpaksa. Ketiga gadis itu. Apakah mereka bersengkongkol untuk mengkhianati aku?Dari cerita mereka. Mereka mengatakan. Seharusnya aku harus lebih agresif terhadap Yama. Karna aku biasa-biasa saja. Dan akhirnya keduluan Yama untuk menjadikan Mizu pacarnya.Mereka menulis jika aku menembak Yama terlebih dahulu.Kemungkinan terbesar Yama akan menerimaku.Huaf,,,bener-bener memusingkan.Hiks,,,waktu tidurku terpotong,sudah mau subuh. Walaupun begitu aku sempatkan untuk tidur sebentar. Mengistirahatkan organ tubuh terlebih Otakku.Yang sibuk bekerja seharian bahkan disaat tertidur. Ia masih mereka ulang kejadian-kejadian yang lalu.

              Subuh telah tiba. Walaupun aku tidur sebentar setidaknya aku sudah merasa rileks.Seusai sholat Shubuh aku mandi. Air yang begitu dingin memanjakan kulitku. Rasanya air itu seperti ingin masuk ke dalam tubuhku lewat pori-pori kulit tapi itu tidak mungkin. Aku kembali merasakan dinginnya air.Ia menyergap kulitku memintaku untuk berlama-lama bersamanya.Ia membasahi mataku.Memasuki sela-selanya membuatku begitu segar. Dan tidak mengantuk lagi.Berendamnya sudah sekarang aku kasak kusuk di dapu aku bertekad nanti sore aku akan ke toko buku sebentar untuk membeli resep makanan.Tapi apa lebih baik ke google aja.Yah lebih baik ke google.Lalu uangnya aku belikan novel yang lain saja.Atau membeli novel karyaku setelah itu bukunya yang satu ku koleksi dan satunya lagi kuberikan ke sepupuku saja.Semoga dia juga.Tergiur untuk menulis.Sore telah tiba. Rapat tentang acara kemah nanti telah usai.Aku pun beranjak ke Toko Buku terdekat. Persediaan novel itu tinggal satu-satunya tersisa.Aku pun lekas mengambilnya.Tapi sayangnya detik itu juga sudah ada yang mengambil.Aku menatap wajahnya sepertinya wajah itu tak asing.Ketika aku melihatnya dengan lebih teliti ternyata dia adalah orang yang ada dalam mimpiku itu aneh entah kenapa ternyata orang itu ada dalam dunia nyata. Tapi kenapa ia bisa nyasar ke dalam mimpiku.Atau mungkin karna aku pernah melihatnya sekilas.Dan dalam mimpi secara tidak sengaja otakku menghadirkan dia. Tapi kenapa dia.Orang yang tidak aku kenal.Dan kenapa ada buah pisang segala?Atau mungkin karna ketika aku masih kecil aku suka pisang.Ia menatapku.Sepertinya tatapannya menembus ke dalam mataku dan berujung ke otakku.Jangan-jangan ia bisa mengetahui apa yang kupikirkan.Wah gawat aku sedang memikirkanya.Tapi aku yakin ia juga sedang memikirkanku terlihat jelas saat ia menatapku dalam-dalam seolah-olah ingin mengetahui apa yang aku pikirkan.

            Ia menyerahkan buku itu ke tanganku.Akupun menolak dan berkata "Aku sudah tau alur ceritanya.Jadi lebih baik anda saja yang membeli buku ini.Aku pun segera berbalik.Tapi ia memaksaku untuk memegang buku itu.Dan ia berkata"Aku pun sudah membaca buku ini.Tapi bukuku sedang dipinjam seorang sahabat. Karna aku begitu rindu dengan gaya bahasa buku ini aku memutuskan untuk membelinya lagi.Tapi tampaknya kau yang lebih membutuhkan buku ini jadi biarkanlah aku membelikanyya untukmu."Ia menyeretku ke kasir.Aku berdalih"Tadi aku hanya ingin membaca sinopsisnya doang kok.Tidak berniat untuk membeli."

             Tapi ia tidak ingin mendengarkan alasanku.Ia bergegas membayar dan memberikan buku itu padaku.Aku bengong.Beberapa menit kemudian aku berlari untuk membayar uangnya.Tapi ia tetap pergi menjauh.Dan meninggalkan aku dengan tatapan kosong.Sampai sekarang buku itu kusimpan rapih.Aku pun terus mencari tahu tentang orang itu.Aku bertanya ke kakak kelas,maupun teman-teman seangkatan bila perlu aku bertanya ke adik kelas.Tapi jawabannya tetap NIHIL.

      Acara Kemah yang lebih tepatnya reonian diadakan esok hari. Aku begitu mengantuk untuk mempersiapkan seluruhnya. Jadi aku memutuskan untuk tidur. Tidurku sangat nyenyak sekali. Aku masih memimpikan dirinya. Entah siapa dirinya,kenapa dia selalu hadir dalam mimpi-mimpiku bahkan aku tidak mengenalnya. Aku baru bertemu dengannya satu kali. Dan itu juga setelah mimpiku yang pertama. Aku masih berbaring di ranjang aku menatap buku yang ada di sampingku. Buku itu mengingatkan aku dengannya. Udara dingin menyergapku. Aku terbangun untuk sholat shubuh.

Aku menyiapkan barang barang untuk kemah. Kami harus berkumpul siang hari. Masih ada waktu untuk menyelesaikan naskan. Deadlinenya sebentar lagi.Hiks menyedihkan. Kenapa aku harus buang-buang waktu untuk acara reonian. Bertemu dengan mereka lagi. Tapi jika tidak pergi hal itu akan mengisyaratkan bahwa aku kenapa-kenapa.

Aku hampir merampungkan 1/3 nya tinggal 2/3 lagi. Ayo semangat. Adzan Dzuhur berkumandang aku sholat dan bergegas pergi. Oh tidak aku akan membuang waktuku 3 hari di neraka. Kami berkumpul. Aku menampilkan senyum getirku. Tampaknya mereka sudah biasa dengan senyum getirku. Mungkin karena mereka tidak pernah melihat senyum manisku.

Kami menaiki bis aku memilih duduk di pojok. Agar bisa melihat pemandangan dan berharap semoga bisa keluar dari dunia mereka. Satu jam berlalu. Aku terlalu bosan melihat pemandangan di luar akhirnya aku bangun.

“Yume,bangun kita sudah sampai. Aku pun terbangun. Aku mengambil barang-barangku dan mendaki gunung bersama mereka. Terkadang medannya sulit sekali,begitu terjal. Terkadang ada beberapa duri,bahkan lintahpun ikut-ikutan. Akhirnya kami menemukan sungai dan danau. Kami beristirahat satu jam di situ melepas dahaga dan shalat berjama`ah. Kami melanjutkan perjalanan. Aku sudah terlalu cape berjalan. Dan berat tas ku benar-benar memberikan beban yang membuat punggungku membungkuk. Ketika tua nanti bungkukah aku? Kami terus berjalan sampai cape. Mencari jalan-jalan yang belum pernah dilalui. Semak belukar mengitari kami. Jurang mendampingi kami di pinggiran. Rumput basah mengembun. Membuat orang yang mendaki tidak hati-hati akan terpeleset. Aku hampir terpeleset. Untung sebuah tangan dengan sigapnya memegang lenganku ku kira ia adalah Mizu yang sedari tadi mereka ada di belakangku.Tapi ternyata ia adalah laki-laki itu. Laki-laki yang dengan tidak minta izin terlebih dahulu hadir dalam mimpiku. Bahkan sebelum aku mengenal dan melihat wajahnya terlebih dahulu.

Ia melepas lenganku. Tadi ia memegangku dengan erat berharap aku tidak beneran jatuh. Setelah memastikan aku tidak jatuh. Ia pun mendahuluiku,tersenyum dan mengatakan agar aku hati-hati. Teman-temannya yang lain mengikutinya dari belakang. Mereka adalah senior pembimbing. Mizu,Hima,dan Natsu berbisik-bisik di belakang ketika aku menoleh kepada mereka. Mereka tersenyum menganggap masalah telah selesai. Dan semuanya impas. Satu sama. Tapi aku tidak merasa masalah sudah usai. Aku masih marah. Pengkhianatan mereka masih membekas. Akupun mempercepat langkahku mereka memanggil-manggil diriku. Aku berusaha menyelinap dari kerumunan orang. Dan menghilang dari mereka. Aku berharap Ai ada di sini. Sepupuku sayang.

Dataran semakin tinggi. Oksigen semkin menipis. Suhu semakin rendah. Dan udara terasa dingin sekali. Aku begitu tidak kuat. Sampai-sampai aku ingin pingsan. Begitu dilema agar tidak mati kedinginan aku harus terus berjalan. Tapi aku sudah terlalu cape untuk berjalan. Aku tidak biasa mendaki gunung. Aku mengutuki diriku. Kenapa aku memisahkan diri dari mereka. Jika aku pingsan di sini. Pasti tidak ada teman yang akan menolongku. Aku terus menatap tanah. Berjalan ngos-ngosan. Aku terus membungkuk tanda tak kuat. Untung aku memegan tongkat bendera. Dari tongkat itu aku bertumpu. Seketika aku merasa hangat. Hangat yang menyenangkan membuat diri merasa semangat untuk terus mendaki. Hangat yang begitu harum seperti pelukan seseorang. Tapi tentu saja tidak ada orang aneh yang tiba-tiba memelukku kan?

Aku terus melangkah sampai akhirnya aku sampai di puncak. Aku begitu cape aku pun terduduk menunggu mereka. Ketika mereka datang aku tersenyum tanda menang. Mereka mengaku kalah. Mereka mendudukan diri mengitariku. Aku bagaikan api unggun memberi kehangatan. Mizu memegang sebuah Almameter yang ada di punggungku. “Sepertinya ini bukan dari Universitasmu?” Dia menunjukannya padaku. Akupun berkata padannya “Memang bukan” Natsu tertawa cekikikan. Mizu bertanya lagi”Lalu kenapa ada di punggungmu?” Aku menatapnya dengan expresi bingung penuh tanda tanya “Benarkah ini ada di punggungku?” Natsu menjawab ”Ya Yume. Jadi bisa kau ceritakan pada kami kronologi ceritanya?” Mereka menatapku penuh selidik dan aku menjawan “Aku tidak tahu,kenapa benda itu ada di punggungku “ Mizu menatapku heran “Kenapa tidak tahu?” Aku menjawab sekenanya “Mungkin karena aku tidak sadar” Natsu tertawa cekikikan dan mulai mengatakan apa yang ia pikirkan “Mungkin ada seseorang yang memakaikannya untukmu.” Hima bertanya-tanya”Tapi siapa dan kenapa ia tidak merasakan apa-apa?” Aku menerangkan sedikit” Mungkin karena saat aku mendaki tadi, aku terus membungkuk seperti nenek. Aku begitu kelelahan,dan kedinginan. Rasanya saat itu aku seperti ingin pingsan. Dan aku tidak tahu lagi jika aku pingsan saat itu. Kalian tidak ada di sisiku. Maafkan aku sudah pergi begitu saja. Dan saat itu saat aku seperti ingin pingsan karena sudah tidak kuat. Tiba-tiba ada sebuah kehangatan menyapaku. Membuatku lebih berenergi untuk terus berjalan menuju puncak. Mungkin benda inilah yang menjadi penyemangatku ” Mizu termenung “ Hem ok. Ini artinya kau memiliki penggemar rahasia, atau kalau tidak ada seseorang yang begitu kasian kepadamu, dan dia tidak ingin kau ambruk seketika” Mizu memberikan benda itu padaku. Aku memeluknya hangat.

Hima marah-marah kepadaku. “Kenapa tiba-tiba kau menghilang?Bagaimana jika kau hilang beneran?Harus berkata apa kami kepada ibumu” Aku tersenyum “Aku sudah tidak tinggal bersama ibuku lagi,karena kita sudah bukan anak-anak lagi” Dia bersi keras “Walaubagaimanapun juga kalau kau hilang ibumu pasti akan panik” Aku tidak mau kalah “Pada akhirnya kita berkumpul di sini kan?” Natsu menyela “Lain kali kita rantaikan tangannya biar tidak hilang” Mizu tertawa “Haha aku akan membelikan rantainya, kalian yang bawa dia ya” Aku tersenyum miris. “Kalian kira aku apa ? Buronan yang akhirnya tertangkap dan harus di amankan?” Kami pun tersenyum tertawa.

Matahari sebentar lagi terbenam. “ Kami bergotong royong membuat kemah” Untung ramai-ramai. Kalau sendiri aku tidak becus ini. Setelah itu kami shalat berjamaah dan membuat makanan ramai-ramai sembari menghangatkan diri. Makanannya terasa nikmat. Setelah itu dilanjutkan dengan shalat Isya dan bercengkrama mengitari api unggun. Di luar ramai sekali. Terdengar suara sorakan. Aku ingin ikut bersorak sampai akhirnya aku melihat Mizu dan Hima saling menyuapi. Cinta anak remaja. Bukankah mereka sudah putus?Kenapa masih semesra itu? Agar tidak terlihat aneh. Aku yang berdiam diri di depan tenda. Akhirnya ikut menggabungkan diri. Jam 9 malam. Aku yang sudah bosan berbincang-bincang akhirnya undur diri.

Aku mengatakan ingin mengambil air wudhu. Di danau belakang tenda. Sejujurnya Saat itu aku sedang menangis tapi ku netralisir dengan air Wudhu. Tiba-tiba ada sebuah saudara. Aku teringat pesan ibuku seharusnya jika ke tempat sepi aku harus minta di temenin bukan sendirian seperti ini. Suasana menjadi horor. Aku bersiap berteriak dan ngambil kuda-kuda untuk melindungi diri. Sejujurnya aku sudah belajar tae kwon do dari kakakku. Ternyata yang datang kakak itu lagi. Ia memberikan aku pisang sama seperti di mimpi. Lalu pergi. Apakah ini mimpi?ini memang segelap mimpi walaupun aku bisa melihat dengan jelas. Pisang di malam hari. Aku berkata pelan “Sejujurnya aku tidak membutuhkan ini” Tak kuduga ternyata dia mendengar suaraku. Padahal aku nyaris berbisik. Karna ia sedang menatapku. Aku pun mengalihkan perhatian “Siapa nama anda?” Dia berkata sambil lalu. Meninggalkan aku. “Hikari”

Jadi,ia bernama Hikari,sesuai namanya ia bagaikan Cahaya bagiku. Aku pun berteriak “Hikari kun. Arigatou Gozaimasu.” Ia menoleh,tersenyum,dan pergi lagi meninggalkan aku. Aku tidak tahu pisang ini harus aku apakan. Apakah harus kusimpan tapi nanti busuk. Lagipula tidak menutup kemungkinan bila tiba-tiba pisangku di makan Mizu,Hima dan Natsu. Jadi,akupun memakan pisang itu. Aku menikmati rasa manisnya. Kulit pisang ini berwarna kuning sesuai warna kesukaanku. Dan pisang adalah makanan kesukaanku sewaktu kecil. Terkadang aku memakanya memakai sendok seperti anak bayi. Terkadang makan pisang pakai sendok akan memakan waktu lama sekali. Tapi aku ingin mengingat masa kecilku. Jadi,aku berlari ke kemah dan memakannya pakai sendok. Huwaa jadi nostalgia. Tiba-tiba mereka datang. Dan mereka ingin mencicipi pisangku. Aku teringat perkataan Hima “ Jangan melakukan kesalahan untuk kedua kalinya” Jadi, aku langsung menghabiskan pisang itu. Mizu begitu kecewa. Hima tersenyu misterius. Natsu berexpresi datar. Tapi tersembunyi gejolak pemberontakan, Sepertinya Hima dan Natsu memihak ke Mizu. Karena mereka lebih sering bersama. Sudah jam 10.00 akhirnya kami tidur. Dengan di akhiri kisah horor. Dan ditutup doa. Semoga kisah kami tak terbawa mimpi. Tapi aku malah memimpikannya lagi. Hikari kun.

Shubuh tiba seusai sholat kami lari pagi. Aku menghilang dari penglihatan mereka bertiga. Bukan karna aku menghindari mereka. Tapi karena aku bertemu dengan, Ai dan Murasaki kakak laki-lakiku. Kami tertawa bersama. Dan aku bertanya “Kenapa kalian berduaan?” Aku menatap Ai “Apa karena Sarangheo oppa?” Ai memukul pundakku pelan. Wajahnya bersemu merah. Tampaknya memang benar. Lalu bagaimana perasaan oppa. Aku menatap kakakku. Dia hanya diam tanpa expresi ia menatap ke arah lain. Pikirannya tak disinikah?Jangan-jangan tatapannya kosong. Apakah dia tidak mendengarku. Aku pun menatap ke arahnya. Expresinya serius. Tangannya masuk ke dalam saku paling dalam. Apa yang sedang ia pikirkan? Aku tidak tahu walaupun aku sudah 20 tahun hidup dengannya.

Aku melirik ke arah yang ia tatap. Sebuah goa. Aku penasaran. Aku mendekat ke goa itu. Kakakku menarikku dan berkata “ Jangan.” Ia terdiam lagi dengan expresi sok seriusnya. Aku bertanya penasaran “ Ada apa?” Dia menjawab dengan mempertajam pendengaranya ”Aku mendengar sebuah suara di dalam” Aku dengan semangat berkata “ Mari kita selidiki” Ai memegang pundakku dengan wajah cemas ia menggeleng “Belum saatnya.”

Murasaki masuk ke dalam meyalakan senter miliknya aku pun mengikutinya. Menyalakan senter. Ai yang tidak menyukai ini akhirnya mendesah. Ia pun jadi ikut menyalakan senternya. Lorong yang semola lebar menjadi sempit.  Belum apa-apa kami sudah mendapatkan beberapa pilihan. Benar-benar bagaikan labirin. Kami mengamati tiap lorong. Dan hanya ada satu lorong yang memiliki tanda x. Kami memilih jalan itu. Jalan itu makin mengecil hingga akhirnya kami harus jalan menunduk,bahkan terkadang merangkak. Kami mendengar suara air. Kami tiba di air terjun di dalam gua yang sangat indah dari tempat air ini terjun ada cahaya masuk  membuat tempat ini gemerlapan indah. Sampai sini sudah tidak ada jalan lagi. Ai memutuska untuk pulang. Tapi aku dan Murasaki sepakat untuk berenang sebentar. Ai kesal ia hanya duduk dan berkata “ Yume kerudungmu kan ada di tenda yang jauh dari sini, Apa kau merasa nyaman jika kau berjalan di luar dengan pakaian basah seperti itu?” Aku menjawab singkat “Aku cukup nyaman Ai, ayolah jilbabmu pun akan kering dengan seiring berjalannya waktu.

Akhirnya ia memutuskan berenang. Kami saling menyiprat-nyipratkan air. Aku pun berenang menuju Air terjun untuk merasakan pijatanya. Murasaki dan Ai mengikuti jejakku. Kami perebutan hingga Ai terdorong jauh kebelakang. Membuat lumut itu berjatuhan Dan tampaklah sebuah dinding bertuliskan sebuah tulisan yang entah itu tulisan apa. Kami tertarik mendekar ke arah Ai bukan karena kami ingin menolong Ai, tapi karena kami tertarik dengan dinding itu. Dinding ini berbeda dengan dinding lainnya. Ai menyenderkan badannya ke sebuah batu. Tiba-tiba dinding itu bergeser. Dan ternyata ini adalah sebuah pintu gerbang menuju kota hilang,kota yang sudah tidak berpenghuni dan sudah tidak di tempati. Dulu memang manusia tinggal di goa. Sampai suatu ketika Socrattes mengajak penduduk itu untuk keluar goa,melihat bumi yang begitu luas ini,serta melihat pemandangan yang ada. Merasakan hangatnya matahari. Dan desauan angin,serta mendengar kicauan burung yang menari bahagia. Tapi para penduduk itu menolak ajakan Socrattes. Kota ini terbuat dari pasir dan tanah. Bangunan rumahnya tampak biasa saja. Rata-rata penduduk adalah seorang pandai besi mereka membuat perhiasan serta tombak untuk menangkap ikan di danau ini. Sampah duri ikan serta kulit kerang  dikumpulkan menjadi satu tempat. Ada porselen terkubur di sini. Murasaki menyuruh kami diam dia mendengar seseorang mendekat. Kami bertiga masuk ke dalam sebuah bangunan yang tak terkunci. Tapi ternyata gudang itu adalah tempat penyimpanan harta. Kami mendengar mereka mengatakan ini adalah barang jarahan,perampokan dan curian. Semuanya tersimpan di sini. Sudah tidak terdengar suara penculik. Kami bertiga bergegas pergi untuk menelepon polisi. Tapi karena kami terburu-buru kami menendang sesuatu sebuah guci. Suara begitu nyaring. Dua orang itu terbangun kami berlari. Karena aku di bagian belakang. Aku ditangkap. Murasaki dan Ai belum menoleh ke belakang. Mereka tidak tahu aku ditangkap. Aku tidak bisa berteriak karena mulutku disekap. Aku dikurung di bangunan tadi. Murasaki dan Ai begitu panik. Mereka sadar aku tidak ada ketika mereka di luar. Sebelumnya Mizu,Hima dan Natsu sudah melaporkan hilangnya Yume dari lari pagi tadi kepada para senior pembimbing.

