Hazzel terbanngun dari tidurnya. Rasanya ia begitu ingin muntah. Ia mendekap mulutnya dengan erat, dan satu tangan lainnya mencengkram perutnnya. Rasannya begitu mual dan ia begitu muak. Rasanya ingin sekali memuntahkan semua ini tapi tak bisa. Pandangan matanya meredup.  Saat itu sore hari, kamarnya begitu gelap. Hanya seberkas sinar yang terbias dari jendela kamarnya dan tersamarkan oleh jendelanya. Seberkas siluet tubuhnya hadir di jendela itu.

Karena ia sudah tidak kuat berdiri, ia pun membaringkan tubuhnya ke kasur. Kepalanya masih pusing, samar-samar ia memandang pergelangan tangannya. Dengan menyipitkan mata ia meraba lengannya. Seperti  ada darah yang keluar dari pergelangan tangannya. Kepalannya semakin pusinnng, tubuhnya menndingin, nafasnnya melemah. Ia sudah tidak kuat lagi. Ia memandang tangannya dengan iba, lalu memejamkan mata. Rasa mualnya masih bertahan ia masih ingin muntah tapi rasanya begitu sulit untuk mengeluarkannya.

Sang ibu datang ke kamar Hazzel. Ia menyalakan lampu kamar anak itu. Lalu terpaku mennatap tubuh anaknya yang terbbarinng lemah. Lalu dengan segera ia merangkul tubuh anaknya. Dengan panik ia menelpon ambulan. Lalu dengan segera ia membawa tubuh Hazzel ke rumah sakit terdekat. Ia di bawa ke sebuah ruangan serba putih, tangannya di infus dan segera diberi perawatan.

Orang tua dirinya pun mendonorkan darah mereka karena saat ini Hazzel sangat kekurangan darah, bahkan mungkin untuk bernafas pun begitu sulit. Rasanya kepalanya begitu berat. Ia masih ingin muntah.

Hazzel terbangun dari tubuhnya. Terduduk lemas. Pandangan dan tatapannya begitu kosong. Kepalanya masih pusing, dan ia meraba sebuah guratan di pergelangan tangannya. Ia tersenyum tipis, bukan karena bahagia tapi ia tersenyum karena berfikir bahwa ternyata luka itu tidak akan pernah hilang. Dan luka itu mungkin akan mengingatkanya pada suatu hal.

Tubuh Hazzel masih mendingin dan kepalanya masih pusing tapi tatapannya sudah tidak kosong lagi. Dan pikiran serta pandangannya pun sudah tidak memudar. Hazzel berusaha berdiri dari kursi taman itu. Ia menatap ke sekitar semuanya serba putih. Tidak ada pembatas antara lantai dinding dan atap. Semuanya hanya putih dan kosong.

Hazzel berusaha berjalan dengan tubuh lemasnya. Kepalanya masih pusing tapi tinnggal sedikit. Ia berusaha keras agar tidak pingsan. Ia pun masih tetap berjalan. Tiap langkah ia selalu berfikir bahwa dirinya sehat dan kuat unntuk berjalan. Hingga pada akhirnya ia berada di sebuah taman. Semuanya tidak putih lagi. Kini sebuah rumput hijau menghiasi jalanan. Ia menatap sekitar ada sebuah pohon sakura, dan di sebelah ujung sana ada pohon maple. Di bawah pohon sakura ada sebuah kursi taman yang begitu percis dengan yang ia duduki tadi. Tidak jauh dari pohon sakura ada sebuah kolam ikan yang ukurannya sedang. Di dalam kolam itu ada dua ekor ikan koi yang sangat cantik. Yang satu berwarna orange keemasan dan yang satu lagi berwarna merah belang putih.

Hazzel mencelupkan tangan dan kakinya di air kolam itu. Rasanya begitu dingin, jadi ia mengurungkan untuk merendamkan tubuhnya di kolam itu. Ia pun keluar dari kolam yang memanjang ini. Dan ia menyebrangi sebuah jembatan yang sangat indah. Jembbatan ini membawanya ke sebuah tempat dataran tinggi. Di bawahnya ada sebuah kota. Dan di ujung sana ada sebuah gunung.

 
Beberapa bulan telah terjadi semenjak kejadian itu. Yume sedang terduduk di meja kerjanya. Menatap sebuah buku kosong dengan pulpen di tangannya serta laptop yang menyala di sampingnya. Mbok Yem datang memberikan sepotong kecil black forest dengan secangkir coklat panas. Yume menatap jendela. Deru angin memasuki ruangan itu. Tirai jendela berkibar kencang. Ia berjalan menuju jendela dan menatap ke luar jendela. Ia bersyukur angin yang berhembus ini adalah angin gunung bukan angin pantai yang selalu menyapanya saat ia berada di rumah orang tuanya dulu.

Sekarang entah sedang apa orang tuanya. Orang tuanya pasti begitu kecewa kepada Yume. Anak yang tidak berbakti. Anak yang lebih memilih orang yang dicintainya dibandingkan kedua orang tuanya. Bahkan setelah semua yang telah dilakukan dan diberikan dari orang tuanya. Yume mengutuki dirinya sendiri karena tidak bisa membalas budi orang tuanya. Gimana ia ingin membalas budi bahkan kerumah itu lagi pun pasti tidak diperbolehkan.

Yume membayangkan jika dengan tiba-tiba ia mengetok rumah kedua orang tuanya dengan menggendong Himitsu, pasti setelah ayahnya keluar ia langsung diusir dalam hitungan detik. Pasti ayahnya beranggapan dirinya telah ditelantarkan Max. Dan saat itu ia meminta perlindungan karena sudah tidak memiliki rumah untuk tinggal. Yume menarik nafas dan meniupkannya. Berharap semua rasa sedih dan kesal keluar. Ia duduk di jendela menatap awan. Entah kenapa awan yang satu itu berbentuk negara Jepang. Lalu ia menurunkan matanya. Sepasang gunung ada di sana. Gunung itu berkabut. Di bawahnya lagi adalah sebuah kota. Dari sini terlihat sebuah universitas tempatnya mengajar.

Tiba-tiba terdengar suara tangis dari ruangan sebelah. Himitsu telah terbangun. Yume pun menyusui anaknya itu. Lalu ia menatap ke layar komputer. Ada sebuah e-mail masuk. Dari Mizu sepupunya. Ia menanyakan kabar Yume. Yume pun menjawab keadaanya dan menceritakan bahwa ia sudah menikah dan memiliki satu anak laki-laki yang hebat. Lalu Yume bertanya tentang keadaan Mizu. Yume tampak begitu kangen dengan Mizu karena sudah lama tidak bertemu.

Subuah ide terlintas di kepala Yume. Ia pun membuat proyek. Proyek itu adalah sebuah misi menerbitkan buku yang dikarang oleh mereka berdua. Karena pengarangnya berdua jadi mereka harus bergantian menulis. Yume pun menyarankan agar Mizu memulai duluan.

Di ujung kota sebelah di sebuah rumah. Mizu sedang menyesap kopinya. Lalu ia membaca e-mail yang dikirim Yume. Yume mengajaknya menulis bareng. Sebenarnya Mizu ingin menolak. Ia pun mengirim jawaban ke Yume. Di ujung sana Yume membacanya dengan kecewa. Tapi bukan Yume namanya jika ia menyerah. Ia pun terus mengompori Mizu untuk menulis. Akhirnya Mizu setuju. Ia mulai menulis.

                                                                  
                                                                      Part 1 “A Ling”


Pada suatu hari di suatu masa. Lahirlah seorang bayi perempuan bernama A Ling orang tuanya begitu kaya raya. Bahkan jika ia tinggal bersama keluarganya ia bisa menjadi seperti seorang Putri Raja di sebuah menara . Tapi nasib berkata lain. Saat itu keluarga besar ibunya sedang dirundung duka karena tante A Ling mengalami musibah kebakaran. Saat itu dini hari. Tantenya A Ling bangun, ia tidak sengaja  menjatuhkan lilin ke kasur. Saat lilin itu terjatuh sang tante tidak menyadarinya. Lalu ia menuju keluar rumah untuk mengambil air. Air ini akan ia masak untuk keperluan mandi anaknya serta membuat kopi untuk suaminya. Angin bergerak begitu kencang. Saat sang tante ingin kembali dan menatap rumahnya. Ia pun begitu terkejut. Rumahnya sudah dilahap api. Ember yang berisi air terjatuh. Sang tante menangis tersedu-sedu. Ia pun membangun rumah kembali.

 

 

Setiap har tatapannya kosong, seperti ada yang hilang dalam hidupnya. Ibunya A Ling datang ke gubuk reyot yang baru di bangun oleh adiknya. Ia menatap mata adiknya yang menatapnya dengan tatapan kosong. Ibunya A Ling melihat ada sesuatu yang hilang dari mata itu. Dan yang hilang itu bukanlah harta kekayaan karena tantenya sudah biasa hidup sederhana. Tatapan kehilangan ini adalah tapapan kehilangan seorang keluarga. Lalu ibunya A Ling memberikan A Ling kepada tantenya untuk diurus. Dan untuk menemaninya menghapus sepi. Ibu A Ling berpesan agar anaknya dididik dengan kesederhanaan agar ia menjadi anak yang rapih.

 

 

Dengan sedih ibunya A Ling pergi meninggalkan A Ling. Tapi ia menatap mata adiknya. Sebuah kegembiraan hadir di mata itu. Tantenya A Ling seperti menemukan sebuah jiwanya yang hilang. Mereka pun hidup bahagia dalam kesederhanaan. Ibu A Ling sudah sampai  rumah ia diliputi kesedihan tiada tara.

 

 

Mizu membaca ulang tulisannya. Mengeditnya lalu mengirimkan ke e-mail Yume. Di rumahnya Yume sedang bermain dengan Himitsu. Tiba-tiba ia mendengar sebuah tanda e-mail masuk. Lalu ia membuka pesan itu. Lalu membanya. Ia pun merenung. Ia merasa kasihan kepada ibunya A Ling. Karena sekarang ibunya A Ling akan merasa kesepian. Lalu Yume pun memutuskan untuk membuat tokoh baru. Dan mengirimkan Kisah Bab kedua ke e-mail Mizu. Di rumah Mizu pun membaca Bab kedua dari Yume.

                                                                     

                                                                              Part 2 “Ai Ling”

 

 

Sebulan kemudian ibunya A Ling mengandung seorang anak keluarga itu diliputi sebuah kebahagiaan baru. Sembilan bulan kemudian. Di saat rembulan bersinar dengan terang seorang bayi lahir ke dunia yang fana ini. Berbagai kisah dalam kehidupan barunya telah menunggu. Bayi perempuan itu diberi nama Ai Ling. Sesuai namanya Ai hidupnya dipenuhi cinta oleh kedua orang tuanya. Tapi sejujurnya orang tua Ai Ling adalah tokoh antagonis. Tapi bagi Ai Ling, ibunya adalah orang yang paling baik hati sedunia.

 

Ai Ling tidak diajarkan menjadi anak yang rapih seperti A Ling. Ai Ling adalah seorang anak yang memiliki bermiliar impian. Dirinya begitu kreatif penuh imajinatif. Hanya satu kekurangannya. Ia tidak bisa mengerjakan segala sesuatunya dengan rapih. Karena segala sesuatunya itu biasa dilakukan oleh seorang pelayan. Ai Ling pun hidup dengan dipenuhi petualangan. Setiap hari ia berpetualang bersama temannya yang bernama Houseki Ryu Snicket.

 

 

Mereka sering berpetualang di balik semak. Berjalan bergandengan tangan menuju sebuah kuil. Tapi mereka tidak pergi ke kuil itu. Mereka hanya melewatinya. Karena tujuan mereka adalah sebuah pohon besar. Umur mereka tiga tahun saat itu. Orang tua mereka sangat sibuk bekerja. Penjaga mereka pun sedang sibuk memasak. Jadi, ketika Ryu datang ke rumah Ai Ling untuk bermain. Ai Ling sangat gembira sekali. Ia pun meminta Mba Ros, penjaganya untuk menyiapkan makanan piknik. Mba Ros kira Ai Ling hanya bermain di halaman rumahnya yang luas seperti biasanya. Tapi mungkin karena mereka sudah terlalu bosan bermain di halaman rumah. Akhirnya mereka memutuskan bermain keluar rumah.

 

 

Ai Ling sedang meminum limun saat itu. Dan burung-burung sedang berkicau dengan riang. Tiba-tiba ada sebutir telur puyuh jatuh. Ai Ling berteriak histeris. Ryu pun segera menangkap telur itu. Ai Ling dan Ryu membawanya ke rumah. Dan membuat sebuah tempat yang nyaman untuk telur itu. Mba Ros datang dan memperhatikan yang dilakukan dengan Ai Ling dan Ryu. Mba Ros mengambil telur itu. Ai Ling pun menjarit. “Jangan.” Kunciran rambut Ai Ling bergoyang. Mungkin saat ini seperdelapan rambut A Ling pun sedang dikuncir di sebelah kanan dan yang berbeda mungkin rambut A Ling sudah sepanjang sepunggung dan Ai Ling baru sebahu. Dulu saat ibunya dan tantenya masih kecil pun seperdelapan rambutnya juga dikuncir.

 

 

Mba Ros memperhatikan telur itu lalu merenung. “Kau ngambil dari mana? Di rumah ini sepertinya tidak ada telur puyuh.” Ryu pun mengatakan bahwa telur itu jatuh dari atas pohon besar. Mba Ros terkejut. “Bagaimana bisa kalian keluar rumah sedangkan pintu gerbang terkunci?” Ryu menjawab dengan santai sembari menghirup tehnya.”Pintu gerbang tidak terkunci kok.” Mba Ros panik dan keluar rumah lalu segera mengunci pintu gerbang. Ai Ling mendapati telurnya kembali dan menina bobokanya.

 

 

Mba Ros pun memperingatkan mereka agar jangan keluar rumah lagi. Tapi tidak ada satupun diantara mereka yang mendengarkan perkataan mba Ros. Bertahun tahun telah berlalu kini mereka sudah SMA. Ai Ling bertemu dengan A Ling. Tapi mereka masih belum menyadari bahwa mereka adalah kakak beradik. A Ling begitu cantik dengan rambut lurusnya dan pitanya merahnya. Rambut Ai Ling pun masih sebahu dengan pitanya juga. Hal ini memang sepertinya adalah sebuah tradisi dari keluarga mereka turun temurun. Rambut sang kakak perempuan harus lebih panjang dari adiknya. Dulu ibunya dan tantenya juga begitu.

 

 

Ai Ling masih bermain dengan keceriaanya bersama Ryu. A Ling lewat bersama sepedanya. Ryu yang sedang menggandeng sepedanya  dari arah berlawanan pun menatapnya. Bahkan sampai A Ling berada di belakangnya Ryu masih menatapnya tanpa berkedip. Ai Ling yang sedang sibuk bercerita dengan begitu bahagianya berhenti sejenak memperhatikan Ryu yang sedang menatap kebelakang. Ai Ling menatap ke arah yang ditatap Ryu. Entah kenapa ia merasa tidak suka. Sambil tersenyum Ai Ling menggoda Ryu. “Wah,,, Ryu menyukai seorang wanita cantik.” Ai Ling teriak begitu kencang Ryu pun begitu malu, dan menatap Ai Ling dengan tatapan kesal “Bukan begitu, tapi aku merasa dia mirip denganmu.” Ai Ling menatap kebelakang tapi yang ia tatap hanya rambut A Ling dan sepedanya. Ia memukul tangannya “Sayang sekali aku tidak melihat wajahnya.” Lalu mereka pun pergi ke perpustakaan dan membaca Novel.

 

 

Saat mereka kuliah. Mereka berada di prodi yang sama. Bahkan kelas yang sama. Sepertinya mereka menyukai hal yang sama dalam berbagai bidang. Lama kelamaan mereka bertiga pun tampak lebih dekat. Hal ini dikarenakan Setiap kali A Ling lewat pasti Ryu selalu memperhatikannya tidak peduli Ai Ling sedang bercerita hal yang penting. Terkadang Ryu pun bercerita tentang A Ling. Ai Ling merasa sepertinya dirinya semakin menghilang dari kehidupan Ryu bahkan walaupun setiap detik ia selalu bersama Ryu. Keberadaan dirinya pun seperti hilang digantikan oleh A Ling. Bahkan sebenarnya ketika A Ling lewat dan Ai Ling tidak sengaja melihatnya. Ia pun jadi selalu ingin menatapnya juga sampai sosok itu hilang. Bahkan sebenarnya Ai Ling sudah menyerah terlebih dahulu sebelum A Ling masuk ke dalam lingkaran persahabatan mereka bertiga.

 

 

A Ling memang lebih cantik, lebih pintar dan lebih rapih darinya. Bahkan Ai Ling mengakui bahwa A Ling lebih sempurna darinya. Jadi, keesokan siang Ai Ling mengajak A Ling  makan bersama di sebuah taman. Mereka hanya membawa roti, apel dan susu segar. Jika yang lainnya memilih susu putih Ai Ling memilih susu coklat. Sendiri ia pun menyadari ternyata kesukaan Ryu dan A Ling sama. Dan mereka sama-sama pendiam. Bukankah Ryu menyukai A Ling tapi kenapa dia hanya diam. Ai Ling menatap Ryu jadi seperti menatap punguk yang merindukan bulan. Saat itu Ryu sedang duduk nyender pohon. Kakinya satunya di kursi dan ia sedang memutar apelnya. Dihadapannya ada Ai Ling yang sedang memperhatikan Ai Ling. Menyukai seseorang tapi ketika orang itu ada didekatnya ia memilih diam. Bagaimana bisa dekat.

 

 

Dari tadi A Ling pun hanya diam. Karena ia merasa canggung. Dia adalah tipe penyendiri dan menyukai kesendirian. Ia akan lebih senang jika berada di rumahnya yang tenang. Biasanya setelah usai belajar. Ia segera pulang. Ai Ling yang merasakan suasana begitu dingin pun membuka pembicaraan. Dan hal ini ia lakukan agar Ryu bisa dekat dengan Ai Ling. “i ling apakah kau menyukai bunga sakura.” Ia mengangguk. Ia pun bertanya-tanya apa maksud dari pembicaraan Ai Ling? Apakah ia hanya ingin menanyakan hal itu?

 

 

Lalu dengan tiba-tiba Ai Ling memegang tangan A Ling dan Ryu. Mereka berdua terkejut. Lalu Ai Ling menggandeng lengan A Ling dan Ryu. “Kalian tahu? Di taman kota sebelah. Bunga sakura sedang bermekaran dan di sana juga ada sebuah festival. Kalian harus menemaniku untuk melihatnya.” Lalu mereka bertiga pun ke sana. Mereka memainkan sebuah permainan.Mainan itu adalah melempar panah ke gambar bebek. Ai Ling dan A Ling tidak bisa menjatuhkan satu bebekpun. Tapi Ryu bisa menjatuhkan semua bebek-bebek itu. Ia pun mendapatkan sebuah boneka beruang besar. Karena biasanya Ryu memberikan hadiah itu kepada Ai Ling. Ai Ling pun menggerakkan tangan Ryu ke A Ling. Dan A Ling pun menerima boneka itu dengan senang hati.

 

 

Sore pun tiba dan mereka pun pulang. Saat malam hari Ryu menerbangkan sebuah pesan kepada Ai Ling. “Apa maksudmu mengundang A Ling makan bersama kita dan mengajaknya ke festival?Dan apa maksudmu menyuruhku memberikan boneka itu pada A Ling?” Ai Ling pun menulis jawabanya di selembar kertas. Membuatnya menjadi kapal dan melemparkannya ke kamar Ryu. “Aku ingin mengenalnya lebih dalam. Soal boneka itu, Aku sudah terlalu bosan menerima boneka darimu, lihat rak bonekaku semuanya darimu.” Setelah membaca balasan itu. Ryu pun segera menutup jendelanya dan mematikan lampu. Ai Ling mendengus kesal karena biasanya mereka masih melempar surat sampai malam telah larut. Bahkan sampai burung hantu itu menyanyikan sebuah lagunya.

 

 

Mizu pun merasakan sebuah kisah cinta yang manis. Lalu ia menuliskan Bab ketiganya. Ia merasa kasihan pada tokoh yang dibuatnya. Lalu ia memunculkan kembali A Ling ke rumahnya yang sebenarnya.

Part 3 “Menjemput A Ling”

 

 

Adik mama mereka sudah sakit-sakitan sudah semenjak lama. Maka dari itulah setelah selesai pelajaran A Ling  segera buru-buru pulang. Maksudnya sih ia ingin menjaga ibunya. Tapi hari itu takdir berkata lain. Adik mama mereka pun meninggal. A Ling tampak begitu sedih karena ia sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi. Ia merasa begitu sendiri. Hari itu hujan turun. Ai Ling dan orang tuanya datang ke pemakaman itu. Ayah ibunya memeluk A Ling. Ai Ling memegangi sebuah payung. Dan berdiri di belakang mereka. Ai Ling tampak begitu cemburu kenapa ayah ibu mereka, tampak begitu akrab dengan wanita ini. Sampai memeluknya segala.

 

 

A Ling juga kaget karena tiba-tiba ada yang memeluknya. Padahal semenjak ibunya dikubur ia benar-benar sendirian. A Ling pun menanyakan siapa mereka. Ibunya pun berkata “Kami adalah orang tuamu.” Ai Ling dan A Ling tampak begitu kaget. Tidak. Tidak mungkin. Pikir mereka berdua. A Ling pun menyanggah “Ayahku dan kakak laki-lakiku sudah meninggal dari sebelum aku dilahirkan dan kini ibukupun sudah meninggal. Dan kalian pasti bukanlah ibuku melainkan waliku.” Ai Ling menghela nafas. Ternyata hanya wali. Syukurlah.

Tapi itu artinya ia akan memiliki saudara. Tapi tidak apalah setidaknya ia memiliki saudara perempuan. Jadi ia bisa berbagi cerita tentang sebuah kisah yang tidak bisa diceritakan pada Ryu.

 

 

        Tapi kedua orang tua itu menggeleng. “Tidak sayang. Kau adalah anak kandung kami.”

Ai Ling dan A Ling mengernyit bingung. Lalu ibunya pun menceritakan kisah itu. Dan A Ling masih belum percaya, sambil terisak ia bertanya “Lalu kenapa kalian tidak pernah mengunjungiku?” Ayahnya pun membuaka suara. “Itu karena kami terlalu sibuk pada pekerjaan kami. Bahkan kami saja jarang berjumpa kepada adikmu.” Ai Ling tidak bisa mempercayai ini. Jadi, sebenarnya ia memiliki seorang kakak perempuan. Ai Ling pun memeluk payung itu dengan erat. Rasanya ia ingin sekali berjalan ke depan dan berbalik arah untuk melihat kakak perempuanya. Tapi ia bertugas memegangi payung. Ia mencari sopir mobilnya. Tapi sopirnya tidak kelihatan. Ia pun pasrah untuk sabar menunggu.

 

 

        Akhirnya ibu dan ayahnya mengajak A Ling pulang. “Ayo kita pulang. Aku tidak ingin kau sakit.” Kaca mata ayahnya memantulkan cahaya. A Ling pun berbalik. Ia begitu kedinginan. Dan raut wajahnya memancarkan sebuah kesedihan yang nyata. Lalu tatapan mereka saling bertemu. Mereka saling menyebutkan nama orang yang didepannya. Ayahnya tersenyum “Ternyata kalian semua sudah saling mengenal?Bagus kalau begitu jadi, kami tidak perlu memperkenalkan kalian lagi. Dan aku berharap kalian menjadi kakak beradik yang akrab. Aku tidak suka permusuhan dalam keluarga ini.”

 

 

        Ai Ling tersenyum. Lalu mendekat dan menghapus air mata A Ling. Ia pun ikut merangkul A Ling dan ayahnya yang disebelahnya pun merangkul Ai Ling. Sopir itu pun memfoto keluarga tersebut. “Untuk kenang-kenangan.” Ia tersenyum. A Ling masih menangis dalam rangkulan Ai Ling. Setelah sampai rumah. Ai Ling pun meminta agar A Ling tidur di kamarnya saja.  “Ayah ibu aku akan lebih senang jika kalian mengizinkan kami berbagi sebuah kamar.” Ayahnya mengangguk setuju. “Bagus itu akan lebih baik. Aku ingin kalian menjadi akrab. Seperti kakak beradik yang menghabiskan hidupnya dari semenjak mereka kecil.” Lalu Ai Ling memperkenalkan kamarnya yang kini akan menjadi kamar mereka berdua.

 

 

“Tereng,,,inilah kamar kita berdua. Oh ia sepertinya mulai sekarang aku harus memanggilmu kakak. Oh ia maaf jika kamarnya berantakan. Sepertinya Mba Ros belum sempat membersihkannya. Aku akan memanggilnya” Ai Ling mengedipkan mata. “Biar nanti aku saja yang membereskan setelah mandi. Dan jika kau ingin memanggil namaku tanpa mengucapkan kakak,  juga tidak apa-apa dik.” Ai Ling menatapnya. Dan tertawa “Apa maumu kak? Jika kau memperbolehkan aku memanggil dirimu tanpa embel-embel kakak kenapa kau memanggilku dik? Jangan-jangan jika aku memanggilmu dengan kakak kau akan memanggilku dengan namaku.” A Ling tersenyum lalu mandi di kamar mandi sebelah kamar.” Dan Ai Ling menuju ke perpustakaan di rumah. Setelah mandi. A Ling berganti baju dan mengeringkan rambutnya. Ketika ia menatap ke jendela ternyata di ujung sana ada Ryu yang sedang menatapnya dari jendela kamarnya.

 

 

Wajah A Ling memerah. Apakah Ryu sudah berada di situ dari semenjak ia berganti baju. Wajah A Ling memerah karena malu dan terbakar amarah. Ia pun segera memanggil Ai Ling dengan tanduk keluar dari kepalanya ingin menyeruduknya, lalu taring pun keluar dari mulutnya ingin menghisap darahnya. Dan matanya tertutup satu yang menandakan. Ia telah dibutakan oleh amarah. Ryu di ujung sana pun memerah. Sebenarnya ia tidak melihat banyak. Yaitu hanya melihat A Ling saat menggosok rambutnya. Tapi Ryu tau tadi pasti A Ling sedang berganti baju. Dan melihat wajahnya yang memerah pasti A Ling mengira dirinya telah melihatnya berganti baju. Ia pun merasa kesal pada Ai Ling karena tidak memberitahukannya. Bahwa di sana ada A Ling. Tapi kenapa A Ling ada di sana? Hemm,,, mungkin sedang menginap. Ia pun kembali melanjutkan rutinitasnya.

A Ling mencari ke seluruh pelosok rumah. Tapi rumah ini terlalu besar. Dan terlalu banyak ruangan tidak perlu. Bahkan ada ruangan duduk segala benar-benar pemborosan ruangan. Akhirnya ia menemukan sebuah perpustakaan. Firasatnya Ai Ling pasti pergi ke sini karena ia menyukai buku-buku. Rasa marah A Ling tidak sebesar tadi. A Ling pun menutup buku yang sedang dibaca Ai Ling. Ai Ling merasa kesal. “Kenapa kau tidak bilang kepadaku bahwa di kamar sebelah ada Ryu hah?” Ai Ling menatap A ling “Terus kenapa? Bukankah itu bagus? Kalian bisa saling bertemu dan menjalin cinta.” A Ling mengernyit “Apa maksudmu dengan cinta?Diantara kami tidak ada cinta. Tahukah engkau tadi aku berganti baju di depan jendela. Dan ketika aku menatap jendela ternyata Ryu sedang menatapku.” Ai Ling merasakan sebuah gejolak. “Benarkah? Tapi apakah kau tahu. Bahkan walaupun kau sedang tidak ganti baju ia akan menatapmu terus menerus.” Ai Ling tertawa. A Ling pun pergi dengan rasa kesal. Ai Ling mengejar. “Tunggu. Kau ingin kemana?” Dengan nada kesal A Ling mengatakan “Aku akan meminta Papah agar kamar kita sebaiknya dipisah. Ada banyak kamar di rumah ini. Sayang sekali jika tidak digunakan.”

 

 

Ai Ling mengulang perkataan A Ling Papah katanya. Harusnya ia menyebutkan Ayah bukan Papah ia mengatakan seperti itu seakan-akan orang tua mereka berbeda.Jangan-jangan ia akan memanggil ibu dengan sebuatan Mamah. Kehadirannya memang akan merubah segalanya. Bahkan mungkin A Ling bukan saja akan merebut Ryu tapi ia juga akan merebut ayah dan ibu dan merubahnya menjadi Papah dan Mamahnya. Di hati dan pikiran Ayah dan Ibu pasti sudah tidak ada dirinya melainkan hanya ada Papah dan Mamahnya. Ai Ling mendengus kesal “Lakukan sesuka hatimu.” Jika kau ingin mengambil semua miliku ambil saja aku tidak akan peduli. Lalu Ai Ling pun pergi ke kamarnya dan menangis. Ada sebuah surat berbentuk kapal. Pasti dari Ryu setidaknya Ryu tidak melupakannya. Tapi ternyata Ai Ling salah Ryu malah marah-marah di surat ini. “Kenapa kau tidak memberitahuku. Bahwa A Ling menginap di kamarmu. Tahukah engkau ia pasti mengira aku telah mengintipnya.” Ai Ling memeluk boneka pemberian Ryu. Dan menulis “Dia bukan menginap tapi memang tinggal di sini. Karena ternyata dia adalah kakak kandungku yang telah lama berpisah denganku. Lalu bukankah itu anugrah untukmu karena sudah melihat tubuhnya sebelum waktunya.”

 

 

Ai Ling pun melempar asal-asalan. Tapi tetap nyampe ke kamar itu. Itu juga karena Ryu berusaha menangkapnya. Kalau tidak begitu pasti surat itu sudah jatuh ke bawah. Dan ia akan malas mengambilnya. Ryu membacanya dan merasa kesal “Aku tidak melihatnya. Aku hanya kebetulan melihat dia sedang menggosok rambutnya.”

 

 

Ai Ling pun membalas. “Kebetulan yang indah. Kau sungguh beruntung bahkan jika kau telah melihatnya juga tidak apa-apa.” Ai Ling melemparnya dengan asal-asalan lagi. Ryu merasa kesal bahkan sebenarnya ia tidak ingin menjawab semua ini. Tapi ia melihat tulisan Ai Ling berbeda dari biasanya. “Kau menangis Ai Ling?Atau kau menulis di tempat yang gelap. Ai Ling menjawab dengan begitu lama. Baru ia melempar dengan asal-asalan lagi.

 

 

Ryu menangkapnya “Apa pedulimu?” Ryu merasa kesal. Lalu ia membalas “Hanya dua kata tapi lama sekali kau membalasnya. Kau tidak perlu membuat origami terlebih dahulu Ai Ling.” Ai Ling menjawab tapi agak lama “Itu burung Phoenix. Aku ingin menjadi burung Phoenix.”Ryu pun membalas kilat “Apa yang menyenangkan menjadi burung Phoenix?” Ai Ling menjawab dengan membuat origami lagi “Dia begitu cantik.” Ryu tersenyum “Cantikan juga dirimu yang sekarang Ai Ling.” Wajah Ai Ling tersipu merah. Baru kali ini Ryu memujinya. “Kau belum melihatnya saja Ryu. Btw tumben kau memujiku. Ku kira kau masih mengejar-ngejar saudaraku yang lebih cantik dariku.” Ai Ling masih membuat origami burung phoenix sampai seterusnya.

 

 

Ryu pun menjawab. “Berhentilah membanding-bandingkan dirimu dengan orang lain. Bahkan ternyata perbandinganmu itu lebih melihat hal lain lebih indah. Btw kalau kau menjadi Phoenix aku akan menjadi sang naga.”Ai Ling tersenyum “Kau tahu?Ryu dalam bahasa jepang artinya naga.”Ryu melempar sebuah surat lagi. “Berdirilah aku ingin melihat kau tersenyum,bahkan menurutku. Senyumanmu lebih cantik di banding sinar bulan di ujung sana. Ai Ling berdiri dan tersenyum. Ryu melempar sebuah kertas. “Hapus air matamu. Coz aku tidak bisa menghapusnya.” Ai Ling tersenyum lalu menulis “Kalau begitu kau harus menghapusnya dari jarak jauh.” Ai Ling membuat origami. Ryu tertawa karena kelamaan. Lalu ia pun memberi tampang bosan. Dan membaca pesan itu.

 

 

Ia pun mencoba menghapus dari jarak jauh. Tangan Ai Ling mengikuti gerakan itu. Dan bekas air mata itu pun menghilang bersama kesedihan Ai Ling. Ryu pun mengirim pesan. “Selamat tidur semoga dalam mimpi kita bisa bertemu sebagai burung Pheonix dan Naga.” Ai Ling tersenyum lalu menutup jendela. Ryu pun menutup jendelanya dan mematikan lampu.

Di kamar bawah A Ling mengamati tingkah laku mereka berdua. Ia pun menatap dengan rasa benci lalu menghempaskan dirinya ke tempat tidur. Bagaimana bisa mereka tertawa sedangkan dirinya dipenuhi rasa malu. Bagaimana pula mereka bisa tersenyum sedangkan dirinya sedang dirundung duka karena kepergian ibunya. Dan bagaimana bisa Mereka bercengkrama dengan diliputi kebahagiaan sedangkan dirinya diliputi sebuah rasa kesepian dan merasa hanya sendirian. Lalu bagaimana bisa mereka mengaku sebagai orang tuanya jika selama tujuh belas tahun mereka tidak pernah menemui dirinya. A Ling menutup wajahnya kebantal. Terkadang dunia memang tidak adil. Lalu kemanakah dirinya harus meminta keadilan. Dia beranggapan bagaikan dirinya seperti angsa yang terkurung di danau dan hanya sendirian.” Ia pun memejamkan mata dan berusaha tertidur.

 

 

Malam itu dengan penuh keajaiban. Mereka menjadi seperti yang mereka katakan. Entah apakah ini mimpi atau bukan. Bahkan aku yang menuliskan dan yang membuat ceritanya tidak tahu. Tapi jika ini mimpi. Maka, ini adalah mimpi yang hebat. Karena mimpi mereka bertiga sama. Dan mimpi ini di susun berdasarkan perasaan mereka.

 

 

Di sebuah danau yang sunyi dan tenang. Seekor angsa menunduk kesepian. Ia menatap langit. Di sana terdapat burung Phoenix sedang terbang dengan penuh suka cita bersama sang naga. Mereka tersenyum bagaikan sepasang kekasih yang sedang kencan. Sang angsa merasa iri. Ia pun memulai monolognya. (Kata-kata yang percis ia katakan sebelum tidur.)

 

 

“Di cahaya sinar rembulan kau tampak begitu cantik bahkan dibandingkan sang bulan itu sendiri.” Burung Phoenix pun tersenyum mendengarkan perkataan sang naga emas. Lalu burung Phoenix itu mendengar sebuah senandung lain. “Kau mendengar suara itu sayangku?” Sang naga emas pun menjawab “Tidak ada suara lain selain suara merdumu sayangku.” Burung Phoenix perak masih mendengar suara merdu itu. Begitu merdu bahkan dibanding suaranya. Bahkan jika sang naga emas mendengar suara ini, ia akan lebih menyukai suara ini. Burung Phoenix tertarik untuk mendengar suara itu lebih dekat.

 

 

Phoenix perak itu pun memegang Sang Naga Emas. Lalu mengajaknya mendarat. Dan bersembunyi di balik semak. Suara itu terdengar semakin jelas dan merdu. Itu adalah suara Lake Swan. “Bagaimana bisa mereka tertawa sedangkan dirinya dipenuhi rasa malu. Bagaimana pula mereka bisa tersenyum sedangkan dirinya sedang dirundung duka karena kepergian ibunya. Dan bagaimana bisa Mereka bercengkrama dengan diliputi kebahagiaan sedangkan dirinya diliputi sebuah rasa kesepian dan merasa hanya sendirian. Lalu bagaimana bisa mereka mengaku sebagai orang tuanya jika selama tujuh belas tahun mereka tidak pernah menemui dirinya. A Ling menutup wajahnya kebantal. Terkadang dunia memang tidak adil. Lalu kemanakah dirinya harus meminta keadilan.”

 

 

Phoenix perak terhanyut akan suara merdu itu. Ia pun mengeluarkan air mata. “Oh sungguh malang Angsa Danau itu. Apakah kau mendengar suara itu sayang.” Sang Naga Emas pun menjawab “Harus kukatakan berapa kali bahwa aku tidak mendengar suara apa-apa kecuali suara merdumu sayang.” Sang Phoenix Perak menggeleng, dan mengeluarkan sebutir air mata “Kau tahu sayang? Itu bukan suaraku, tapi suaranya.” Sang Naga Emas menatap Angsa Danau. Naga Emas menatapnya dengan begitu lama. Phoenix perak agak sedikit kesal “Apakah dia cantik?Mungkinkah ia lebih cantik dariku sehingga kau harus menatapnya lebih lama dari waktu yang ditentukan? Apakah bulu-bulunya lebih indah dariku? Apakah bulu-bulunya lebih halus dan lebih putih dariku?”

 

 

Phoenix Perak menangis. Naga Emas menatapnya. “Berhentilah membanding-bandingkan dirimu dengan orang lain. Aku menatapnya lama hanya karena aku sedang mengamati perbedaan kalian. Menurutku walaupun aku telah menatap denagn tatapan tajam aku masih belum bisa menemukan perbedaan kalian” Naga Emas pun meniup mata Phoenix dan menerbangkan air mata itu bersama kesedihanya. Burung Phoenix memeluk sang Naga Emas. “ Aku ingin kau datang padanya untuk menghiburnya. Lihatlah sungguh menderita dan kesepiannya dirinya.” Sang Naga Emas pun menjawab “Kenapa aku harus melakukan hal yang membuatmu sakit sayang?Sedangkan aku tidak ingin menyakitimu dan membuat mu sedih.”Phoenix tersenyum “Aku akan sedih jika kau tidak menghiburnya. Aku merasakan sepertinya aku dan dia satu familie. Ingatlah sayang cinta tidak harus saling memiliki.” Phoenix berusaha tersenyum. Sang Naga Emas pun menjawab “Cinta harus diperjuangkan, Dan akupun akan memperjuangkan cintaku padamu.” Phoenix menggeleng “Tidak, sayangku. Yang benar adalah cinta sebuah pengorbanan.” Phoenix pun mendorong naga Emas. Naga Emas bingung harus bagaimana. Ia menghadap kebalakang tapi Phoenix tak  terlihat. Ia menghadap ke depan.

 

 

Dan menatap Angsa Danau itu. Tatapan mereka saling terpaut. Naga Emas merasakan penderitaan Angsa Danau. Ia pun menekati Angsa Danau. Dan menemani Angsa Danau sepanjang malam. Burung Phoenix pun terbang lalu setelah berada di tempat yang jauh ia terjatuh. Bulu-bulu burung Phoenix rontok. Seperti inilah siklus burung Phoenix. Ia hidup abadi, tapi ia akan selalu mengalami bulu-bulu rontok. Bulu yang rontok menandakan kematiannya. Dan bulu baru akan segera tumbuh.

 

 

Naga Emas menatap ke angkasa dan menatap kepergian Phoenix. Phoenix perak bersyukur setidaknya Naga Emas tidak pernah melihat dirinya tanpa bulu. Entah apa yang akan dipikirkan Naga Emas nanti. Mungkin rasa cintanya akan hilang dalam sekejap. Angsa Danau tahu Naga Emas mencintai Silver Phoenix bahkan jika melihat Phoenix kehilangan bulunya juga Naga Emas akan tetap mencintai Phoenix. Bahkan setiap Naga emas sedang bersama dengan Lake Swan. Lake Swan selalu mendapati Naga Emas sedang memandang ke angkasa. Naga Emas pasti sedang berharap Phoenix datang.   

 

 

Lake Swan bersenandung “Andai aku bisa terbang.” Naga Emas terpana oleh suara Lake Swan dan pikiran Phoenix benar. Ketika Naga Emas mendengar suara Lake Swan yang merdu Naga Emas pasti langsung jatuh hati. Lake Swan  pun berusaha mengepakan sayapnya. Naga Emas bertanya padanya “Jika kau bisa terbang, kau ingin kemana sayang?Biarlah diriku menjadi sayapmu.” Angsa Danau terkejut. Ia berfikir bahwa Kin Ryu atau Gold Dragon pasti sudah gila. Angsa Danau pun berusaha mengepakkan sayap. Dan berusaha terbang menjauhkan diri dari Naga Emas. Dan mencari Silver Phoenix. Tapi bulan telah pergi berganti matahari. Mereka semua pun hilang.

 

 

Yume pun membaca tulisan dari Mizu. Ia tersenyum. Tokoh binatang yang bagus. Lalu ia melanjutkan kisah tersebut. “Cinta memang tidak harus saling memiliki, karena cinta adalah sebuah pengorbanan. Aku setuju dengan kata-kata ini.” Yume pun merealisasikan apa yang ada di mimpi itu.

    

 

 

Part 4 “Terbangun Dari Dunia Mimpi.”

 

 

Ai Ling terbangun dari mimpinya. Mimpi indah sekaligus buruk. Walaupun hubungannya bersama Kin Ryu/Naga Emas/ Gold Dragon terasa berlebihan. Ia merasa hubungannya bersama Ryu hanyalah sebatas persahabatan bukan sepasang kekasih walaupun ia menginginkannya seperti itu. Tapi Ryu sepertinya tidak mencintainya. Ryu pasti lebih mencintai A Ling.

 

 

A Ling terbangun dari kamarnya. Dia menyesal kenapa bisa jadi ikut-ikutan berada di sebuah lingkaran persahabatan dan cinta segitiga konyol seperti ini. Terlebih ia merasa seperti seorang pengganggu bahkan walaupun dirinya sama sekali tidak mencintai Ryu. Dan hal yang paling menyebalkannya Ai Ling selalu berusaha mendekatkan dirinya dengan Ryu. Padahal dia tidak menyukai Ryu. Haruskah dirinya mengatakan dengan tegas kepada Ai Ling bahwa dirinya tidak menyukai Ryu? Ia pun berjanji untuk berhenti mengeluh. Dan mencari orang lain untuk dicintai. Jadi ia tidak perlu berada di sebuah permainan konyol kekanak-kanakan seperti ini.

 

 Ryu terbangun ia menatap ke luar jendela. Jendela Ai Ling masih tertutup. Awalnya ia ingin ke meja makan tapi tidak sengaja ia menatap jendela A Ling dan lagi-lagi ia sedang berganti baju. Ryu tertawa pelan menertawakan A Ling. Dasar wanita bodoh yang tidak belajar dari kesalahan. Ryu pun berbalik untuk menuju meja makan dan ia melihat Jendela Ai Ling terbuka rupanya Ai Ling sudah terbangun. Ryu pun melanjutkan langkah menuju meja makan.

 

 

Ai Ling menatap Ryu yang menjauh. Sikap apaan itu?Bahkan Ryu tidak menyapa sedikitpun. Beberapa bulan kemudian mereka pun selesai belajar dan mulai memasuki dunia kerja. Bahkan mungkin diantara mereka ada yang akan menikah. Orang tua Ai Ling dan A Ling sepakat dengan orang tua Ryu untuk menikahkan anak mereka.

 

 

Ryu mengajak Ai Ling jalan-jalan. “Sudah lama ya kita tidak jalan-jalan berdua?” Ai Ling tersenyum. Kau lebih suka jalan-jalan bersama A Ling kan?” Ryu tersenyum “Bahkan aku belum pernah mengajaknya jalan-jalan.” Ryu tersenyum lalu memegang tangan Ai Ling. Ada sebuah desiran di perasaan Ai Ling. Ia pun mengambil tangannya. Dan menjauhkan tangannya dari jangkauan Ryu.

 

 

Ryu kecewa. “Aku hanya ingin memakaikan ini padamu.” Ai Ling tersenyum “Cincin itu akan lebih indah jika berada di tangan A Ling.” Ai Ling masih memaksakan senyumannya.Ryu berubah murung “Padahal akau akan lebih suka jika cincin ini berada di jari manismu. Tahukah engkau?Aku sudah mencintaimu bahkan dari semenjak kita masih kecil. Dan aku yakin kau pun mencintaiku juga seperti dalam mimpi itu.

 

 

Ai Ling teringat perkataan Ryu sebelum tidur. Semoga dalam mimpi, kita bisa bertemu sebagai burung Pheonix dan Naga. Ternyata Ryu juga memimpikan hal itu. Mungkin A Ling juga memimpikan hal ini. Ai Ling pun memaksakan senyumnya dan menahan air matanya. “Kau akan mencintai A Ling setelah kau menikahinya.”Ai Ling pergi dengan meninggalkan Ryu yang menatap gelasnya. Kakinya berada di kaki satunya. Lalu dengan kesal ia pun memecahkan gelas itu. Dan ia pun menggemgam beling itu hingga tangannya berdarah “Jika kau menginginkan aku mencintai A Ling. Aku akan melakukannya. Akan kubuat kau begitu menderita karena aku akan mencintai A Ling.”Darah itu pun menetes sampai lantai. Seorang pelayan datang berusaha mengobati Ryu. Ryu membayar semua hidangan di meja yang sama sekali tidak di makan Ai Ling.

 

 

Ai Ling menangis di jalan. Perkataan ayah ibunya seminggu yang lalu. “Ai Ling sebentar lagi kau akan kami nikahkan bersama Ryu.” Sebenarnya Ai Ling senang tapi ia teringat kembali akan senandung kesedihan saudara perempuannya A Ling. Ai Ling pun berusaha membuat A Ling bahagia dengan membagi kebahagiaannya. Lalu ia mengatakan idenya kepada ayah ibunya “A Ling kakaku sudah mengalami banyak penderitaan dan kesedihan. Dari pertama ia dilahirkan, Ia sudah dibuang.” Mamanya menyela “Dia tidak dibuang tapi kehadirannya ke dunia ini berusaha membuat orang disekitarnya bahagia. Dan tantenya pun bahagia karena hidup berada di sampingnya.” Ai Ling menyela “Tapi ini bukan kemauan A Ling. Apa ayah ibu berfikir bahwa jiwa A Ling bahagia?Kalau aku sih merasakan jiwa A Ling begitu menderita dan tidak bahagia. Ia tinggal di sana dengan kesepian.” Ibunya menyela lagi “Dia tinggal dengan kasih sayang tantenya. Aku yakin dia tidak kesepian.”