Di depan goa Murasaki dan Ai yang panik bertemu dengan Hikari. Murasaki menceritakan semuanya. Hikari pun menyuruh untuk segera hubungi polisi. Dan jika dirinya belum keluar juga bersama Yume mereka semua boleh masuk untuk menolong. Maka setelah Hikari di beri tahu jalannya ia pun masuk melewati lorong yang bertanda x. Merangkak di lorong yang semakin kecil. Berlari ke air terjun ,masuk ke dalam dan mengendap-endap ke bangunan yang di beri tahu Murasaki. Hikari mengintip Yume dari jendela kecil. Ia melihat Yume sedang berusaha melepaskan tali karena frustasi. Akhirnya ia menggali pasir dekat tembok. Hikari pun ikut menggali. Yume yang melihat sebuah tangan ia pun panik. Hikari sudah tidak melihat tangan Yume. Ia pun berbisik bahwa dirinya adalah Hikari. Yume yang mendengar itu hatinya berdesir. Hikari memang cahaya untuknya. Akhirnya mereka melanjutkan penggalian. Tapi seorang laki-laki tubuh kekar datang. Hikari yang melihat bayangan laki-laki itu pun. Akhirnya terjadi sebuah pergulatan .Yu me panik tapi ia tetap melakukan penggalian ia berhasil keluar. Tapi percuma ia disergap oleh laki-laki satunya lagi.

Akhirnya mereka berdua di kurung di suatu tempat. Mata mereka ditutup agar tidak melihat. Mulut mereka di tutup. Mereka sudah sampai  di tempat penyekapan. Ia pun membuka penutup mata dan mulut juga ikatan kaki dengan pisau lipat. Lalu ia membuka penutup mata,mulut,tangan,dan kaki pada Yume. Yume menatap takjub. “Kenapa kau bisa bebas?Bukankah tadi kau di ikat?” Hiakari pun menjelaskan ia berhasil membuka  ikatan tangan karena saat diikat ia meregangkan tangan.

Akhirnya mereka bebas. Lalu mencari jalan keluar dari bangunan itu. Tapi bangunan itu sungguh besar banyak jalanan yang simpang siur. Mereka kelelahan. Mereka pun istirahat. Yume menggambar peta. Dia menggambar ruangan ini. Dan mencoret jalanan yang buntu. Hikari tersenyum dan berkata “Setidaknya kita bisa kembali jika jalanan yang kita temukan buntu” Yume pun menjawab dengan lelah “ Yeah dan akhirnya kita mengulang lagi dari awal,menyusuri jalan satu persatu. Bagaimana jika mereka datang?”

“Tenang aku sudah menyuruh yang lainnya kesini jika dalam waktu dekat kita tidak kembali. Dan polisi pasti sudah meringkus mereka. Sebaiknya kita sholat dulu. Agar tahu harus lewat jalan yang mana. Kami pun berjamaah. Dia membacakan surat yang panjang sekali. Dan setelah berdoa. Akhirnya dia sudah bisa mengambil keputusan ngambil jalan yang mana. Dan dia memilih jalan yang sudah dilewati. Aku pun bertanya”Bukankah tadi kita sudah lewat sini” Dia hanya tersenyum dan menjawab” Kita melewatkan sesuatu”

Aku berjalan mengikutinya. Angin berhembus dingin. Sangat tidak ramah. Seketika aku mendekap tubuhku. Dan aku melihat almameter yang aku kenakan. Berwarna hijau. Di kantungnya seperti ada sesuatu. Aku membukanya. Sebuah catatan kecil berisikan agenda acara perkemahan ini. Dan aku melihat sebuah nama. Nama itu again. Aku terhantuk batu dan terjatuh. Hikari menoleh ke belakang dan membantuku berdiri “Ada apa?wajahmu menegang seperti itu”

Aku diam mengumpulkan keberanian untuk berbicara” Benda yang kukenakan ini milikmu kan?Kenapa kau diam saja. Ini aku kembalikan. Dan terima kasih.” Dia mencegahku untuk membukanya. “Tidak ,di sini terlalu dingin. Tetap gunakanlah”. Aku pun urung menggunakannya. “Aku kembali bertanya”Kemarin malam kenapa tiba-tiba kau memberikan aku buah” Dia berkata sambil jalan “Saat itu aku sedang mengambil sesisir buah  di pohon sebelah” Untuk dimakan bersama sahabat-sahabatku. Tapi ketika aku melewati danau. Aku mendengar kau terisak. Kau terlihat begitu frustasi. Aku takut dengan tiba-tiba kau menceburkan diri. Jadi aku berikan sebuah pisang. Maaf kalau hanya sebuah. Karena sisanya buat yang lain.”

Aku tersenyum dan berterima kasih. Dia berkata tiba-tiba.” Kau penulis itu ya?tulisan mu begitu bagus,Aku hampir membeli semua karyamu” Aku merendah “ Sejujurnya kau pun bisa membuatnya jika kau mau.” Dia tersenyum. Aku melanjutkan “Ada seseorang berkata saat aku baru pertama kali menerbitkan bukuku. Ia adalah pembaca. Dan ia hanya berkeinginan membaca buku yang penulisnya terkenal. Lalu dengan senyuman manis dan karena saat itu aku juga masih menjadi pembaca,aku menjawab ”Itu sungguh tidak adil,Ayolah Andrea Hirata,dan Habiburahman El-Shirazy ketika awal menulis juga belum terlalu terkenal. Tapi karena promosi besar-besaran di mana saja. Akhirnya mereka tahu siapa mereka dan apa yang mereka tulis. Melalui resensi dan sinopsis yang beredar di mana- mana. Akhirnya pembaca penasaran ingin membaca karya itu. Dan akhirnya buku mereka laku di pasaran. Mereka pun bersemangat untuk menulis lagi. Menebarkan setiap kisah yang inspiratif agar pembaca bisa menuai tiap hikmah yang tersajikan. Akhirnya melalui tulisan- tulisan yang sudah mereka tulis. Pembaca sudah begitu terpesona olehnya. Yah akhirnya hanya dengan namanya sudah terjual. Tidak sedikit pula. Beberapa novel yang nama pena penulisnya dimirip-miripin mereka Judul bukunya juga dimirip-miripin. Seperti ingin menipu pembaca yang masih lugu. Aku pun berkesimpulan. Jika kita menginginkan sesuatu kita harus tau apa yang kita inginkan. Agar tidah salah mendapat”

“Ka, Menulis lahir dari seorang yang selalu suka membaca, karena ada sebuah pepatah. Membaca tapi tidak menulis maka ia seperti melihat tapi lumpuh. Maka dari itu mulai menulislah ka” Ia hanya menjawab “Ia nanti akan kucoba kalau ada waktu senggang.”

“Ka?” dia menjawab singkat sembari terus berjalan “Ia?” Aku meneruskan perkataanku “Terima kasih sudah datang kesini” Dia tertawa “Walaupun aku tidak datang pun sepertinya kau sudah bisa melarikan diri dengan cara menggali pasir.” Aku hanya menjawab singkat “Yah untungnya tanganku diikat ke depan”

Dia melanjutkan”Kau harus berterima kasih pada ketiga sahabatmu,mereka panik sekali tadi. Akhirnya berkat mereka bertiga kami semua mencarimu” Akupun diam,tersadarkan. Dia menatapku”Apakah kalian sedang ada masalah?” Aku menggeleng cepat. Tidak ingin ia berfikir macam-macam. Akhirnya kami diam karena kami harus merangkak. Jalanan begitu kecil. Senternya mati. Lalu ia meminta senterku. Karena cahayanya tertutup oleh badanya. Terkadang aku menabraknya. Karena dia berhenti tiba-tiba. Setelah itu aku hampir terjatuh. Kalau saja ia tidak memegangku. Ternyata ada sebuah tangga ke bawah. Tadi aku tidak menggunakan tangga itu. Lalu kami melanjutkan berjalan. Aku terhantuk sesuatu. Tengkorak. Aku bergidik. Dia menenangkan. Lalu tidak lama dari lorong itu. Jalanannya berubah jadi buntu. Tapi ternyata di atas ada bekas liang kelinci. Ia melebarkan liang itu. Dan mengangkkatku ke atas. Aku melihat cahaya terang. Di sebelah liang itu ada pohon. Aku membantu dirinya naik ke atas. Hampir saja aku terjatuh. Menimpa dirinya. Tapi akhirnya aku terjatuh juga. Dirinya terlalu berat untuk ku tarik. Aku jadi merasa tidak becus. Aku pun diangkat naik lagi. Setelah aku di atas aku membantunya naik.

Kami melihat sekeliling. Kami berada di bawah gunung. Aku pun bertanya padanya. “Apa yang harus kita lakukan?rasanya aku tidak sanggup mendaki lagi. Aku menjatuhkan diri di pohon. Aku cape. Dia memberiku sebuah makanan. Dan membawaku ke sebuah sungai kami minum. Dan sholat ashar. Setelah itu membuat api unggun. Ia berusaha menangkap ikan. Aku ingin membantunya. Tapi sayang aku malah seperti sedang main air. Dan membuat ikan –ikan itu pergi. Aku pun kembali ke api unggun dengan merasa bersalah. Aku menghangatkan tubuh. Karena ternyata airnya begitu dingin. Aku bersin dan keluarlah ingus. Aih.

Ia memberiku sapu tangan. Dan memberikanya jaket lagi. Aku menolak. Dengan begitu ia juga akan merasa kedinginan dan tidak lucu jika pada akhirnya kami berdua sakit. Ia mendapatkan dua ikan besar. Membakarnya untuk kami makan. Maghrib tiba ia membakar kembang api. Berharap mereka melihatnya dan mengetahui keberadaan kami. Karena kami cape menunggu akhirnya kami shalat maghrib bersama. Dan untunglah tak berselang beberapa lama. Akhirnya kami bertemu dengan yang lain. Aku mengucapkan terima kasih kepada Ka Hikari dan tiga sahabatku. Aku berpamitan pada mereka karena aku pulang bareng Ai dan Murasaki. Aku tidak pulang ke Bandung melainkan ke Bogor. Kami bermain di sana. Sepupu-sepupuku yang lain sudah beranjak besar.

Aku melanjutkan tulisanku yang belum rampung. Dan juga thesis ku. Akhirnya aku pulang ke Bandung. Keesokan harinya aku bertemu dengan Hikari dan ketiga sahabatku Hikari memperkenalkan aku dengan sahabatnya namanya Himitsu. Mulanya aku sms Himitsu hanya untuk bertnya kabar Hikari. Tapi lama-lama hubunganku dengan Himitsu berubah jadi aneh. Himitsu mengkhitbahku. Aku tidak tahu harus berkata apa. Himitsu saat itu belum memberi kabar. Dengan bodohnya aku berkata ia.

Akhirya aku sudah menyelesaikan pendidikanku. Aku ke Bogor untuk bermain. Rupanya Ai sedang bahagia. Tapi ternyata kebahagiaanya hanya membuatku sedih. Ia di khitbah oleh Hikari sebentar lagi. Mereka akan menikah. Tokyo Tower serasa hancur dipikiranku. Aku teringat perkataan Hima yang misterius,entah dia bisa meramal atau tidak,paling hanya deduksi “Jangan ulangi kesalahan masa lampaumu” kata Hima 6 tahun silam. Tampaknya aku sudah melakukan kesalahan yang sama. Mencintai orang yang salah.

Aku pun memberanikan diri bertanya pada Ai “Bagaimana bisa?Apa kalian setahun ini mulai dekat?” Aku  terpana. Ternyata selama ini yang disukai Himitsu adalah Ai? Kenapa aku tidak menyadarinya? Sudah lamakah hubungan mereka terjalin. Dia berkata”Tidak baru seminggu terakhir ini” Aku melongo bagaimana bisa baru seminggu. Aku saja baru sebulan dengan Himitsu tapi sejujurnya aku tidak menyukainya. Ah aku pusing dunia ini terlalu aneh bagiku apa jangan-jangan aku yang aneh?

Dia menatap ku seakan-akan dia tahu dari expresiku  aku mengatakan bagaimana bisa . Ia pun menerangkan “Hikari orang yang romantis dia memberikanku surat cinta” Aku membacanya,aku shyok. I,,,ini tulisan yang selalu ia kirim untunkku. Aku menatap nanar semuanya berubah jadi gelap. Dunia serasa runtuh aku terjatuh. Ai menatapku aneh. Untuk menetralisir suasana aku berdalih.”Maaf Ai kemaren aku menulis sampai jam 2 malam. Itu juga aku tumbang karena aku lapar dan mengantuk. Aku lihat di dapur tidak ada makanan jadi untuk menghilangkan rasa lapar aku pergi tidur.”

          Ai memaklumi pekerjaanku. Dia mengajakku makan. Suasana hening. Untuk membunuh rasa canggung aku bertanya “Bagaimana hubunganmu dengan Murasaki?” Dia menatapku dan tersenyum. “Sejak awal kami tidak memiliki hubungan apa-apa” Dia bohong aku tahu itu. Pasti sesuatu terjadi diantara mereka dan akhirnya mereka putus. Padahal mereka terlihat amat serasi sekali. Yah untuk membuat Murasaki kesal pasti Ai menerima khitbah itu. Tapi pasti ia menyesalinya. Seperti aku menyesali khitbah Himitsu.

Aku pulang ke Bandung dan aku bertemu dengannya lagi. Di perjalanan. Yah dia yang entah kenapa hadir dalam mimpiku jauh sebelum aku melihatnya dan mengenalnya. Bahkan aku lupa untuk mengembalikan almamater itu. Yah biarlah aku menyimpannya,untuk kenang-kenangan. Lagipula ia telah mengikhlaskan. Almamater itu. Tapi bagaimana jika aku sudah berumah tangga dengan Himitsu dan ia melihat Almamater itu?Hem, dia pasti tidak mengenalinya. Tapi iakan sahabatnya. Ya sudahlah terjadi masalah biarlah terjadi. Lagipula aku akan menyimpannya di tempat rahasia.

 Aku tersenyum simpul untuk menunjukan tidak ada yang terjadi. Aku ingin memberikan buku itu. Buku yang mempertemukan kami berdua. Aku berharap walaupun ia sudah menikah nanti ia akan tetap mengingatku. Tapi bagaimana jika Ai melihat buku ini?Ah pasti Ai hanya beranggapan suaminya penggemar setiaku. Tapi apakah ia akan cemburu?Kurasa tidak karena aku tahu dari matanya. Ia seperti sedang menyembunyikan persaannya. Sepertinya ia sedang merahasiakan kerinduannya pada Murasaki. Laki-laki berkaca mata tipis. Dan berkemeja rapi itu. Akan sangat indah jika ia sedang memegang sebuah buku. Tapi sayang sekali ia jarang memegangnya.

Hikari tampak bahagia menerima hadiahku. Melihat wajahnya aku jadi terbayang jika aku ke rumah mereka pasti. Hikari sedang menggendong bayinya dan Ai pasti sedang membuat adonan kue,Hem. Akupun memberikan selamat karena sudah mengkhitbah Ai. Dia terdiam,termenung akhirnya ia memberanikan berbicara. “Sejujurnya aku ingin menikahimu. Tapi ternyata kau sudah di khitbah Himitsu”

Aku menatapnya nanar. Sejuta perasaan bergelayut di hatiku. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu. Hiks aku yang mulai ikhlas menerima keadaan. Kini menjadi sedih lagi. Aku mengutuki diriku kenapa dekat-dekat dengan Himitsu. Aku mengutuki Hikari kenapa ia memperkenalkan Himitsu padaku. Aku menjawab bodoh. Aku tidak tahu harus berkata apa “Tak bisakah kau memutuskan khitbah mu,dan menikah denganku?”

Dia menatapku dengan expresi aneh. Aku tahu pasti dia tidak enak dengan Ai. Aduh kenapa jadi begini sih. Hanya karena salah langkah. Dia pun tersenyum dan berkata “Himitsu adalah orang yang baik, Dia adalah sahabatku.” Aku pun berkata “Tapi aku belum terlalu mengenalnya” Dia tersenyum”Kalau ada apa-apa bilang aku saja” Dia pun turun dari bis. Dia sudah sampai di tempat tujuannya.

Ketika esok hari Ai datang. Ia menangis. Sekarang ia sudah tidak bisa berbohong padaku. “Sejujurnya aku masih merindukan Murasaki.” Dia terdiam. Aku merangkulnya dan menatapnya tenang “Aku tahu. Sangat terlihat jelas di expresimu. Kau tahu mungkin sekarang ia sedang merindukanmu juga” Ai menatapku tidak percaya “Benarkah?” Ada secercah senyuman di wajahnya. “Kita akan tahu jika kita ke sana” Aku meyakinkan.” Dia urung diri.

Murasaki datang membawa kue. Tumben ia datang. Ada apa ini? Kata hatinya kah yang membawa ia kesini? Tapi tepat sekali dengan kedatangan Ai. Yang mungkin Ai juga datang menurut kata hatinya. Lucu kenapa mereka tidak mendatangi tempat kenangan mereka berdua saja. Untuk menyelesaikan masalah ini. Mungkin karena mereka membutuhkan seseorang untuk menyelesaikan masalah mereka.

Murasaki yang tadinya tersenyum menemuiku. Akhirnya malah terpaku di depan pintu. Senyumannya hilang. Ia berdiri di situ dengan suasana janggal. Aku pun menyuruhnya masuk dan duduk. Ia merasa salah datang di saat yang tidak tepat. Entah kenapa kedatangannya bersamaan dengan Ai. Padahal mereka tidak janjian. Lagipula hubungan mereka sedang retak di sini. Mungkin itu mengartikan mereka masih saling membutuhkan. Dan mereka masih ingin bersama. Mereka pun masih memiliki kesamaan.

Murasaki menyapa kami dengan canggung. Aku pun bertanya langsung ke pokok pembicaraan “Apakah kau merindukan dirinya Murasaki?” Dia tertawa menggeleng “Tentu saja tidak. Aku kesini karena aku merindukanmu. Jika aku merindukan dirinya aku akan ke rumahnya kan?” Kata Murasaki jahat. Ai yang tersenyum bercahaya,kini senyumannya pudar. Aku menatap mursaki tajam “Jangan membohongi dirimu sendiri Murasaki. Kami semua tahu,,,” Dia langsung dengan cepat memotong. “Bagaimana kalian bisa tahu kalau aku sendiri pun tidak mengerti apa yang kurasakan.” Aku melanjutkan kalimatmu terpotong” Kalian datang ke rumahku di saat yang bersamaan. Manis sekali. Kalian tahu itu artinya apa? Yah itu artinya kalian memikirkan hal yang sama,kalian merasakan hal yang sama,kalian saling merindukan. Akuilah fakta itu Murasaki.” Ia tertawa terbahak-bahak “Jangan sok tau deh. Bahkan kau tidak tahu kenapa kami berpisah, kau sudah seperti peramal saja” Aku menyela cepat “Tepat. Kau mengatakannya. Membenarkan deduksiku. Beberapa hari yang lalu aku baru saja menanyakan hubungan asmara kalian. Tapi disanggah Ai, dengan mengatakan kalian tidak memiliki masa lalu. Tapi kini di pagi hari yang cerah ini. Ai mengakuinya. Mengakui bahwa dia merindukanmu(seketika semburat warna merah timbul di pipinya yang merona.) Dan kau Murasaki. Dengan secara tidak langsung mengakui bahwa kau Memiliki masa lalu yang sama dengan Yume. Jadi bisa kalian jelaskan apa yang menyebabkan kalian berpisah.”

Mereka semua terdiam. Ai tidak kuat ia memutuskan untuk pergi. Tapi di tahan oleh Murasaki “Semuanya harus selesai sekarang Ai,duduklah” Ai pun terpaksa duduk. Aku melanjutkan khotbahku,selayaknya seperti Hakim di pengadilan dengan korban dan tersangka. “Jadi,kalian masih belum bisa menceritakan kenapa kalian berpisah padaku ya? Hem menarik tapi ketahuilah Murasaki kau harus jujur di sini karena jika salah langkah kalian akan menyesal. Jadi, masalah sebenarnya adalah sebentar lagi Ai akan menikah dengan orang lain” Wajah Murasaki pucat pasi. Akupun melanjutkan “Apakah kau masih mencintainya Murasaki?” Murasaki pun menunduk seperti terdakwa yang mengakui perbuatannya”Andaikan aku masih mencintainya pun. Aku tidak bisa berbuat banyak. Ai sudah dikithbah semuanya sudah terlambat.”

Kini Murasaki yang ingin meninggalkan pengadilan “Kau tidak ingin memperjuangkan cintamu Murasaki? Di sini cinta kalian di uji. Kau tidak ingin menjadi pejuang yang kalah sebelum berperangkan?” Murasaki mehentikan langkahnya ia tersenyum, dan memasukkan tangannya ke dalam sakunya dalam-dalam. “Seperti yang sudah kukatakan tadi. Ai sudah dikhitbah tidak ada yang bisa ia lakukan lagi.” Aku membalas dengan khidmat “Sayang sekali Ai mencintai laki laki yang pengecut” Aku berusaha melukai hatinya karena aku kesal. Berusaha agar ia bertindak nyata. Tapi Murasaki hanya tersenyum pada kami dan ia pergi meninggalkan kami. Meninggalkan Ai yang termenung. Ai menghela nafas “Akh gimana donk ini. Jadinya seperti ini” Aku tersenyum miris. Nasibnya sama sepertiku. Aku menertawakan diriku yang bodoh.