 

 

Ai Ling pun masih berusaha menjalankan misinya. “Tapi A Ling hidup dalam penderitaan sedangkan kita hidup dengan kemewahan.” Ibunya menyela lagi “Itu baik untuk A Ling sehingga ia tidak memiliki karakter manja sepertimu.” Muka Ai Ling memerah. “Jika kalian menginginkan aku bukanlah anak manja mungkin sebaiknya kalian mengirimkan aku ke dunia baru sang tante agar aku diajarkannya untuk menjadi anak manja.” Ai Ling pun pergi dengan kesal.

 

 

Ayahnya Ai Ling memarahi istrinya. “Sungguh repot menikah dengan istri yang sibuk bekerja. Sampai-sampai tidak bisa mendidik anaknya agar tidak menjadi anak keras kepala dan manja.” Wajah ibunya  Ai Ling memerah. “Kalau kau menginginkan aku agar aku tidak bekerja dan cukup di rumah saja mendidik Ai Ling kenapa kau tidak menyuruhku sejak awal?”  Ibunya Ai Ling segera pergi. Tapi suaminya memegang tangan istrinya. “Sepertinya aku salah. Kau memang sudah mendidiknya. Tapi kau mendidik Ai Ling menjadi sama sepertimu. Lihat saja cara kalian marah. Cara kalian marah benar-benar sama. Minggu depan kita sudah harus bertemu dengan orang tua Ryu. Jika Ryu kita nikahkan dengan A Ling apa kau setuju?” Istrinya pun menjawab singkat “Lakukan sesuka hatimu.” Lalu ia pergi.

 

 

Dan perjanjian pun dilakukan. Malam itu Ayah Ibu Ai Ling datang ke rumah Ryu. Dan mereka membicarakan ini semua. Ayah Ai ling pun mengatakan “Sepertinya aku tidak bisa menikahkan Ai Ling dengan Ryu. Tapi bagaimana jika Ryu menikah dengan A Ling saja. Sepertinya A Ling lebih cantik daripada Ai Ling.” Ayah Ryu berkata bijak. “Pernikahan dan cinta tidak diukur dari kecantikan dan ketampanan, bahkan bukan juga diukur dari kekayaan dan keluarganya.” Ibu Ryu pun berkata “Aku merasa anakku mencintai Ai Ling. Karena yang meminta pernikahan ini diadakan adalah Ryuk dua minggu yang lalu. Perjodohan ini bukan usul dari kami.”

 

 

Ayah Ai Ling mengangguk “Aku juga berfikir bahwa Ryu akan cocok sekali dengan Ai Ling. Mereka juga seperti sudah saling  mencintai. Tapi aku bingung kenapa Ai Ling menolak pernikahan ini.” Ibu Ai Ling menatap suaminya “Loh kamu lupa? Ai Ling kan menolak karena ia berat dengan A Ling. Ai Ling merasa A Ling begitu menderita dan Ai Ling ingin memberikan kebahagiaanya kepada A Ling. Yaitu dengan cara memberikan Ryu salah satu kebahagiaanya untuk A Ling. Dan Ai Ling berharap A Ling dan Ryu bahagia dan saling mencintai saat mereka menikah nanti.” Ibu Ryu mengangguk “Oh begitu ya. Ya sudah saya tanyakan dulu pada anaknya.” Ibu Ryu pun memanggil Ryu. Ryu yang semenjak tadi mendengar pembicaraan mereka pun terduduk di kursi yang kosong.”

 

 

Ayah Ai Ling pun bertanya “Apakah kau ingin menikah dengan A Ling.” Ryu pun mengangguk. Sebenarnya ia begitu sedih. Ia merasa seperti sedang menikam jantungnya sendiri dengan pisau yang diberikan Ai Ling. Saat itu di tempat lain. A Ling berhasil mendapatkan serpihan cintanya. A Ling sedang mendatangi acara pernikahan temannya. Ia datang sendirian tanpa teman lainnya. Ia terduduk sendirian. Awalnya ia merasa kesal sekali karena tidak memiliki teman berbicara.

Ia pun memutuskan untuk pulang. Tapi tiba-tiba ia menabrak seorang pria. Dan sebuah gelas terjatuh pecah, sebelum terjatuh air itu telah sukses membasahi baju A Ling. Semua perhatian tertuju pada mereka. Laki-laki itu terus meminta maaf pada A Ling. A Ling pun hanya tersenyum. “Tidak apa-apa. Lagipula aku akan pulang sekarang.” Laki-laki itu menjadi lebih merasa bersalah. Deane tuan rumah dari acara ini pun datang mendekat ke mereka. “Jangan pulang dulu.” Deane pun menggamit tangan A Ling. Ia membawa A Ling ke kamarnya. “Pakai bajuku.” Ia pun pergi keluar.

 

 

Setelah A Ling berganti baju. Deane mengajak A Ling ke laki-laki itu. Lalu ia berkata kepada sepupunya. “Darius kau harus mempertanggung jawabkan semua yang kau lakukan. Kau harus mencuci baju A Ling.” A Ling merasa tidak enak. Lalu ia mengambil bajunya lagi. “Tidak perlu. Biar aku saja yang membersihkannya.” Deane masih bersihkeras. “Tidak A Ling aku hanya ingin mengajarkan sepupuku arti sebuah tanggung jawab.” Lalu Deane memberikan baju itu kepada Darius. Ia tersenyum “Akan kubersihkan dengan tanganku sendiri.” Lalu ia pun pergi.A Ling pun berpamitan untuk pulang.

 

 

Ketika keesokan harinya Darius datang untuk memberikan baju itu. Ternyata ia juga membawakan sebuah bunga matahari. Seteluh Darius memberikan kedua hal itu ia pun mengatakan. “Maukah engkau ikut bersamaku untuk makan malam?” A Ling ragu ia pun ragu. “Ayolah, rasa bersalahku akan hilang jika kau mengangguk.”A Ling mengernyit. “Tapi kau sudah mencucikan bajuku dan memberiku bunga. Apa itu belum cukup.” Darius menggeleng dan tersenyum. “Tidak akan cukup jika kau tidak datang.”

 

 

A Ling akhirnya pun mengalah. Ia segera mengganti baju. Dan pergi ke sebuah tempat yang menurutnya indah dengan sinar lilin yang memukau. Ribuan lampu kota bisa terlihat di sana. Mereka pun mulai makan. Mereka pun segera menarik ayam kalkun yang sama. Ayam itu begitu besar sekali. Setelah selesai makan. Darius membuka sebuah cincin dari sebuah kotak kecil. Lalu ia mengambil tangan A Ling dan melingkarkan cincin itu di jari manis A Ling. A Ling tampak terkejut. Lalu ia pun berhasil mengeluarkan suaranya. “Bukankah ini terlalu cepat?”

 

 

Darius pun menjawab dengan santai. “Tidak, aku telah mencintaimu sejak lama. Dan aku ingin minggu depan kita menikah. Sejujurnya pertemuan kita kemarin sudah aku rencanakan bersama sepupuku. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi agar pertemuankan kita terlihat begitu mengesankan jadi aku membuat sebuah pertemuan itu.”A Ling tersenyum miris. “Kau berhasil. Pertemuankan kita tampak begitu mengesankan.” A Ling melepas serbetnya dengan kencang lalu meninggalkan laki-laki itu sendirian. Laki-laki itu tersenyum menggeleng. Setidaknya  A Ling tidak membuang cincin itu. Jadi, satu bulan kemudian keluarganya bisa datang untuk melamar A Ling. Tapi sayang sekali takdir berkata lain.

 

 

A Ling pergi meninggalkan tempat itu dengan kesal. Ia pun berguman kembali “Sungguh konyol. Kenapa aku selalu berperan dalam permainan cinta yang dibuat orang lain. Kenapa aku tidak bisa membuat kisahku sendiri. A Ling lupa tentang cincin yang ia kenakan padahal jika ia ingin menolak pernikahan itu ia bisa membuang cincin itu ke selokan.

Seminggu telah berlalu. Hari pernikahan tiba. Ketika sang fajar datang. A Ling bingung karena diperlakukan bagaikan seorang putri. Ia dimandikan, dipakaikan baju dan dirias seperti pengantin. Ketika ia melihat dirinya dicermin. Ia begitu kaget. Kenapa tiba-tiba ia dipakaikan baju pengantin.

 

 

         A Ling dibawa ke sebuah gedung. Ai Ling  berusaha menutupi perasaan sakitnya. Setelah sampai di gedung Ai Ling meminum sebuah sirop sendirian. “Apa kau sudah puas menyayat jantungku Ai Ling?” Ai Ling tampak terkejut lalu ia tersenyum. “Setidaknya kita akan mati bersama. Ai Ling pun pergi menjauhi mereka semua.”

 

 

         Ai Ling menyaksikan semua ritual pernikahan ini. Ia sudah tidak sanggup. Topeng tersenyum sudah habis. Ia pun pergi ke luar kota. Menangis sepanjaang perjalanan. Bahkan setelah tertidur ia pun masih mengeluarkan air matanya.

 

 

Saat ingin memasukan sebuah cincin pernikahan ke tangan A Ling. Ryu menyadari A Ling telah memakai cincin lain. Ia tersenyum. “Bahkan sang cincin pun memilih orang yang dicintainya. Lihatlah A Ling sudah menikah dengan laki-laki lain dan cincin di jari manisnya adalah cincin pernikahannya.” Ryu pun pergi. A Ling yang merasa dipermalukan di hari pernikahannya yang sama sekali tidak ia inginkan pun menangis. “Tolong hentikan permainan bodoh ini.” Ia pun memeluk lututnya. Ia menangisi dirinya sendiri.

 

 

Darius maju ke depan. Duduk ke samping A Ling. Lalu ia pun meminta. “Tolong nikahkan aku bersama A Ling. Cincin yang ada di jari manisnya adalah cincin pemberianku.”A Ling memandang Darius. Sebenarnya ia sudah begitu muak tentang semua permainan cinta yang tidak ia inginkan sama sekali, tapi sayangnya ia harus memerankannya. Terjadi sebuah kasak-kusuk di belakang. Tapi akhirnya semua orang yang ada di sana pun menyetujui pernikahan ini. Cinta memang begitu aneh.        

 

 

Ryu mencari-cari kepergian Ai Ling. Ia berharap Ai Ling ada di sebuah kolam. Sehingga ia bisa membawa Ai Ling untuk menikahinya. Tapi ternyata Ai Ling tidak ada di sana. Ryu masih mencarinya sampai ia kelelahan.

 

 

         Di mobil. Ai Ling terbangun. Ia masih meneteskan air mata. Air mata yang sudah lama ia bendung dari pertama kali kedatangan A Ling pun meledak. Ia menangis dan terus menangis. Dan berusaha ikhlas. Sang sopir merasa risih oleh tangisan Ai Ling. Ia menatap Ai Ling dari sebuah kaca. Di kaca itu wajah Ai Ling yang penuh dengan air mata terpantul. Sang sopir pun merasa sedih. Sang sopir yang entah memiliki kelainan apa. Akhirnya mengambil kameranya untuk memfoto wajah Ai Ling yang sedang menangis “Untuk kenang-kenangan.” Sebuah tindakan bodoh memang. Karena pada saat yang bersamaan. Mobil ini keluar dari jalurnya dan menabrak sebuah truk. Kecelakaan pun  terjadi. Takdir tidak bisa terelakan. Mobil itu berbalik dan terbakar. Sang sopir meninggal.

 

 

Ai Ling masih bisa tertolong. Lalu ia dibawa ke rumah sakit. Pagi hari setelah pernikahan itu. Keluarga Ai Ling digemparkan oleh sebuah tragedi. A Ling mendengus “Entah tragedi buruk apa lagi yang akan terjadi pada hidupku. Dunia begitu menyedihkan bagiku.” Darius pun murung. “Walaupun aku sudah datang ke hidupmu untuk menemani dan menghiburmu?” A Ling mengangguk.

 

 

Lalu mereka semua pun ke rumah sakit untuk melihat keadaan Ai Ling. Ai Ling terbangun lalu ia merasakan sakit di wajahnya. Ia pun memegang pipinya lalu alisnya mengernyit. Ia meminta suster untuk mengambilkan sebuah cermin. Ketika ia melihat cermin itu. Ia begitu ketakutan. “Ini bukan wajahku.” Ia menjerit ketakutan. Ia juga melihata tangan dan kakinya. Lalu berteriak. “Tubuh ini bukan tubuhku.”

 

 

Lalu Ai Ling melihat keluarganya datang. Ia menunduk dan berharap semoga Ryu tidak datang. Tubuh Ryu mungkin boleh menjadi milik orang lain. Tapi tolong jangan ambil cintanya juga. Hanya cinta Ryu yang ia miliki satu-satunya.

 

 

Keluarga Ai Ling kaget menatap Ai Ling. Ai Ling menunduk. Dan berfikir. Bahkan keluaganya tidak bisa menerima keadaanya. Ibu Ai Ling menangis lalu memeluk Ai Ling. A Ling serta ayahnya juga memeluk Ai Ling. Ryu ada di sana. Masih terpaku. Ai Ling pun menunduk sedih. Kenapa jadi seperti ini ratapnya. Lalu Ai Ling juga menatap seorang pria yang sedang memegang bahu A Ling. Ai Ling pun bingung siapa dia?

 

 

Ryu pun datang mendekati Ai Ling. Ia memberikan bunga matahari. Dan duduk dikasur “Ini untukmu. Sebuah bunga yang kau sukai bahkan dari kau masih kecil.” Ryu pun memeluk Ai Ling. Ai Ling ingin membalas pelukan itu dengan erat. Tapi ia tidak sanggup.

 

 

Setelah beberapa lama. Ai Ling diizinkan pulang. Ia menatap ke luar jendela mobil. Sekarang hidupnya tidak akan pernah sama seperti semua ini belum terjadi. Ai Ling pun menangis. A Ling melihatnya lalu ia merangkulnya. A Ling pun ikut menangis.

 

 

 Ryu melemparkan sebuah kertas. Kini kertas itu berbentuk Naga Emas. Ai Ling tersenyum pahit. Lalu membuka lipatan demi lipatan. Dan membaca tulisan tangan Ryu. “Cincin ini memilih jari manis orang yang dicintai tuannya. Dan cincin ini berharap kau memakainya untuk tidak mengecewakan tuannya.” Ai Ling tersenyum getir lalu menangis.

 

 

Lalu Ryu mengirimkan sebuah surat berbentuk Naga Emas lagi. Ai Ling membuka lipatan yang agak rumit itu dengan hati-hati agar tidak sobek. Lalu membaca tulisan itu. “Esok kita harus menikah.” Ai Ling menggeleng lalu mengirimkan surat berbentuk Phoenix. “Walaupun keadaanku begini?” Ryu mengangguk dan menuliskan kembali suratnya. “Ya, apapun wujudmu. Tapi aku yakin bulu-bulumu akan tumbuh menjadi lebih cantik daripada sebelumnya. Karena kau adalah Silver Phoenixku.” Di bawah tulisan itu tertulis “Kin Ryu/Gold Dragon.” Dan tulisan itu ditulis dengan tinta emas.

 

Mizu membaca kisah yang ditulis Yume. Ia pun terisah. “Kisah cinta yang mengharukan, cinta memang suci. Cinta hadir bukan karena kecantikan,harta dan lain-lainnya. Tapi cinta datang dari hati. Sehingga jika pasangan kita tidak sempurna kita masih harus tetap mencintainya karena Allah.” Mizu melanjutkan kisah yang ditulis Yume. Mizu pun bertanya-tanya. Apakah kisah ini akan berakhir sampai sini? Kita lihat sikap Yume untuk mengatasi kisah yang selesai sebelum waktunya.

Part 5 “Pernikahan.”

 

 

Hari itu tiba. Dan Ai Ling serta Ryu pun menikah. Semua orang tampak begitu bahagia tidak terkecuali A Ling yang pipinya sedang merah merona bagaikan buah delima. A Ling dan Darius tampak begitu bahagia. Sepertinya kuncup-kuncup bunga cinta bermekaran pada pagi yang syahdu itu. Burung-burung lovebird pun menyanyikan sebuah lagu cinta. Yang membuat A Ling dan Darius ingin berdansa. Ai Ling yang melihat kecerian A Ling dan melihat mereka berdansa pun lekas mengajak Ryu berlari. Padahal Ryu saat itu sedang mencicipi sebuah kue. Dan ketika mereka berlari. Kue itu terjatuh menggelinding di tanah.

 

 

Kue yang menggelinding itu diambil oleh Himitsu dengan tatapan berbinar tapi lekas dibuang oleh Yume. Dan Himitsu pun diamankan oleh Max. Mereka bertiga pun pergi menjauh. Ryu yang masih diseret Ai Ling untuk menuju kolam pun tampak begitu sedih melihat nasib kuenya yang berujung ke tong sampah. Tapi expresinya berubah setelah mereka berdua berdansa. Dan para tamu pun ikut berdansa dengan pasangannya. Mereka tampak bahagia untuk selama-lamanya.

 
Aku lapar. Aku berjalan agak jauh dari sungai. Aku menemukan sebuah tanah pertanian. Ada seorang ibu-ibu sedang memeras susu sapi. Aku memperhatikannya. Dia yang sedang merasa diperhatikan akhirnya menatapku. Akupun menjadi kikuk. Tidak tahu harus berkata apa dan bersikap seperti apa. Aku mengalihkan pandanganku dan menatapnya lagi. Tapi ibu-ibu itu masih menatapku. Aku pun lekas pergi menjauh tidak ingin mengganggunya. Tapi ia memanggilku. Ia mengatakan bahwa ia belum pernah bertemu denganku sedangkan ia mengenal seluruh warga desa di sini. Lalu ia bertanya tentang diriku. Dari mana diriku dan ingin ke mana tujuanku. Aku memperkenalkan diriku dan menceritakan kisahku. Dia pun mengundangku makan bersama. Ia menyediakan ayam kalkun, keju, roti, telur, kentang, air limun, dan es krim serta apel. Setelah selesai makan ia menyediakan biskuit dan teh. Rasanya benar-benar nikmat. Aku berterima kasih padanya. Dan meminta izin untuk sholat. 

Setelah itu aku berpamitan kepadanya untuk melanjutkan perjalanan pulang yang entah jalan mana yang harus kulalui. Tapi ia memintaku untuk menginap walau hanya satu hari. Aku tetap meminta pulang,tapi ia memaksa. Akhirnya aku tetap di sini. Dia mengajakku ke sebuah ladang miliknya. Di sana ada suaminya dan anak laki-lakinya. Mereka memiliki otot-otot yang besar. Yang memberi makna mereka adalah pekerja keras. Aku membantu mengumpulkan jerami, menyikat sapi,menggunting bulu domba,memberi makan ayam, mengumpulkan telur, menyiram tanaman mereka,mengembalakan domba, menyikat kuda dan mencoba menunggang kuda. Tapi sayang kuda ini malah berlari cepat menerobos ladang jagung. Merusaknya dan menjatuhkan aku. Tulangku serasa remuk walaupun sebenarnya tidak remuk. Tapi cukup ngilu untuk merasakannya. Ibu itu mengobatiku. Dan membawaku ke sebuah padang rumput. Padang rumput yang begitu luas dengan dipenuhi bunga dandelium.

Akhirnya malam tiba. Aku pulang ke rumah mereka dengan rasa cape yang luar biasa sekali. Tubuhku pegal tapi aku senang setidaknya aku mendapatkan pengalaman. Setelah sholat maghrib dan Isya. Kami dan keluarga mereka membaca buku dengan di temani lampu minyak. Buku yang kubaca sangat menarik. Akhirnya aku tertidur melepas rasa lelah dan letih. Ayam berkokok. Kami sholat berjamaah. Setelah sarapan aku sudah tidak bisa berlama-lama lagi di sini aku harus pulang. Memang mereka sudah seperti keluargaku sendiri. Mereka sungguh baik tapi aku harus tetap pulang. Mereka memberiku bekal agar aku tidak lapar di jalan. Dan  menunjukan sebuah jalan yang bisa di lalui. Aku berjalan sesuai petunjuk mereka.

Di tengah jalan aku bertemu dengan gadis sebaya denganku. Gadis itu memakai gaun dan tudung yang sangat imut. Dia pun bertanya padaku hendak kemanakah aku. Aku menjawab dengan singkat “ Aku akan ke Kota”. Dia mengajaku naik ke karavannya. Karena ia juga hendak ke sana. Ditengah jalan kami melawati sebuah hutan. Nasib kami sedang sial saat itu. Kami bertemu dengan para perampok. Semua yang kami miliki mereka ambil. Dan mereka menculik kami. Kami diikat tapi Alhamdulillah tidak diawasi. Dengan nekat kami menjatuhkan diri. Memang agak sakit rasanya. Tubuhku menjadi lebam biru. Tapi itu adalah harga yang setimpal yang harus kami bayar. Kami bersembunyi di balik semak. Untung gadis itu membawa pisau lipat. Jadi tali yang menjerat kami putus.

Kami memakan raspberry untuk menghilangkan rasa lapar. Tapi sama sekali tidak membantu menghilangkan rasa lapar ini. Kami terduduk kecapean. Aku bertanya pada gadis itu tentang siapa namanya dan aku pun memperkenalkan namaku serta bertanya padanya “Anne,barang-barang yang akan kau jual ke kota sudah dirampas mereka. Jadi, apakah kau akan tetap ke kota?” Anne menjawab dengan tergesa-gesa “ Bantu aku mengumpulkan Raspberry ini,kita akan menjualnya ke kota” Kami mengumpulkan buah itu sebanyak- banyaknya. Dan melanjutkan jalan ke kota. Akhirnya kami sampai di kota. Panas sekali, matahari tepat di atas kepala kami. Emely menjual buah itu. Dan kami segera ke mushola terdekat untuk sholat dzuhur.

Emely menatapku. Dan bertanya kepadaku “Emely sejujurnya di kota ini kau ingin kemana?”  Aku menceritakan semuanya pada Anne. Dan aku berkata “Aku ingin pulang. Ini bukan kota tempatku tinggalku. Untuk menuju tempat tinggalku aku harus naik 2 kali transit lagi” Anne menatapku. Ia berdiri. Dan menarik tanganku. Untuk membantu aku berdiri. Ia berkata “Aku akan mengantarkanmu pulang. Mungkin sebaiknya kita naik kereta saja. Ayo! Tiketnya biar aku yang bayar saja. Raspberry kita laku keras. Ini sebagai tanda terima kasihku padamu karena telah membantuku menjualnya” Akupun tersenyum gembira. Di mataku terlihat jelas sebuah cahaya berkilat-kilat. Aku penuh antusias dan berterima kasih kepada Anne.

Kami naik kereta. Angin semilir berhembus ke arah kami. Akhirnya kami sampai di stasiun. Kami sholat sebentar di mushola. Dan melanjutkan perjalanan. Anne menatapku sembari berkata “Habis dari sini kita harus kemana lagi?” Aku menunjuk sebuah bis dan berkata “Kita naik bis itu” Kami berlari cepat. Meninggalkan stasiun ini. Kami menghempaskan tubuhku di kursi. Aku berkata kepada Anne “Terima kasih Anne,telah mengantarkan aku pulang. Oh ya lalu bagaimana kamu pulang?Apakah ongkosmu masih ada? Kalau sudah habis aku akan meminta ibuku agar memberikan uang kepadamu. Sebagai tanda terima kasih.”

Anne tersenyum getir “Tidak terima kasih. Emely sejujurnya aku sebatang kara. Aku hidup sendirian. Untuk mencari makan terkadang aku menjual hasil hutan ke pasar. Terkadang aku juga menjual kue yang dibuat orang di tanah pertanian tadi. Terkadang aku tinggal bersama orang itu. Dia baik padaku. Aku diberi makanan dan baju. Dia sudah seperti ibu kandungku. Tapi walau bagaimanapun juga hatiku tetap kosong. Aku merindukan ibu kandungku. Terkadang samar-samar aku mengingat wajah ibuku. Dulu sekali saat aku berumur 5 tahun aku terpisah dari ibuku. Aku terus mencarinya. Tapi aku tidak menemukannya. Ibu Merry selalu mengatakan ini padaku.”Anne berhentilah mencari. Karena aku tahu kau telah menemukannya. Kau menemukan bahwa ia sudah pergi.”

“Aku tidak bisa menyetujui perkataannya. Aku tetap merindukan ibu kandungku. Aku hanya setia berada di sisinya,karena ibu Merry tidak memiliki anak. Yah kami senasib kami seperti anak kunci dan sebuah gembok. Kami saling melengkapi. Ia memiliki suami yang sudah kuanggap ayahku sendiri. Setiap bulan dia membawakan aku sebuah novel. Yang terkadang malah mengingatkanku pada ibuku. Karena sewaktu aku masih kecil setiap malam ibu menceritakan berbagai kisah padaku sampai akhirnya aku mengantuk dan dia mengecup keningku serta mematikan lampu kamar tidurku.”

Anne menatap roknya dan ia menitikkan air matanya. Aku memeluknya erat. Aku tidak ingin melihat ia sedih. Aku menatap matanya. Dan mengelap air matanya. Sembari tersenyum aku mengatakan “Kau bisa menganggap ibuku sebagai ibu kandungmu”. Ia tersenyum tertawa “Akukan sudah bilang aku tidak bisa menganggap orang lain sebagai ibuku. Aku hanya ingin ibuku.” Ia menundukan kepalanya lagi. Lagi-lagi aku merasa sedih. Aku merangkulnya meletakan kepalaku ke pundaknya. Dan tiba-tiba seperti tersengat listrik aku bangkit. “Kita bisa mencarinya. Hei ini akan menjadi petualangan seru”

Anne tersenyum getir,menggeleng dan kembali menunduk.”Kurasa ini bukan ide yang bagus. Bahkan kita tidak tahu dia ada dimana” Aku menatapnya “Tak bisakah kau mengingatnya?” Ia menggeleng. Pasrah. Lalu ia berkata dan tersenyum “Hei lagipula misi kita ke kota ini kan untuk mengantarkanmu pulang.”

Aku menatap ke jendela.”Aku sudah pulang,aku sudah sampai di kotaku. Dan rinduku sudah terobati” Dia tertawa renyah dan memukul pundakku pelan.”Oh jadi, ternyata kau rindu suasana kota ini,bukan ibumu yah?” Aku tersenyum berhasil membuatnya tertawa”Tidak begitu juga kok” Aku kembali memandang ke luar,menatap awan dan memperhatikan kota ini yang begitu sibuk. Semua orang bergerak dengan cepat. Terburu-buru,seperti sedang bertarung dengan waktu. Aku kembali menatapnya,mengalihkan pembicaraan,kembali ke konteks dirinya. Aku menatapnya serius “Anne aku ingin kau mengingat kejadian 12 tahun yang lalu.” Anne termenung. Ia seperti sedang mengingat-ngingat tapi tak ada yang keluar dari ingatannya. Ia menghela nafas. Kami pun terdiam. Pemberhentian terakhir kami sudah sampai.

Kami turun dari bis. Anne terpaku. Aku menatapnya dan menatap ke arah yang ia lihat. Tidak ada apa-apa kecuali orang-orang yang bergegas datang dan pergi. Anne berkata tiba-tiba “Itu ibuku.” Dia berlari cepat. Aku ikut berlari. Secepat itukah bertemu dengannya?baru kami bicarakan tapi dengan tiba-tiba ia sudah hadir. Ini menakjubkan. Ku kira aku akan menemukan pengalaman seru untuk mencari wanita itu.

Anne tiba-tiba berhenti mendadak hampir aku jatuh terjengkang, menghindar agar tidak menabraknya. Aku menatapnya. Air matanya meleleh. Aku bertanya” Yang kau lihat beneran dia atau hanya ilusi?” Dia menggemeretakan giginya. Menatapku tajam. “Tentu saja itu dia. Dia,,,dia bersama ayahku  anak laki-laki kecil kira-kira berusia lima tahun, anak bayi dan yang satu lagi gadis kecil berumur tiga tahun. Ibu menggendong anak bayi itu. Sedangkan ayah menggendong gadis kecil yang mengantuk itu dan menuntun anak laki-lakinya. Mereka semua tertawa gembira. Hanya gadis kecil itu yang memajang expresi mengantuk dan anak laki-laki kecil itu dengan expresi kelelahan. Aku tidak bisa mempercayai ini. Bagi mereka kehilangan satu anak tak mengapa. Karena pada akhirnya mereka bahagia dengan ketiga anaknya. Mereka sudah menganggapku tidak ada. Mereka sudah tidak mempedulikan aku. Mereka sudah melupakan aku. Dan melupakan semua kenangan tentangku”

Ia terduduk di jalanan ini dia menangis kencang. Aku memegang pundaknya. Tanda bersimpati. Orang yang lalu lalang menatap kami. Seolah kami sedang memainkan sebuah opera. Aku agak risih dengan tatapan mereka. Kalau ini di komik. Mungkin aku akan menjauh pura-pura tidak kenal. Tapi itu jahat sekali. Anne ada saat aku membutuhkan teman. Sudah seharusnya aku ada saat dia membutuhkan seorang teman. Untuk berbagi cerita,menemukan solusi,dan membantunya menyelesaikan masalah.

Dia bangkit dan berhenti menangis aku membawanya pulang, ke rumahku. “ Assalamu alaikum. Ibu aku pulang”  -sepi- Tidak ada orangkah di rumah. Apakah aku telah meninggalkan mereka terlalu lama. Hingga setelah aku datang semuanya telah berakhir. Aku ke lantai atas bersama Anne. Aku melihat dia benar-benar seperti orang yang tertekan. Memang benar jika Ibu Merry berkata seperti itu. Aku pun berusaha menghibur dengan mengatakan “Tak perlu terlalu dipikirkan.” Ia menatapku tajam “Bagaimana bisa aku tidak memikirkanya sembentar lagi aku akan memeluknya,tapi aku malah berhenti. Shock melihat mereka begitu gembira” Aku tersenyum “Seharusnya kau senang melihat mereka gembira. Setidaknya kau bisa ikutan bergembira” Dia mendengus. Akhirnya aku memutuskan untuk melakukan sholat berjamaah.

Ibuku pulang dan panik karena ketika ia datang pintu telah terbuka. Ia berteriak keras ”Apakah maling sudah tau tempat persembunyian kunci kita” Aku berlari turun ke bawah.  Aku tersenyum lebar sembari menitikkan air mata. Aku begitu rindu dengan mereka. Mereka bertiga menatapku terpana. Seperti sedang melihat ilusi. Ibuku tersenyum dan menitikan air mata. Kami berpelukan hingga akhirnya ibu marah-marah “Kemana saja kau setahun ini hah? Sudah bosan kah engkau dengan rumah ini sampai-sampai kau kabur?” Dia berteriak- teriak berkata dari A sampai Z tidak selesai-selesai. Aku yang ingin menerangkan akhirnya jadi tidak antusias akhirnya. Aku menerangkan dalam hati atau hanya untuk orang yang ingin mendengarkannya saja. “Sewaktu aku menemukan kunci itu aku berjalan-jalan ke taman kota dan bermain di labirinnya. Hingga aku menemukan sebuah pintu. Ketika aku masuk pintu itu terkunci. Aku tidak bisa mundur. Akhirnya aku terus melangkah hingga akhirnya aku menemukan sebuah menara. Aku tinggal di sana setahun ini. Hingga akhirnya aku merasa bosan dan ingin pulang. Di perjalanan pulang aku singgah di sebuah tanah pertanian. Dan aku menemukan teman seperjalanan. Hingga akhirnya kami di rampok. Alhamdulillah kami bisa membebaskan diri walau tubuh kami akhirnya memar karena menjatuhkan diri.” Aku pun memperkenalkan Anne kepada mereka.

“Subhanallah petualangan yang menakjubkan. Ayo kita makan. Pati kalian begitu lapar setelah mengalami perjalanan jauh ini kan?” Aku menyetujuinya. Ayah menghampiriku. Memelukku dan berkata “Aku rindu pada suaramu ikal mas. Gadis kecil manisku.” Dia memelukku hangat. Aku rindu dengan berjuta kisah yang ia ceritakan padaku saat aku masih kecil. Aku menatap kakak laki-lakiku. Dia hanya tersenyum sok manis kepadaku. Dan aku hanya membalasnya dengan senyuman tak kalah Sok Manis. Serta senyuman nakal karena aku teringat akan keisengan dan kejailannya. Perang kita belum selesai saudaraku.

Anne menatap kami di belakang. Suasana haru biru ini membuatnya rindu pada keluarganya. Ia mengutuki dirinya sendiri kenapa dengan bodohnya ia berhenti mengejar mereka. Aku pun mengenalkan Anne pada keluargaku. Kakakku agak salah tingkah menatapnya. Jilbab pinknya yang tertiup angin. Membuat kakakku kikuk. Kami makan malam bersama. Karena kedatanganku ibukupun memasak ayam kalkun yang besar. Nikmat sekali. Ternyata wajah Anne yang acak-acakan tetap membuat kakakku jatuh cinta ckk. Setelah makan aku dan Anne membantu ibu membereskan meja makan,dan di sambung dengan mencuci piring. Anne hampir menjatuhkan piring tapi dengan sigap kakakku memegang piringnya. Ibu bertanya ini itu padaku. Tapi kalimat pertanyaanya yang malah terkesan seperti kalimat pernyataan membuatku urung menjawabnya. Terlebih ibuku terus berkata ini itu yang membuatku malas mendengarkannya. Terkadang ia mengulang perkataanya karena begitu neoritic.

Aku menghela nafas akhirnya selesai juga mencuci piringnya. Ibuku melihat tubuhku yang biru legam. Ia berteriak keras. Hampir-hampir ia akan menjatuhkan gelas kopi ayahku. Ayahku yang masih berada di kursi sembari menonton bola. Dengan sigap memegang gelasnya erat-erat. Ia menghela nafas dan bersungut-sungut. Hampir saja kopinya tumpah ke celananya. Dan gelas kesayangannya pecah. Dan tidak jadilah ia marah. Ayahku walaupun pendiam tapi jika marah, seisi rumah bisa hancur seperti terkena bencana gempa 9 skala ritcher. Dan kami persis seperti para pengungsinya. Ayahku tegas dan disiplin,serta pendiam. Sangat cocok sekali dengan ibu yang begitu cerewet.

Mata ibuku masih mendelik seram. Diam meminta keterangan dariku. Aku menjawab datar “Ini bekas jatuh dari karavan. Aku kan sudah menceritakannya. Jangan –jangan ibu tidak mendengarkannya. Hiks menyedihkan”. Ibuku pun membalurkan obat padaku. Aku juga memberikannya pada Anne. Ia hanya menatap dengan tatapan kosong. Astagfirullah alazim. Nih orang nyawanya seperti sudah hilang. Aku pun memberikannya sekali lagi dengan suara lantang. Agar pikirannya kembali ke dunia nyata. Ia pun memegang lemas.  Pasti jika sekarang ia di rumah. Ibunya yang akan mengoleskannya. Akupun mengoleskannya walaupun rasanya males banget.

Akhirnya kami ke atas untuk sholat isya berjamaah. Aku mengajak Anne ke kamarku. Dan bertanya “Apakah kau suka novel” Ia mengangguk singkat. Tapi walaupun begitu jawabannya telah membuatku puas. Aku mengajaknya ke ruang baca. Aku merekomendasikan berbagai novel untuk dibaca olehnya. Aku seperti penjual buku yang sedang  membuat pembeli terpesona oleh cerita yang di suguhkan oleh sang penulis aku bercerita panjang lebar tentang buku itu. Membuat Anne begitu tertarik dan ingin membacanya. Dan aku pun tersenyum seperti penjual yang puas karena mendapatkan pelanggan baru.

Anne sedang membaca novel yang aku rekomendasikan. Aku berkata pada Anne dengan suara nyaring dan bernada intelektual ”Setidaknya kita sudah mengetahui ibumu ada di kota ini” Aku mematikan lampu dan menyalakan lampu baca serta mengarahkannya pada Emely. Aku berkata dengan nada tegas,memberi penekanan pada setiap intonasinya. Seperti selayaknya polisi yang sedang mengintrogasi tersangka. “Anne kau harus mengingat kembali kejadian itu. Ke arah mana keluarga mu pergi?” Dengan takut-takut ia menjawab “Ke arah Barat Daya.” Aku menjawab nyengir dengan suara kencang aku berkata“ Apa ke Buaya?” Dia tersenyum getir. Tersenyum karena aku berhasil mencairkan suasana,dan getir karena aku telah membuatnya kaget. Lalu aku melanjutkan pertanyaan “Apa saja yang mereka bawa?” Dia menjawab singkat “Tas” benar- benar singkat. Aku melanjutkan terorku yang horor. Dengan suara kencang mengagetkan “Selain itu?” Ia menggeleng “Aku berteriak jawab dengan kata-kata!” Dia menjawab gugup”Ti,,,tidak ada,selain anak mereka” Aku menerjang “Itu artinya ada.” Aku mengambil kesimpulan “Karena mereka membawa tas yang sepertinya berisi baju. Jadi, kemungkinan besar mereka baru pulang dari suatu tempat. Dan tempatnya itu bisa jadi rumah orang tua mereka. Anne masih ingatkah enkau dengan rumah orang tua mu?” Dia menggeleng. Aku bertanya memastikan”Walaupun bentuknya saja?” Dia tetap lupa.

Aku pun akhirnya menyudahi interogasi ini. Karena aku sadar lama-lama aku jadi seperti psikopat. Kakakku datang telat “Ada apa sih ribut-ribut?” Tapi melihat kami sedang membaca novel. Ia menjadi bingung. Pikirnya, “apa aku salah dengar?”Aku pun berfikir “Abis dari mana saja ente? ribut-ributnya tadi,datangnya sekarang. Seakan-akan kamar dia jauh dari kamurku. Padahal Cuma sebelah-sebelahan.

Keesokan paginya. Seusai salat shubuh kami berdua memulai pencaharian. Kami tidak tahu harus memulai dari mana. Bahkan kami tidak tahu apa yang terjadi nanti. Kami pun hanya mencari tanpa tujuan yang jelas. Membuang-buang energi. Matahari semakin naik. Begitu panas seakan-akan kami berjalan di padang pasir dengan matahari tepat berada di atas kami. Akhirnya kami beristirahat dan membeli es kelapa. "Dari pertanyaanku kemarin malam. Kita bisa menyimpulkan keluargamu habis pergi dari tempat yang jauh. Atau mungkin mereka habis mudik. Lebaran belum ada seminggu yang lalu kan?" ia pun mengangguk. Akupun masih menerka-nerka "Anne coba kau ingat kembali rumahmu,coba kau pejamkan matamu." Anne memejamkan matanya ia mengatakan warna rumahnya berwarna biru. Kamarnya ada di depan dengan sebuah jendela yang menyajikan halaman rumahnya. Akupun termenung lagi. Tahu warna cat rumahnya pun sepertinya tidak membantu. Itukan ingatannya 12 tahun yang lalu. Lagipula rumah yang bercat biru pasti banya. Andai ada petunjuk lain.



         Tiba-tiba dia menjelaskan. Rumahnya penuh dengan pepohonan yang ia tanam sendiri atap rumahnya warna putih. Dengan mobil di garasi. Ia pernah menghafal nama jalan rumahnya. Nama jalannya adalah Jalan Leighton. Aku menatapnya dengan tatapan berkilat-lilat. Yeah itulah petunjuk yang kami butuhkan. Setidaknya kami menemukan tempat untuk mencari. Setidaknya kami masih bisa melangkah dengan pasti.



           Tapi terkadang kemudahan datang dengan sang masalah. Mereka berdua bagaikan kedua sisi mata uang. Saling berbeda dan bertolak belakang. Jadi,masalah berikutnya adalah aku tidak tahu jalan Leighton di mana. Harap maklum. Saya menghabiskan hidupku di dalam rumah terus. Paling keluar kalau memang ada keperluan,misal untuk menuntut ilmu. Atau membeli makanan,ke rumah saudara atau teman,reflessing. Terlepas dari itu aku mengurung diri di kamar. Kami berdua pun pulang. Dan aku bertanya kepada ibuku dimana Jalan Leighton itu. Tapi sayang sekali yang kudapatkan hanya larangan "Kenapa kau bertanya seperti itu? Kalian berdua ingin kesana? Jangan bermain jauh-jauh nak. Nanti kalian hilang. Kau sudah hilang satu tahun saja ibu merasa begitu sedih. Apalagi jika kau hilang lagi.”

Merasa kami tak akan mendapatkan jawaban dari ibuku. Kami pun mendatangi kakakku. Ia menjelaskan panjang lebar tentang keberadaan tempat itu,serta jalur mana yang dapat kami tempuh,tidak lupa pula dia menjelaskan mobil apa yang bisa kami naiki. Kamipun mencatatnya dengan terburu-buru. Menyamakan kecepatan dengan penjelasan ia. Sentuhan terakhir aku meminta uang kepada ibu untuk jajan. Padahal sejujurnya untuk ongkos. Lalu kami membawa bekal,dan air,serta mukenah,dan Hp jika ternyata kami nyasar dan tidak tahu arah pulang.

Kami memulai perjalanan. Kami menaiki kereta api yang akan membawa kami ke jalan leighton. Dilanjutkan dengan bis. Kami mencari-cari jalan itu. Aku pun bersyukur tadi sempet menyobek peta kotaku di kamar kakakku. Kami mengadakan penelitian. Dan akhirnya kami telah menemukan jalan itu. Kami sholat dzuhur di mushola terdekat. Sepi.
Lalu kami mencari rumah yang mirip dengan yang Anne ingat. Susah juga mencarinya, tapi untung Anne tahu setiap detail jalan ini. Kami menemukannya,tapi rumah ini seperti sudah tak berpenghuni. Catnya luntur di makan zaman. Tumbuh-tumbuhan sudah mati tak terurus,dan tak diberikan air. Hanya tumbuhan liar yang tumbuh subur sampai-sampai rumput yang pendek berubah jadi ilalang.



          Anne tahu tempat persembunyian kunci rumahnya. Di bawah pot. Ia mengingatnya samar-samar 12 tahun yang lalu. Rasa sedih menyergap kami berdua. Pohon Ek menjatuhkan daunnya yang sudah kering dan coklat. Kami memasuki kamar pertama. Kamar Anne saat ia berumur 5 tahun. Kamarnya dari bayi sampai balita. Dari semua ruangan yang berantakan,hanya kamar Anne yang masih rapih. Mungkin 12 tahun yang lalu mereka terus membersihkannya. Tapi mungkin juga tidak di bersihkan sehingga serapih ini. Anne menitikan air matanya. Tempat ini penuh kenangan.

Ia berteriak padaku "Lihat mereka meninggalkan rumah ini. Mereka meninggalkan kenangan tentang diriku. Mereka ingin melupakan aku. Mereka tak ingin mengingatku. Walaupun selama ini aku selalu merindukan mereka." aku menenangkan "Mereka hanya tak ingin bersedih lama-lama" dia memotong perkataanku "Dengan melupakan aku?" Aku menarik nafas menatap ke jendela memperhatikan pohon Ek di depan jendela. Ada seekor burung disana. Pohon itu masih berpenghuni dan memberikan manfaatnya. Aku menjawab pertanyaannya. "Semua ini milik Allah dan hanya kembali pada Allah,mereka harus mengikhlaskanmu mereka tidak bisa terus bersedih. Mereka juga masih memiliki kehidupan untuk dijalani."

Ia mendengus "Aku masih hidup" Aku menjawab cepat "Tapi mereka tidak tahu." dia bertanya kembali "Apakah selama ini mereka mencariku?" Aku menjawab dengan tenang "Tentu, Karena semua orang tua yang akan selalu mencintai anaknya." Ia terdiam pasrah berharap ia akan bertemu keluarganya. Ia begitu rindu kepada mereka. Serindu mereka kepada dirinya.                                         

Anne masih tetap menangis. Akupun menengkan sembari bergegas “Kita harus mendapatkan petunjuk untuk menemukan orang tuamu. Mungkin di kamar orang tuamu atau di ruangan lain akan memberikan kita petunjuk. ”Aku pun berlari ke kamar orang tuanya. Mencari-cari petunjuk kecil yang siapa tahu begitu berguna.

Aku pun bertanya pada Anne “Anne, apa keluarga kalian memiliki foto keluarga?” Dia mengangguk. Aku melanjutkan pertanyaanku “Di mana biasanya mereka letakkan?” Dia menjawab terisak. “Di dinding ruang tamu,serta lemari. Terkadang ada di dinding dan laci kamarku serta kamar orang tuaku” Aku memeriksa “Tidak ada. Kukira mereka membawa foto-fotomu. Dan hal ini membuktikan bahwa mereka terus merindukanmu. Mereka melepas rindu itu dengan menatap fotomu ketika kau masih kecil.”

Tiba-tiba terdengar suara orang memasuki rumah ini. Aku keluar melihatnya. Dia seorang ibu – ibu tua. Ia meneriaki kami. “Siapa kalian? Mau apa kalian di rumah ini hah?” Aku pun menjawab dengan sopan “ Dia adalah anak pemilik rumah ini. Apakah anda tahu pemilik rumah ini pindah kemana?” Dia termenung sebentar ia menatap Anne dalam-dalam. Anne menatapnya. Seulas senyum tergambar di wajahnya. Mereka berpelukan “Anne, kau sudah tumbuh besar sekali. Kau menjadi gadis yang sangat cantik. Kau masih mengenalku? Aku ibunya Andrews. Sejak hilangnya kau 12 tahun yang lalu. Banyak yang kehilangan dirimu. Orang tuamu serta anakku Andrews ia jadi kehilangan teman main. Hari-harinya ia habiskan di rumah saja. Ia begitu merindukanmu.”

Anne pun menyela cepat “Lalu bagaimana keadaan orang tuaku semenjak aku hilang dan di mana ia bertempat tinggal sekarang?” Ibu  Andrews tertawa renyah “Haha,,,jangan terburu-buru nak. Masih ada waktu panjang untuk kembali ke pelukan orang tuamu. Sekarang kalian harus ke rumah ku dulu. Mandi, sholat ashar. Minum teh serta biskuit buatanku. Baru aku akan mulai bercerita. Ceritanya panjang sekali.

Kami bertemu dengan Andrews. Dia adalah laki-laki yang begitu tertutup. Dia menatap Anne begitu lama tatapannya mengisyaratkan dirinya begitu merindukan Anne. Ia ingin memeluk Anne untuk melepas rindunya. Tapi ia urungkan. Ia masih bisa mengontrol dirinya. Anne memberikan senyuman termanis yang ia miliki dalam hidupnya. Kami pun bergegas mandi dan sholat ashar berjamaah. Setelah itu kami berkumpul di meja makan.