                                                          ***

Ini adalah hari pernikahan Ai. Ia menangis tiada henti. Murasaki tak sanggup menyaksikan ini. Alam pun ikut berduka cita. Awan mendung gerimis turun. Hujan besar meyusul kilat pun ikut hadir suara guntur bersahut-sahutan. Nuansa abu-abu menyelimuti pernikahan ini. Pernikahan yang seharusnya indah dipenuhi cinta dan bunga mawar. Kini berubah bagaikan acara pemakaman. Sebelum pernikahan berlangsung di taman yang sepi. Ai mengucapkan selamat tinggal kepada Murasaki. Mereka berpelukan sangat erat. Seakan akan mereka tidak ingin berpisah. Air mata masih berlinang di air mata mereka. Senyuman terukir di wajah mereka. Jika ada orang yang melihat ini. Pasti sudah menganggap ini sebuah pengkhianatan cinta. Sayangnya yang melihat adalah orang yang bersangkutan. Sang mempelai pria. Korban yang akhirnya merasa dikhianati. Ia merasa dilema. Sejujurnya ia tidak cemburu. Ia hanya malu. Jika ada orang lain selain dia melihat ini. Sejujurnya ia tidak mencintai mempelai wanita. Saat itu ia tidak sedang berfikiran panjang. Ia kembali ke gedung ia melihat diriku dengan seseorang. Bodohnya aku kenapa aku masih bersama Himitsu. Hikari menunduk sedih. Aku menyapanya memberi selamat. Tapi ia tersenyum getir dan pergi begitu saja. Meninggalkan aku yang berdiri terpaku. Acara pernikahan segera di mulai. Ai masih menangis. Tapi tidak bersama senyumannya yang bahagia seperti berpelukan dengan Murasaki. Hikari menjabat tangan penghulu tanda Akad Nikah segera dimulai. Aku tidak bisa menyaksikan ini. Aku tidak ingi mendengar suaranya tatapanku nanar. Air mataku sembentar lagi terjatuh. Aku berlari  meninggalkan tempat itu. Menghadirkan seribu tanda tanya pada orang yang melihatku termasuk Hikari dan Himitsu. Murasaki duduk tediam di pojokan seperti sapi yang sudah mengikhlaskan diri untuk di sembelih. Aku berlari.

Hikari merasa dilema. Akhirnya ia bangkit. Memakaikan pakaian yang ia pakai ke tubuh Murasaki. Untung Hikari memakai kaus putih di dalamnya. Murasaki mendongakkan wajahnya. Matanya merah. Terlihat jelas ia habis menangis. Matanya semerah mata Ai. Hikari mengajak Murasaki ke pelaminan merekapun dinikahkan.

Aku terduduk di atas kolam. Kolam yang jauh dari tempat itu aku melepaskan sepatu hak tinggiku yang membuat kaki lecet. Aku menaruh kakiku di kolam. Membiarkan ikan kecil itu mengigiti kelingkingku yang lecet. Rasanya perih sekali tapi tidak seperih hatiku. Aku menatap wajahku di kolam. Wajahku sembab,aku melihat bayangan orang lain di kolam itu. Dia adalah laki-laki yang hadir dalam mimpiku jauh sebelum aku mengenalnya. Seperti dalam mimpiki ia tetap memegang pisang kali ini dia memegang dua. Yang satu dia berikan padaku. Kakinya pun ia ceburkan ke kolam itu tak peduli celananya,kaus kakinya dan sepatunya basah. Aku menatapnya yang dengan lahap memakan pisang itu. Akupun membukakan sepatunya dan kaus kakinya serta menggulung celananya sampai sedengkul. Ia berhenti memakan pisangnya dan menatap wajahku. Aku hanya tersenyum dan berkata “ Agar kau bisa merasakan  air yang sejuk serta merasakan ikan yang sedang mencumbui kakimu.” Aku tersenyum manis kami melanjutkan memakan pisang itu. “Bagaimana pernikahanmu?Acaranya belum selesaikan?”

Ia menatapku. “Yah tentu belum selesai. Lalu kenapa kau pergi dari acara pernikahan ku?” Aku tersenyum dusta.”Kakiku kesemutan aku tidak kuat rasanya aku jadi ingin meneteskan air mata. Aku berlari. Tapi rasanya aku tidak bisa merasakan keberadaan kakiku. Tapi aku tetap berlari. Walaupun aku merasakan ketakutan jika kakiku hilang. Jadi aku berlari kesini, agar kakiku sembuh” Ia tersenyum menatap kolam dan ikan yang besar-besar “Kini kakimu tidak akan hilang. Ia di sini. Untung kau membawanya ke kolam. Jadi, ia tahu harus kemana dirinya akan kembali” Aku menatapnya ia mengatakan kalimat ambigu. Aku tidak mengerti. Apakah dia mempercayai  guyonanku? Mungkin ia karena ia terlalu polos. Ia begitu bersih putih.

Ia mengajakku kembali ke gedung ia memintaku mengganti pakaian . Dengan yang lebih bagus daripada itu. Awalnya ia menolak tapi ia memaksa jadi aku mengikutinya dari belakang. Aku pun bertanya padanya “Jadi kau tetap belum menikah?” ia menjawab singkat “Yah belum,aku ingin menunggumu.”

Aku merasa dilema. Aku tidak kuat jika mendengar akad nikahnya. Tapi akupun memasrahkan diri. Aku melihat Ai dan Murasaki tertawa bahagia. Dua orang ibu-ibu menculikku dari Hikari. Mereka memakaikanku pakaian yang indah dan membawaku duduk di pelaminan. Hikari datang dengan pakaian berbeda. Ia menikahiku. Lalu bagaimana perasaan Himitsu. Hikari tidak sejahat itu kan. Aku menengok ke belakang mencuri pandang ke arah Himitsu. Ia tersenyum gembira. Apa maksudnya ini? Dia sama sekali tidak merasa cemburu. Mungkin memang dia tidak mencintaiku. Lalu kenapa ia mengkhitbahku? Hanya bermain-mainkah?

Hikari sudah mengatakannya. Dalam ijab kabul. Ini begitu cepat sampai-sampai. Aku malah tidak merasakan apa-apa. Hikari membawaku ke rumahnya dengan mobilnya. Semuanya berjalan begitu cepat. Seperti mimpi. Tapi awal aku bertemu dengannyakan juga lewat mimpi. Aku bertanya tentang perasaan Himitsu. Hikari mengatakan ia telah meminta izin kepada Himitsu. Himitsu begitu mencintai Yume tapi ia lebih bahagia jika Yume menikah dengan orang yang mencintainya serta yang ia cintai. Himitsu akan sedih jika ia menikahi seorang wanita yang ia cintai tapi tak mencintainya. Pasti sang wanita akan sulit menghilangkan bayang-bayang masa lalunya.

Kami sudah sampai rumahnya. Baru kali ini aku kerumahnya. Kami pun sholat berjamaah dan mendoakan pernikahan ini.

Akhirnya kami memiliki dua anak kembar laki-laki dan perempuan. Mereka begitu mirip. Aku tidak tahu apa sebaiknya nambah atau dua saja. Aku sih ingin dua saja. Karena kalau banyak-banyak pasti repot. Dan bagaimana jika tidak terurus. Kami kedatangan tamu. Mereka adalah. Murakami dan Ai. Pasangan serasi dengan anak  lelaki tampannya. Jagoan manisku. Aku tersenyum dan mencium keningnya,serta memberikanya kue  kering yang baru ku buat

THE END

 
Saat itu Hazzel pergi ke sebuah kafe itu lagi. Ia meminum coklat hangatnya lalu ia mulai menulis di kertas itu. Tapi entah kenapa walaupun ia sudah berusaha menulis dengan berbagai alat tulis. Ia tetap tidak bisa menuliskannya. Entah kenapa semuanya begitu tidak nyata. Padahal jika menulis dengan semua alat tulis itu dengan kertas lain bisa nyata.

Hazzel menghembuskan nafas. Lalu membenamkan wajahnya ke lengannya. Rasanya ia begitu bosan sekali dengan semua hal yang tidak tahu harus bagaimana ia melakukannya. Tiba-tiba ada seseorang yang menyentuh bahunya. Ternyata Nana, Nana pun bertanya tentang keadaan Hazzel. Dan Hazzel pun menceritakan masalahnya. Nana menatap buku itu. Ia membaca huruf paku yang ada di halaman awal lalu ia tersenyum. Dan ia punn berkata “Buku itu bukan untuk di tulis tapi buku ini untuk di baca.” Hazzel mengernyit kepalanya jadi pusing. “Lalu bagaimana cara kita membaca buku kosong itu.” Hazzel mendesah lalu membenamkan kepalanya ke lengannya.

 
Keputusan Hazzel telah bulat. Sekarang umurnya sudah dua puluh tahun. Jadi, ia memutuskan untuk berusaha hidup mandiri. Dan berusaha untuk bisa hidup sendiri. Dan ia memutuskan untuk tinggal di Bandung. Dan mencari pekerjaan untuk menjadi seorang sensei di sana serta ingin belajar tentang astronomi. Lalu akhirnya ia pergi ke Bandung dengan sebuah bis.

Dan malam pertama tinggal di sana. Ia teringat akan sebuah hal. Di dalam mimpinya ia teringat saat ia berumur tiga tahun. Saat itu ia dan ibunya pergi untuk berpiknik. Ibunya sedang menggelar tiker dan menyiapkan makanan. Sedangkan Hazzel kecil sibuk berlari mengejar seekor kupu-kupu. Pada suatu ketika ia berlari begitu jauh dan ia menemukan sebuah goa berdinding kaca. Hazzel menatap kaca itu. Ada seorang anak laki-laki kecil mengajaknya masuk ke dalam dunia kaca itu. Saat itu Hazzel ingin masuk ke dalam dunia di balik kaca itu. Tapi ibunya menemukannya. Dan anak laki-laki kecil serta dinding berlapis kaca itu menghilang dalam sekejap.

Hazzel terbangun. Dan ia melihat sebuah sinar hijau dari liontin yang ada di dalam peti kecil. Liontin itu terus memancarkan cahaya hijaunya. Dengan segera Hazzel membuka laci dan membuka peti kecil itu. Lalu membuka cakram liontin itu. Tiba-tiba seberkas cahaya terang keluar. Hazzel menutup wajahnya. Kamarnya kebetulan ada di lantai atas. Dalam seketika atap yang berlapis genteng itu berubah menjadi kaca. Spektrum warna yang keluar dari liontin itu memancar keluar terpantul oleh atap kaca. Dan bersatu dengan rasi bintang chamaeleon. Beberapa detik kemudian cahaya itu menghilang, dan meninggalkan Hazzel terpaku dan teriam dalam duduknya. Tubuhnya bergetar sembari memegangi liontin itu.

Ia masih belum percaya. Ia pun membaringkan tubuhnya ke tempat tidurnya. Atap rumahnya kini bukan lagi beratap genteng, melainkan kaca ia pun bisa melihat bintang berkelap-kelip. Saat ia kecil ia begitu jarang melihat bintang. Bintangnya tidak sebanyak ini. Saat ia masih kecil di Jakarta. Ia hanya melihat satu sampai tiga bintang saja. Tapi kini ia bisa melihat dengan begitu banyak.

Ia teringat kembali perkataan wanita itu. Sekarang iasudah berada di tempat di mana bintang terlihat dengan jelas. Lalu apa yang harus ia lakukan untuk selanjutnya, dan bagaimana cara ia menolonng angsa itu. Ia terus bertanya-tanya hingga akhirnya terlelap tertidur. Keesokan shubuhnya, ia segera sholat shubuh dan segera sarapan dan mandi. Ini adalah hari pertamanya mengajar. Gajinya tidak banyak memang, tapi cukup untuk kehidupannya. Sedangkan untuk membayar kuliahnya pada akhirnya ia meminta uang orang tuanya juga. Habis mau bagaimana lagi. Ia hanyalah seorang guru honorer.

Jantungnya berdegup keras ketika ia memasuki kelas. Ia pun tersenyum ramah kepada murid-muridnya. Dan untunglah murid-muridnya tidak terlalu nakal. Setelah selesai mengajar. Ia pun mulai kuliah, hanya sebentar. Dan malamnya ia mulai memperkenalkan diri pada orang-orang yang ada di Boscha. Saat ini liontin itu tidak memancarkan cahaya melainkan hanya bergetar. Dan dengan konyolnya liontin itu terjatuh. Pada saat Hazzel ingin mengambilnya, ia melihat sepasang sepatu. Dan ia pun bergegasmengambil liontin itu dan melihat ternyata orang itu adalah Tom. Ia sungguh tidak tahu harus bagaimana. Akhirnya ia hanya tersenyum dan bergegas pergi.

Hari itu berlalu begitu saja. Seharusnya itu adalah hari penting, karena ia bertemu dengan Tom. Seharusnya ia membuat pertemuan itu lebih berkesan agar Tom bisa mengenalnya dan mengingatnya. Tapi mau bagaimana lagi tiba-tiba saja ia jadi tidak tahu apa yang harus dilakukan. Daripada terpaku begitu lama untuk menatapnya lebih baik bergegas pergi.

Ia pun menghela nafas lalu ke sebuah kafe. Kafe itu tidak saja menghadirkan kue dan minuman, tapi kafe itu juga menghadirkan berbagai macam buku bacaan. Hazzel memesan coklat panas dan cake coklat. Lalu ia mulai membuka webnya. Dan mengambil buku bacaan. Setelah menulis sedikit di webnya, ia pun mulai mematikan laptopnya dan menyuruput coklat panasnya. Lalu ia mulai hanyut dalam sebuah untaian kisah dalam novel itu.

Tiba-tiba ada seorang pria yang duduk di hadapannya. Hazzel merasa terganggu, ia oun memaki dirinya seharusnya. Ia meminjam novel ini saja dan membacanya di rumah. Ia pun memperhatikan laki-laki itu. Ia memakai kaos hitam dan jaket hitam serta kaca mata hitam dan topi hitam. Laki-laki itu membuka kaca matanya dan ia berkata “Kau masih mengenalku Hazzel?”

Hazzel mengernyit dan menerka-nerka wajah siapakah ini. Lalu ia pun teringat “Nana,,, wajahmu tinggi badanmu, wah kau sudah mulai banyak perbedaan rupanya.” Nana pun menjawab “Kau juga seperti itu. Begitu banyak perbuhan yang terjadi pada dirimu. Lihatlah bahkan aku harus duduk di depanmu terlebih dahulu untuk melihat apakah kau Hazzel ku atau tidak.” Hazzel pun langsung buru-buru menjawab “Bagaimana kalau tidak?Kau pasti akan merasa sangat malu.” Hazzel menggelengkan kepala dan kembali menatap bukunya. Nana tersenyum dan menyenderkan tubuhnya ke kursi “Setidaknya aku jadi bisa berkenalan dengan wanita cantik yang siapa tahu dia tercipta untukku.” Hazzel meringgis, begitu mudah sekali ia memulai untuk berkenalan “Rupanya kau begitu playboy, ckkk”

Nana pun menyondongkan tubuhnya ke meja “Tapi karena aku sudah bertemu denganmu, aku tidak akan playboy lagi, aku kan play boy untuk mencarimu. Lihatlah sekarang aku sudah menemukanmu.” Hazzel pun membalas “Apa? Bukankah pada akhirnya aku yang ke kota ini?” Nana tertawa terbahak-bahak “Kau merindukanku, akuilah. Dan pada akhirnya takdir akan mempertemukan kita kembali. Lihatlah pertemuan kita semasa kecil tidak sia-sia. Pada akhirnya kita bisa bertembu kembali dan lihatlah ini. Tereng” Nana mengeluarkan sapu tangan bergambar hati Hazzel dan inisial N.H.

“Lihatlah aku berhasil merebut hati Hazzel dari tangan si Bayu itu. Dan ketika kita menikah dan memiliki anak, kita akan memberikan nama N.H Dini. Seperti nama seorang penulis. Aku sering membaca tulisannya. Tulisannya sangat bagus dan begitu reall.” Hazzel tersenyum dan menggeleng lalu ia kembali melanjutkan bacaannya. Merasa tidak dipedulikan Nana menatap ke sekitar. Lalu ia memegang sebuah buku coklat yang terkunci. Ia memainkan buku itu sembari bersenandung. Lalu ia membuka buku itu. Ia pun bertanya kepada Hazzel “Dari mana kau mendapatkan buku ini? Kenapa kau tidak menulis di buku kosong ini? Buku ini terlihat begitu tua dan rapuh karena warna nya coklat kering. Tapi lihatlah ternyata memang rapuh.” Nana berhasil menghancurkan sedikit kertas di halaman ketiga.

Hazzel menatap buku itu lalu ia terpana. “Bagaimana kau bisa membuka buku itu? Lalu kenapa bukunya kau hancurkan?” Hazzel terlihat marah. Tapi senang karena buku itu berhasil terbuka, setelah menunggu begitu lama. Bayangkan sudah tiga tahun berlalu dia belum berhasil membuka buku itu, membaca peta, serta sungguh tidak mengerti pada liontin cakram itu. Dan entah bagaimana keadaan sang angsa itu.

Hazzel berusaha mengambil buku itu dari tangan Nana. Nana menutup buku itu dan memberikannya pada Hazzel. Hazzel membuka buku itu tapi ia tidak bisa membukanya. Begitu menyedihkan. Lalu ia pun mengembalikannya pada Nana dan meminta untuk membukanya serta memberi tahu cara membukanya. Tapi sungguh tidak ada trik khusus untuk membukanya. Hazzel mengernyit, Nana pun tertawa “Tampaknya kau harus menikah denganku karena kau begitu membutuhkanku bahkan untuk membuka buku ini.”

Hazzel pun memintanya agar tidak menutup buku itu. Ini artinya Hazzel tidak boleh menutup buku ini juga selamanya. Kalau tidak pasti akan terkunci secara otomatis lagi dan ia jadi tidak bisa membacanya. Ia menatap buku itu dan membuka lembarannya karena rapuh. Buku ini terlalu kosong. Hazzel berfikir keras kenapa buku ini diberikan padanya? Hanya ada dua cara menggunakan buku, yaitu membacanya atau menulisnya. Karena buku ini kosong itu artinya ia harus menulis kisah perjalanannya di buku ini. Ia pun meletakan sebuah pena di buku itu. Agar sang buku tidak tertutup dan mungkin ia akan menulisnya nanti malam. Karena ia butuh ketenangan untuk menuliskan apa yang harus ia tuliskan.

Nana pun bertanya tentang hadiah itu. Dan Hazzel lekas menjawab “Aku tidak mengambil kado dari mu. Saat itu aku memejamkan mata. Dan ternyata tanganku mengambil hadiah dari orang lain bukan darimu.” Dengan nada tercekak Nana pun bertanya “Dari siapa?” Hazzel menggeleng “Aku belum membukanya.” Nana mengangguk dan ia pun pamit diri untuk pulang. Hazzel membereskan barang-barang. Nana melihatnya lalu mengajaknya pulang bersama.

Selama perjalanan pulang mereka berdua terdiam sibuk dalam pikirannya masing-masing. Hazzel merasa tidak nyaman dengan keheningan ini. Ia berusaha berfikir apa yang sedang dipikirkan oleh Nana. Mungkinkah karena ia tidak mengambil hadiah itu. Hazzel merasa bersalah kenapa karena ia tidak menyukai Nana ia jadi harus menyakitinya. Untunglah ia tidak membuatnya marah, tapi ia telah menyakitinya. Ini pun adalah hal yang buruk. Akhirnya Hazzel sampai di rumahnya.

Jadi, bagaimana ini. Hubungan mereka berdua jadi aneh. Kalau Hazzel tidak bertemu dengannya lagi sih tidak apa-apa. Tapi mulai hari ini sepertinya mereka berdua akan bertemu tiap hari sampai semuanya selesai. Hazzel menghempaskan tubuhnya ke kasur empuknya menatap bintang. Dan menatap lampu meja belajarnya yang di selimuti kertas kartun dan hanya di bolongi pada bentuk bulan dan bintang. Kertas karton itu berwarna biru. Dan gambar bulan dan bintang itu memancarkan cahaya lampu putih begitu cantik sekali.

Hazzel belum bisa tidur, ia menyalakan lampu kamarnya lalu duduk di meja belajarnya dan membuka kado itu. Sudah 16 tahun berlalu dan ia masih belum membuka bungkus itu. Ia mulai membuka lipatan itu. Ternyata hadiah itu dari Bayu dan isinya adalah sebuah novel. Hazzel menghabiskan waktunya untuk membaca buku itu. Setelah selesai membaca buku itu ia pun tertidur. Ia tidur hanya sebentar. Karena saat matanya terpejam malam sudah terlalu larut.

Hazzel pun bangun dan mulai melakukan aktivitasnya. Hari itu ia akan ke Boscha. Di sana ia melihat dengan Tom. Sebenarnya pertemuan mereka sama sekali bukan di Boschanya. Tapi di komplek perumahan Boscha nya. Hari itu ia bertemu dengan Tom di lapangan basket. Ia begitu serius memainkan bola basket itu. Setengah jam kemudian ada seorang wanita datang. Mungkinkah itu Destina. Destin datang membawa sebotol Limun. Yang bahkan sekarang jadi sisa setengahnya. Ternyata Destin tidak hanya membawa kue biskuit tapi membawa nasi juga. Di lapangan itu hanya ada mereka bertiga dan Hazzel sedang duduk di bangku penonton melihat kemesraan mereka berdua. Hazzel merasa canggung karena saat itu Destin sedang menyuapi Tom. Hazzel pun berdiri dan ingin pulang karena merasa tidak enak. Tapi tiba-tiba mereka berdua memanggil Hazzel dan mengajak bergabung. Hazzel bingung apakah bergabung atau langsung pulang.