Awalnya Nyonya Douglas hanya menyuguhi kami biskuit dan teh tapi karena ayam kalkun masakannya sudah jadi,kami pun memakannya. Begitu nikmat. Andrews masih mencuri pandang ke arah Emely. Dirinya memang begitu cantik. Kakaku saja seperti menyukainya pada andangan pertama. Tapi sayang sepertinya yang dalam otak Anne tidak ada tentang cinta. Satu-satunya yang ia pikirkan saat ini adalah keluarganya. Mungkin ketika dirinya bertemu dengan keluarganya ia akan memikirkan tentang cinta.

Andrews memberikan sapu tangan padanya. Anne mengelap air matanya dan ingusnya. Badanya begitu kurus ringkih. Pipinya tirus. Matanya cekung. Dan ada kantung mata di bawah matanya. Matanya begitu sembab karena ia begitu menangis. Tapi walaupun terlihat buruk seperti itu tampaknya ia masih bisa menebar pesona. Membuat laki-laki muda yang melihatnya dan berjarak tidak jauh darinya begitu terpikat. Serta tidak akan melepaskan pandangannya dari Anne. Bahkan jika kita memukul kepalanya sepertinya ia tidak akan merasakannya.Hahaha,,,

“Emely rasanya senang sekali kau menatap Andrews lama-lama” Bibi Douglas menghentikan lamunanku. Pipiku merona merah. Tampaknya sekarang gantian aku yang menjadi pusat perhatian dan diperhatikan. Tapi setidaknya pandangan Andrews sudah tidak menatap Anne. Tapi aku masih menunduk malu. Andaikan aku juga tidak ikut-ikutan mencuri pandang seperti Andrews.

Nyonya Douglas pun memulai percakapan “Jadi, Anne sesaat orang tuamu kembali ke kota ini. Ia tetap meminta polisi mencarimu. Tapi mereka tetap tidak menemukanmu. Mereka menangis seharian. Hati mereka begitu terguncang. Dunia mereka begaikan hancur berkeping-keping. Setiap hari mereka merindukanmu. Lampu kamarmu selalu menyala. Ayah ibu selalu tidur di kamarmu berharap kau akan kembali ke pelukan mereka. Tujuh tahun mereka merana di rumah itu. Wajah ibumu. Tak karuan. Akhirnya setelah tujuh tahun. Mereka bisa mengikhlaskanmu. Mereka pergi untuk menyusun kehidupan baru. Menemukan kebahagian baru. Walaupun tidak seindah saat kau ada.”

Anne meneteskan air mata “Lalu di mana keluargaku tinggal sekarang?” Nyonya Douglas menjawab singkat “Rumah itu ada di Northampton” Lalu ia memberikan alamatnya. Aku pun menjelaskan “Anne kita akan ke sana besok pagi,ibuku akan marah jika aku tidak pulang sekarang,aku pulang malam saja ia pasti akan marah besar” Anne menatapku nanar “Aku akan ke sana sendirian.” Aku menatapnya tajam “Di tengah malam seperti ini ? Tidak,aku tidak mengizinkanmu,terlebih jika kau sendirian. Kau sudah mengantarkan aku pulang. Sekarang tinggal aku yang akan mengantarkanmu pulang” Anne tertawa parau matanya benar-benar sudah sembab saat itu “Lalu jika kau sudah sampai di rumahku,siapa yang akan mengantarkanmu pulang?” Aku menjawab dengan tenang “ Aku bisa pulang sendiri sekarang ayo kita ke rumahku dulu. Ia pun menurut. Andrews meminta izin untuk mengantarkan kami pulang. Aku pun bertanya bingung. “Bukankah kau selalu menyendiri di rumah dan jarang ke luar?lalu bagaimana bisa kau mengendarai mobil?” Ia tersenyum ramah. Aku keluar jika aku ada keperluan. Sekarang aku pun ada keperluan. Jadi,izinkanlah aku mengantar kalian. “Kami pun mengangguk” Nyonya Douglas memberikan oleh-oleh untuk keluargaku. Kami pun pulang.

Pagi hari yang cerah. Andrews datang ke rumahku. Ia menjemput kami. Untuk mengantarkan kami ke rumah Anne. Kami pun bergegas. Pemandangan di luar begitu indah. Akhirnya kami sampai di rumah Anne. Pertemuan yang begitu mengharukan. Mereka menangis terharu bahkan adik-adiknya pun menyapanya. Tampaknya orang tua mereka telah memperkenalkan kakaknya dari dulu. Mereka mengajak kami untuk makan di dalam tapi aku pamit undur diri. Akhirnya kami pulang. Andrews mengantarku pulang. Ia mengatakan sesuatu padaku. Suaranya begitu lirih “Izinkan aku untuk ke toko buku sebentar” Aku pun mengizinkanya. Dan aku ikut masuk. Aku menemukan banyak buku yang bagus. Andrews membelikanya untukku sebenarnya aku menolak dengan keras karena harga diriku serasa hilang. Tapi ia memaksa. Saat perjalanan pulang ia menghadiahkan sebuah buku untukku. Dia menjelaskan padaku tentang sinopsis ceritanya. Setelah sampai rumah aku langsung istirahat. Badanku begitu cape sekali. The End.

 
Aku terbangun dari tidur siangku. Ternyata aku tertidur di bale-bale. Beberapa saat krmudian tercium aroma masakan ibu. Aroma itu membangkitkan gairahku untuk makan. Sinar matahari yang menyilaukan mata menyapaku. Sinarnya begitu hangat sehingga aku merasa seperti diselimuti oleh kehangatannya. Aku beranjak dari bale-bale itu. Dan memasuki rumah untuk sholat Ashar serta makan. Setelah itu aku kembali ke halaman belakang. Halaman ini begitu indah bagaikan lukisan. Bunga-bunga yang tumbuh liar seliar ilalang mengitari pepohonan. Pohon itu terlihat sangat teduh. Menyajikan apel dan jeruk. Kupu-kupu bertebangan bersama kicauan burung yang terdengar begitu merdu di telinga. Kumbang-kumbang hinggap di bunga anggrek. Aku membawa sebuah novel petualangan,lalu membaca di sebuah kursi empuk menghadap ke halaman. Di temani segelas jus jeruk dan angin semilir. Membuat kantuk berdatangan. Alhamdulillah tadi aku sudah tidur. Jadi, aku tidak tidur saat ini.

Belum sempat aku membaca paragraf pertama. Tiba-tiba aku mendengar suara berisik sekali. Ketenanganku terganggu. Aku melongokkan wajahku dari novel itu. Seekor tupai dengan biji kenari. Tupai itu memegang biji kenari dengan begitu erat. Takut ada yang mengambil. Aku memperhatikannya yang sedang sibuk berlari-lari tidak jelas. Andai kamera kakakku ada di tanganku mungkin sudah ku foto diri tupai itu. Sang tupai yang merasa di perhatikan akhirnya pun pergi ke dalam lubang di pohon. Entah kenapa ada lubang di situ. Untuk sarang binatang lain mungkin. Aku mendekat ke pohon itu. Aku menyalakan senter yang beruntung ada di sakuku. Ku lihat tidak ada tupai di situ. Entah kemana ia pergi. Mungkinkah ia masuk ke tempat yang lebih dalam lagi dari lubang itu? Mungkin saja.

Sesaat cahaya senterku terpantul oleh benda kecil. Aku menemukan sebuah kunci. Entah kunci pintu apa ini. Akupun bertanya pada ibuku. Ia hanya berteriak-teriak tidak jelas. Aku tidak mendapatkan jawaban darinya. Untuk melepaskan rasa bosan. Aku pergi berjalan-jalan ke sebuah taman. Taman itu di penuhi berbagai macam bunga. Dan ada sebuah labirin.  Aku mencoba bermain di labirin itu. Tak ku sangka labirin ini begitu rumit. Aku di buatnya pusing. Begitu banyak persimpangan jalan. Aku memilih sesuai feeling. Aku berjalan sampai kakiku begitu cape dan letih. Aku yakin pasti jari kelingkingku lecet. Aku sudah tidak kuat lagi. Tapi akhirnya aku menemukan sebuah pintu. Ukiran pintu itu sangat bagus. Pintu itu berwarna hijau dengan ukiran berwarna emas. Pintu itu terkunci. Aku mencoba membuka pintu itu dengan kunci ini. Jika tidak berhasil aku akan pulang. Tapi itu artinya aku harus bercape- cape ria lagi untuk berjalan di labirin yang membosankan ini. Belum lagi jika aku tersesat. Akupun masih tetap mencoba membuka kunci itu.

Alhamdulillah pintu itu terbuka. Seberkas cahaya memasuki labirin ini. Aku menutup mataku karena tidak kuat untuk melihat cahaya yang menyilaukan itu. Dan akhirnya mataku bisa beradaptasi. Seperti di negeri dongeng,tempat ini begitu indah tapi sayang tempat ini hanya sekejap saja terlihat indah selebihnya tempat ini berubah murung. Awan mendung datang membawa kapasitas air begitu banyak. Hujanpun membasahi tubuhku. Aku mencari tempat berteduh. Labirin itu terlihat tidak terkena air hujan. Aku berlari menuju labirin itu. Tapi sayang pintu itu tertutup seketika. Aku tidak bisa membuka pintu ini walaupun memakai kunci ini lagi.

Aku tidak memiliki pilihan lain aku melanjutkan perjalananku. Pepohonaan hijau dengan berpuluh-puluh buah-buahan berubah menjadi pohon yang tidak memiliki daun. Bunga-bunga yang warna-warni terlihat layu kecoklatan. Rerumputan hijau sekarang di penuhi onak duri. Burung-burung berkicau pergi digantikan oleh suara burung hantu dan gagak hitam. Hujan terus mengiringi langkahku. Kelinci dan tupai yang berlarian berubah menjadi serigala yang melolong dan mengintai. Bukit-bukit landai berubah curam menjadi tebing. Menara yang seperti istana Raja berubah menjadi nuansa gothic seperti rumah nenek sihir. Mercu suar yang memberi penerangan kini redup. Membuat kapal yang ingin berlabuh langsung menabrak tebing. Membuat hancur sang kapal. Ombak-ombak berlomba dengan sangat agresif. Badai datang dengan marah. Kilat dan guntur datang silih berganti. Angin yang semula lembut kini menjadi angin ribut. Aku tidak memiliki tempat berteduh. Aku meneruskan jalan setapak. Bulan purnama muncul. Entah langkah ku atau hujan yang membawa kesedihan,kesepian dan ketakutan ini. 

Aku berjalan menuju mercu suar. Tempat ini terlihat seperti menara di sebuah tebing. Begitu tinggi di atas pantai. Tetapi ketinggiannya sejajar dengan gunung ini dan menyatu dengan gunung ini. Aku masuk ke dalam menara. Aku mengunci pintu karena aku takut serigala itu datang ke sini. Aku menaiki anak tangga. Begitu tinggi,dan berputar terkadang aku begitu lelah berjalan sampai-sampai aku menghentikan langkah untuk duduk dan melihat ke luar jendela. Jendela ini begitu menjorok ke luar. Menyediakan sebuah tempat yang bisa dijadikan tempat duduk. Aku naik ke jendela ini untuk duduk. Aku memandang pemandangan di luar. Laut masih belum tenang selama badai itu masih berputar-putar di situ. Andai badai telah pergi pasti pemandangan di luar begitu indah dengan camar yang berterbangan meliuk-liuk rendah untuk mendapatkan seekor ikan. Aku yang takut jika kilat menyambar ke jendela ini, akhirnya memutuskan untuk melanjutkan menaiki tangga. Aku pun terus ke atas. Ke tangga yang berputar ini. Akhirnya aku sampai di puncak. Aku mengunci pintu. Takut penyihir di menara nan jauh di sana datang ke tempat ini. Aku sholat maghrib dan Isya. Akupun tertidur lelah.

                                                              ***

Aku terbangun dari tidurku. Aku tatap kamar ini. Rasanya berbeda. Ini bukan kamarku. Kamarku tidak berdinding batu alam abu-abu seperti ini. Dan tidak seluas ini. Kulihat pemandangan di balik jendela. Dan kamarku yang sesungguhnya hanya di lantai 2 dan hanya memiliki pemandangan atap rumah tetangga. Tapi di sini aku seperti di dalam menara. Tempat ini begitu tinggi entah berapa lantai. Dan pemandangan disini begitu indah. Di bawah menara ini amat sangat berbeda dari pemandangan biasanya. Di bawah menara ini ada sungai yang dihuni oleh banyak buaya. Membuatku bergidik. Aku kembali mengamati kamar itu. Warna temboknya abu-abu suram. Tapi di bagian dinding yang lain terdapat banyak lemari buku. Dan jutaan buku di dalamnya. Pintu terkunci entah di mana kuncinya. Dan aku tidak bisa membukanya dengan kunci ini. Aku merasa seperti dijadikan tahanan rumah. Tapi asal ada ribuan buku disini aku tidak keluar juga tidak apa. Tapi apakah aku akan mati kelaparan? Aku menghempaskan tubuhku ke lemari buku itu. Seketika aku merasa ada yang bergeser. Lemari itu bisa bergerak aku masuk ke ruangan sebelah di balik lemari ini. Ruangan ini berisi cerobong asap di ruang duduk dan di sebelah ruangan ini terdapat dapur dan kamar mandi. Di dapur terdapat beribu makanan cepat saji. Tampaknya makanan ini hanya akan mempersingkat masa hidupku. Lalu aku masuk ke ruangan sebelah dapur disana terdapat ruangan es yang sangat besar berisikan beribu-ribu stok makanan yang belum diolah. Tampaknya aku harus belajar masak di sini. Alhamdulillah di lemari buku ini terdapat resep masakan. Jadi aku bisa berusaha belajar masak.

Cuaca begitu panas dan kering. Aku pun bergegas mandi. Entah rumah siapa ini yang berfungsi sebagai mercu suar dan begitu mirip dengan menara. Airnya begitu segar. Di sebelah kamar mandi ada ruangan yang berisikan beribu-ribu pakaian. Aku memakai salah satunya. Setelah itu aku sholat shubuh. Alhamdulillah di tempat ini ada mukenah. Lalu aku membaca seluruh buku yang ada di kamar. Kumpulan buku yang sangat banyak. Setahun telah berlalu. Kuhabiskan waktuku untuk membacanya. Petualangan, pengetahuan, pengorbanan, agama, cinta serta sejarah. Semuanya disajikan di buku-buku ini. Sudah saatnya aku pulang,ini bukan rumahku. Tapi bagaimana caranya aku keluar dari menara tak bertuan ini? Aku mencari sesuatu di seluruh pelosok ruangan ini. Di laci aku menemukan sebuah diary berdarah. Sebuah catatan suram dari penghuni menara ini sebelumnya. Dia adalah seorang perempuan. Hidup di zaman victoria. Dia tinggal bersama kedua orang tuanya. Ayahnya yang dalam samar-samar disemasa kecilnya selalu menceritakan sebuah kisah padanya dari sebuah buku. Tapi hal itu tak berlangsung lama. Setelah ia sudah bisa baca ayahnya sudah tidak datang lagi. Sudah tidak ada malam-malam yang penuh kisah yang diceritakan ayahnya. Saat ibunya datang ia selalu bertanya "Kemana ayah pergi? Kenapa ia sudah tidak berbagi cerita padaku lagi?" Ibunya hanya tersenyum dan menjawab menenangkan "Ia akan datang kembali membawa sejuta kisah hidupnya". Ibunya benar ayahnya datang lagi setiap tahun membawa sejuta kisah untuknya melalui buku-buku yang ia bawakan.

                                  

Ketika ayahnya pergi. Untuk menghilangkan rasa rindu pada ayahnya. Sang gadis dan ibunya membaca buku itu bersama-sama menghabiskan tiap malam,untuk membacanya. Suatu ketika ayahnya datang dengan membawa ajaran agama baru. Ia mengajarkan gadis kecil itu tentang Tuhan Yang Esa. Dan mengajarkan mereka bagaimana cara menyembah-Nya. Ia bercerita panjang lebar tentang agama itu. Agama itu dibawakan oleh Nabi Muhammad yang hanya dalam beberapa puluh tahun Ia berhasil membuat kaum yang jahiliyah menjadi beradab. Ia berhasil mengubahnya menjadi baik. Tapi keluarga gadis itu tidak bisa selamanya berada di negaranya untuk menikmati agama ini. Karena negara mereka akan membunuh orang-orang yang keluar dari agama leluhur nya. Ayah dan ibu nya membawa dirinya keluar dari kota itu. Akhirnya dia bisa melihat dunia dari kedua matanya sendiri. Tidak hanya melihatnya dari balik jendela ini. Tulisan itu berakhir di sini.

Dengan sebuah kunci kecil di belakang sampul buku itu. Aku mencoba membuka pintu kamar ini dengan menggunakan kunci itu tapi sayang kunci itu terlalu kecil. Suhu semakin rendah. Hawa dingin menyerbu ruangan ini. Besok mungkin akan turun salju. Aku tidak tahan dengan hawa dingin ini. Hawa ini bisa membuatku beku jika aku tidak banyak bergerak. Angin dingin menyergapku membuat tulang-tulang gemeteran. Aku harus  bergerak jika tidak ingin mati membeku. Aku ke ruangan sebelah yang memiliki cerobong asap. Ternyata di sini tidak ada stok batu bara untuk membakar apinya. Tidak pula ada kayu bakar. Hanya ribuan buku. Sayang sekali jika dijadikan bahan bakar. Aku melihat sesuatu di dalam tungku cerobong asap itu. Ada sebuah tuas. Aku menarik tuas itu. Di sebelahnya ada sebuah pintu kecil. Aku membukanya dengan menggunakan kunci itu.

Sebuah lorong. Begitu kecil. Aku harus merangkak seperti bayi. Udaranya benar-benar lembab. Lorong ini seperti tak berujung. Rasa cape menggelayut di tangan dan dengkulku. Rasa pegal menyertai leherku. Rasa takut terjebak di lorong itu ikut menyertaiku juga. Aku takut mati di dalam lorong itu. Dan tidak akan pernah ada yang tahu mayatku. Disini gelap sekali. Bodohnya aku tidak membawa senter. Mau balik ke tempat tadipun rasanya aku sudah terlalu jauh merangkak akan cape jika balik lagi. Lagipula aku tidak bisa berputar arah. Di sini begitu sempit. Apakah penulis diary berdarah itu pernah ke sini? Bahkan dia menulis dia tidak pernah keluar dari puri itu. Dan tak pernah diizinkan oleh kedua orang tuanya. Aku jadi ingin tahu. Keadaan seorang anak yang dikurung di sebuah menara selama 15 tahun apakah ketika ia keluar dari menara itu ia mengalami Antisosial?Menolak kedatangan orang-orang baru dalam hidupnya? Serta ketika melihat budaya-budaya baru ia akan mengalami culture shock. Serta belum bisa beradabtasi. Tapi dari buku-buku yang ia baca aku yakin ia sudah sedikit tau tentang dunia ini serta budaya-budayanya. Lagipula ia bersama kedua orang tuanya.

Aku terantuk sesuatu. Kaki ku sakit. Aku pun menyudahi diskusi dalam pikiranku. Aku terperosot. Jalanan ini begitu landai dan menurun. Dan aku berhenti. Jalan buntukah ini. Aku meraba ternyata ini sebuah tangga aku menaiki tangga itu. Aku mendorong atap itu. Dan ternyata ini sebuah ruangan. Ada sebuah penerangan. Harus menggunakan api kah? Aku mencari-cari sebuah korek api di saku ku. Bekas memasak tadi pagi.

 Ada sebuah lorong lagi. Lorong ini bagaikan labirin. Jalanannya agak besar membuat aku bisa berjalan di sini. Akhirnya aku menemukan persimpangan jalan. Aku harus memilih  jalan yang mana yang tidak buntu. Bahkan walaupun hanya memilih jalan yang mana yang tidak buntu,itu lebih baik karna aku bisa balik ke sini lagi dan mencoba jalan lain. Tapi jika aku memilih sebuah jalan yang pada akhirnya membawaku ke sebuah persimpangan jalan lagi itu baru merepotkan bisa-bisa aku akan tersesat dan mati di sebuah labirin ini tanpa ada yang tau di mana mayatku. Berhenti di sini pun tak ada gunanya. Itu hanya membuktikan aku menyerah dan memasrahkan nyawa ini. Menunggu waktu berjalan pun bukan pilihan yang bagus. Karena ketika kelaparan menyerang malaikat maut pun akan menjemput. Berbicara tentang rasa lapar yang menyerang. Aku lupa membawa makanan. Sungguh bodoh diri ini. Menjemput petualangan tanpa bekal sedikitpun.

Aku hanya bisa pasrah. Allah Maha Pemberi Rezki ia tidak akan lupa memberikan rezki kepada hamba-Nya yang sedang terkurung di sebuah goa tua ini. Jadi, yang bisa kulakukan sekarang adalah aku harus menghemat energi dan segera cepat berjalan. Karena jika lampu minyak ini habis, maka akan repot sekali berjalan sambil meraba-raba. Aku pun  memilih jalan. Karena aku tidak tahu harus memilih yang mana akhirnya aku menggunakan feeling saja. Dan ternyata jalan ini dengan suksesnya membawaku ke persimpangan jalan. Aku memilih asal lagi. Tapi kupilih jalur kanan. Karena kanan itu biasanya bagus. Akupun terus berdoa agar aku bisa keluar dari goa ini. Aku tidak ingin terkurung di sini selamanya. Mati kelaparan dan tidak akan pernah ada yang tahu  tentang kematianku dan keberadaan mayatku.

Aku berjalan cukup lama aku sudah begitu haus untuk meneruskan perjalananku. Sampai akhirnya aku menemukan sebuah danau di dalam goa. Aku meminum air untuk menghilangkan rasa hausku dan untuk membasahi tenggorokanku yang kering. Aku ingin membawa air ini untuk bekal tapi di sini tidak ada yang bisa di jadikan wadah,menyedihkan. Apakah di sini akan ada ikan. Tapi bagaimana caraku menangkapnya aku tidak punya alat pancing. Lagipula kalau ada alat pancing aku tidak akan pernah sanggup menaruh cacing di tempat umpannya. Tapi karena situasi sudah begitu gawat. Mungkin aku akan lebih memilih memegang cacing daripada mati kelaparan. Aku berjalan mengelilingi danau agar jika haus. Aku bisa meminum airnya. Kaki ku sudah semakin letih. Tak bisakah aku istirahat dulu. Tapi jika istirahat minyaknya akan cepat habis. Aku pun matikan lampu minyak itu dahulu agar hemat. Aku tidak akan tahu apa yang akan terjadi nanti. Jika tiba-tiba cahaya mati sedangkan aku harus tetap berjalan. Aku pun mengantuk dan akhirnya memutuskan untuk tertidur.

. Aku tidak tahu sekarang siang,sore atau malam. Yang aku tahu aku sudah terlalu lama berjalan. Ya Allah tolonglah diri ini. Aku melanjutkan perjalanan. Dengan cahaya redup. Aku terus berjalan mengelilingi danau. Yang semula danau kini menjadi sungai. Sungai yang panjang meliuk- liuk. Aku lelah dan bosan. Aku menerka-nerka jika tadi aku berangkat setelah sholat Isya mungkinkah sekarang sudah shubuh? Akupun sholat untuk menghilangkan rasa lelah di hati karena entah kapan aku sampainya. Aku melanjutkan perjalanan sampai aku menemukan setitik cahaya. Jalan keluarkah itu? Aku menangis terharu. Allah mengabulkan do'a ku. Aku berlari cepat. Semua rasa letih di kaki hilang semua. Beban berat yang terasa di punggung menguap sudah. Begitulah rasa cape. Dia ada karena kita berfikiran untuk cape. Ketika kita membebaskan fikiran kita rasa lelah itu akan hilang menguap di telan langit. Dan mungkin juga karena adanya sebuah motivasi.

 Aku pun berlari. Dan di depan ku ternyata ada kunang-kunang. Jadi cahaya yang kukira jalan keluar hanya sekumpulan kunang-kunang. Lucu sekali,lebih tepatnya menyedihkan. Jadi, bagaimana ini nasibku ya Allah? Kenapa ketika aku meminta jalan keluar Kau hanya memberikan jalan buntu. Untuk melatih rasa sabarku kah? Hem apapun itu aku harus tetap bersabar dan terus menjalani kehidupan ini. Pilihannya hanya ada dua yaitu diam untuk menanti kematian atau terus berjalan. Tapi dengan terus berjalan walaupun letih dan lapar setidaknya aku masih memilki peluang untuk keluar dari goa ini. Aku terus berjalan untuk menyelusuri sungai ini.Sampai pada akhirnya cahaya itu nampak lagi. Aku tidak berlari-lari seperti tadi. Karena aku takut merasakan kecewa kedua kalinya. Akupun terjatuh berdebum. Tanah serasa kasur. Aku sudah terlalu lelah untuk berjalan aku akan bangun nanti saat dzuhur untuk shalat.

Beberapa jam kemudian hati kecilku berteriak. “Bangunlah jalan keluar sudah di depan mata jangan sampai kau menunggu goa ini berguncang dan menutup jalan keluar.” Aku terbangun tinggal beberapa langkah lagi. Aku bangun untuk sholat dzuhur dan meneruskan langkah. Aku tertawa getir melihat jalan keluar itu. Ternyata hanya lubang kecil. Bisakah aku melewati jalan itu? Tapi aku harus bisa jika aku tidak ingin mati terkurung di sini. Aku pun menarik batu berat ini agar celahnya menjadi besar sehingga aku bisa kmemasukinya. Tapi sayang sekali. Celah itu malah menjadi tertutup karna batu yang di atas jatuh tepat di celah kecil itu. Hiks sungguh menyedihkan. Apakah itu artinya takdir memintaku untuk tinggal di sini? Tapi hanya orang bodoh yang menjawab ya bersedia. Aku ingin pulang aku kangen ibuku, ayahku, kakaku, rumahku, sepupuku, saudaraku, nenekku, guruku, orang-orang yang ada di sekitarku. Walaupun terkadang ada konflik diantara kami. Tapi bagiku mereka tetap duniaku. Mungkin dunia menganggap mereka hanya seseorang,tapi bagiku mereka adalah duniaku. Aku pun bangkit aku tidak mau kalah oleh takdir siapa tau takdirku memang ada di luar sana bukan di dalam goa ini.

Aku mencari celah. Di atas sana ada sebuah celah muatkah untuk tubuhku? Tapi celah itu begitu di atas bagaimana ini. Aku seperti sedang memanjat tebing curam. Tapi aku tidak akan tahu apakah aku bisa atau tidak jika aku tidak mencobanya. Tapi ini begitu mustahil aku belum pernah belajar memanjat tebing. Tapi aku tetap berusaha. Aku pun mencoba merangkak ke atas tepat dugaanku batuan di bawah berjatuhan. Setelah bersusah payah. Akhirnya aku bisa sampai atas. Aku pun masuk ke celah kecil itu. Alhamdulillah tubuhku cukup untuk masuk ke dalam selah kecil itu. Aku melihat matahari bersinar. Mataku silau melihatnya. Aku turun dari gundukan batu dan memerosotkan diriku. Aku mencuci wajahku di sungai dan meminum air sebanyaknya.

 
_ Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin-top:0in; mso-para-margin-right:0in; mso-para-margin-bottom:10.0pt; mso-para-margin-left:0in; line-height:115%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri","sans-serif"; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi;} Istri Denouement memberikan banyak bekal untuk perjalan mereka. Layar pun dikembangkan. Kabut menyelimuti mereka. Lalu mereka bertiga pun menyalahkan sebuah lampu berwarna hijau. Denouement bertugas mengembangkan layar, lampu hijau itu ia letakan di topi tambangnya. Yume bertugas memegang kemudi. Himitsu digendong oleh Max. Max pun menatap kompas. “Kita harus bergerak ke arah jam satu.” Lampu hijau diletakan di kemudi. Sehingga  Max bisa melihat kompas.

 

 

Denouement memberikan sesuatu kepada Max. “Teman ilmuanku memberikan jam navigasi. Di dalamnya ada sebuah magnet yang akan selalu menuju ke arah tujuan kita. Lebih bagus daripada kompas” Denouement mengedipkan matanya. Max memberikan jam navigasi serta Himitsu kepada Yume. Dan ia yang mulai memegang kemudi. Suara geluduk terdengar. Memberi tahu pada mereka bahwa hujan akan turun. Tapi ternyata bukan saja hujan yang turun melainkan Badai pun ikut menemani perjalanan mereka. Mereka basah kuyup. Yume segera berlari ke dalam ruangan terdekat. Berusaha agar Himitsu tidak terkena hujan dan tidak demam.

 

 

Tiba-tiba ada gurita raksaka menyerang kapal mereka Yume ketakutan. Max segera menyerang gurita itu dengan pedang cahaya nya. Yume memberikan Himitsu kepada Denouement dan menyarankan agar Deneouement membawa Himitsu ke dalam ruangan. Himitsu pun mengendalikan kemudi dan menatap ke jam navigasi.

 

 

Badai itu menerbangkan banyak hal termasuk layar kapal. Kapal pun diguncangkan oleh gurita raksaksa. Max dipeluk oleh tentakel gurita dan di bawa ke dalam laut. Yume menjerit. Badai pun mengguncangkan kapal dan membuat kapal ini terbalik. Mereka semua tenggelam. Yume berenang mencari Max. Ia pun menemukan Max dalam cengkraman gurita. Yume mengambil pedang Max. Ia berusaha menggunakannya tapi tidak bisa. Yume menarik Max tapi sulit.

 

 

Di sisi lain Denouement hampir pingsan. Gurita itu pun melepaskan Max. Yume langsung memeluk Max. Dan berenang mendekati Himitsu. Max dan Yume berusaha mengangkat Donuement dan Himitsu ke permukaan laut.  Kabut menyelimuti mereka. Mereka tidak bisa saling melihat, mereka hanya bisa saling berpegangan. Tubuh Himitsu memancarkan spektrum warna. Yume menatap ke jam navigasi. Dan mereka berenang bersama-sama mengikuti petunjuk jam navigasi setelah beberapa lama mereka sampai di Kota Kesepuluh.

 

 

Max menyewa sebuah tempat. Mereka berganti pakaian, makan dan sholat ashar. Tiba-tiba penduduk desa meringkus mereka dan membawa mereka ke alun-alun kota. Tetua kota itu datang mendekat. Ini adalah kota kesepuluh. Tiap orang yang datang wajib mengorbankan sesuatu. Dan kalian harus mengorbankan anak itu. Yume menolak. Tapi tidak ada pilihan lain. Himitsu pun segera dikorbankan. Api unggun menyala besar. Sebuah altar diletakan di alun-alun kota. Samurai yang mengkilat membuat Yume menangis dan menutup mata.

 

 

Dalam seketika Samurai itu telah memisahkan Himitsu dengan sepasang sayapnya. Tetua desa tersenyum. Sekarang anak ini sudah mirip dengan manusia normal. Tetua itu pun memberikan Himitsu kepada Yume. Yume memeluk Himitsu dengan erat tidak ingin dipisahkan.

 

 

Lalu mereka semua pun diarak dan disambut dengan meriah karena jarang sekali ada orang asing yang datang. Setelah malam tiba seusai sholat maghrib mereka disediakan makanan besar. Yume pun menatap bulan. Max memperhatikan Yume “Ada apa?” Yume menggeleng “Tempat X nya berada di kota ini tapi aku tidak tahu tepatnya ada di mana.” Max mengangguk “Sebaiknya kita pikirkan besok.”

 

 

Setelah sholat Isya mereka bergabung ke acara adat suku itu. Yume memperhatikan wajah mereka. Kulit mereka merah dengan bulu burung berada di kepala mereka. Dan pipi mereka dihias dan diolesi warna putih. Rambut mereka di kepang pastilah mereka suku Indian. Mereka mengitari api raksaksa dan menari.

 

 

Yume, Max, Himitsu dan Denouement pun tidur. Keesokan paginya setelah sholat shubuh dan sarapan. Max dan Yume pun berfikir. Max berdiri berfikir saja tidak cukup kita harus mengitari kota ini. Lalu mereka pun bangkit. Yume menggendong Max. Denouemoent masih terduduk “Ini adalah sebuah kenyataan. Tapi karena telah tergerus oleh zaman, kenyataan ini sudah tidak diyakini bahkan sekarang sudah berubah menjadi lagenda, dan lagenda pun berubah menjadi mitos.” Yume berbalik.

 

 

Denouement melanjutkan kisahnya. “Beberapa abad sebelumnya. Ada seseorang berkuda datang dari arah barat. Ia dan kudanya melintasi berbagai tempat dan menuju ke arah timur. Hingga pada suatu ketika laki-laki itu berhasil sampai menuju ke tempat ini. Laki-laki itu turun dari kudanya. Dan ia menerima sambutan yang hangat dari kota ini. Tetapi seperti ritual atau adat yang selalu berlangsung di kota ini. Maka, laki-laki itu pun harus mengorbankan sesuatu kepada kota ini. Sampai sekarang sesuatu itu masih misterius entah itu apa. Sebuah rumor beredar bahwa barang yang dikorbankan pria itu di simpan di sebuah reruntuhan kuno yang terletak 2000 kaki di atas Urumbamba. Tempat ini kah yang kalian cari?”

 

 

Yume dan Max pun mengangguk, mereka yakin tempat itulah yang mereka cari. Dan mereka yakin laki-laki itu adalah kakek buyutnya kakek seseorang yang telah menjadi tengkorak itu. Mereka pun lekas berjalan ke urumbamba. Sesampainya disana, mereka melihat sebuah reruntuhan kuno dengan arsitektur yang indah, mereka yakin reruntuhan itu adalah Vilcambamba, kota yang diduga menjadi pintu masuk menuju kota yang hilang El dorado.

Yume dan Max pun membuka gerbang Vilcambamba dan menemukan kota El Dorado. Sebuah kota yang hilang karena terletak di tempat terpencil dan sudah tidak ada yang tinggal di kota ini. Kota ini pun menjadi kota yang terlupakan. Bangunan-bangunan telah hancur yang tersisa hanya berbagai artefak-artefak kuno. Mereka berjalan ke sebuah tanah lapang. Rerumputan hijau serta alang-alang bergerak ke arah kanan karena tertiup angin. Deru angin mengantarkan mereka ke sebuah tempat yang dinamakan stonehenge. Batu-batu ini begitu besar dan membentuk sebuah lingkaran.

 

 

Denouement pun mengangkat batu yang di tengah hingga berbalik. Lalu Denouement meminta bantuan Yume dan Max menjatuhkan batu yang besar. Batu itu pun terjatuh ke depan. Dan membuat batu di depannya terjatuh. Dan hal ini mengakibatkan batu yang didepannya ikut terjatuh. Semua batu terjatuh hingga membuat lingkaran. Bumi berguncang. Maksudku tanah di lingkaran itu saja yang berguncang dan berputar membuat mereka berempat merasa bingung. Karena tanah yang mereka pijak menuju ke arah bawah. Dan mereka pun berda di ruangan bawah tanah tersembunyi. Deru angin yang bergesekan dengan batu yang terjatuh membuat lingkaran menghasilkan sebuah alunan suara mistis yang menyeramkan.

 

 

Max dan Yume serta Denoement menatap kesegala arah. Sebuah ruangan besar. Ada sebuah pintu di ujung sana. Yume pun membukanya. Ternyata sebuah ruangan gelap berada di situ. Denoement menyalakan obor. Max dan Yume menyalakan senter mereka. Ruangan ini dipenuhi berbagai artefak. Koin-koin emas juga ada di sana. Mereka semua berjalan lurus. Dan diujung sana. Terdapat sebuah peti. Yume membuka peti tersebut. Peti tersebut hanya berisi sebuah buku. Yume memegang buku itu dan menyembunyikannya. Tiba-tiba terdengar sebuah deru langkah kaki datang ke tempat itu. Max mengirimkan sinyal meminta pertolongan  ke temannya lewat Hp.

 

 

Langkah kaki itu semakin mendekat bagaikan langkah prajurit pasukan yang ingin menginvasi sebuah kota. Mereka datang dengan senjata mereka. Mereka marah kepada Max, Yume dan Denouement karena telah menemukan tempat persembunyian mereka. Yume, Max, Danouement serta Himitsu pun diringkus. Mereka semua diikat disebuah kayu dan dibawahnya terdapat kobaran api. Tapi untunglah bantuan segera datang. Sebuah helikopter berlogo merah putih mendekat membuat angin terbang cepat. Api pun menari-nari. Seseorang turun dari helikoptar yang belum mendarat. Orang itu turun dengan tali. Ia pun memegang kayu tersebut.

 

 

Helikopter terbang ke atas membawa orang yang menggantung di tali serta membawa Max, Yume, Denoement serta Himitsu yang terikat di kayu tersebut. Tali diulur. Pria itu masuk ke dalam helikopter berserta Himitsu, Yume, Max dan Denouement. Denouement dikembalikan ke hutan Fenwick. Dan Himitsu, Max serta Yume pun kembali ke rumahnya di atas bukit. Akhirnya petulangan mereka pun berakhir.

 

 

Yume kembali ke kamarnya yang nyaman. Setelah sholat dzuhur yang dijamak dengan ashar. Yume pun membaca buku itu. Dan Max mengajak Himitsu ke kamar barunya. Setelah menyelesaikan membaca buku itu. Yume menjelaskan kepada Max “Buku ini menerangkan tentang sebuah peradaban di dalam goa. Buku ini mengisahkan tentang banyaknya emas dan batu berlian di goa itu. Aku yakin kakek buyutnya kakek nya orang yang telah menjadi tengkorak itu mengisahkan kehidupannya di buku ini. Lalu ia berpetualang mengelilingi dunia untuk merangkai sajak kehidupnnya lagi. Tapi ia datang ke tempat yang salah. Di mana ia harus mengorbankan sesuatu yang penting dalam hidupnya. Ia pun mengorbankan buku ini. Lalu ia pulang ke kotanya dan membuat peta ini. Ia membuat peta ini agar penduduk kota itu mau keluar dari goa. Karena dunia ini begitu luas. Banyak kisah yang bisa dituliskan tentang dunia ini. Banyak pula petualagan yang bisa ditempuh dalam dunia ini.

 

 

Tapi penduduk kota itu menutup telinganya rapat-rapat tidak ingin mendengar perkataan orang tua itu. Aku tahu pasti orang tua itu bernama Socrates. Di lain tempat di sebuah Kota Kesepuluh. Pemimpin mereka yang sudah membaca jurnal ini dan tergiur oleh emas tersebut. Berusaha mencari letak kota dalam goa itu dan menggalang ribuan pasukan untuk menginvasi kota tersebut. Peperangan pun terjadi di goa itu. Kakek tua itu melihat pemimpin pasukan tersebut adalah orang yang ia kenal. Pemimpin Kota Kesepuluh pun membunuh kakek tua itu dengan busurnya. Dan akhirnya kakek tua itu mati dalam keadaan terkejut. Setelah suku Inca itu pergi mengambil semua emas di kota itu. Kaum perempuan dan anak-anak keluar dari tempat pengungsian. Istri kakek Tua itu pun mengubur kakek tua itu di pohon besar sebelah goa. Di dalam makam tersebut sang istri meletakan samurai cahaya dan peta harta karun. Dan menisahkan kisah ini kepada cucu buyutnya. Cucu buyutnya seharusnya mencari harta karun ini untuk merebut jurnal ini kembali. Tapi karena sang cucu buyut tidak tahu apa isi harta karun tersebut dan dimana kota Kesepuluh berada. Akhirnya ia mewariskan perintah ini ke cucunya. Cucunya hanya bisa sampai ke makam kakek buyutnya kakek dirinya. Belum sampai menginjakan kaki ke kota kesepuluh. Laki-laki ini meninggalkan istri dan putrinya hanya untuk menangis di makam leluhurnya tanpa melakukan perintah kakeknya. Dan tahukah engkau siapa putrinya? Dia adalah nenekku.”

 

 

Jreng,,,Max merasa tidak yakin. “Apakah nenekmu menceritakan pada ibumu bahwa ayahnya nenekmu pergi meninggalkan dirinya dan ibunya nenekmu?” Yume menatap jendela. “Nenek buyutku tidak bercerita apa-apa tentang kepergian kakek buyut kepada nenekku.” Yume memegang tirai jendela dan menatap keluar jendela dengan tatapan sendu. “Nenekku tahu kepergian ayahnya karena nenek tanpa sengaja mendengar percakapan sang ayah kepada ibunya. Nenekku juga membaca buku catatan ayahnya. Sepertinya itu adalah buku catatan ayahnya semasa kecil. Di situ bertuliskan Kakek menceritakan kepadaku bahwa kakek buyutnya telah mati dan di makam itu terletak pedang cahaya dan peta harta karun. Kakek mengatakan jika aku sudah besar nanti. Aku harus mencari harta karun itu.

 

 

“Ketika nenekku berumur tujuh belas tahun. Dan ayahnya belum pulang juga ia pun merasa khawatir dan memutuskan mencari ayahnya. Tapi ibunya pun menikahkan nenek dengan seorang pria. Dan mereka pun memulai sebuah kehidupan baru. Setahun kemudian nenek melahirkan ibuku. Tapi ia masih penasaran tentang keberadaan ayahnya. Ketika umur ibuku tujuh tahun mereka sekeluarga mengadakan sebuah pencarian. Nenekku mulai berfikir di manakah keberadaan goa itu. Ia bertanya kepada Kakeknya yang sudah tua. Yang mungkin saat itu sudah menjadi kakek buyut karena ibuku sudah lahir. Dengan lupa-lupa ingat sang kakek menjelaskan. Akhirnya nenekku mengetahui keberadaan goa itu. Tapi sayang saat itu saat dimana kakek, nenek dan ibuku berhasil memasuki goa. Goa itu berguncang gempa bumi terjadi. Goa itu runtuh. Nenek terkena batu-batuan itu dan ia pun mati tertindih bebatuan yang besar. Kakek sudah tidak bisa menolong nenek karena nenek sudah tak bernyawa. Ia pun berlari bersama ibuku untuk keluar goa.”

 

 

Yume masih melanjutkan ceritanya“Ibu dan kakekku selamat mereka hidup berdua bersama kenangan pahit mereka. Ibuku tidak melanjutkan pencarian karena ia begitu troma. Dan terjadi sebuah goncangan batin dalam hatinya. Gejolak jiwanya tidak ingin mengakui ini semua. Dan akhirnya mereka menutup rapat semua ini. Sampai suatu ketika saat aku berumur lima tahun. Kami sekeluarga pergi kerumah kakekku. Aku menatap foto nenekku. Bahkan di sana juga ada foto nenekku saat masih balita bersama ayah ibunya. Aku pun menyakan tentang nenekku. Ibuku pergi meninggalkan ruang tamu karena teringat oleh hal itu. Kakekku pun dengan sabar menceritakan kejadian menggenaskan itu kepadaku bahkan ia juga memberi tahu kepadaku tentang keberadaan goa itu. Saat aku berumur tujuh belas tahun. Aku bersama teman-temanku berpetualang ke goa itu. Sebenarnya aku lah yang mengajak mereka karena aku sangat ingin melihat tempat itu.


Kami berpetualang  ke goa itu. Melihat bangunan kota tua dalam goa itu seperti awal perjalanan kita.Lalu kami menemukan ujung goa. Seharusnya itu adalah jalan keluar goa tersebut. Tapi jalan keluar goa itu tertutup bebatuan. Dan aku sangat yakin di bawah batuan gua itu pasti ada tengkorak nenekku. Tapi aku tidak menemukannya dan tidak mencarinya karena aku tidak ingin membuat teman-temanku takut. Menyingkirkan batu-batu itu kami keluar goa. Aku mencuci mukaku di sungai itu. Dan aku teringat akan penjelasan kakekku. Jadi, kami pun melanjutkan perjalanan menuju pohon besar. Di dalamnya. Aku menemukan kakek buyutku dan leluhurku. Saat itu aku tidak berani membuka makam leluhurku. Aku hanya menyentuh jurnal kakek buyutku. Aku menatap kakek buyutku dengan iba. Orang itulah yang dicari-cari nenekku sampai nenekku tertindih oleh bebatuan. Dan mungkin aku juga mencari orang itu. Sebenarnya aku ingin menangis di situ. Aku ingin menangisi nenekku, kakek buyutku serta leluhurku. Tapi aku menahan perasaan sedihku. Aku juga tidak sanggup membuka makam leluhurku. Terlebih teman-temanku sudah mengajakku pulang karena takut.



Beberapa hari kemudian aku menangis di sebuah cafe karena teringat kejadian itu. Dan akupun menuju pantai saat itu. Lalu aku menemukan Hanna dan Daniel, serta aku menemukan kalian. Aku tidak menyangka pada akhirnya kau akan menjadi suamiku Max. Ternyata memang benar kejadian hari ini terjadi karena berbagai kejadian telah terjadi sebelumnya bahkan dari sebelum kita dilahirkan bahkan mungkin kejadian ini terjadi karena berawal dari sebuah buku yang ditulis leluhurku.” Yume tersenyum dan memeluk Max.

 
 

 
Yume menjulurkan kepala agar bisa menatap peta itu. Sebuah expresi bingung menyelubungi wajahnya. Akhirnya Tetua itu pun bercerita. “Beberapa generasi sebelumnya membuat peta ini. Tapi sampai sekarang belum ada di antara kami yang bisa menemukannya. Maukah kalian membantu kami?” Yume dan Max mengangguk.

Lalu mereka semua pun menuruni gunung. Tapi tidak menyampai lembah, karena gunung ini terlalu tinggi untuk ditaklukan dengan kaki. Pasti akan membutuhkan waktu berhari-hari untuk menaklukannya. Sang tetua menatap peta itu. Yume pun ikut menatapnya. “Kita harus menuju goa.” Mereka pun melangkah menuju goa. Berjalan mengikuti arah yang ditunjukan oleh peta dan kompas.