Tapi akhirnya Hazzel memutuskan bergabung, lalu ia bertanya “Kalian mengenal saya?” Tom pun menjawab “Bukankah kita sudah pernah bertemu? Lagipula ayahku yang memperkenalkanmu pada kami berdua. Dan kau ternyata adalah orang yang hebat.” Lalu Hazzel bertanya tentang keberangkatan Tom ke Paris ternyata satu tahun lagi. Mungkinkah bersama Destin? Mungkinkah mereka akan menikah terlebih dahulu lalu pergi bersama ke perancis. Lalu melahirkan seorang anak, dan mungkinkah ketika anak mereka dewasa sang anak ingin ke Paris juga? Karena ingin mengunpulkan mozaik hidupnya. Serta ingin mengumpulkan kenangan masa kecilnya. Hemm,,mungkin memang seperti itu.

Lalu mereka bertiga pun memutuskan untuk pulang. Tapi sebelum pulang Hazzel diundang ke rumah Tom. Jadi, mereka bertiga ke rumah Tom. Saat ingin pulang Hazzel dibawakan kue buatan mamanya Tom. Dan ayahnya Tom menghadiahi peta bintang. Tom pun mengajarkan cara memakainya. Peta bintang ini berbentuk lingkaran. Bagian depan langit Utara dan bagian belakang adalah langit selatan. Di bagian ujung peta bintang terdapat jam, tanggal dan bulan. Kita harus menyesuaikannya dengan memutar peta bintang. Setelah jam, tanggal, dan bulan sama maka kita pun bisa menatap langit dan menyamakannya dengan yang dilangit.

Hazzel teringat pada hadiah majalah kreatif saat Hazzel SMP. Hazzel juga memiliki peta itu. Tapi aku belum pernah mencoba menyamakannya. Karena saat malam tiba Hazzel selalu berada di dalam rumah. Dan atap rumah Hazzel adalah genteng bukan kaca. Tapi karena sekarang atap rumahnya adalah kaca jadi ia bisa menyamakan peta bintang dengan bintang yang ada di langit.

Hazzel pun segera pulang setelah sholat dan makan ia mulai menyamakannya. Dan menghafal nama-nama gugus bintangnya. Liontin cakram itu bergetar. Ia membuka liontin yang besarnya sekepalan tangan itu. Liontin itu bersinar tapi tidak seterang saat pertama kali di bawa ke sini. Hazzel memperhatikan liontin itu. Ternyata setelah diperhatikan liontin itu mirip dengan peta bintang. Dan di ujung lingkaran juga ada penunjuk jam, tanggal dan bulan. Dengan memutar dan menyesuaikannya maka di tengah linotin itu terlihat peta bintangnya persis dengan letak bintang-bintang di langit. Hazzel mulai mencoba-cobanya hingga akhirnya ia tertidur.

 
 
This is your new blog post. Click here and start typing, or drag in elements from the top bar.
 
Saat itu Hazzel kembali ke dunia bawah sadarnya dan ia masih berdiri di tempat itu, lalu ia mendengar sebuah suara “Hazzel.” Suaranya begitu merdu, bagaikan alunan nyanyian sang angin. Hazzel berbalik, dan ia melihat seorang wanita cantik yang begitu bercahaya. Terang sekali, saking terangnya ia harus mengerjapkan matanya. Wanita itu begitu cantik dengan semburan cahaya yang keluar dari dirinya.

Bibirnya begitu manis merah mempesona. Bajunya begitu putih, ditutupi sebuah selendang panjang. Tapi yang bisa dilihat dan ditangkap oleh Hazzel adalah. Wanita itu memakai celana putih panjang, dan untaian selendang serta kain-kain putih menutupi seluruh tubbuhnya. Ia memakai sebuah liontin yang sangat cantik. Dan mahkotanya adalah kumpulan bunga seruni.

Hazzel menelengkan kepalanya “Bolehkah aku tahu siapa nama anda?” Wanita itu menggeleng “Belum saatnya kau tahu siapa saya.” Hazzel masih bertanya “Apakah anda  memerlukan bantuan saya?” Wanita itu mengangguk. Kakinya bagai tidak nampak pada rerumputan ini. Ia mengajak Hazzel ke sebuah kolam. Hazzel mengikutinya.

Dewi itu pun berkata “Kau lihat angsa itu?” Hazzel mengangguk angsa itu begitu putih dan cantik dan diatasnya ada sebuah mahkota yang terbuat dari ranting pohon yang melingkar dan dipenuhi bunga seruni putih. Sang Dewi itu melanjutkan perkataannya. “Angsa itu membutuhkan pertolonganmu, bisakah kau menuju ke sebuah Obstervarium di mana semua bintang terlihat begitu jelas?” Hazzel memiringkan kepalanya “Bagaimana caranya agar aku mengetahui tempat itu?”

Sang Dewi pun berkata “Aku akan memberikanmu sebuah peta. Tapi kau harus makan malam bersama kami dahulu.” Sang Dewi pun mengajak Hazzel ke sebuah Istana. Istana itu begitu besar dan megah. Dan ia di bawa ke ruang makan. Di sana begitu penuh sekali. Di tempat yang paling ujung. Ada seorang yang begitu besar dan tampan terlihat jelas ia adalah pemimpin di tempat ini, atau mungkin di wilayah ini sampai ke ujung bukit sana bahkann sampai ke daerah perkotaan dan perdesaanya, di mana berbagai unicorn sedang memakan rerumputan di sana. Dan tumbuhan edelweiss pun tumbuh di sana. Ruapanya sang dewi itu sudah menikah. Dan suaminya begitu tampan.

Makanannya begitu lezat. Ada ayam kalkun di situ. Dan Hazzel pun berkenalan dengan mereka semua. Lalu saat Hazzel akan kembali ke dunia nyatanya. Dewi itu pun memberikan sebuah peti kecil. Dan di dalam peti kecil ada sebuah peta dan sesuatu yang tidak dimengerti Hazzel. Awalnya Hazzel ingin bertanya. Tapi sudah tidak ada waktu lagi, ia harus kembali ke dunia nyata karena tempat ini bukanlah dunianya. Lagipula ia bisa mengutak atik benda itu sendiri agar ia bisa mengerti benda itu apa. Tapi jangan-jangan benda itu malah jadi rusak karena ia otak-atik. Lalu ia pun sudah tidak berfikir apa-apa lagi. Dan ia terbangun , ia melihat sebuah peti kecil di kedua tangannya. Pintu terbuka. Dengan cepat kilat. Ia menyembunyikan peti itu ke dalam  selimut.

Sang ibu datang, lalu ia menanyakan keadaan Hazzel setelah memastikan anaknya sehat. Akhirnya mereka bbergegas membereskan barang-barang mereka. Hazzel segera menyelundupkan peti itu ke dalam tasnya. Lalu ia menatap ke jendelanya. Ada sebuah bunga serunni putih. Lalu mereka pun pergi ke luar. Dan pulang.

Setelah sampai rumah Hazzel membbuka paket itu. Ternyata sebuah dari pak EWA. Buku itu terkunci dan tidak bisa terbuka. Ia bingung harus bagaimana membukanya. Akhirnnya ia meletakan buku itu di atas meja belajarnya. Buku itu berwarna coklat dan ada sebuah tulisan aneh di buku itu. Entah itu tulisan dari bahasa apa. Hazzel membbuka peti kecil itu. Lalu ia membuka peta kecil berwarna coklat bagaikann kertas usanng yanng terbbuat dari kulit.

Peta itu ada bergambbar gunung dan lain-lain. Hazzel tidak mengerti. Lalu ia memegang sebuah benda lain. Bentuknya seperti cakram lalu ia membuka benda itu. Tapi ia tidak mengerti pada simbol-simbol yang ada di benda itu. Ia mennarik nafas. Tidak ada yang ia mengerti. Ia pun menatap luka di pergelangan tangannya. Dan ia tambah tidak mengerti, kenapa tangannya terluka.  

 
Hazzel terbanngun dari tidurnya. Rasanya ia begitu ingin muntah. Ia mendekap mulutnya dengan erat, dan satu tangan lainnya mencengkram perutnnya. Rasannya begitu mual dan ia begitu muak. Rasanya ingin sekali memuntahkan semua ini tapi tak bisa. Pandangan matanya meredup.  Saat itu sore hari, kamarnya begitu gelap. Hanya seberkas sinar yang terbias dari jendela kamarnya dan tersamarkan oleh jendelanya. Seberkas siluet tubuhnya hadir di jendela itu.

Karena ia sudah tidak kuat berdiri, ia pun membaringkan tubuhnya ke kasur. Kepalanya masih pusing, samar-samar ia memandang pergelangan tangannya. Dengan menyipitkan mata ia meraba lengannya. Seperti  ada darah yang keluar dari pergelangan tangannya. Kepalannya semakin pusinnng, tubuhnya menndingin, nafasnnya melemah. Ia sudah tidak kuat lagi. Ia memandang tangannya dengan iba, lalu memejamkan mata. Rasa mualnya masih bertahan ia masih ingin muntah tapi rasanya begitu sulit untuk mengeluarkannya.

Sang ibu datang ke kamar Hazzel. Ia menyalakan lampu kamar anak itu. Lalu terpaku mennatap tubuh anaknya yang terbbarinng lemah. Lalu dengan segera ia merangkul tubuh anaknya. Dengan panik ia menelpon ambulan. Lalu dengan segera ia membawa tubuh Hazzel ke rumah sakit terdekat. Ia di bawa ke sebuah ruangan serba putih, tangannya di infus dan segera diberi perawatan.

Orang tua dirinya pun mendonorkan darah mereka karena saat ini Hazzel sangat kekurangan darah, bahkan mungkin untuk bernafas pun begitu sulit. Rasanya kepalanya begitu berat. Ia masih ingin muntah.

Hazzel terbangun dari tubuhnya. Terduduk lemas. Pandangan dan tatapannya begitu kosong. Kepalanya masih pusing, dan ia meraba sebuah guratan di pergelangan tangannya. Ia tersenyum tipis, bukan karena bahagia tapi ia tersenyum karena berfikir bahwa ternyata luka itu tidak akan pernah hilang. Dan luka itu mungkin akan mengingatkanya pada suatu hal.

Tubuh Hazzel masih mendingin dan kepalanya masih pusing tapi tatapannya sudah tidak kosong lagi. Dan pikiran serta pandangannya pun sudah tidak memudar. Hazzel berusaha berdiri dari kursi taman itu. Ia menatap ke sekitar semuanya serba putih. Tidak ada pembatas antara lantai dinding dan atap. Semuanya hanya putih dan kosong.

Hazzel berusaha berjalan dengan tubuh lemasnya. Kepalanya masih pusing tapi tinnggal sedikit. Ia berusaha keras agar tidak pingsan. Ia pun masih tetap berjalan. Tiap langkah ia selalu berfikir bahwa dirinya sehat dan kuat unntuk berjalan. Hingga pada akhirnya ia berada di sebuah taman. Semuanya tidak putih lagi. Kini sebuah rumput hijau menghiasi jalanan. Ia menatap sekitar ada sebuah pohon sakura, dan di sebelah ujung sana ada pohon maple. Di bawah pohon sakura ada sebuah kursi taman yang begitu percis dengan yang ia duduki tadi. Tidak jauh dari pohon sakura ada sebuah kolam ikan yang ukurannya sedang. Di dalam kolam itu ada dua ekor ikan koi yang sangat cantik. Yang satu berwarna orange keemasan dan yang satu lagi berwarna merah belang putih.

Hazzel mencelupkan tangan dan kakinya di air kolam itu. Rasanya begitu dingin, jadi ia mengurungkan untuk merendamkan tubuhnya di kolam itu. Ia pun keluar dari kolam yang memanjang ini. Dan ia menyebrangi sebuah jembatan yang sangat indah. Jembbatan ini membawanya ke sebuah tempat dataran tinggi. Di bawahnya ada sebuah kota. Dan di ujung sana ada sebuah gunung.

 
Beberapa bulan telah terjadi semenjak kejadian itu. Yume sedang terduduk di meja kerjanya. Menatap sebuah buku kosong dengan pulpen di tangannya serta laptop yang menyala di sampingnya. Mbok Yem datang memberikan sepotong kecil black forest dengan secangkir coklat panas. Yume menatap jendela. Deru angin memasuki ruangan itu. Tirai jendela berkibar kencang. Ia berjalan menuju jendela dan menatap ke luar jendela. Ia bersyukur angin yang berhembus ini adalah angin gunung bukan angin pantai yang selalu menyapanya saat ia berada di rumah orang tuanya dulu.

Sekarang entah sedang apa orang tuanya. Orang tuanya pasti begitu kecewa kepada Yume. Anak yang tidak berbakti. Anak yang lebih memilih orang yang dicintainya dibandingkan kedua orang tuanya. Bahkan setelah semua yang telah dilakukan dan diberikan dari orang tuanya. Yume mengutuki dirinya sendiri karena tidak bisa membalas budi orang tuanya. Gimana ia ingin membalas budi bahkan kerumah itu lagi pun pasti tidak diperbolehkan.

Yume membayangkan jika dengan tiba-tiba ia mengetok rumah kedua orang tuanya dengan menggendong Himitsu, pasti setelah ayahnya keluar ia langsung diusir dalam hitungan detik. Pasti ayahnya beranggapan dirinya telah ditelantarkan Max. Dan saat itu ia meminta perlindungan karena sudah tidak memiliki rumah untuk tinggal. Yume menarik nafas dan meniupkannya. Berharap semua rasa sedih dan kesal keluar. Ia duduk di jendela menatap awan. Entah kenapa awan yang satu itu berbentuk negara Jepang. Lalu ia menurunkan matanya. Sepasang gunung ada di sana. Gunung itu berkabut. Di bawahnya lagi adalah sebuah kota. Dari sini terlihat sebuah universitas tempatnya mengajar.

Tiba-tiba terdengar suara tangis dari ruangan sebelah. Himitsu telah terbangun. Yume pun menyusui anaknya itu. Lalu ia menatap ke layar komputer. Ada sebuah e-mail masuk. Dari Mizu sepupunya. Ia menanyakan kabar Yume. Yume pun menjawab keadaanya dan menceritakan bahwa ia sudah menikah dan memiliki satu anak laki-laki yang hebat. Lalu Yume bertanya tentang keadaan Mizu. Yume tampak begitu kangen dengan Mizu karena sudah lama tidak bertemu.

Subuah ide terlintas di kepala Yume. Ia pun membuat proyek. Proyek itu adalah sebuah misi menerbitkan buku yang dikarang oleh mereka berdua. Karena pengarangnya berdua jadi mereka harus bergantian menulis. Yume pun menyarankan agar Mizu memulai duluan.

Di ujung kota sebelah di sebuah rumah. Mizu sedang menyesap kopinya. Lalu ia membaca e-mail yang dikirim Yume. Yume mengajaknya menulis bareng. Sebenarnya Mizu ingin menolak. Ia pun mengirim jawaban ke Yume. Di ujung sana Yume membacanya dengan kecewa. Tapi bukan Yume namanya jika ia menyerah. Ia pun terus mengompori Mizu untuk menulis. Akhirnya Mizu setuju. Ia mulai menulis.

                                                                  
                                                                      Part 1 “A Ling”


Pada suatu hari di suatu masa. Lahirlah seorang bayi perempuan bernama A Ling orang tuanya begitu kaya raya. Bahkan jika ia tinggal bersama keluarganya ia bisa menjadi seperti seorang Putri Raja di sebuah menara . Tapi nasib berkata lain. Saat itu keluarga besar ibunya sedang dirundung duka karena tante A Ling mengalami musibah kebakaran. Saat itu dini hari. Tantenya A Ling bangun, ia tidak sengaja  menjatuhkan lilin ke kasur. Saat lilin itu terjatuh sang tante tidak menyadarinya. Lalu ia menuju keluar rumah untuk mengambil air. Air ini akan ia masak untuk keperluan mandi anaknya serta membuat kopi untuk suaminya. Angin bergerak begitu kencang. Saat sang tante ingin kembali dan menatap rumahnya. Ia pun begitu terkejut. Rumahnya sudah dilahap api. Ember yang berisi air terjatuh. Sang tante menangis tersedu-sedu. Ia pun membangun rumah kembali.

 

 

Setiap har tatapannya kosong, seperti ada yang hilang dalam hidupnya. Ibunya A Ling datang ke gubuk reyot yang baru di bangun oleh adiknya. Ia menatap mata adiknya yang menatapnya dengan tatapan kosong. Ibunya A Ling melihat ada sesuatu yang hilang dari mata itu. Dan yang hilang itu bukanlah harta kekayaan karena tantenya sudah biasa hidup sederhana. Tatapan kehilangan ini adalah tapapan kehilangan seorang keluarga. Lalu ibunya A Ling memberikan A Ling kepada tantenya untuk diurus. Dan untuk menemaninya menghapus sepi. Ibu A Ling berpesan agar anaknya dididik dengan kesederhanaan agar ia menjadi anak yang rapih.

 

 

Dengan sedih ibunya A Ling pergi meninggalkan A Ling. Tapi ia menatap mata adiknya. Sebuah kegembiraan hadir di mata itu. Tantenya A Ling seperti menemukan sebuah jiwanya yang hilang. Mereka pun hidup bahagia dalam kesederhanaan. Ibu A Ling sudah sampai  rumah ia diliputi kesedihan tiada tara.

 

 

Mizu membaca ulang tulisannya. Mengeditnya lalu mengirimkan ke e-mail Yume. Di rumahnya Yume sedang bermain dengan Himitsu. Tiba-tiba ia mendengar sebuah tanda e-mail masuk. Lalu ia membuka pesan itu. Lalu membanya. Ia pun merenung. Ia merasa kasihan kepada ibunya A Ling. Karena sekarang ibunya A Ling akan merasa kesepian. Lalu Yume pun memutuskan untuk membuat tokoh baru. Dan mengirimkan Kisah Bab kedua ke e-mail Mizu. Di rumah Mizu pun membaca Bab kedua dari Yume.

                                                                     

                                                                              Part 2 “Ai Ling”

 

 

Sebulan kemudian ibunya A Ling mengandung seorang anak keluarga itu diliputi sebuah kebahagiaan baru. Sembilan bulan kemudian. Di saat rembulan bersinar dengan terang seorang bayi lahir ke dunia yang fana ini. Berbagai kisah dalam kehidupan barunya telah menunggu. Bayi perempuan itu diberi nama Ai Ling. Sesuai namanya Ai hidupnya dipenuhi cinta oleh kedua orang tuanya. Tapi sejujurnya orang tua Ai Ling adalah tokoh antagonis. Tapi bagi Ai Ling, ibunya adalah orang yang paling baik hati sedunia.

 

Ai Ling tidak diajarkan menjadi anak yang rapih seperti A Ling. Ai Ling adalah seorang anak yang memiliki bermiliar impian. Dirinya begitu kreatif penuh imajinatif. Hanya satu kekurangannya. Ia tidak bisa mengerjakan segala sesuatunya dengan rapih. Karena segala sesuatunya itu biasa dilakukan oleh seorang pelayan. Ai Ling pun hidup dengan dipenuhi petualangan. Setiap hari ia berpetualang bersama temannya yang bernama Houseki Ryu Snicket.

 

 

Mereka sering berpetualang di balik semak. Berjalan bergandengan tangan menuju sebuah kuil. Tapi mereka tidak pergi ke kuil itu. Mereka hanya melewatinya. Karena tujuan mereka adalah sebuah pohon besar. Umur mereka tiga tahun saat itu. Orang tua mereka sangat sibuk bekerja. Penjaga mereka pun sedang sibuk memasak. Jadi, ketika Ryu datang ke rumah Ai Ling untuk bermain. Ai Ling sangat gembira sekali. Ia pun meminta Mba Ros, penjaganya untuk menyiapkan makanan piknik. Mba Ros kira Ai Ling hanya bermain di halaman rumahnya yang luas seperti biasanya. Tapi mungkin karena mereka sudah terlalu bosan bermain di halaman rumah. Akhirnya mereka memutuskan bermain keluar rumah.

 

 

Ai Ling sedang meminum limun saat itu. Dan burung-burung sedang berkicau dengan riang. Tiba-tiba ada sebutir telur puyuh jatuh. Ai Ling berteriak histeris. Ryu pun segera menangkap telur itu. Ai Ling dan Ryu membawanya ke rumah. Dan membuat sebuah tempat yang nyaman untuk telur itu. Mba Ros datang dan memperhatikan yang dilakukan dengan Ai Ling dan Ryu. Mba Ros mengambil telur itu. Ai Ling pun menjarit. “Jangan.” Kunciran rambut Ai Ling bergoyang. Mungkin saat ini seperdelapan rambut A Ling pun sedang dikuncir di sebelah kanan dan yang berbeda mungkin rambut A Ling sudah sepanjang sepunggung dan Ai Ling baru sebahu. Dulu saat ibunya dan tantenya masih kecil pun seperdelapan rambutnya juga dikuncir.