Setelah sampai mereka menemukan goa yang tertutup oleh kayu.Max menutup kayu itu “Kakek mungkinkah sudah ada yang menemukan harta karun pendekar shaolin di goa ini lalu menutup  gua ini kembali?” Sang kakek menatap dinding kayu itu. “Mungkin yang datang ke sini adalah seorang yang membuat peta ini.” Sang tetua mengusap dinding kayu itu, lalu memejamkan mata merasakan kayu tersebut. “Kayu ini terbuat dari pohon Ek dan pohon akasia. Diantara kita tidak ada yang memiliki kapak. Juga jika kau menendang dinding kayu ini pasti tetap tidak akan hancur.” Sang tetua tertunduk. Yume mendekati pintu itu. Ada sebuah ukiran di atas dinding ini. Ukiran itu melingkar mengikuti lingkaran dinding dan goa itu. Yume memiringkan kepala berusaha membaca tulisan itu.“欢迎光临”

Tetua shaolin itu membaca tulisan itu “huānyíng guānglín artinya selamat datang.” Mereka pun merenung. Yume berusaha mendorong dinding, atau menggesernya ke arah samping tapi tidak bergerak. Entah apa karena ia mendorong dan menggesernya tidak menggunakan tenaga atau memang bukan itu cara membukanya. Max menatap Patung Naga yang mengeluarkan air mancur. Max menatap kolam kecil terbuat dari batu. Air itu jatuh ke kolam itu. Max melihat dua buah kelereng merah di kolam itu. Lalu menatap naga itu. Pandangannya beralih ke mata naga itu. Tempat untuk meletakkan mata naga itu kosong.

Max pun segera mengambil kelereng itu dan memasukannya ke dalam mata naga tersebut. Seketika mata itu bersinar terang. Memantulkan cahaya ke dalam kolam. Batu di kolam itu pun ikut bercahaya. Lalu cahaya itu memantul ke dinding kayu. Dan menyinari sebuuah tulisan selamat datang tadi. Pintu pun terbuka. Menampilkan goa yang sangat gelap. Mereka berlima terpana. Maksudku dua orang lainnya adalah para shaolin yang semenjak tadi diam saja. Mereka memakai baju berwarna orange.

Max dan Yume menyalahlan senter. Tetua Shaolin menyalakan api lalu membuat dua buah obor dari kayu dan kain. Kedua shaolin itu pun memegang obor itu. Goa itu ternyata hanya memuat sebuah ruangan. Mungkin ada sebuah lorong kecil di ujung sana. Tapi lorong itu pastilah digunakan sebagai jalan menuju pertambangan pada jaman dahulu kala. Di goa itu ditemui berbagai macam barang kuno peninggalan sejarah. Di sana juga ada begitu banyak koin, patung budha dan lain-lainnya. Dan di tengah-tengah ruangan itu terdapat sebuah patung naga yang begitu besar. Tingginya dua meter. Mata naga itu masih kosong.

Max pun mengatakan. “Sepertinya kita harus mencari kedua mata naga ini lagi.” Yume pun menjawab “Tapi di mana?” Tetua itu memberikan sebuah petunjuk “Aku pernah membaca sebuah gulungan kuno. Di situ tertulis mata naga terpisah dan tertinggal di tempat ia dilahirkan.” Tetua menatap naga itu. “Naga ini adalah naga sungai. Kita harus mencari mata naga ini di sungai yang ada di dekat sini.” Mereka berjalan keluar goa dan mencari sungai. Max pun menajamkan kedua telinganya. “Aku mendengar suara air. Dan suara tawa.” Mereka menuju sungai. Tapi Yume melihat ada dua orang wanita sedang mandi. Yang satu sedang hamil.

Yume pun menyuruh keempat laki-laki itu diam ditempat dan tidak boleh kemana-mana. Yume berjanji ia akan mengambil kedua mata naga itu. Yume berlari lalu menuju ke arah sungai. Kedua perempuan itu kaget. Lalu berusaha menutupi kepolosan tubuhnya. Lalu mereka mengambil baju mereka dan memakainya di sungai itu. Yume mencoba tersenyum kepada mereka. Lalu mulai mencari. Kedua perempuan itu bertanya pada Yume sedang mencari apa. Yume tidak mengeri bahasa mereka. Lalu Yume berusaha menggunakan bahasa Inggris. Wanita yang sedang hamil tidak mengerti. Tapi wanita di sebelahnya mengerti. Lalu menanyakan Yume sedang mencari apa dengan menggunakan bahasa inggris. Yume pun sedang menjawab sedang mencari mata naga. Perempuan muda itu terkejut. Lalu ia berbicaara pada wanita yang sedang hamil dengan menggunakan bahasa mandarin. Wanita yang hamil juga ikut terkejut.

Lalu menatap Yume. Dan akhirnya mereka berdua memutuskan ikut mencari. Dan menemukannya di balik air terjun. Lalu Yume berterima kasih kepada kedua wanita itu. “Xie Xie.” Salah satu kosa kata dalam bahasa mandarin yang Yume tahu selain Ni hao ma dan wo ai ni.  Lalu Yume memberikan kedua bola kristal itu kepada Max dan tetua. Dan mereka pun kembali ke goa itu lalu Max dan Yume meletakan mata patung naga itu ketempatnya seperti semula. Sebuah cahaya keluar dari bola kristal itu lalu cahaya itu mengarah ke sebuah peti. Kelima orang itu menuju peti itu. Yume mengusap peti yang berdebu. Atas peti itu terbuat dari ukiran emas. Cahaya dari mata naga itu membuat ukiran peti tampak lebih berkilauan. Ketika bagian atas peti berkilauan. Dan cahaya mata naga mulai redup cahaya itu mengarah ke sebuah kunci peti. Dan peti pun sudah tidak terkunci lagi. Max membuka peti tersebut. Mereka melihat sebuah buah.

Tetua itu mengambil buah itu. Ia pun menerangkan. “Ini adalah buah Mahkota dewa yang bisa menyembuhkan segala penyakit. Saya memiliki firasat bahwa di perjalanan kalian kedepannya kalian akan membutuhkan buah ini.” Yume pun menerima buah itu. Ia mengangguk berterima kasih. Yume dan Max kembali ke tempat kuil shaolin untuk mengambil tas mereka dan berpamitan. Tapi di sana tetua itu mengajak Yume dan Max makan terlebih dahulu. Max pun memakan bubur kacang dengan udang dan kacang kapri. Dan Yume mengambil nasi,sayuran, ikan, bakso berkuah dan roti kukus. Setelah makan Max dan Yume menjalankan sholat dzuhur. Dan mereka pun berpamitan. Para biksu itu pun memberikan Max dan Yume bekal makanan. Setelah keluar dari kuil itu mereka berjalan terus menuju kerajaan utara.

Perjalan itu mereka tempuh berjam-jam. Hingga waktu ashar pun datang. Mereka beristirahat sebentar dan melakukan sholat ashar. Lalu mereka melanjutkan perjalan. Hingga akhirnya mereka menemukan sebuah kota dan kerajaan. Yume menghapus peluh di keningnya. Akhirnya mereka sampai. Yume pun merasa lega. Mereka masuk ke dalam kota tersebut. Tapi para pengawal menghalangi mereka menanyakan maksud kedatangan Max dan Yume. Max pun menjawab ia ingin melakukan ujian negara dan berharap dirinya bisa lulus dari ujian tersebut. Sehingga bisa memiliki jabatan di dalam istana dan bisa menghidupi dirinya dan istrinya. Sang pengawal pun mengizinkan. Setelah masuk ke dalam kota. Yume melirik Max “Waw kau berbakat sekali untuk berbohong. Sampai-sampai mungkin aku akan mempercayai kebohonganmu itu.” Max merasa tidak enak lalu berusaha membela diri “Agar kita bisa masuk. Kalau tidak mengatakan hal itu aku tidak tahu sebaiknya alasan apa yang harus kita buat.” Max pun sadar apapaun alasannya kebohongan tetaplah kebohongan. Dan kebohongan pasti akan mengundang datangnya dosa. Max dan Yume memasuki kedai mie ramen. Dari kejauhan mereka telah mencium aroma ini. Aroma ini sungguh menyiksa keinginan Yume dan Max. Akhirnya Max memutuskan untuk makan terlebih dahulu. Yume pun sependapat, mereka pun memesan mie ramen.

Setelah makan Yume dan Max melanjutkan perjalanan. Dan kaki mereka membawa mereka ke sebuah alun-alun kota.  Alun-alun kota begitu ramai dan padat dipenuhi orang-orang.  Max dan Yume ikut berkumpul di sana dan mendengarkan sebuah sayembara. “Wahai penduduk kerajaan Utara. Saat ini Raja kalian sedang menderita penyakit aneh. Segala cara sudah dilakukan agar Baginda Baja sembuh. Tapi beliau belum sembuh juga. Segala obat pun sudah diracik oleh seluruh Tabib Istana. Tapi Sang Baginda Raja masih terbaring di kamarnya. Saya selaku Penasehat Raja ingin memberikan sebuah sayembara. Agar siapapun yang bisa membuat Baginda Raja sembuh dia akan kami berikan sebuah hadiah.”

Max menatap Yume. Mereka saling bertatapan lalu saling mengangguk. Mereka pun menuju sebuah Istana Raja. Istana itu begitu besar dan megah. Diluar istana ada sebuah sungai yang berisi buaya. Sang Pengawal pun datang dan menanyakan maksud kedatangan Max dan Yume. Yume menatap Max berharap Max tidak berbohong lagi. Max pun menjawab “Kami datang untuk memberikan obat kepada Yang Mulia Raja.” Sang pengawalpun mengangguk mempersilahkan mereka masuk. Pintu gerbang terbuka, jembatan pun turun. Yume menatap besarnya kastil dan benteng tersebut lalu masuk ke dalam kerajaan.

Istana kerajaan itu begitu luas dan indah dipenuhi berbagai macam corak bunga. Kupu-kupu pun hinggap ke setiap bunga yang ia lalui. Yume menatap kupu-kupu itu seperti dirinya dan Max. Selalu hinggap ke setiap tempat yang mereka lalui. Burung pun berkicau merdu. Taman-taman tersebut menampilkan sebuah labirin. Sebuah semak dibangun tinggi menjulang membentuk dinding. Mereka berjalan lurus dan menemukan persimpangan. Yume menoleh ke belakang tapi tidak ada pengawal yang membimbing. Jadi mereka harus melewati ini semua berdua. Yume memeluk lengan Max. Mereka memilih untuk berbelok kee kanan. Dan mereka pun menemukan tiga persimpangan jalan. Max memilih jalan lurus Yume pun mengikuti. Setelah itu ada lima cabang. Max memilih yang tengah. Tapi jalan tersebut buntu. Max dan Yume kembali ke jalan tadi lalu memilih cabang di sebelah kiri mereka. Lalu mereka menemukan sebuah Piala emas. Di dalamnya ada sebuah hati yang tenggelam. Mereka saling menatap dan mengangguk. Hati itu mereka ambil dengan tangan Max dan Yume.

Mereka menyentuh hati itu lalu berubah menjadi seorang bayi yang menangis dan hanya memakai popok. Di belakang bayi itu terdapat sayap. Tiba-tiba di balik dinding yang berdaun hijau muncul sebuah makhluk berkulit merah, memiliki taring tajam dan memiliki cula di kepalanya tingginya dua meter. Dan makhluk itu memiliki satu mata. Yume merengkuh bayi itu. Makhluk itu tertawa. Matanya merah. “Dasar anak manusia yang dipenuhi hawa nafsu. Tahukah apa kesalahan kalian.” Yume dan Max tak sanggup menggeleng. Makhluk itupun menjawab pertanyaannya sendiri “Kalian telah mengambil sesuatu yang bukan milik kalian. Tapi aku menjadi senang. Sekarang karena kalian melakukan sebuah kesalahan yang membuatku senang kalian harus ikut ke tempatku.” Yume dan Max pun berlari. Mereka terpisah, berlari ke arah yang berlawanan. Yume melihat kesekeliling ia sadar. Max tidak ada. Dan ada sesosok bayangan mendekat. Yume merapatkan dirinya ke dinding tumbuhan itu berharap tumbuhan itu dapat menyembunyikannya beserta bayi itu. Max merasakan sesuatu yang panas di dadanya. Ia memegang dadanya dan menemukan sebuah cincin yang diberikan Max. Yang sekarang telah ia kalungkan. Ia memegang cincin itu. Tulisan di cincin itu bersinar.

Tapi Yume tidak sanggup membacanya. Dinding tumbuhan iut pun memeluk Yume dan bayi yang tertidur itu. Sosok makhluk itu datang dan berjalan di lorong itu. Yume melihatnya. Kelopak mata Yume membuka lebar dan pupilnya mengecil. Yume ketakutan setengah mati. Ia menahan nafas. Ia berdoa semoga sang bayi tidak menangis. Makhluk itu pergi menjauh.

Sementara itu Max yang sadar bahwa Yume tidak berada dibelakangnya pun menjadi khawatir. Ia pun berbisik “Yume, di manakah dirimu, sayang?” Tapi Yume tidak mendengarnya. Makhluk itu pun menemukan Max. Keringat Max pun terjatuh dari keningnya. Ia mengambil pedang cahayanya. Dan menyorongkan ke arah makhluk itu. Lalu mereka pun duel. Makhluk itu mengeluarkan api. Max menghindar. Api tersebutpun membakar dinding tumbuhan dan membuat labirin itu terbakar. Max berlari mendekat, meloncat dan menebas Makhluk itu. Kepala makhluk itu copot. Tapi makhluk itu masih bisa berjalan.

Keringat Max kembali turun. Tangannya basah karena keringat. Membuat tangannya menjadi licin. Tapi ia berusaha memegang pedang itu dengan kencang. Max pun memotong kedua kaki makhluk tersebut. Dan makhluk itu meloncat ke tubuh Max. Membuat pedang itu terjatuh. Makhluk itu mencekek Max. Max berusaha mengambil pedangnya. Cekekan itu semakin kencang membuat wajah Max berubah biru. Max masih berusaha meraih pedang itu. Tapi tangannya menjadi keram. Ia sadar salah satu pembuluh darahnya berada di tempat yang bukan semestinya ia berada. Max menahan rasa sakit pada tangannya. Ia hampir berputus asa. Matanya buram, dan gelap. Lalu ia teringat wajah Yume. Ia pun terbangun dan segera mengambil pedang cahaya itu tidak peduli jika tangannya seperti ingin putus.

Cekekan makhluk itu semakin mengencang. Pembuluh darah Max bagaikan ingin terputus. Max berusaha bernafas. Tapi tidak bisa. Akhirnya Max bisa mengambil pedang dan dalam hitungan detik. Max menusuk jantung makhluk itu. Pedang itu berkilat. Makhluk itu teriak, dan menghilang bagaikan asap. Max memegang lehernya yang sakit. Lalu berusaha berdiri. Dan berteriak “Yume dimanakah kau?” Di tempat yang berbeda api telah melanda seluruh dinding di tumbuhan. Yume menatap api itu. Lalu berusaha mengeluarkan dirinya. Ia begitu panik. Ia meronta-ronta. Tapi rontaanya hanya mebuat dinding itu lebih kencang memelux Yume. Api menyambar dinding itu dengan lahap.

Bayi itu merasa kepanasan. Dan terbangun ia menatap api yang hampir melahap dirinya dan Yume. Lalu tangannya bergerak ke arah api dan meniupnya. Dirinya dan diri Yume pun terlontar dari dinding tumbuhan. Yume merasa bersyukur telah menggendong sang bayi. Yume pun mencari Max dan mendengar suara Max. Yume tersenyum lalu berteriak “Max.” Yume berlari dan menemukan Max. Max menatap Yume ia pun berlari ingin memeluk Yume. Tapi tiba-tiba tumbuhan yang terbakar itu terjatuh ke jalan itu. Memisahkan Max dan Yume. Yume kembali bersedih hati. Ia pun ke belakang mencari jalan lain. Tapi tumbuhan dibelakangnya jatuh. Yume diselimuti api. Tumbuhan disebelahnya pun akan jatuh. Yume memejamkan mata. Dan bayi itu memegang tumbuhan yang terbakar api itu. Rambutnya yang lebat tertiup angin. Matanya tajam menatap sang pohon. Yume terpesona oleh ketampanan anak bayi itu.

Lalu ia merasa seperti seorang pedophilia. Ia pun menghapus pikirannya dan berteriak memanggil Max. “Max aku terkurung oleh tanaman yang terbakar ini. Tolonglah aku.” Max pun berusaha menebas tumbuhan itu dan ia menemukan diri Yume yang sedang memeluk mesra anak bayi itu. Max sedikit cemburu. Lalu ia pun ikut memeluk Yume dan bayi itu. Setelah itu mereka pun masuk ke dalam istana. Labirin itu dalam sekejap hancur menyisakan begitu banyak abu. Pelayan istana pun membersihkan abu-abu itu.

Max dan Yume dibimbing oleh seorang pengawal untuk masuk ke dalam kamar kaisar. Pengawalitu melakukan ini agar berharap Max dan Yume tidak melakukan perusakan seperti itu lagi. Max pun menyadari sebelum Yume jatuh cinta kepada bayi itu ia pun segera mengambil bayi itu dan menggendongnya. Bayi itu tertidur dalam gendongan Max. Tangan bayi itu masuk ke dalam mulut dan membuat air liur itu keluar dan menetes ke bahu Max. Yume pun melepaskan tangan kecil itu dari mulut sang bayi lalu menghapus air liur sang bayi di daerah mulutnya dan tangannya. Bayi itu tertidur dan terlelap. Yume memeluk lengan Max yang satunya. “Max kita belum memberikan bayi ini nama.” Mata Max pun menyipit dan menggeleng. “Sebaiknya tidak usah, karena bayi ini akan kita kembalikan ke baginda raja. Dan ia akan menjadi putra mahkota.” Yume pun menjadi murung. Max menatapnya. “Tapi karena kita yang menemukan bayi ini. Itu artinya kita berhak memberikan nama.” Expresi Yume langsung berubah bahagia. “Kalau begitu namanya Himitsu saja karena sepertinya dia begitu misterus.” Yume pun mencubit gemas Himitsu dan ingin menciumnya.

Tapi Max menjauhkannya. “Tidak boleh, kau tidak boleh menyentuhnya.Wee,,,” Max pun berlari. Yume mengejar. “Dasar kau, aku kan juga yang menemukannya.” Sang pelngawal berdeham “Tuan dan Nyonya, tolong jangan berlarian di koridor.” Max dan Yume pun kembali menjaga sikap mereka. Koridor ini beralaskan karpet merah dengan ukiran emas. Guci-guci terbuat dari porselen menghiasi koridor. Lukisan-lukisan besar terpampang di dinding. Mereka adalah raja dan ratu dari generasi terdahulu sampai sekarang. Bahkan ada foto keluarga juga. Anak-anaknya ternyata banyak juga. Keluarga kerajaan ternyata produktif juga.

Pelayan itu membungkuk dan mempersilahkan masuk Max dan Yume ke dalam lift. Lalu mereka keluar dan menuju kamar raja. Di dalamnya ada seorang ratu yang sedang menangis. Max dan Yume pun berlutut. Max pun berbicara “ Yang Mulia Baginda Ratu. Maksud kedatangan kami adalah kami ingin memberikan buah mahkota dewa ini untuk diberikan kepada Yang Mulia Baginda Raja, agar beliau bisa memakannya dan kembali sehat seperti sedia kala.” Ratu itu pun berbicara “Semoga buah itu bisa menyembuhkan suamiku. Karena sudah banyak orang yang berdatangan ke sini tapi tidak bisa mengobati sang raja. Bahkan ada diantara mereka yang tidak bisa melewati labirin di taman. Jika mereka tidak bisa menolong dirinya sendiri bagaimana ia bisa menolong suamiku.” Max mengangguk “Anda benar yang mulia.” Yume pun membuka tasnya dan memberikan buah itu kepada sang ratu. Sang ratu pun membangunkan raja. Dan memintanya untuk memakan buah itu.

Tatapan sang raja begitu kosong. Sang ratu mendekatkan buah itu kepada raja. Sang raja menggigitnya perlahan. Mengunyahnya menjadi butiran-butiran kecil dan menelannya. Sang ratu memberikan raja minuman. Sang raja pun tertidur kembali dan matanya terpejam. Tangannya mendekap tangan yang lainnya. Mereka semua terdiam membisu memperhatikan reaksi sang raja yang terlihat bagaikan orang mati. Sang ratu murka. “Kalian membunuh suamiku. Pergi kalian menuju penjara. Para prajurit pun berdatangan lalu meringkus mereka bertiga. Membawa mereka turun dan keluar istana. Bahkan membawa mereka keluar dari kota tersebut dengan kereta kuda. Dan mereka di bawa ke penjara bridewell.

Dan di sanalah mereka sekarang. Yume dan Max melakukan sholat isya yang di jam`ak dengan sholat maghrib karena tadi tidak sempat. Bayi itu pun telah tertidur pulas. Max menatap bayi itu dan menggendongnya. Yume menatap mereka berdua. Max tersenyum “Bahkan bayi ini belum aku adzankan.” Lalu Max pun mengadzani bayi itu. Yume menatap bulan dari jendela penjara. Lalu mengeluarkan peta. Max ikut menatap peta tersebut. “Kita harus menuju hutan Fenwick besok.” Yume membaringkan kepalanya ke dada Max yang bidang berbagi tempat dengan Himitsu. Max pun menanggapi. “Jika besok kita tidak dikeluarkan kita harus menyusun rencana buat melarikan diri.” Yume pun berguman “Tahukah kau Max. Jika kita berlama-lama di sini. Kita akan diberi cap dengan huruf V yang berarti vagabond (berandalan).” Max mengusap kening Yume. “Itu tidak akan terjadi pada kita.” Yume memeluk Max dengan erat di bawah sinar rembulan. Ia ingin memeluknya selamanya tapi tampaknya tidak mungkin karena Max pasti akan merasa pegal harus duduk terus seperti seorang pertapa terlebih ia harus menyangga beban dirinya dan Himitsu. Belum lagi jika kakinya kesemutan dan ingin di selonjorkan. Tapi Yume pun bersyukur setidaknya mereka bersama-sama.

Yume pun segera ke tempat tidur dan tertidur. Max dan Himitsu juga ke tempat tidur. Max pun memikirkan bagaimana cara mereka untuk kabur. Penjara ini begitu tinggi dengan tembok yang begitu tebal. Di luar penjara pun hanya ada jurang. Lantai ruangan ini dari keramik. Ruangan ini kira-kira berada di lantai tujuh. Max pun berfikir mungkin nanti setelah acara olahraga dan acara ketrampilan Max, Yume dan Himitsu bisa menyelundupkan diri keluar aula dan menuju ke ruangan paling belakang. Dan mungkin di sana ada jalan keluar. Walau mungkin setelah mereka keluar. Mereka hanya akan disambut dengan deru angin dan jurang yang begitu dalam.

Max memejamkan mata dan tertidur. Esok shubuhnya mereka sholat shubuh. Lalu diberi makanan roti yang keras dan sup kentang. Yume pun menyusui Himitsu. Setelah selesai ia pun mulai makan. Sang penjaga datang “Kalian dibebaskan. Karena sekarang sang raja sudah sembuh. Dan raja menghadiahkan anak kecil itu.” Mereka pun dibawa keluar penjara dan berjalan menuju hutan fenwick. Max, Yume dan Himitsu berhenti di sebuah danau. Max mulai memancing. Yume dan Himitsu mengumpulkan ranting dan buah-buahan. Lalu membuat api unggun. Karena menunggu Max memancing begitu lama. Yume dan Himitsu pun berenang. Max juga membuka baju dan celananya untuk berenang. Max pun mengajarkan Himitsu untuk berenang. Yume mencucu rambutnya, kakinya yang kotor dan wajahnya. Ia pun mengamati batu sungai, dan menatap ikan yang lewat. Ia berusaha menangkap tapi begitu sulit. Ia pun menuju air terjun dan duduk bertapa di situ.