 

 

Mba Ros memperhatikan telur itu lalu merenung. “Kau ngambil dari mana? Di rumah ini sepertinya tidak ada telur puyuh.” Ryu pun mengatakan bahwa telur itu jatuh dari atas pohon besar. Mba Ros terkejut. “Bagaimana bisa kalian keluar rumah sedangkan pintu gerbang terkunci?” Ryu menjawab dengan santai sembari menghirup tehnya.”Pintu gerbang tidak terkunci kok.” Mba Ros panik dan keluar rumah lalu segera mengunci pintu gerbang. Ai Ling mendapati telurnya kembali dan menina bobokanya.

 

 

Mba Ros pun memperingatkan mereka agar jangan keluar rumah lagi. Tapi tidak ada satupun diantara mereka yang mendengarkan perkataan mba Ros. Bertahun tahun telah berlalu kini mereka sudah SMA. Ai Ling bertemu dengan A Ling. Tapi mereka masih belum menyadari bahwa mereka adalah kakak beradik. A Ling begitu cantik dengan rambut lurusnya dan pitanya merahnya. Rambut Ai Ling pun masih sebahu dengan pitanya juga. Hal ini memang sepertinya adalah sebuah tradisi dari keluarga mereka turun temurun. Rambut sang kakak perempuan harus lebih panjang dari adiknya. Dulu ibunya dan tantenya juga begitu.

 

 

Ai Ling masih bermain dengan keceriaanya bersama Ryu. A Ling lewat bersama sepedanya. Ryu yang sedang menggandeng sepedanya  dari arah berlawanan pun menatapnya. Bahkan sampai A Ling berada di belakangnya Ryu masih menatapnya tanpa berkedip. Ai Ling yang sedang sibuk bercerita dengan begitu bahagianya berhenti sejenak memperhatikan Ryu yang sedang menatap kebelakang. Ai Ling menatap ke arah yang ditatap Ryu. Entah kenapa ia merasa tidak suka. Sambil tersenyum Ai Ling menggoda Ryu. “Wah,,, Ryu menyukai seorang wanita cantik.” Ai Ling teriak begitu kencang Ryu pun begitu malu, dan menatap Ai Ling dengan tatapan kesal “Bukan begitu, tapi aku merasa dia mirip denganmu.” Ai Ling menatap kebelakang tapi yang ia tatap hanya rambut A Ling dan sepedanya. Ia memukul tangannya “Sayang sekali aku tidak melihat wajahnya.” Lalu mereka pun pergi ke perpustakaan dan membaca Novel.

 

 

Saat mereka kuliah. Mereka berada di prodi yang sama. Bahkan kelas yang sama. Sepertinya mereka menyukai hal yang sama dalam berbagai bidang. Lama kelamaan mereka bertiga pun tampak lebih dekat. Hal ini dikarenakan Setiap kali A Ling lewat pasti Ryu selalu memperhatikannya tidak peduli Ai Ling sedang bercerita hal yang penting. Terkadang Ryu pun bercerita tentang A Ling. Ai Ling merasa sepertinya dirinya semakin menghilang dari kehidupan Ryu bahkan walaupun setiap detik ia selalu bersama Ryu. Keberadaan dirinya pun seperti hilang digantikan oleh A Ling. Bahkan sebenarnya ketika A Ling lewat dan Ai Ling tidak sengaja melihatnya. Ia pun jadi selalu ingin menatapnya juga sampai sosok itu hilang. Bahkan sebenarnya Ai Ling sudah menyerah terlebih dahulu sebelum A Ling masuk ke dalam lingkaran persahabatan mereka bertiga.

 

 

A Ling memang lebih cantik, lebih pintar dan lebih rapih darinya. Bahkan Ai Ling mengakui bahwa A Ling lebih sempurna darinya. Jadi, keesokan siang Ai Ling mengajak A Ling  makan bersama di sebuah taman. Mereka hanya membawa roti, apel dan susu segar. Jika yang lainnya memilih susu putih Ai Ling memilih susu coklat. Sendiri ia pun menyadari ternyata kesukaan Ryu dan A Ling sama. Dan mereka sama-sama pendiam. Bukankah Ryu menyukai A Ling tapi kenapa dia hanya diam. Ai Ling menatap Ryu jadi seperti menatap punguk yang merindukan bulan. Saat itu Ryu sedang duduk nyender pohon. Kakinya satunya di kursi dan ia sedang memutar apelnya. Dihadapannya ada Ai Ling yang sedang memperhatikan Ai Ling. Menyukai seseorang tapi ketika orang itu ada didekatnya ia memilih diam. Bagaimana bisa dekat.

 

 

Dari tadi A Ling pun hanya diam. Karena ia merasa canggung. Dia adalah tipe penyendiri dan menyukai kesendirian. Ia akan lebih senang jika berada di rumahnya yang tenang. Biasanya setelah usai belajar. Ia segera pulang. Ai Ling yang merasakan suasana begitu dingin pun membuka pembicaraan. Dan hal ini ia lakukan agar Ryu bisa dekat dengan Ai Ling. “i ling apakah kau menyukai bunga sakura.” Ia mengangguk. Ia pun bertanya-tanya apa maksud dari pembicaraan Ai Ling? Apakah ia hanya ingin menanyakan hal itu?

 

 

Lalu dengan tiba-tiba Ai Ling memegang tangan A Ling dan Ryu. Mereka berdua terkejut. Lalu Ai Ling menggandeng lengan A Ling dan Ryu. “Kalian tahu? Di taman kota sebelah. Bunga sakura sedang bermekaran dan di sana juga ada sebuah festival. Kalian harus menemaniku untuk melihatnya.” Lalu mereka bertiga pun ke sana. Mereka memainkan sebuah permainan.Mainan itu adalah melempar panah ke gambar bebek. Ai Ling dan A Ling tidak bisa menjatuhkan satu bebekpun. Tapi Ryu bisa menjatuhkan semua bebek-bebek itu. Ia pun mendapatkan sebuah boneka beruang besar. Karena biasanya Ryu memberikan hadiah itu kepada Ai Ling. Ai Ling pun menggerakkan tangan Ryu ke A Ling. Dan A Ling pun menerima boneka itu dengan senang hati.

 

 

Sore pun tiba dan mereka pun pulang. Saat malam hari Ryu menerbangkan sebuah pesan kepada Ai Ling. “Apa maksudmu mengundang A Ling makan bersama kita dan mengajaknya ke festival?Dan apa maksudmu menyuruhku memberikan boneka itu pada A Ling?” Ai Ling pun menulis jawabanya di selembar kertas. Membuatnya menjadi kapal dan melemparkannya ke kamar Ryu. “Aku ingin mengenalnya lebih dalam. Soal boneka itu, Aku sudah terlalu bosan menerima boneka darimu, lihat rak bonekaku semuanya darimu.” Setelah membaca balasan itu. Ryu pun segera menutup jendelanya dan mematikan lampu. Ai Ling mendengus kesal karena biasanya mereka masih melempar surat sampai malam telah larut. Bahkan sampai burung hantu itu menyanyikan sebuah lagunya.

 

 

Mizu pun merasakan sebuah kisah cinta yang manis. Lalu ia menuliskan Bab ketiganya. Ia merasa kasihan pada tokoh yang dibuatnya. Lalu ia memunculkan kembali A Ling ke rumahnya yang sebenarnya.

Part 3 “Menjemput A Ling”

 

 

Adik mama mereka sudah sakit-sakitan sudah semenjak lama. Maka dari itulah setelah selesai pelajaran A Ling  segera buru-buru pulang. Maksudnya sih ia ingin menjaga ibunya. Tapi hari itu takdir berkata lain. Adik mama mereka pun meninggal. A Ling tampak begitu sedih karena ia sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi. Ia merasa begitu sendiri. Hari itu hujan turun. Ai Ling dan orang tuanya datang ke pemakaman itu. Ayah ibunya memeluk A Ling. Ai Ling memegangi sebuah payung. Dan berdiri di belakang mereka. Ai Ling tampak begitu cemburu kenapa ayah ibu mereka, tampak begitu akrab dengan wanita ini. Sampai memeluknya segala.

 

 

A Ling juga kaget karena tiba-tiba ada yang memeluknya. Padahal semenjak ibunya dikubur ia benar-benar sendirian. A Ling pun menanyakan siapa mereka. Ibunya pun berkata “Kami adalah orang tuamu.” Ai Ling dan A Ling tampak begitu kaget. Tidak. Tidak mungkin. Pikir mereka berdua. A Ling pun menyanggah “Ayahku dan kakak laki-lakiku sudah meninggal dari sebelum aku dilahirkan dan kini ibukupun sudah meninggal. Dan kalian pasti bukanlah ibuku melainkan waliku.” Ai Ling menghela nafas. Ternyata hanya wali. Syukurlah.

Tapi itu artinya ia akan memiliki saudara. Tapi tidak apalah setidaknya ia memiliki saudara perempuan. Jadi ia bisa berbagi cerita tentang sebuah kisah yang tidak bisa diceritakan pada Ryu.

 

 

        Tapi kedua orang tua itu menggeleng. “Tidak sayang. Kau adalah anak kandung kami.”

Ai Ling dan A Ling mengernyit bingung. Lalu ibunya pun menceritakan kisah itu. Dan A Ling masih belum percaya, sambil terisak ia bertanya “Lalu kenapa kalian tidak pernah mengunjungiku?” Ayahnya pun membuaka suara. “Itu karena kami terlalu sibuk pada pekerjaan kami. Bahkan kami saja jarang berjumpa kepada adikmu.” Ai Ling tidak bisa mempercayai ini. Jadi, sebenarnya ia memiliki seorang kakak perempuan. Ai Ling pun memeluk payung itu dengan erat. Rasanya ia ingin sekali berjalan ke depan dan berbalik arah untuk melihat kakak perempuanya. Tapi ia bertugas memegangi payung. Ia mencari sopir mobilnya. Tapi sopirnya tidak kelihatan. Ia pun pasrah untuk sabar menunggu.

 

 

        Akhirnya ibu dan ayahnya mengajak A Ling pulang. “Ayo kita pulang. Aku tidak ingin kau sakit.” Kaca mata ayahnya memantulkan cahaya. A Ling pun berbalik. Ia begitu kedinginan. Dan raut wajahnya memancarkan sebuah kesedihan yang nyata. Lalu tatapan mereka saling bertemu. Mereka saling menyebutkan nama orang yang didepannya. Ayahnya tersenyum “Ternyata kalian semua sudah saling mengenal?Bagus kalau begitu jadi, kami tidak perlu memperkenalkan kalian lagi. Dan aku berharap kalian menjadi kakak beradik yang akrab. Aku tidak suka permusuhan dalam keluarga ini.”

 

 

        Ai Ling tersenyum. Lalu mendekat dan menghapus air mata A Ling. Ia pun ikut merangkul A Ling dan ayahnya yang disebelahnya pun merangkul Ai Ling. Sopir itu pun memfoto keluarga tersebut. “Untuk kenang-kenangan.” Ia tersenyum. A Ling masih menangis dalam rangkulan Ai Ling. Setelah sampai rumah. Ai Ling pun meminta agar A Ling tidur di kamarnya saja.  “Ayah ibu aku akan lebih senang jika kalian mengizinkan kami berbagi sebuah kamar.” Ayahnya mengangguk setuju. “Bagus itu akan lebih baik. Aku ingin kalian menjadi akrab. Seperti kakak beradik yang menghabiskan hidupnya dari semenjak mereka kecil.” Lalu Ai Ling memperkenalkan kamarnya yang kini akan menjadi kamar mereka berdua.

 

 

“Tereng,,,inilah kamar kita berdua. Oh ia sepertinya mulai sekarang aku harus memanggilmu kakak. Oh ia maaf jika kamarnya berantakan. Sepertinya Mba Ros belum sempat membersihkannya. Aku akan memanggilnya” Ai Ling mengedipkan mata. “Biar nanti aku saja yang membereskan setelah mandi. Dan jika kau ingin memanggil namaku tanpa mengucapkan kakak,  juga tidak apa-apa dik.” Ai Ling menatapnya. Dan tertawa “Apa maumu kak? Jika kau memperbolehkan aku memanggil dirimu tanpa embel-embel kakak kenapa kau memanggilku dik? Jangan-jangan jika aku memanggilmu dengan kakak kau akan memanggilku dengan namaku.” A Ling tersenyum lalu mandi di kamar mandi sebelah kamar.” Dan Ai Ling menuju ke perpustakaan di rumah. Setelah mandi. A Ling berganti baju dan mengeringkan rambutnya. Ketika ia menatap ke jendela ternyata di ujung sana ada Ryu yang sedang menatapnya dari jendela kamarnya.

 

 

Wajah A Ling memerah. Apakah Ryu sudah berada di situ dari semenjak ia berganti baju. Wajah A Ling memerah karena malu dan terbakar amarah. Ia pun segera memanggil Ai Ling dengan tanduk keluar dari kepalanya ingin menyeruduknya, lalu taring pun keluar dari mulutnya ingin menghisap darahnya. Dan matanya tertutup satu yang menandakan. Ia telah dibutakan oleh amarah. Ryu di ujung sana pun memerah. Sebenarnya ia tidak melihat banyak. Yaitu hanya melihat A Ling saat menggosok rambutnya. Tapi Ryu tau tadi pasti A Ling sedang berganti baju. Dan melihat wajahnya yang memerah pasti A Ling mengira dirinya telah melihatnya berganti baju. Ia pun merasa kesal pada Ai Ling karena tidak memberitahukannya. Bahwa di sana ada A Ling. Tapi kenapa A Ling ada di sana? Hemm,,, mungkin sedang menginap. Ia pun kembali melanjutkan rutinitasnya.

A Ling mencari ke seluruh pelosok rumah. Tapi rumah ini terlalu besar. Dan terlalu banyak ruangan tidak perlu. Bahkan ada ruangan duduk segala benar-benar pemborosan ruangan. Akhirnya ia menemukan sebuah perpustakaan. Firasatnya Ai Ling pasti pergi ke sini karena ia menyukai buku-buku. Rasa marah A Ling tidak sebesar tadi. A Ling pun menutup buku yang sedang dibaca Ai Ling. Ai Ling merasa kesal. “Kenapa kau tidak bilang kepadaku bahwa di kamar sebelah ada Ryu hah?” Ai Ling menatap A ling “Terus kenapa? Bukankah itu bagus? Kalian bisa saling bertemu dan menjalin cinta.” A Ling mengernyit “Apa maksudmu dengan cinta?Diantara kami tidak ada cinta. Tahukah engkau tadi aku berganti baju di depan jendela. Dan ketika aku menatap jendela ternyata Ryu sedang menatapku.” Ai Ling merasakan sebuah gejolak. “Benarkah? Tapi apakah kau tahu. Bahkan walaupun kau sedang tidak ganti baju ia akan menatapmu terus menerus.” Ai Ling tertawa. A Ling pun pergi dengan rasa kesal. Ai Ling mengejar. “Tunggu. Kau ingin kemana?” Dengan nada kesal A Ling mengatakan “Aku akan meminta Papah agar kamar kita sebaiknya dipisah. Ada banyak kamar di rumah ini. Sayang sekali jika tidak digunakan.”

 

 

Ai Ling mengulang perkataan A Ling Papah katanya. Harusnya ia menyebutkan Ayah bukan Papah ia mengatakan seperti itu seakan-akan orang tua mereka berbeda.Jangan-jangan ia akan memanggil ibu dengan sebuatan Mamah. Kehadirannya memang akan merubah segalanya. Bahkan mungkin A Ling bukan saja akan merebut Ryu tapi ia juga akan merebut ayah dan ibu dan merubahnya menjadi Papah dan Mamahnya. Di hati dan pikiran Ayah dan Ibu pasti sudah tidak ada dirinya melainkan hanya ada Papah dan Mamahnya. Ai Ling mendengus kesal “Lakukan sesuka hatimu.” Jika kau ingin mengambil semua miliku ambil saja aku tidak akan peduli. Lalu Ai Ling pun pergi ke kamarnya dan menangis. Ada sebuah surat berbentuk kapal. Pasti dari Ryu setidaknya Ryu tidak melupakannya. Tapi ternyata Ai Ling salah Ryu malah marah-marah di surat ini. “Kenapa kau tidak memberitahuku. Bahwa A Ling menginap di kamarmu. Tahukah engkau ia pasti mengira aku telah mengintipnya.” Ai Ling memeluk boneka pemberian Ryu. Dan menulis “Dia bukan menginap tapi memang tinggal di sini. Karena ternyata dia adalah kakak kandungku yang telah lama berpisah denganku. Lalu bukankah itu anugrah untukmu karena sudah melihat tubuhnya sebelum waktunya.”

 

 

Ai Ling pun melempar asal-asalan. Tapi tetap nyampe ke kamar itu. Itu juga karena Ryu berusaha menangkapnya. Kalau tidak begitu pasti surat itu sudah jatuh ke bawah. Dan ia akan malas mengambilnya. Ryu membacanya dan merasa kesal “Aku tidak melihatnya. Aku hanya kebetulan melihat dia sedang menggosok rambutnya.”

 

 

Ai Ling pun membalas. “Kebetulan yang indah. Kau sungguh beruntung bahkan jika kau telah melihatnya juga tidak apa-apa.” Ai Ling melemparnya dengan asal-asalan lagi. Ryu merasa kesal bahkan sebenarnya ia tidak ingin menjawab semua ini. Tapi ia melihat tulisan Ai Ling berbeda dari biasanya. “Kau menangis Ai Ling?Atau kau menulis di tempat yang gelap. Ai Ling menjawab dengan begitu lama. Baru ia melempar dengan asal-asalan lagi.

 

 

Ryu menangkapnya “Apa pedulimu?” Ryu merasa kesal. Lalu ia membalas “Hanya dua kata tapi lama sekali kau membalasnya. Kau tidak perlu membuat origami terlebih dahulu Ai Ling.” Ai Ling menjawab tapi agak lama “Itu burung Phoenix. Aku ingin menjadi burung Phoenix.”Ryu pun membalas kilat “Apa yang menyenangkan menjadi burung Phoenix?” Ai Ling menjawab dengan membuat origami lagi “Dia begitu cantik.” Ryu tersenyum “Cantikan juga dirimu yang sekarang Ai Ling.” Wajah Ai Ling tersipu merah. Baru kali ini Ryu memujinya. “Kau belum melihatnya saja Ryu. Btw tumben kau memujiku. Ku kira kau masih mengejar-ngejar saudaraku yang lebih cantik dariku.” Ai Ling masih membuat origami burung phoenix sampai seterusnya.

 

 

Ryu pun menjawab. “Berhentilah membanding-bandingkan dirimu dengan orang lain. Bahkan ternyata perbandinganmu itu lebih melihat hal lain lebih indah. Btw kalau kau menjadi Phoenix aku akan menjadi sang naga.”Ai Ling tersenyum “Kau tahu?Ryu dalam bahasa jepang artinya naga.”Ryu melempar sebuah surat lagi. “Berdirilah aku ingin melihat kau tersenyum,bahkan menurutku. Senyumanmu lebih cantik di banding sinar bulan di ujung sana. Ai Ling berdiri dan tersenyum. Ryu melempar sebuah kertas. “Hapus air matamu. Coz aku tidak bisa menghapusnya.” Ai Ling tersenyum lalu menulis “Kalau begitu kau harus menghapusnya dari jarak jauh.” Ai Ling membuat origami. Ryu tertawa karena kelamaan. Lalu ia pun memberi tampang bosan. Dan membaca pesan itu.

 

 

Ia pun mencoba menghapus dari jarak jauh. Tangan Ai Ling mengikuti gerakan itu. Dan bekas air mata itu pun menghilang bersama kesedihan Ai Ling. Ryu pun mengirim pesan. “Selamat tidur semoga dalam mimpi kita bisa bertemu sebagai burung Pheonix dan Naga.” Ai Ling tersenyum lalu menutup jendela. Ryu pun menutup jendelanya dan mematikan lampu.

Di kamar bawah A Ling mengamati tingkah laku mereka berdua. Ia pun menatap dengan rasa benci lalu menghempaskan dirinya ke tempat tidur. Bagaimana bisa mereka tertawa sedangkan dirinya dipenuhi rasa malu. Bagaimana pula mereka bisa tersenyum sedangkan dirinya sedang dirundung duka karena kepergian ibunya. Dan bagaimana bisa Mereka bercengkrama dengan diliputi kebahagiaan sedangkan dirinya diliputi sebuah rasa kesepian dan merasa hanya sendirian. Lalu bagaimana bisa mereka mengaku sebagai orang tuanya jika selama tujuh belas tahun mereka tidak pernah menemui dirinya. A Ling menutup wajahnya kebantal. Terkadang dunia memang tidak adil. Lalu kemanakah dirinya harus meminta keadilan. Dia beranggapan bagaikan dirinya seperti angsa yang terkurung di danau dan hanya sendirian.” Ia pun memejamkan mata dan berusaha tertidur.

 

 

Malam itu dengan penuh keajaiban. Mereka menjadi seperti yang mereka katakan. Entah apakah ini mimpi atau bukan. Bahkan aku yang menuliskan dan yang membuat ceritanya tidak tahu. Tapi jika ini mimpi. Maka, ini adalah mimpi yang hebat. Karena mimpi mereka bertiga sama. Dan mimpi ini di susun berdasarkan perasaan mereka.

 

 

Di sebuah danau yang sunyi dan tenang. Seekor angsa menunduk kesepian. Ia menatap langit. Di sana terdapat burung Phoenix sedang terbang dengan penuh suka cita bersama sang naga. Mereka tersenyum bagaikan sepasang kekasih yang sedang kencan. Sang angsa merasa iri. Ia pun memulai monolognya. (Kata-kata yang percis ia katakan sebelum tidur.)

 

 

“Di cahaya sinar rembulan kau tampak begitu cantik bahkan dibandingkan sang bulan itu sendiri.” Burung Phoenix pun tersenyum mendengarkan perkataan sang naga emas. Lalu burung Phoenix itu mendengar sebuah senandung lain. “Kau mendengar suara itu sayangku?” Sang naga emas pun menjawab “Tidak ada suara lain selain suara merdumu sayangku.” Burung Phoenix perak masih mendengar suara merdu itu. Begitu merdu bahkan dibanding suaranya. Bahkan jika sang naga emas mendengar suara ini, ia akan lebih menyukai suara ini. Burung Phoenix tertarik untuk mendengar suara itu lebih dekat.

 

 

Phoenix perak itu pun memegang Sang Naga Emas. Lalu mengajaknya mendarat. Dan bersembunyi di balik semak. Suara itu terdengar semakin jelas dan merdu. Itu adalah suara Lake Swan. “Bagaimana bisa mereka tertawa sedangkan dirinya dipenuhi rasa malu. Bagaimana pula mereka bisa tersenyum sedangkan dirinya sedang dirundung duka karena kepergian ibunya. Dan bagaimana bisa Mereka bercengkrama dengan diliputi kebahagiaan sedangkan dirinya diliputi sebuah rasa kesepian dan merasa hanya sendirian. Lalu bagaimana bisa mereka mengaku sebagai orang tuanya jika selama tujuh belas tahun mereka tidak pernah menemui dirinya. A Ling menutup wajahnya kebantal. Terkadang dunia memang tidak adil. Lalu kemanakah dirinya harus meminta keadilan.”

 

 

Phoenix perak terhanyut akan suara merdu itu. Ia pun mengeluarkan air mata. “Oh sungguh malang Angsa Danau itu. Apakah kau mendengar suara itu sayang.” Sang Naga Emas pun menjawab “Harus kukatakan berapa kali bahwa aku tidak mendengar suara apa-apa kecuali suara merdumu sayang.” Sang Phoenix Perak menggeleng, dan mengeluarkan sebutir air mata “Kau tahu sayang? Itu bukan suaraku, tapi suaranya.” Sang Naga Emas menatap Angsa Danau. Naga Emas menatapnya dengan begitu lama. Phoenix perak agak sedikit kesal “Apakah dia cantik?Mungkinkah ia lebih cantik dariku sehingga kau harus menatapnya lebih lama dari waktu yang ditentukan? Apakah bulu-bulunya lebih indah dariku? Apakah bulu-bulunya lebih halus dan lebih putih dariku?”

 

 

Phoenix Perak menangis. Naga Emas menatapnya. “Berhentilah membanding-bandingkan dirimu dengan orang lain. Aku menatapnya lama hanya karena aku sedang mengamati perbedaan kalian. Menurutku walaupun aku telah menatap denagn tatapan tajam aku masih belum bisa menemukan perbedaan kalian” Naga Emas pun meniup mata Phoenix dan menerbangkan air mata itu bersama kesedihanya. Burung Phoenix memeluk sang Naga Emas. “ Aku ingin kau datang padanya untuk menghiburnya. Lihatlah sungguh menderita dan kesepiannya dirinya.” Sang Naga Emas pun menjawab “Kenapa aku harus melakukan hal yang membuatmu sakit sayang?Sedangkan aku tidak ingin menyakitimu dan membuat mu sedih.”Phoenix tersenyum “Aku akan sedih jika kau tidak menghiburnya. Aku merasakan sepertinya aku dan dia satu familie. Ingatlah sayang cinta tidak harus saling memiliki.” Phoenix berusaha tersenyum. Sang Naga Emas pun menjawab “Cinta harus diperjuangkan, Dan akupun akan memperjuangkan cintaku padamu.” Phoenix menggeleng “Tidak, sayangku. Yang benar adalah cinta sebuah pengorbanan.” Phoenix pun mendorong naga Emas. Naga Emas bingung harus bagaimana. Ia menghadap kebalakang tapi Phoenix tak  terlihat. Ia menghadap ke depan.

 

 

Dan menatap Angsa Danau itu. Tatapan mereka saling terpaut. Naga Emas merasakan penderitaan Angsa Danau. Ia pun menekati Angsa Danau. Dan menemani Angsa Danau sepanjang malam. Burung Phoenix pun terbang lalu setelah berada di tempat yang jauh ia terjatuh. Bulu-bulu burung Phoenix rontok. Seperti inilah siklus burung Phoenix. Ia hidup abadi, tapi ia akan selalu mengalami bulu-bulu rontok. Bulu yang rontok menandakan kematiannya. Dan bulu baru akan segera tumbuh.

 

 

Naga Emas menatap ke angkasa dan menatap kepergian Phoenix. Phoenix perak bersyukur setidaknya Naga Emas tidak pernah melihat dirinya tanpa bulu. Entah apa yang akan dipikirkan Naga Emas nanti. Mungkin rasa cintanya akan hilang dalam sekejap. Angsa Danau tahu Naga Emas mencintai Silver Phoenix bahkan jika melihat Phoenix kehilangan bulunya juga Naga Emas akan tetap mencintai Phoenix. Bahkan setiap Naga emas sedang bersama dengan Lake Swan. Lake Swan selalu mendapati Naga Emas sedang memandang ke angkasa. Naga Emas pasti sedang berharap Phoenix datang.   

 

 

Lake Swan bersenandung “Andai aku bisa terbang.” Naga Emas terpana oleh suara Lake Swan dan pikiran Phoenix benar. Ketika Naga Emas mendengar suara Lake Swan yang merdu Naga Emas pasti langsung jatuh hati. Lake Swan  pun berusaha mengepakan sayapnya. Naga Emas bertanya padanya “Jika kau bisa terbang, kau ingin kemana sayang?Biarlah diriku menjadi sayapmu.” Angsa Danau terkejut. Ia berfikir bahwa Kin Ryu atau Gold Dragon pasti sudah gila. Angsa Danau pun berusaha mengepakkan sayap. Dan berusaha terbang menjauhkan diri dari Naga Emas. Dan mencari Silver Phoenix. Tapi bulan telah pergi berganti matahari. Mereka semua pun hilang.

 

 

Yume pun membaca tulisan dari Mizu. Ia tersenyum. Tokoh binatang yang bagus. Lalu ia melanjutkan kisah tersebut. “Cinta memang tidak harus saling memiliki, karena cinta adalah sebuah pengorbanan. Aku setuju dengan kata-kata ini.” Yume pun merealisasikan apa yang ada di mimpi itu.

    

 

 

Part 4 “Terbangun Dari Dunia Mimpi.”

 

 

Ai Ling terbangun dari mimpinya. Mimpi indah sekaligus buruk. Walaupun hubungannya bersama Kin Ryu/Naga Emas/ Gold Dragon terasa berlebihan. Ia merasa hubungannya bersama Ryu hanyalah sebatas persahabatan bukan sepasang kekasih walaupun ia menginginkannya seperti itu. Tapi Ryu sepertinya tidak mencintainya. Ryu pasti lebih mencintai A Ling.

 

 

A Ling terbangun dari kamarnya. Dia menyesal kenapa bisa jadi ikut-ikutan berada di sebuah lingkaran persahabatan dan cinta segitiga konyol seperti ini. Terlebih ia merasa seperti seorang pengganggu bahkan walaupun dirinya sama sekali tidak mencintai Ryu. Dan hal yang paling menyebalkannya Ai Ling selalu berusaha mendekatkan dirinya dengan Ryu. Padahal dia tidak menyukai Ryu. Haruskah dirinya mengatakan dengan tegas kepada Ai Ling bahwa dirinya tidak menyukai Ryu? Ia pun berjanji untuk berhenti mengeluh. Dan mencari orang lain untuk dicintai. Jadi ia tidak perlu berada di sebuah permainan konyol kekanak-kanakan seperti ini.

 

 Ryu terbangun ia menatap ke luar jendela. Jendela Ai Ling masih tertutup. Awalnya ia ingin ke meja makan tapi tidak sengaja ia menatap jendela A Ling dan lagi-lagi ia sedang berganti baju. Ryu tertawa pelan menertawakan A Ling. Dasar wanita bodoh yang tidak belajar dari kesalahan. Ryu pun berbalik untuk menuju meja makan dan ia melihat Jendela Ai Ling terbuka rupanya Ai Ling sudah terbangun. Ryu pun melanjutkan langkah menuju meja makan.

 

 

Ai Ling menatap Ryu yang menjauh. Sikap apaan itu?Bahkan Ryu tidak menyapa sedikitpun. Beberapa bulan kemudian mereka pun selesai belajar dan mulai memasuki dunia kerja. Bahkan mungkin diantara mereka ada yang akan menikah. Orang tua Ai Ling dan A Ling sepakat dengan orang tua Ryu untuk menikahkan anak mereka.

 

 

Ryu mengajak Ai Ling jalan-jalan. “Sudah lama ya kita tidak jalan-jalan berdua?” Ai Ling tersenyum. Kau lebih suka jalan-jalan bersama A Ling kan?” Ryu tersenyum “Bahkan aku belum pernah mengajaknya jalan-jalan.” Ryu tersenyum lalu memegang tangan Ai Ling. Ada sebuah desiran di perasaan Ai Ling. Ia pun mengambil tangannya. Dan menjauhkan tangannya dari jangkauan Ryu.

 

 

Ryu kecewa. “Aku hanya ingin memakaikan ini padamu.” Ai Ling tersenyum “Cincin itu akan lebih indah jika berada di tangan A Ling.” Ai Ling masih memaksakan senyumannya.Ryu berubah murung “Padahal akau akan lebih suka jika cincin ini berada di jari manismu. Tahukah engkau?Aku sudah mencintaimu bahkan dari semenjak kita masih kecil. Dan aku yakin kau pun mencintaiku juga seperti dalam mimpi itu.

 

 

Ai Ling teringat perkataan Ryu sebelum tidur. Semoga dalam mimpi, kita bisa bertemu sebagai burung Pheonix dan Naga. Ternyata Ryu juga memimpikan hal itu. Mungkin A Ling juga memimpikan hal ini. Ai Ling pun memaksakan senyumnya dan menahan air matanya. “Kau akan mencintai A Ling setelah kau menikahinya.”Ai Ling pergi dengan meninggalkan Ryu yang menatap gelasnya. Kakinya berada di kaki satunya. Lalu dengan kesal ia pun memecahkan gelas itu. Dan ia pun menggemgam beling itu hingga tangannya berdarah “Jika kau menginginkan aku mencintai A Ling. Aku akan melakukannya. Akan kubuat kau begitu menderita karena aku akan mencintai A Ling.”Darah itu pun menetes sampai lantai. Seorang pelayan datang berusaha mengobati Ryu. Ryu membayar semua hidangan di meja yang sama sekali tidak di makan Ai Ling.

 

 

Ai Ling menangis di jalan. Perkataan ayah ibunya seminggu yang lalu. “Ai Ling sebentar lagi kau akan kami nikahkan bersama Ryu.” Sebenarnya Ai Ling senang tapi ia teringat kembali akan senandung kesedihan saudara perempuannya A Ling. Ai Ling pun berusaha membuat A Ling bahagia dengan membagi kebahagiaannya. Lalu ia mengatakan idenya kepada ayah ibunya “A Ling kakaku sudah mengalami banyak penderitaan dan kesedihan. Dari pertama ia dilahirkan, Ia sudah dibuang.” Mamanya menyela “Dia tidak dibuang tapi kehadirannya ke dunia ini berusaha membuat orang disekitarnya bahagia. Dan tantenya pun bahagia karena hidup berada di sampingnya.” Ai Ling menyela “Tapi ini bukan kemauan A Ling. Apa ayah ibu berfikir bahwa jiwa A Ling bahagia?Kalau aku sih merasakan jiwa A Ling begitu menderita dan tidak bahagia. Ia tinggal di sana dengan kesepian.” Ibunya menyela lagi “Dia tinggal dengan kasih sayang tantenya. Aku yakin dia tidak kesepian.”

 

 

Ai Ling pun masih berusaha menjalankan misinya. “Tapi A Ling hidup dalam penderitaan sedangkan kita hidup dengan kemewahan.” Ibunya menyela lagi “Itu baik untuk A Ling sehingga ia tidak memiliki karakter manja sepertimu.” Muka Ai Ling memerah. “Jika kalian menginginkan aku bukanlah anak manja mungkin sebaiknya kalian mengirimkan aku ke dunia baru sang tante agar aku diajarkannya untuk menjadi anak manja.” Ai Ling pun pergi dengan kesal.

 

 

Ayahnya Ai Ling memarahi istrinya. “Sungguh repot menikah dengan istri yang sibuk bekerja. Sampai-sampai tidak bisa mendidik anaknya agar tidak menjadi anak keras kepala dan manja.” Wajah ibunya  Ai Ling memerah. “Kalau kau menginginkan aku agar aku tidak bekerja dan cukup di rumah saja mendidik Ai Ling kenapa kau tidak menyuruhku sejak awal?”  Ibunya Ai Ling segera pergi. Tapi suaminya memegang tangan istrinya. “Sepertinya aku salah. Kau memang sudah mendidiknya. Tapi kau mendidik Ai Ling menjadi sama sepertimu. Lihat saja cara kalian marah. Cara kalian marah benar-benar sama. Minggu depan kita sudah harus bertemu dengan orang tua Ryu. Jika Ryu kita nikahkan dengan A Ling apa kau setuju?” Istrinya pun menjawab singkat “Lakukan sesuka hatimu.” Lalu ia pergi.

 

 

Dan perjanjian pun dilakukan. Malam itu Ayah Ibu Ai Ling datang ke rumah Ryu. Dan mereka membicarakan ini semua. Ayah Ai ling pun mengatakan “Sepertinya aku tidak bisa menikahkan Ai Ling dengan Ryu. Tapi bagaimana jika Ryu menikah dengan A Ling saja. Sepertinya A Ling lebih cantik daripada Ai Ling.” Ayah Ryu berkata bijak. “Pernikahan dan cinta tidak diukur dari kecantikan dan ketampanan, bahkan bukan juga diukur dari kekayaan dan keluarganya.” Ibu Ryu pun berkata “Aku merasa anakku mencintai Ai Ling. Karena yang meminta pernikahan ini diadakan adalah Ryuk dua minggu yang lalu. Perjodohan ini bukan usul dari kami.”

 

 

Ayah Ai Ling mengangguk “Aku juga berfikir bahwa Ryu akan cocok sekali dengan Ai Ling. Mereka juga seperti sudah saling  mencintai. Tapi aku bingung kenapa Ai Ling menolak pernikahan ini.” Ibu Ai Ling menatap suaminya “Loh kamu lupa? Ai Ling kan menolak karena ia berat dengan A Ling. Ai Ling merasa A Ling begitu menderita dan Ai Ling ingin memberikan kebahagiaanya kepada A Ling. Yaitu dengan cara memberikan Ryu salah satu kebahagiaanya untuk A Ling. Dan Ai Ling berharap A Ling dan Ryu bahagia dan saling mencintai saat mereka menikah nanti.” Ibu Ryu mengangguk “Oh begitu ya. Ya sudah saya tanyakan dulu pada anaknya.” Ibu Ryu pun memanggil Ryu. Ryu yang semenjak tadi mendengar pembicaraan mereka pun terduduk di kursi yang kosong.”

 

 

Ayah Ai Ling pun bertanya “Apakah kau ingin menikah dengan A Ling.” Ryu pun mengangguk. Sebenarnya ia begitu sedih. Ia merasa seperti sedang menikam jantungnya sendiri dengan pisau yang diberikan Ai Ling. Saat itu di tempat lain. A Ling berhasil mendapatkan serpihan cintanya. A Ling sedang mendatangi acara pernikahan temannya. Ia datang sendirian tanpa teman lainnya. Ia terduduk sendirian. Awalnya ia merasa kesal sekali karena tidak memiliki teman berbicara.

Ia pun memutuskan untuk pulang. Tapi tiba-tiba ia menabrak seorang pria. Dan sebuah gelas terjatuh pecah, sebelum terjatuh air itu telah sukses membasahi baju A Ling. Semua perhatian tertuju pada mereka. Laki-laki itu terus meminta maaf pada A Ling. A Ling pun hanya tersenyum. “Tidak apa-apa. Lagipula aku akan pulang sekarang.” Laki-laki itu menjadi lebih merasa bersalah. Deane tuan rumah dari acara ini pun datang mendekat ke mereka. “Jangan pulang dulu.” Deane pun menggamit tangan A Ling. Ia membawa A Ling ke kamarnya. “Pakai bajuku.” Ia pun pergi keluar.

 

 

Setelah A Ling berganti baju. Deane mengajak A Ling ke laki-laki itu. Lalu ia berkata kepada sepupunya. “Darius kau harus mempertanggung jawabkan semua yang kau lakukan. Kau harus mencuci baju A Ling.” A Ling merasa tidak enak. Lalu ia mengambil bajunya lagi. “Tidak perlu. Biar aku saja yang membersihkannya.” Deane masih bersihkeras. “Tidak A Ling aku hanya ingin mengajarkan sepupuku arti sebuah tanggung jawab.” Lalu Deane memberikan baju itu kepada Darius. Ia tersenyum “Akan kubersihkan dengan tanganku sendiri.” Lalu ia pun pergi.A Ling pun berpamitan untuk pulang.

 

 

Ketika keesokan harinya Darius datang untuk memberikan baju itu. Ternyata ia juga membawakan sebuah bunga matahari. Seteluh Darius memberikan kedua hal itu ia pun mengatakan. “Maukah engkau ikut bersamaku untuk makan malam?” A Ling ragu ia pun ragu. “Ayolah, rasa bersalahku akan hilang jika kau mengangguk.”A Ling mengernyit. “Tapi kau sudah mencucikan bajuku dan memberiku bunga. Apa itu belum cukup.” Darius menggeleng dan tersenyum. “Tidak akan cukup jika kau tidak datang.”

 

 

A Ling akhirnya pun mengalah. Ia segera mengganti baju. Dan pergi ke sebuah tempat yang menurutnya indah dengan sinar lilin yang memukau. Ribuan lampu kota bisa terlihat di sana. Mereka pun mulai makan. Mereka pun segera menarik ayam kalkun yang sama. Ayam itu begitu besar sekali. Setelah selesai makan. Darius membuka sebuah cincin dari sebuah kotak kecil. Lalu ia mengambil tangan A Ling dan melingkarkan cincin itu di jari manis A Ling. A Ling tampak terkejut. Lalu ia pun berhasil mengeluarkan suaranya. “Bukankah ini terlalu cepat?”

 

 

Darius pun menjawab dengan santai. “Tidak, aku telah mencintaimu sejak lama. Dan aku ingin minggu depan kita menikah. Sejujurnya pertemuan kita kemarin sudah aku rencanakan bersama sepupuku. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi agar pertemuankan kita terlihat begitu mengesankan jadi aku membuat sebuah pertemuan itu.”A Ling tersenyum miris. “Kau berhasil. Pertemuankan kita tampak begitu mengesankan.” A Ling melepas serbetnya dengan kencang lalu meninggalkan laki-laki itu sendirian. Laki-laki itu tersenyum menggeleng. Setidaknya  A Ling tidak membuang cincin itu. Jadi, satu bulan kemudian keluarganya bisa datang untuk melamar A Ling. Tapi sayang sekali takdir berkata lain.

 

 

A Ling pergi meninggalkan tempat itu dengan kesal. Ia pun berguman kembali “Sungguh konyol. Kenapa aku selalu berperan dalam permainan cinta yang dibuat orang lain. Kenapa aku tidak bisa membuat kisahku sendiri. A Ling lupa tentang cincin yang ia kenakan padahal jika ia ingin menolak pernikahan itu ia bisa membuang cincin itu ke selokan.

Seminggu telah berlalu. Hari pernikahan tiba. Ketika sang fajar datang. A Ling bingung karena diperlakukan bagaikan seorang putri. Ia dimandikan, dipakaikan baju dan dirias seperti pengantin. Ketika ia melihat dirinya dicermin. Ia begitu kaget. Kenapa tiba-tiba ia dipakaikan baju pengantin.

 

 

         A Ling dibawa ke sebuah gedung. Ai Ling  berusaha menutupi perasaan sakitnya. Setelah sampai di gedung Ai Ling meminum sebuah sirop sendirian. “Apa kau sudah puas menyayat jantungku Ai Ling?” Ai Ling tampak terkejut lalu ia tersenyum. “Setidaknya kita akan mati bersama. Ai Ling pun pergi menjauhi mereka semua.”

 

 

         Ai Ling menyaksikan semua ritual pernikahan ini. Ia sudah tidak sanggup. Topeng tersenyum sudah habis. Ia pun pergi ke luar kota. Menangis sepanjaang perjalanan. Bahkan setelah tertidur ia pun masih mengeluarkan air matanya.

 

 

Saat ingin memasukan sebuah cincin pernikahan ke tangan A Ling. Ryu menyadari A Ling telah memakai cincin lain. Ia tersenyum. “Bahkan sang cincin pun memilih orang yang dicintainya. Lihatlah A Ling sudah menikah dengan laki-laki lain dan cincin di jari manisnya adalah cincin pernikahannya.” Ryu pun pergi. A Ling yang merasa dipermalukan di hari pernikahannya yang sama sekali tidak ia inginkan pun menangis. “Tolong hentikan permainan bodoh ini.” Ia pun memeluk lututnya. Ia menangisi dirinya sendiri.

 

 

Darius maju ke depan. Duduk ke samping A Ling. Lalu ia pun meminta. “Tolong nikahkan aku bersama A Ling. Cincin yang ada di jari manisnya adalah cincin pemberianku.”A Ling memandang Darius. Sebenarnya ia sudah begitu muak tentang semua permainan cinta yang tidak ia inginkan sama sekali, tapi sayangnya ia harus memerankannya. Terjadi sebuah kasak-kusuk di belakang. Tapi akhirnya semua orang yang ada di sana pun menyetujui pernikahan ini. Cinta memang begitu aneh.        

 

 

Ryu mencari-cari kepergian Ai Ling. Ia berharap Ai Ling ada di sebuah kolam. Sehingga ia bisa membawa Ai Ling untuk menikahinya. Tapi ternyata Ai Ling tidak ada di sana. Ryu masih mencarinya sampai ia kelelahan.

 

 

         Di mobil. Ai Ling terbangun. Ia masih meneteskan air mata. Air mata yang sudah lama ia bendung dari pertama kali kedatangan A Ling pun meledak. Ia menangis dan terus menangis. Dan berusaha ikhlas. Sang sopir merasa risih oleh tangisan Ai Ling. Ia menatap Ai Ling dari sebuah kaca. Di kaca itu wajah Ai Ling yang penuh dengan air mata terpantul. Sang sopir pun merasa sedih. Sang sopir yang entah memiliki kelainan apa. Akhirnya mengambil kameranya untuk memfoto wajah Ai Ling yang sedang menangis “Untuk kenang-kenangan.” Sebuah tindakan bodoh memang. Karena pada saat yang bersamaan. Mobil ini keluar dari jalurnya dan menabrak sebuah truk. Kecelakaan pun  terjadi. Takdir tidak bisa terelakan. Mobil itu berbalik dan terbakar. Sang sopir meninggal.

 

 

Ai Ling masih bisa tertolong. Lalu ia dibawa ke rumah sakit. Pagi hari setelah pernikahan itu. Keluarga Ai Ling digemparkan oleh sebuah tragedi. A Ling mendengus “Entah tragedi buruk apa lagi yang akan terjadi pada hidupku. Dunia begitu menyedihkan bagiku.” Darius pun murung. “Walaupun aku sudah datang ke hidupmu untuk menemani dan menghiburmu?” A Ling mengangguk.

 

 

Lalu mereka semua pun ke rumah sakit untuk melihat keadaan Ai Ling. Ai Ling terbangun lalu ia merasakan sakit di wajahnya. Ia pun memegang pipinya lalu alisnya mengernyit. Ia meminta suster untuk mengambilkan sebuah cermin. Ketika ia melihat cermin itu. Ia begitu ketakutan. “Ini bukan wajahku.” Ia menjerit ketakutan. Ia juga melihata tangan dan kakinya. Lalu berteriak. “Tubuh ini bukan tubuhku.”

 

 

Lalu Ai Ling melihat keluarganya datang. Ia menunduk dan berharap semoga Ryu tidak datang. Tubuh Ryu mungkin boleh menjadi milik orang lain. Tapi tolong jangan ambil cintanya juga. Hanya cinta Ryu yang ia miliki satu-satunya.

 

 

Keluarga Ai Ling kaget menatap Ai Ling. Ai Ling menunduk. Dan berfikir. Bahkan keluaganya tidak bisa menerima keadaanya. Ibu Ai Ling menangis lalu memeluk Ai Ling. A Ling serta ayahnya juga memeluk Ai Ling. Ryu ada di sana. Masih terpaku. Ai Ling pun menunduk sedih. Kenapa jadi seperti ini ratapnya. Lalu Ai Ling juga menatap seorang pria yang sedang memegang bahu A Ling. Ai Ling pun bingung siapa dia?

 

 

Ryu pun datang mendekati Ai Ling. Ia memberikan bunga matahari. Dan duduk dikasur “Ini untukmu. Sebuah bunga yang kau sukai bahkan dari kau masih kecil.” Ryu pun memeluk Ai Ling. Ai Ling ingin membalas pelukan itu dengan erat. Tapi ia tidak sanggup.

 

 

Setelah beberapa lama. Ai Ling diizinkan pulang. Ia menatap ke luar jendela mobil. Sekarang hidupnya tidak akan pernah sama seperti semua ini belum terjadi. Ai Ling pun menangis. A Ling melihatnya lalu ia merangkulnya. A Ling pun ikut menangis.

 

 

 Ryu melemparkan sebuah kertas. Kini kertas itu berbentuk Naga Emas. Ai Ling tersenyum pahit. Lalu membuka lipatan demi lipatan. Dan membaca tulisan tangan Ryu. “Cincin ini memilih jari manis orang yang dicintai tuannya. Dan cincin ini berharap kau memakainya untuk tidak mengecewakan tuannya.” Ai Ling tersenyum getir lalu menangis.

 

 

Lalu Ryu mengirimkan sebuah surat berbentuk Naga Emas lagi. Ai Ling membuka lipatan yang agak rumit itu dengan hati-hati agar tidak sobek. Lalu membaca tulisan itu. “Esok kita harus menikah.” Ai Ling menggeleng lalu mengirimkan surat berbentuk Phoenix. “Walaupun keadaanku begini?” Ryu mengangguk dan menuliskan kembali suratnya. “Ya, apapun wujudmu. Tapi aku yakin bulu-bulumu akan tumbuh menjadi lebih cantik daripada sebelumnya. Karena kau adalah Silver Phoenixku.” Di bawah tulisan itu tertulis “Kin Ryu/Gold Dragon.” Dan tulisan itu ditulis dengan tinta emas.

 

Mizu membaca kisah yang ditulis Yume. Ia pun terisah. “Kisah cinta yang mengharukan, cinta memang suci. Cinta hadir bukan karena kecantikan,harta dan lain-lainnya. Tapi cinta datang dari hati. Sehingga jika pasangan kita tidak sempurna kita masih harus tetap mencintainya karena Allah.” Mizu melanjutkan kisah yang ditulis Yume. Mizu pun bertanya-tanya. Apakah kisah ini akan berakhir sampai sini? Kita lihat sikap Yume untuk mengatasi kisah yang selesai sebelum waktunya.

Part 5 “Pernikahan.”

 

 

Hari itu tiba. Dan Ai Ling serta Ryu pun menikah. Semua orang tampak begitu bahagia tidak terkecuali A Ling yang pipinya sedang merah merona bagaikan buah delima. A Ling dan Darius tampak begitu bahagia. Sepertinya kuncup-kuncup bunga cinta bermekaran pada pagi yang syahdu itu. Burung-burung lovebird pun menyanyikan sebuah lagu cinta. Yang membuat A Ling dan Darius ingin berdansa. Ai Ling yang melihat kecerian A Ling dan melihat mereka berdansa pun lekas mengajak Ryu berlari. Padahal Ryu saat itu sedang mencicipi sebuah kue. Dan ketika mereka berlari. Kue itu terjatuh menggelinding di tanah.

 

 

Kue yang menggelinding itu diambil oleh Himitsu dengan tatapan berbinar tapi lekas dibuang oleh Yume. Dan Himitsu pun diamankan oleh Max. Mereka bertiga pun pergi menjauh. Ryu yang masih diseret Ai Ling untuk menuju kolam pun tampak begitu sedih melihat nasib kuenya yang berujung ke tong sampah. Tapi expresinya berubah setelah mereka berdua berdansa. Dan para tamu pun ikut berdansa dengan pasangannya. Mereka tampak bahagia untuk selama-lamanya.

 
Aku lapar. Aku berjalan agak jauh dari sungai. Aku menemukan sebuah tanah pertanian. Ada seorang ibu-ibu sedang memeras susu sapi. Aku memperhatikannya. Dia yang sedang merasa diperhatikan akhirnya menatapku. Akupun menjadi kikuk. Tidak tahu harus berkata apa dan bersikap seperti apa. Aku mengalihkan pandanganku dan menatapnya lagi. Tapi ibu-ibu itu masih menatapku. Aku pun lekas pergi menjauh tidak ingin mengganggunya. Tapi ia memanggilku. Ia mengatakan bahwa ia belum pernah bertemu denganku sedangkan ia mengenal seluruh warga desa di sini. Lalu ia bertanya tentang diriku. Dari mana diriku dan ingin ke mana tujuanku. Aku memperkenalkan diriku dan menceritakan kisahku. Dia pun mengundangku makan bersama. Ia menyediakan ayam kalkun, keju, roti, telur, kentang, air limun, dan es krim serta apel. Setelah selesai makan ia menyediakan biskuit dan teh. Rasanya benar-benar nikmat. Aku berterima kasih padanya. Dan meminta izin untuk sholat. 

Setelah itu aku berpamitan kepadanya untuk melanjutkan perjalanan pulang yang entah jalan mana yang harus kulalui. Tapi ia memintaku untuk menginap walau hanya satu hari. Aku tetap meminta pulang,tapi ia memaksa. Akhirnya aku tetap di sini. Dia mengajakku ke sebuah ladang miliknya. Di sana ada suaminya dan anak laki-lakinya. Mereka memiliki otot-otot yang besar. Yang memberi makna mereka adalah pekerja keras. Aku membantu mengumpulkan jerami, menyikat sapi,menggunting bulu domba,memberi makan ayam, mengumpulkan telur, menyiram tanaman mereka,mengembalakan domba, menyikat kuda dan mencoba menunggang kuda. Tapi sayang kuda ini malah berlari cepat menerobos ladang jagung. Merusaknya dan menjatuhkan aku. Tulangku serasa remuk walaupun sebenarnya tidak remuk. Tapi cukup ngilu untuk merasakannya. Ibu itu mengobatiku. Dan membawaku ke sebuah padang rumput. Padang rumput yang begitu luas dengan dipenuhi bunga dandelium.

Akhirnya malam tiba. Aku pulang ke rumah mereka dengan rasa cape yang luar biasa sekali. Tubuhku pegal tapi aku senang setidaknya aku mendapatkan pengalaman. Setelah sholat maghrib dan Isya. Kami dan keluarga mereka membaca buku dengan di temani lampu minyak. Buku yang kubaca sangat menarik. Akhirnya aku tertidur melepas rasa lelah dan letih. Ayam berkokok. Kami sholat berjamaah. Setelah sarapan aku sudah tidak bisa berlama-lama lagi di sini aku harus pulang. Memang mereka sudah seperti keluargaku sendiri. Mereka sungguh baik tapi aku harus tetap pulang. Mereka memberiku bekal agar aku tidak lapar di jalan. Dan  menunjukan sebuah jalan yang bisa di lalui. Aku berjalan sesuai petunjuk mereka.

Di tengah jalan aku bertemu dengan gadis sebaya denganku. Gadis itu memakai gaun dan tudung yang sangat imut. Dia pun bertanya padaku hendak kemanakah aku. Aku menjawab dengan singkat “ Aku akan ke Kota”. Dia mengajaku naik ke karavannya. Karena ia juga hendak ke sana. Ditengah jalan kami melawati sebuah hutan. Nasib kami sedang sial saat itu. Kami bertemu dengan para perampok. Semua yang kami miliki mereka ambil. Dan mereka menculik kami. Kami diikat tapi Alhamdulillah tidak diawasi. Dengan nekat kami menjatuhkan diri. Memang agak sakit rasanya. Tubuhku menjadi lebam biru. Tapi itu adalah harga yang setimpal yang harus kami bayar. Kami bersembunyi di balik semak. Untung gadis itu membawa pisau lipat. Jadi tali yang menjerat kami putus.

Kami memakan raspberry untuk menghilangkan rasa lapar. Tapi sama sekali tidak membantu menghilangkan rasa lapar ini. Kami terduduk kecapean. Aku bertanya pada gadis itu tentang siapa namanya dan aku pun memperkenalkan namaku serta bertanya padanya “Anne,barang-barang yang akan kau jual ke kota sudah dirampas mereka. Jadi, apakah kau akan tetap ke kota?” Anne menjawab dengan tergesa-gesa “ Bantu aku mengumpulkan Raspberry ini,kita akan menjualnya ke kota” Kami mengumpulkan buah itu sebanyak- banyaknya. Dan melanjutkan jalan ke kota. Akhirnya kami sampai di kota. Panas sekali, matahari tepat di atas kepala kami. Emely menjual buah itu. Dan kami segera ke mushola terdekat untuk sholat dzuhur.

Emely menatapku. Dan bertanya kepadaku “Emely sejujurnya di kota ini kau ingin kemana?”  Aku menceritakan semuanya pada Anne. Dan aku berkata “Aku ingin pulang. Ini bukan kota tempatku tinggalku. Untuk menuju tempat tinggalku aku harus naik 2 kali transit lagi” Anne menatapku. Ia berdiri. Dan menarik tanganku. Untuk membantu aku berdiri. Ia berkata “Aku akan mengantarkanmu pulang. Mungkin sebaiknya kita naik kereta saja. Ayo! Tiketnya biar aku yang bayar saja. Raspberry kita laku keras. Ini sebagai tanda terima kasihku padamu karena telah membantuku menjualnya” Akupun tersenyum gembira. Di mataku terlihat jelas sebuah cahaya berkilat-kilat. Aku penuh antusias dan berterima kasih kepada Anne.

Kami naik kereta. Angin semilir berhembus ke arah kami. Akhirnya kami sampai di stasiun. Kami sholat sebentar di mushola. Dan melanjutkan perjalanan. Anne menatapku sembari berkata “Habis dari sini kita harus kemana lagi?” Aku menunjuk sebuah bis dan berkata “Kita naik bis itu” Kami berlari cepat. Meninggalkan stasiun ini. Kami menghempaskan tubuhku di kursi. Aku berkata kepada Anne “Terima kasih Anne,telah mengantarkan aku pulang. Oh ya lalu bagaimana kamu pulang?Apakah ongkosmu masih ada? Kalau sudah habis aku akan meminta ibuku agar memberikan uang kepadamu. Sebagai tanda terima kasih.”

Anne tersenyum getir “Tidak terima kasih. Emely sejujurnya aku sebatang kara. Aku hidup sendirian. Untuk mencari makan terkadang aku menjual hasil hutan ke pasar. Terkadang aku juga menjual kue yang dibuat orang di tanah pertanian tadi. Terkadang aku tinggal bersama orang itu. Dia baik padaku. Aku diberi makanan dan baju. Dia sudah seperti ibu kandungku. Tapi walau bagaimanapun juga hatiku tetap kosong. Aku merindukan ibu kandungku. Terkadang samar-samar aku mengingat wajah ibuku. Dulu sekali saat aku berumur 5 tahun aku terpisah dari ibuku. Aku terus mencarinya. Tapi aku tidak menemukannya. Ibu Merry selalu mengatakan ini padaku.”Anne berhentilah mencari. Karena aku tahu kau telah menemukannya. Kau menemukan bahwa ia sudah pergi.”

“Aku tidak bisa menyetujui perkataannya. Aku tetap merindukan ibu kandungku. Aku hanya setia berada di sisinya,karena ibu Merry tidak memiliki anak. Yah kami senasib kami seperti anak kunci dan sebuah gembok. Kami saling melengkapi. Ia memiliki suami yang sudah kuanggap ayahku sendiri. Setiap bulan dia membawakan aku sebuah novel. Yang terkadang malah mengingatkanku pada ibuku. Karena sewaktu aku masih kecil setiap malam ibu menceritakan berbagai kisah padaku sampai akhirnya aku mengantuk dan dia mengecup keningku serta mematikan lampu kamar tidurku.”

Anne menatap roknya dan ia menitikkan air matanya. Aku memeluknya erat. Aku tidak ingin melihat ia sedih. Aku menatap matanya. Dan mengelap air matanya. Sembari tersenyum aku mengatakan “Kau bisa menganggap ibuku sebagai ibu kandungmu”. Ia tersenyum tertawa “Akukan sudah bilang aku tidak bisa menganggap orang lain sebagai ibuku. Aku hanya ingin ibuku.” Ia menundukan kepalanya lagi. Lagi-lagi aku merasa sedih. Aku merangkulnya meletakan kepalaku ke pundaknya. Dan tiba-tiba seperti tersengat listrik aku bangkit. “Kita bisa mencarinya. Hei ini akan menjadi petualangan seru”

Anne tersenyum getir,menggeleng dan kembali menunduk.”Kurasa ini bukan ide yang bagus. Bahkan kita tidak tahu dia ada dimana” Aku menatapnya “Tak bisakah kau mengingatnya?” Ia menggeleng. Pasrah. Lalu ia berkata dan tersenyum “Hei lagipula misi kita ke kota ini kan untuk mengantarkanmu pulang.”

Aku menatap ke jendela.”Aku sudah pulang,aku sudah sampai di kotaku. Dan rinduku sudah terobati” Dia tertawa renyah dan memukul pundakku pelan.”Oh jadi, ternyata kau rindu suasana kota ini,bukan ibumu yah?” Aku tersenyum berhasil membuatnya tertawa”Tidak begitu juga kok” Aku kembali memandang ke luar,menatap awan dan memperhatikan kota ini yang begitu sibuk. Semua orang bergerak dengan cepat. Terburu-buru,seperti sedang bertarung dengan waktu. Aku kembali menatapnya,mengalihkan pembicaraan,kembali ke konteks dirinya. Aku menatapnya serius “Anne aku ingin kau mengingat kejadian 12 tahun yang lalu.” Anne termenung. Ia seperti sedang mengingat-ngingat tapi tak ada yang keluar dari ingatannya. Ia menghela nafas. Kami pun terdiam. Pemberhentian terakhir kami sudah sampai.

Kami turun dari bis. Anne terpaku. Aku menatapnya dan menatap ke arah yang ia lihat. Tidak ada apa-apa kecuali orang-orang yang bergegas datang dan pergi. Anne berkata tiba-tiba “Itu ibuku.” Dia berlari cepat. Aku ikut berlari. Secepat itukah bertemu dengannya?baru kami bicarakan tapi dengan tiba-tiba ia sudah hadir. Ini menakjubkan. Ku kira aku akan menemukan pengalaman seru untuk mencari wanita itu.

Anne tiba-tiba berhenti mendadak hampir aku jatuh terjengkang, menghindar agar tidak menabraknya. Aku menatapnya. Air matanya meleleh. Aku bertanya” Yang kau lihat beneran dia atau hanya ilusi?” Dia menggemeretakan giginya. Menatapku tajam. “Tentu saja itu dia. Dia,,,dia bersama ayahku  anak laki-laki kecil kira-kira berusia lima tahun, anak bayi dan yang satu lagi gadis kecil berumur tiga tahun. Ibu menggendong anak bayi itu. Sedangkan ayah menggendong gadis kecil yang mengantuk itu dan menuntun anak laki-lakinya. Mereka semua tertawa gembira. Hanya gadis kecil itu yang memajang expresi mengantuk dan anak laki-laki kecil itu dengan expresi kelelahan. Aku tidak bisa mempercayai ini. Bagi mereka kehilangan satu anak tak mengapa. Karena pada akhirnya mereka bahagia dengan ketiga anaknya. Mereka sudah menganggapku tidak ada. Mereka sudah tidak mempedulikan aku. Mereka sudah melupakan aku. Dan melupakan semua kenangan tentangku”

Ia terduduk di jalanan ini dia menangis kencang. Aku memegang pundaknya. Tanda bersimpati. Orang yang lalu lalang menatap kami. Seolah kami sedang memainkan sebuah opera. Aku agak risih dengan tatapan mereka. Kalau ini di komik. Mungkin aku akan menjauh pura-pura tidak kenal. Tapi itu jahat sekali. Anne ada saat aku membutuhkan teman. Sudah seharusnya aku ada saat dia membutuhkan seorang teman. Untuk berbagi cerita,menemukan solusi,dan membantunya menyelesaikan masalah.

Dia bangkit dan berhenti menangis aku membawanya pulang, ke rumahku. “ Assalamu alaikum. Ibu aku pulang”  -sepi- Tidak ada orangkah di rumah. Apakah aku telah meninggalkan mereka terlalu lama. Hingga setelah aku datang semuanya telah berakhir. Aku ke lantai atas bersama Anne. Aku melihat dia benar-benar seperti orang yang tertekan. Memang benar jika Ibu Merry berkata seperti itu. Aku pun berusaha menghibur dengan mengatakan “Tak perlu terlalu dipikirkan.” Ia menatapku tajam “Bagaimana bisa aku tidak memikirkanya sembentar lagi aku akan memeluknya,tapi aku malah berhenti. Shock melihat mereka begitu gembira” Aku tersenyum “Seharusnya kau senang melihat mereka gembira. Setidaknya kau bisa ikutan bergembira” Dia mendengus. Akhirnya aku memutuskan untuk melakukan sholat berjamaah.

Ibuku pulang dan panik karena ketika ia datang pintu telah terbuka. Ia berteriak keras ”Apakah maling sudah tau tempat persembunyian kunci kita” Aku berlari turun ke bawah.  Aku tersenyum lebar sembari menitikkan air mata. Aku begitu rindu dengan mereka. Mereka bertiga menatapku terpana. Seperti sedang melihat ilusi. Ibuku tersenyum dan menitikan air mata. Kami berpelukan hingga akhirnya ibu marah-marah “Kemana saja kau setahun ini hah? Sudah bosan kah engkau dengan rumah ini sampai-sampai kau kabur?” Dia berteriak- teriak berkata dari A sampai Z tidak selesai-selesai. Aku yang ingin menerangkan akhirnya jadi tidak antusias akhirnya. Aku menerangkan dalam hati atau hanya untuk orang yang ingin mendengarkannya saja. “Sewaktu aku menemukan kunci itu aku berjalan-jalan ke taman kota dan bermain di labirinnya. Hingga aku menemukan sebuah pintu. Ketika aku masuk pintu itu terkunci. Aku tidak bisa mundur. Akhirnya aku terus melangkah hingga akhirnya aku menemukan sebuah menara. Aku tinggal di sana setahun ini. Hingga akhirnya aku merasa bosan dan ingin pulang. Di perjalanan pulang aku singgah di sebuah tanah pertanian. Dan aku menemukan teman seperjalanan. Hingga akhirnya kami di rampok. Alhamdulillah kami bisa membebaskan diri walau tubuh kami akhirnya memar karena menjatuhkan diri.” Aku pun memperkenalkan Anne kepada mereka.

“Subhanallah petualangan yang menakjubkan. Ayo kita makan. Pati kalian begitu lapar setelah mengalami perjalanan jauh ini kan?” Aku menyetujuinya. Ayah menghampiriku. Memelukku dan berkata “Aku rindu pada suaramu ikal mas. Gadis kecil manisku.” Dia memelukku hangat. Aku rindu dengan berjuta kisah yang ia ceritakan padaku saat aku masih kecil. Aku menatap kakak laki-lakiku. Dia hanya tersenyum sok manis kepadaku. Dan aku hanya membalasnya dengan senyuman tak kalah Sok Manis. Serta senyuman nakal karena aku teringat akan keisengan dan kejailannya. Perang kita belum selesai saudaraku.

Anne menatap kami di belakang. Suasana haru biru ini membuatnya rindu pada keluarganya. Ia mengutuki dirinya sendiri kenapa dengan bodohnya ia berhenti mengejar mereka. Aku pun mengenalkan Anne pada keluargaku. Kakakku agak salah tingkah menatapnya. Jilbab pinknya yang tertiup angin. Membuat kakakku kikuk. Kami makan malam bersama. Karena kedatanganku ibukupun memasak ayam kalkun yang besar. Nikmat sekali. Ternyata wajah Anne yang acak-acakan tetap membuat kakakku jatuh cinta ckk. Setelah makan aku dan Anne membantu ibu membereskan meja makan,dan di sambung dengan mencuci piring. Anne hampir menjatuhkan piring tapi dengan sigap kakakku memegang piringnya. Ibu bertanya ini itu padaku. Tapi kalimat pertanyaanya yang malah terkesan seperti kalimat pernyataan membuatku urung menjawabnya. Terlebih ibuku terus berkata ini itu yang membuatku malas mendengarkannya. Terkadang ia mengulang perkataanya karena begitu neoritic.

Aku menghela nafas akhirnya selesai juga mencuci piringnya. Ibuku melihat tubuhku yang biru legam. Ia berteriak keras. Hampir-hampir ia akan menjatuhkan gelas kopi ayahku. Ayahku yang masih berada di kursi sembari menonton bola. Dengan sigap memegang gelasnya erat-erat. Ia menghela nafas dan bersungut-sungut. Hampir saja kopinya tumpah ke celananya. Dan gelas kesayangannya pecah. Dan tidak jadilah ia marah. Ayahku walaupun pendiam tapi jika marah, seisi rumah bisa hancur seperti terkena bencana gempa 9 skala ritcher. Dan kami persis seperti para pengungsinya. Ayahku tegas dan disiplin,serta pendiam. Sangat cocok sekali dengan ibu yang begitu cerewet.

Mata ibuku masih mendelik seram. Diam meminta keterangan dariku. Aku menjawab datar “Ini bekas jatuh dari karavan. Aku kan sudah menceritakannya. Jangan –jangan ibu tidak mendengarkannya. Hiks menyedihkan”. Ibuku pun membalurkan obat padaku. Aku juga memberikannya pada Anne. Ia hanya menatap dengan tatapan kosong. Astagfirullah alazim. Nih orang nyawanya seperti sudah hilang. Aku pun memberikannya sekali lagi dengan suara lantang. Agar pikirannya kembali ke dunia nyata. Ia pun memegang lemas.  Pasti jika sekarang ia di rumah. Ibunya yang akan mengoleskannya. Akupun mengoleskannya walaupun rasanya males banget.

Akhirnya kami ke atas untuk sholat isya berjamaah. Aku mengajak Anne ke kamarku. Dan bertanya “Apakah kau suka novel” Ia mengangguk singkat. Tapi walaupun begitu jawabannya telah membuatku puas. Aku mengajaknya ke ruang baca. Aku merekomendasikan berbagai novel untuk dibaca olehnya. Aku seperti penjual buku yang sedang  membuat pembeli terpesona oleh cerita yang di suguhkan oleh sang penulis aku bercerita panjang lebar tentang buku itu. Membuat Anne begitu tertarik dan ingin membacanya. Dan aku pun tersenyum seperti penjual yang puas karena mendapatkan pelanggan baru.

Anne sedang membaca novel yang aku rekomendasikan. Aku berkata pada Anne dengan suara nyaring dan bernada intelektual ”Setidaknya kita sudah mengetahui ibumu ada di kota ini” Aku mematikan lampu dan menyalakan lampu baca serta mengarahkannya pada Emely. Aku berkata dengan nada tegas,memberi penekanan pada setiap intonasinya. Seperti selayaknya polisi yang sedang mengintrogasi tersangka. “Anne kau harus mengingat kembali kejadian itu. Ke arah mana keluarga mu pergi?” Dengan takut-takut ia menjawab “Ke arah Barat Daya.” Aku menjawab nyengir dengan suara kencang aku berkata“ Apa ke Buaya?” Dia tersenyum getir. Tersenyum karena aku berhasil mencairkan suasana,dan getir karena aku telah membuatnya kaget. Lalu aku melanjutkan pertanyaan “Apa saja yang mereka bawa?” Dia menjawab singkat “Tas” benar- benar singkat. Aku melanjutkan terorku yang horor. Dengan suara kencang mengagetkan “Selain itu?” Ia menggeleng “Aku berteriak jawab dengan kata-kata!” Dia menjawab gugup”Ti,,,tidak ada,selain anak mereka” Aku menerjang “Itu artinya ada.” Aku mengambil kesimpulan “Karena mereka membawa tas yang sepertinya berisi baju. Jadi, kemungkinan besar mereka baru pulang dari suatu tempat. Dan tempatnya itu bisa jadi rumah orang tua mereka. Anne masih ingatkah enkau dengan rumah orang tua mu?” Dia menggeleng. Aku bertanya memastikan”Walaupun bentuknya saja?” Dia tetap lupa.

Aku pun akhirnya menyudahi interogasi ini. Karena aku sadar lama-lama aku jadi seperti psikopat. Kakakku datang telat “Ada apa sih ribut-ribut?” Tapi melihat kami sedang membaca novel. Ia menjadi bingung. Pikirnya, “apa aku salah dengar?”Aku pun berfikir “Abis dari mana saja ente? ribut-ributnya tadi,datangnya sekarang. Seakan-akan kamar dia jauh dari kamurku. Padahal Cuma sebelah-sebelahan.

Keesokan paginya. Seusai salat shubuh kami berdua memulai pencaharian. Kami tidak tahu harus memulai dari mana. Bahkan kami tidak tahu apa yang terjadi nanti. Kami pun hanya mencari tanpa tujuan yang jelas. Membuang-buang energi. Matahari semakin naik. Begitu panas seakan-akan kami berjalan di padang pasir dengan matahari tepat berada di atas kami. Akhirnya kami beristirahat dan membeli es kelapa. "Dari pertanyaanku kemarin malam. Kita bisa menyimpulkan keluargamu habis pergi dari tempat yang jauh. Atau mungkin mereka habis mudik. Lebaran belum ada seminggu yang lalu kan?" ia pun mengangguk. Akupun masih menerka-nerka "Anne coba kau ingat kembali rumahmu,coba kau pejamkan matamu." Anne memejamkan matanya ia mengatakan warna rumahnya berwarna biru. Kamarnya ada di depan dengan sebuah jendela yang menyajikan halaman rumahnya. Akupun termenung lagi. Tahu warna cat rumahnya pun sepertinya tidak membantu. Itukan ingatannya 12 tahun yang lalu. Lagipula rumah yang bercat biru pasti banya. Andai ada petunjuk lain.



         Tiba-tiba dia menjelaskan. Rumahnya penuh dengan pepohonan yang ia tanam sendiri atap rumahnya warna putih. Dengan mobil di garasi. Ia pernah menghafal nama jalan rumahnya. Nama jalannya adalah Jalan Leighton. Aku menatapnya dengan tatapan berkilat-lilat. Yeah itulah petunjuk yang kami butuhkan. Setidaknya kami menemukan tempat untuk mencari. Setidaknya kami masih bisa melangkah dengan pasti.



           Tapi terkadang kemudahan datang dengan sang masalah. Mereka berdua bagaikan kedua sisi mata uang. Saling berbeda dan bertolak belakang. Jadi,masalah berikutnya adalah aku tidak tahu jalan Leighton di mana. Harap maklum. Saya menghabiskan hidupku di dalam rumah terus. Paling keluar kalau memang ada keperluan,misal untuk menuntut ilmu. Atau membeli makanan,ke rumah saudara atau teman,reflessing. Terlepas dari itu aku mengurung diri di kamar. Kami berdua pun pulang. Dan aku bertanya kepada ibuku dimana Jalan Leighton itu. Tapi sayang sekali yang kudapatkan hanya larangan "Kenapa kau bertanya seperti itu? Kalian berdua ingin kesana? Jangan bermain jauh-jauh nak. Nanti kalian hilang. Kau sudah hilang satu tahun saja ibu merasa begitu sedih. Apalagi jika kau hilang lagi.”

Merasa kami tak akan mendapatkan jawaban dari ibuku. Kami pun mendatangi kakakku. Ia menjelaskan panjang lebar tentang keberadaan tempat itu,serta jalur mana yang dapat kami tempuh,tidak lupa pula dia menjelaskan mobil apa yang bisa kami naiki. Kamipun mencatatnya dengan terburu-buru. Menyamakan kecepatan dengan penjelasan ia. Sentuhan terakhir aku meminta uang kepada ibu untuk jajan. Padahal sejujurnya untuk ongkos. Lalu kami membawa bekal,dan air,serta mukenah,dan Hp jika ternyata kami nyasar dan tidak tahu arah pulang.

Kami memulai perjalanan. Kami menaiki kereta api yang akan membawa kami ke jalan leighton. Dilanjutkan dengan bis. Kami mencari-cari jalan itu. Aku pun bersyukur tadi sempet menyobek peta kotaku di kamar kakakku. Kami mengadakan penelitian. Dan akhirnya kami telah menemukan jalan itu. Kami sholat dzuhur di mushola terdekat. Sepi.
Lalu kami mencari rumah yang mirip dengan yang Anne ingat. Susah juga mencarinya, tapi untung Anne tahu setiap detail jalan ini. Kami menemukannya,tapi rumah ini seperti sudah tak berpenghuni. Catnya luntur di makan zaman. Tumbuh-tumbuhan sudah mati tak terurus,dan tak diberikan air. Hanya tumbuhan liar yang tumbuh subur sampai-sampai rumput yang pendek berubah jadi ilalang.



          Anne tahu tempat persembunyian kunci rumahnya. Di bawah pot. Ia mengingatnya samar-samar 12 tahun yang lalu. Rasa sedih menyergap kami berdua. Pohon Ek menjatuhkan daunnya yang sudah kering dan coklat. Kami memasuki kamar pertama. Kamar Anne saat ia berumur 5 tahun. Kamarnya dari bayi sampai balita. Dari semua ruangan yang berantakan,hanya kamar Anne yang masih rapih. Mungkin 12 tahun yang lalu mereka terus membersihkannya. Tapi mungkin juga tidak di bersihkan sehingga serapih ini. Anne menitikan air matanya. Tempat ini penuh kenangan.

Ia berteriak padaku "Lihat mereka meninggalkan rumah ini. Mereka meninggalkan kenangan tentang diriku. Mereka ingin melupakan aku. Mereka tak ingin mengingatku. Walaupun selama ini aku selalu merindukan mereka." aku menenangkan "Mereka hanya tak ingin bersedih lama-lama" dia memotong perkataanku "Dengan melupakan aku?" Aku menarik nafas menatap ke jendela memperhatikan pohon Ek di depan jendela. Ada seekor burung disana. Pohon itu masih berpenghuni dan memberikan manfaatnya. Aku menjawab pertanyaannya. "Semua ini milik Allah dan hanya kembali pada Allah,mereka harus mengikhlaskanmu mereka tidak bisa terus bersedih. Mereka juga masih memiliki kehidupan untuk dijalani."

Ia mendengus "Aku masih hidup" Aku menjawab cepat "Tapi mereka tidak tahu." dia bertanya kembali "Apakah selama ini mereka mencariku?" Aku menjawab dengan tenang "Tentu, Karena semua orang tua yang akan selalu mencintai anaknya." Ia terdiam pasrah berharap ia akan bertemu keluarganya. Ia begitu rindu kepada mereka. Serindu mereka kepada dirinya.                                         

Anne masih tetap menangis. Akupun menengkan sembari bergegas “Kita harus mendapatkan petunjuk untuk menemukan orang tuamu. Mungkin di kamar orang tuamu atau di ruangan lain akan memberikan kita petunjuk. ”Aku pun berlari ke kamar orang tuanya. Mencari-cari petunjuk kecil yang siapa tahu begitu berguna.

Aku pun bertanya pada Anne “Anne, apa keluarga kalian memiliki foto keluarga?” Dia mengangguk. Aku melanjutkan pertanyaanku “Di mana biasanya mereka letakkan?” Dia menjawab terisak. “Di dinding ruang tamu,serta lemari. Terkadang ada di dinding dan laci kamarku serta kamar orang tuaku” Aku memeriksa “Tidak ada. Kukira mereka membawa foto-fotomu. Dan hal ini membuktikan bahwa mereka terus merindukanmu. Mereka melepas rindu itu dengan menatap fotomu ketika kau masih kecil.”

Tiba-tiba terdengar suara orang memasuki rumah ini. Aku keluar melihatnya. Dia seorang ibu – ibu tua. Ia meneriaki kami. “Siapa kalian? Mau apa kalian di rumah ini hah?” Aku pun menjawab dengan sopan “ Dia adalah anak pemilik rumah ini. Apakah anda tahu pemilik rumah ini pindah kemana?” Dia termenung sebentar ia menatap Anne dalam-dalam. Anne menatapnya. Seulas senyum tergambar di wajahnya. Mereka berpelukan “Anne, kau sudah tumbuh besar sekali. Kau menjadi gadis yang sangat cantik. Kau masih mengenalku? Aku ibunya Andrews. Sejak hilangnya kau 12 tahun yang lalu. Banyak yang kehilangan dirimu. Orang tuamu serta anakku Andrews ia jadi kehilangan teman main. Hari-harinya ia habiskan di rumah saja. Ia begitu merindukanmu.”

Anne pun menyela cepat “Lalu bagaimana keadaan orang tuaku semenjak aku hilang dan di mana ia bertempat tinggal sekarang?” Ibu  Andrews tertawa renyah “Haha,,,jangan terburu-buru nak. Masih ada waktu panjang untuk kembali ke pelukan orang tuamu. Sekarang kalian harus ke rumah ku dulu. Mandi, sholat ashar. Minum teh serta biskuit buatanku. Baru aku akan mulai bercerita. Ceritanya panjang sekali.

Kami bertemu dengan Andrews. Dia adalah laki-laki yang begitu tertutup. Dia menatap Anne begitu lama tatapannya mengisyaratkan dirinya begitu merindukan Anne. Ia ingin memeluk Anne untuk melepas rindunya. Tapi ia urungkan. Ia masih bisa mengontrol dirinya. Anne memberikan senyuman termanis yang ia miliki dalam hidupnya. Kami pun bergegas mandi dan sholat ashar berjamaah. Setelah itu kami berkumpul di meja makan.

Awalnya Nyonya Douglas hanya menyuguhi kami biskuit dan teh tapi karena ayam kalkun masakannya sudah jadi,kami pun memakannya. Begitu nikmat. Andrews masih mencuri pandang ke arah Emely. Dirinya memang begitu cantik. Kakaku saja seperti menyukainya pada andangan pertama. Tapi sayang sepertinya yang dalam otak Anne tidak ada tentang cinta. Satu-satunya yang ia pikirkan saat ini adalah keluarganya. Mungkin ketika dirinya bertemu dengan keluarganya ia akan memikirkan tentang cinta.

Andrews memberikan sapu tangan padanya. Anne mengelap air matanya dan ingusnya. Badanya begitu kurus ringkih. Pipinya tirus. Matanya cekung. Dan ada kantung mata di bawah matanya. Matanya begitu sembab karena ia begitu menangis. Tapi walaupun terlihat buruk seperti itu tampaknya ia masih bisa menebar pesona. Membuat laki-laki muda yang melihatnya dan berjarak tidak jauh darinya begitu terpikat. Serta tidak akan melepaskan pandangannya dari Anne. Bahkan jika kita memukul kepalanya sepertinya ia tidak akan merasakannya.Hahaha,,,

“Emely rasanya senang sekali kau menatap Andrews lama-lama” Bibi Douglas menghentikan lamunanku. Pipiku merona merah. Tampaknya sekarang gantian aku yang menjadi pusat perhatian dan diperhatikan. Tapi setidaknya pandangan Andrews sudah tidak menatap Anne. Tapi aku masih menunduk malu. Andaikan aku juga tidak ikut-ikutan mencuri pandang seperti Andrews.

Nyonya Douglas pun memulai percakapan “Jadi, Anne sesaat orang tuamu kembali ke kota ini. Ia tetap meminta polisi mencarimu. Tapi mereka tetap tidak menemukanmu. Mereka menangis seharian. Hati mereka begitu terguncang. Dunia mereka begaikan hancur berkeping-keping. Setiap hari mereka merindukanmu. Lampu kamarmu selalu menyala. Ayah ibu selalu tidur di kamarmu berharap kau akan kembali ke pelukan mereka. Tujuh tahun mereka merana di rumah itu. Wajah ibumu. Tak karuan. Akhirnya setelah tujuh tahun. Mereka bisa mengikhlaskanmu. Mereka pergi untuk menyusun kehidupan baru. Menemukan kebahagian baru. Walaupun tidak seindah saat kau ada.”

Anne meneteskan air mata “Lalu di mana keluargaku tinggal sekarang?” Nyonya Douglas menjawab singkat “Rumah itu ada di Northampton” Lalu ia memberikan alamatnya. Aku pun menjelaskan “Anne kita akan ke sana besok pagi,ibuku akan marah jika aku tidak pulang sekarang,aku pulang malam saja ia pasti akan marah besar” Anne menatapku nanar “Aku akan ke sana sendirian.” Aku menatapnya tajam “Di tengah malam seperti ini ? Tidak,aku tidak mengizinkanmu,terlebih jika kau sendirian. Kau sudah mengantarkan aku pulang. Sekarang tinggal aku yang akan mengantarkanmu pulang” Anne tertawa parau matanya benar-benar sudah sembab saat itu “Lalu jika kau sudah sampai di rumahku,siapa yang akan mengantarkanmu pulang?” Aku menjawab dengan tenang “ Aku bisa pulang sendiri sekarang ayo kita ke rumahku dulu. Ia pun menurut. Andrews meminta izin untuk mengantarkan kami pulang. Aku pun bertanya bingung. “Bukankah kau selalu menyendiri di rumah dan jarang ke luar?lalu bagaimana bisa kau mengendarai mobil?” Ia tersenyum ramah. Aku keluar jika aku ada keperluan. Sekarang aku pun ada keperluan. Jadi,izinkanlah aku mengantar kalian. “Kami pun mengangguk” Nyonya Douglas memberikan oleh-oleh untuk keluargaku. Kami pun pulang.

Pagi hari yang cerah. Andrews datang ke rumahku. Ia menjemput kami. Untuk mengantarkan kami ke rumah Anne. Kami pun bergegas. Pemandangan di luar begitu indah. Akhirnya kami sampai di rumah Anne. Pertemuan yang begitu mengharukan. Mereka menangis terharu bahkan adik-adiknya pun menyapanya. Tampaknya orang tua mereka telah memperkenalkan kakaknya dari dulu. Mereka mengajak kami untuk makan di dalam tapi aku pamit undur diri. Akhirnya kami pulang. Andrews mengantarku pulang. Ia mengatakan sesuatu padaku. Suaranya begitu lirih “Izinkan aku untuk ke toko buku sebentar” Aku pun mengizinkanya. Dan aku ikut masuk. Aku menemukan banyak buku yang bagus. Andrews membelikanya untukku sebenarnya aku menolak dengan keras karena harga diriku serasa hilang. Tapi ia memaksa. Saat perjalanan pulang ia menghadiahkan sebuah buku untukku. Dia menjelaskan padaku tentang sinopsis ceritanya. Setelah sampai rumah aku langsung istirahat. Badanku begitu cape sekali. The End.