Max menatap yume. Ia pun ikut bertapa di situ dengan Himitsu dipangkuannya. Tapi deru air yang berjatuhan dan begitu banyak pun. Seperti memukul-mukul Himitsu. Himitsu menangis. Max pun akhirnya menyelesaikan acara mandi terhembus. Akhirnya karena angin berhembus begitu kencang dan dingin. Yume pun ikut mengakhiri acara mandi tersebut. Mereka handukan dan memakai baju. Ikan yang ada dijaring mulai banyak. Max mengambil ikan-ikan itu dan memulai membakarnya.

Karena tidak ada baju anak-anak. Yume pun memakaikan Himitsu baju Max. Yume mengambil kecap dari tasnya. Lalu ia mengambil botol air limun. Mereka pun makan dan minum. Lalu Yume mendengar suara. Max juga. Lalu Max berdiri. Dan melihat di balik semak ada seorang bapak-bapak yang memiliki jenggot yang lebat. Tapi bapak-bapak itu hanya setinggi pingganya. Bapak-bapak itu sedang menangkap kelinci. Ia mencium aroma wangi ikan bakar. Lalu Max mengajaknya bergabung.

Kurcaci itu juga membakar kelincinya dan membagikan pada Yume dan Max. Mereka makan dengan nikmat. Kurcaci itu memperkenalkan diri. Namanya adalah denouement. Kurcaci itu menceritakan akan namanya yang begitu filosofis. Ia bercerita seperti ini “Denouement berasal dari bahasa perancis, kata yang digunakan untuk mendeskripsikan tindakan membuka ikatan. Dan kata ini juga merujuk pada penyingkapan kisah yang ,embingungkan atau misterius. Denouement adalah momen ketika semua benang kusut diluruskan dan segala hal dibeberkan dengan jelas agar dapat dilihat seluruh dunia. Namun denoument seharusnya jangan disamakan dengan akhir cerita. Seperti denoument kisah “Putri Salju” misalnya, terjadi pada saat putri salju menikah dengan pangeran tampan dan bahagia untuk selama-lamanya. Namun akhir kisah “Putri Saju” terjadi bertahun-tahun berikutnya, ketika kecelakaan mengendarai kuda menyebabkan Putri Salju demam dan tidak bisa pulih.  

Setelah makan Yume, Max dan Himitsu diundang ke rumah Denouement. Rumah itu berada di dalam pohon yang begitu besar. Diatas sebuah pintu lebih tepatnya agak jauhan lagi terdapat sebuah jendela. Mereka bertiga masuk. Rumahnya agak begitu kecil seperti rumah mainan. Max, Yume dan Himitsu duduk dikursi kecil. Yume berdua semoga kursi itu tidak patah. Denouement mempersiapkan cangkir, alas cangkir dan teko yang sudah terisi teh. Dan ia pun menyediakan biskuit dan kue kering. Denouement menuangkan teh itu pada Yume, Max dan Himitsu juga dikasih. Max mengambilkan kue untuk Himitsu. Himitsu menyelupkan kuenya ke dalam teh dan memakan kuenya. Max merasa malu atas perbuatan Himitsu. Tapi Yume meredakan kemarahannya. “Dia hanyalah seorang bayi.”

Istri Denouement membawa kue tart. Lalu mereka memakan kue black forest itu. Denouement menanyakan ingin kemanakah mereka pergi. Max pun menceritakan perjalanannya.  Dan menyuruh Yume untuk melihat tempat mana lagi yang harus mereka datangi.Yume mengatakan “Kita akan menuju Negri Elyon.” Istri Denouement pun mengatakan agar mereka berhati-hati. “Disana penuh kabut. Kalian mungkin akan tersasar bahkan mungkin akan terpisah. Kalian tidak akan melihat jalanan kalian, dan hal ini bisa mengakibatkan kalian terjatuh ke sebuah lubang atau terpeleset.”

Denouement menambahkan “Alexa Daley pernah menceritakan padaku tentang Beyond the Valley of Thorns ia mengatakan bahwa disetiap pertemuan antara lautan dan daratan, ada tebing-tebing bebatuan yang gelap dan tajam. Kalau kau melihat dari tepi tebing, ada kabut beberapa kaki di bawah; begitu tebal sehingga air tak terlihat. Sejauh mata memandang yang terlihat hanyala kabut putih menggembung, seolah-olah kita sedang bergelantungan di antara mega, dan melangkah dari tepian akan membuat kita terjatuh berhari-hari. Jika bukan karena suara debur ombak pada bebatuan di bawah, orang mungkin menyangka negri kami adalah sebuah pulau di angkasa luas.” Yume pun menyela “Itu artinya tempat itu lautan bukan daratan? Lalu kenapa Mrs. Denoement mengatakan bahwa jalanan itu licin dan berlubang?” Mrs Denoement tertawa. “Oh maafkan aku sayang, aku jarang keluar rumah. Tapi di sana benar-benar berkabut tebal kok. Aku hanya menyarankan agar kalian tidak terpisah.” 

Denoement yang suka bercerita melanjutkan kembali sebuah kisah baru sembari memegang sebuah buku“Dulu ada penjelajah spanyol di abad keenam belas bernama Cabeza de Vaca. Dia adalah penjelajah yang meninggalkan rumahnya di Kerajaan Utara pada masa kekuasaan dinasti Grindall yang ketujuh. Setelah mengarungi badai di dekat Gunung Laythen, dia kembali dan menuju jurang Besar. Di sana,selama seminggu, dia terperangkap di dalam goa dengan sekawanan serigala yang gigih menantinya keluar. Ketika akhirnya kawanan serigala itu mengalah, Cabeza yang lapar dan lelah melanjutkan perjalanannya ke Padang licik.

Cabeza memakan apa yang bisa ia temukan dan berkelana menembus Padang Licik yang penuh keanehan(Keanehan ini berjumlah banyak sekali), mencari cara menembus kabut dan memasuki Kota Kesepuluh yang menjadi mitos itu. Tetapi, setiap kali dia mencoba memasuki kabut, kabut itu menutupi segala sesuatu disekelilingnya sehingga dia hampir tak bisa melihat tangannya sendiri di depan wajahnya. Demikianlah, setiap kali dia berkelana berhari-hari diselimuti kabut tempat itu, dan dia selalu keluar di dekat tempat yang sama ketika dia masuk.

Pada akhirnya, dia menyerah dalam usahanya mencari Kota Kesepuluh dan pergi ke Gunung Norwood. Di gunung itu, dia menuliskan perjalanannya. Buku ini adalah cerita petualangan Cabeza de Vaca di Jurang Besar, Padang Licik, dan kabut yang mengambang sebelum Kota Kesepulu.” Buku itu kecil, bersampul merah, dengan huruf putif di punggung buku. Judulnya Petualangan di Perbatasan Kota Kesepuluh.   

Yume menarik nafas. “Dari kisah yang anda bacakan. Sepertinya anda berusaha menakut-nakuti kami. Tapi walaupun begitu kami akan tetap pergi ke sana. Karena di sana mungkin adalah Denoement dari petualangan ini.” Denoement tersenyum karena namanya disebut-sebut. Lalu ia berbicara “Aku akan membantu kalian menyebrangi Negeri Elyon. Kita akan melewati jalur laut saja.” Alis Yume mengernyit. “Jalur laut?berarti ada jalur darat?” Denoement tersenyum dan mengangguk. “Benar, tapi pasti jika melewati jalur darat kita akan terpisah. Jadi, sebaiknya kita lewat jalur laut. Temanku memiliki sebuah kapal. Kita kan meminjam kapal itu.”

Mrs. Denoement teriak histeris. “Tunggu dulu. Kau ingin pergi?Apa aku tidak salah dengar? Kau belum pernah ke sana. Bagaimana jika kau kenapa-napa? Kau ingin meninggalkan kami begitu saja? Bahkan aku yakin kau tidak mengetahui seluk beluk Negeri Elyon seperti apa. Hentikan kebodohan ini suamiku. Aku tidak ingin kehilangan kau? Dengan kau mengantarkan mereka sama saja seperti orang buta yang mengantarkan orang buta. Jadi, aku begitu ragu kalian bisa mencapai Negeri Kesepuluh.” Denoement mencium istrinya.”Kau harus yakin bahwa aku bisa mengantarkan mereka.” Yume dan Max meminta izin untuk sholat dzuhur. Setelah selesai kurcaci itu pun bertanya mereka sedang apa. Max pun menjelaskan bahwa mereka telah melakukan ritual ibadah menyembah Allah.

Denoement tertegun lalu berbicara. “Tahukah kalian? Elyon itu artinya apa?” Max dan Yume menggeleng kecuali Himitsu yang sejak tadi sibuk sendiri entah sedang apa. Max pun menjawab pertanyaan dirinya sendiri lagi. Elyon itu memiliki arti Tuhan Maha Tinggi.”Max dan Yume mengangguk serta setuju Tuhan memang Maha Tinggi.Denoement mengajak Yume, Max dan Himitsu ke rumah temannya yang seorang ilmuan. Temannya itu adalah seorang alkimia. Ia selalu tergila-gila ingin membuat emas dari barang lain. Tapi ia tidak menemukannya caranya.

Denoement mengetuk rumah yang berada di dalam pohon Ex. Denoement tersenyum bangga. “Ras kami tidak hanya seorang pemburu, dan penebang kayu serta pengrajin tapi ada juga tokoh ilmuan loh. Pintu terbuka teman Denoement memakai kacamata tebal. Rambutnya berantakan tidak pernah disisir. Mungkin ia jarang memperhatikan penamilannya. Karena perhatiaannya hanya tertuju kepada experimennya. Kurcaci ini juga memakai sarung tangan putih serta jas putih ia mempersilahkan mereka masuk.

Ruangan itu dipenuhi buku-buku tebal, sebagian buku-buku itu telah tua dan lecak karena sering dibaca. Mikroskop ada di meja itu yang mungkin saja sang ilmuan itu telah mengamati berbagai macam bakteri dan virus di mikroskop itu, atau mungkin berbagai macam tumbuhan telah di amati dengan teropong itu. Tabung reaksi berisi bermacam-macam larutan tersusun di rak tabung reaksi. Di dalam gelas ukur itu terdapat larutan yang jika kau mencium aromanya mungkin kamu merasa ingin muntah. Di meja sebelah ujung terdapat berbagai macam alat ukur, seperti mistar dan sahabat-sahabatnya. Fe dan Mg pun tidak luput ada di sana serta senyawa radio aktif pun ikut berkecimpung di sana. Bahkan di dekat jendela pun ada teleskop dan teropong. Di dinding terdapat rak buku yang sangat besar. Di depannya terdapat sebuah laptop. Ternyata ilmuan itu menuliskan hasil pengamatannya di situ untuk di buat journal atau mungkin akan dipublikasi di blogger. Kertas-kertas yang berisikan data-data berserakan di sana. Dan ada juga yang tersusun rapi di sebuah map. Di dinding dekat meja terdapat sebuah mading dan di mading itu terdiri berbagai macam proyek yang ingin dia buat  dan proyek yang telah ia selesaikan. Terdapat juga sebuah guntingan jurnal ilmiah yang telah dipublikasi, tampaknya ia begitu bangga dengan jurnalnya sehingga dipajang di sana. Mungkin itu adalah jurnal pertamanya sehingga di pajang dengan penuh bangga. Di dinding sebelahnya lagi terdapat banyak sertifikat salah satunya menyatakan bahwa dia pernah mendapatkan sebuah nobel.

Ternyata ia juga merancang struktur  pesawat serta kapal laut dan layar. Di dinding sebelahnya lagi ada berbagai macam kupu-kupu, dan bahkan kalelawar yang telah dikeringkan. Kalelawar itu ada yang mirip dengan peri. Melihat ruangan yang berantakan dan terdiri dari berbagai macam cabang IPA. Yume bisa menilai laki-laki yang memiliki sebuah kelainan pada kromosonnya ini adalah orang yang berkompeten dan berhasil dalam bidangnya. Walaupun mungkin suku atau ras yang biasa di panggil kaum kurcaci ini memiliki struktur kromoson yang berbeda dengan manusia pada normalnya yang mengakibatkan ukuran tubuh mereka tidak berkembang normal. Dan karena mereka menikah dengan wanita yang kromosonnya seperti ini. Maka gen mereka pun terwariskan kepada anak-anaknya. Dan begitu terus menerus sampai membuat sebuah klan seperti ini.

Bahkan diruangan ini juga terdapat banyak rangkain listrik. Denouement pun bercerita tentang tujuan pergi ke negeri Elyon. Dan ia meminta untuk diberikan sebuah penerangan agar  bisa melihat di dalam kabut, walaupun mungkin agak sulit. Ilmuan itu pun memberikan sesuatu pada mereka. Setelah itu Denouement mengajak ke rumah temennya yang lain lagi untuk meminjam kapal layar. Dan petualangan serta momen Denouement dalam arti sebenarnya dan kalimat kiasan pun segera di mulai.

 
Max dan Yume sadar pernikahan mereka, berjalan begitu sederhana dan sepi. Tidak ada hal yang menarik dalam pernikahannya. Akhirnya Max dan Yume saling menatap. Tatapan mereka mengartikan setidaknya sekarang mereka saling memiliki satu sama lain. Max dan Yume pun menyewa sebuah rumah. Yume menatap halaman rumah nya yang dipenuhi bunga yang indah. Ruang tamu yang hangat.

Yume juga menyadari ternyata di rumahnya ada sebuah ruang rahasia yang bisa mengantarkan mereka ke sebuah atap rumah mereka. Di atap ini Yume mengisinya dengan berbagai buku. Ia pun menatap ke luar jendela. Pemandangan terlihat begitu indah di atas ini. Rumah mereka berada di atas bukit. Ketika malam tiba. Dan jika mereka menatap ke luar jendela yang berada di atap rumah maka mereka bisa melihat ribuan lampu rumah di kota yang berada di lembah itu. Jika mereka menaikan kepala mereka beberapa derajat ke atas maka mereka akan melihat bulan dan ribuan bintang yang dengan setia menemani mereka.


        Max bekerja di sebuah perusahaan. Sedangkan Yume menjadi dosen Astronomi di sebuah universitas. Dan terkadang ia sering terlihat di sebuah obstervarium. Yume pun memutuskan membeli sebuah teropong bintang dan meletakan di atap agar dia bisa mengamati bintang dari rumahnya. Sehingga ketika malam tiba ia tidak perlu repot-repot ke observatorium serta meninggalkan suaminya. Yeah walaupun peralatan observatorium lebih canggih.

Dan ia bisa mengamati langit lebih leluasa sera lebih mendetail. Yume menatap rumahnya. Ia begitu sibuk sehingga tidak bisa mengurus rumahnya. Lagipula sebenarnya ia tidak bisa mengurus rumah. Karena ibunya tidak pernah mengajarinya mengurus rumah bahkan mungkin sejujurnya ibunya juga tidak bisa mengurus rumah. Akhirnya Yume pun mencari pembantu rumah tangga. Dan terpilihlah sebuah ibu-ibu berumur empat puluh tahun. Dan dia terlihat begitu cekatan dalam mengurus rumah. Terkadang Yume pun belajar darinya karena takut siapa tahu di saat lebaran tiba, ibu itu harus pergi meninggalkannya dengan segudang tugas ibu rumah tangga yang tidak bisa ia kerjakan.


        Yume pun menyisihkan waktunya untuk membaca novel dan menuliskan sebuah novel buatannya. Lalu ketika ia membuka laci meja kerjanya. Ia menemukan sebuah Journal. Darahnya berdesir. Jiwa petualangannya bergejolak. Max membuka pintu kamar. Yume terlihat begitu kaget. Max agak sedikit heran melihat rasa kaget Yume. "Apa kau belum terbiasa jika tiba-tiba suami mu datang ke kamar?" Pipi Yume pun bersemu merah "Maaf." Ia hanya berkata itu. Max melihat journal yang dipegang Yume. Max mendekat. "Apa itu?" Yume pun menatap mata Max "Sebuah Jounal."

Max mengangguk ia pun berbalik untuk meletakan jasnya di gantungan. "Terlihat begitu tua dan kusam." Yume mengangguk setuju. "Kau ingin membacanya Max?" Max pun membuka dasinya. "Aku lebih suka jika kau membacakannya untukku." Mata Max terpejam. Yume mendengus. "Bagus sekali. Kau kira aku sedang membacakan sebuah dongeng ha? Aku membaca dengan penuh imajinasi dan kau tertidur." Yume pun menuju tempat tidur dan mengelitiki Max agar ia tidak tidur.


         Max membela diri. "Aku akan mendengarkan mu. Aku tidak tertidur. Mataku hanya terpejam agar aku bisa lebih menghayati sebuah imajinasi yang akan dihadirkan oleh journal itu." Yume pun mengalah. "Aku akan membacakannya untukmu. Kau harus mendengarkannya karena setelah selesai aku akan meminta sebuah komentar darimu. Dan aku akan tidak akan memaafkanmu jika kau tertidur." Max mengangguk.

Yume pun membacakannya. Setelah selesai ia pun meminta komentar pada Max "Bagaimana menurutmu Max?" Max tidak bergeming. Wajah Yume mulai merah. Dan mengguncangkan bahu Max "Kau tertidur ya? Aku tidak akan pernah memaafkanmu." Max tertawa. "Aku tidak tertidur aku hanya ingin membuatmu kesel sebentar." Mereka pun tertawa. Dan Yume pun memukuli Max karena kesal. Lalu Max pun berkomentar dan menatap Yume. "Kau ingin mencarinya?" Yume mengangguk dan petualangan mereka pun segera di mulai.


        Mereka pun ke pohon besar itu. tengkorak laki-laki itu masih ada. Max menyingkirkan tengkorak itu lalu membuka makam itu. Tenkorak kakek buyutnya kakek laki-laki itu memegang pedang cahaya di dadanya. Max pun mengambil pedang cahaya itu. Dan Yume mengambil peta harta karun itu.

Yume mengernyit. Lalu menatap Max. “Tampaknya kita akan mengalami perjalanan yang agak panjang.” Max tersenyum. “Mungkin sebaiknya kita awali dengan sholat dzuhur. Waktu sholat dzuhur telah tiba.” Mereka pun segera mengambil air wudhu dari sungai. Lalu Max membuka peta dunianya. Menatap letak mekkah dan kota tempat mereka berada lalu dia mengambil kompas untuk mencari arah utara. Lalu ia pun mencocokkan keberadaan mekkah. Ternyata Mekkah masih berada di barat jika dari kota mereka berada. Dan Max serta Yume pun menghadap ke arah kiblat. Mereka pun sholat dengan khusyu.

Setelah sholat mereka memakan sedikit bekal mereka untuk mengisi tenaga karena mungkin perjalanan agak sedikit jauh. Yume dan Max memakan sandwich yang berisi daging asap dan air limun. Max pun memulai pembicaraan. “Ok. Yume sekarang kita akan kemana terlebih dahulu.” Yume pun membuka peta. Ia mengernyitkan alisnya. Kita harus ke Menara Hitam. Tapi aku tidak tahu tempat itu di mana.”

Max pun melongokan wajahnya ke peta. Ia menatapnya dengan seksama. Mencari setiap detail data tersebut. Lalu ia menunjuk ke sebuah tempat. ”Kita berada di pohon besar dekat goa. Bersyurlah kita karena kakek buyutnya kakek orang itu menggambar sebuah pohon besar di sini. Walaupun agak kecil.” Yume merenung. “Jika kita berada di tempat yang kau tunjuk, itu artinya kita harus berjalan ke arah timur laut. Kita harus ke arah jam satu.”

Lalu mereka pun berjalan menembus pepohonan. Lama-kelamaan pepohonan itu begitu banyak dan menutupi langit. Burung-burung menyanyikan sebuah lagu mereka. Jalanan agak sedikit becek dan menanjak sedikit. Baru lima belas menit mereka berjalan. Yume tampak begitu lelah dan mengeluarkan air mata. Kakinya begitu perih. Yume berada di belakang Max.

Yume pun hanya bisa menatap punggung Max karena jalanan hanya setapak. Yume meringis andai Max mengajaknya beristirahat sebentar. Tapi itu tidak mungkin karena mereka baru berjalan lima belas menit. Yume hampir menangis, karena kakinya terus tergores oleh onak duri dan tumbuhan yang berduri. Belum lagi jika ada lintah. Yume menatap tanah. Ia mengutuki dirinya sendiri karena begitu lemah. Max pun sejujurnya merasa cape karena sebenarnya ini adalah pengalaman pertama ia berpetualang.

Selama ini ia ingin berpetualang karena ia membaca buku-buku di toko kakenya yang bergenre petualangan itu sepertinya menyenangkan. Tapi ternyata tidak terlalu menyenangkan. Karena medan begitu sulit. Ia pun begitu cape dan kelelahan. Nafasnya ngos-ngosan rasanya begitu seperti ingin mati. Ternyata petualangan tidak semenyenangkan seperti yang ada di buku-buku itu. Di sini mereka harus berusaha bertahan hidup dengan cadangan makanan sedikit, belum mungkin ada hewan buas atau mungkin jangan-jangan ada orang yang jahat yang mengintai mereka dan bermaksud mencuri pedang cahaya dan peta harta karun ini.

Karena siapa tahu saja ada seseorang yang mengetahui perjalanan mereka walaupun Max dan Yume tidak mengatakan perjalanan ini kepada siapapun. Max dan Yume adalah tipe orang tertutup dan pendiam mereka hanya memiliki sedikit sahabat walaupun memiliki banyak kenalan yang akhirnya menjadi teman, tapi hanya sebatas teman bukan teman dekat. Sejujurnya mereka juga ingin memiliki banyak sahabat. Tapi sayang mereka telah menyadari bahwa mereka terlalu sibuk oleh pekerjaan mereka. Banyak hal yang harus dikerjakan demi mencapai impian-impian mereka. Sampai mereka melupakan cara berkomunikasi dan bersenang-senang dengan teman-temannya.

Sejujurnya Max berjalan sudah agak loyo bahkan hampir ingin menyentuh tanah. Tapi karena ia sadar dibelakangnya ada istrinya yang mungkin akan selalu menatap punggungnya agar mereka tidak berpisah, Max pun berusaha berjalan dengan berjalan tegak dan sok kuat. Jalanan sudah agak melebar tapi agak sedikit curam. Yume hampir sedikit ingin terjatuh tapi untunglah ia segera memegang lengan Max. Dan hal ini mengakibatkan tertinggalnya sebuah bekas cakaran. Max begitu kaget dan expresi wajahnya agak sedikit meringgis. Ia menatap kebelakang. Dan mendapati Yume hampir terjatuh. Ia pun membantu Yume berdiri. Dan mulai sekarang ia pun memegang tangan Yume. Agar Yume tidak dengan tiba-tiba terjatuh lagi dan mencakar lengannya lagi.

Akhirnya mereka pun sampai ke sebuah Menara Hitam. Mereka begitu terpana. Mata yume pun berkaca-kaca. “Huwaaa,,,,akhirnya sampai juga di sini. Hiks,,,” Max menatap Yume dan memeluknya agar Yume tidak menangis karena terharu. Mereka memasuki menara itu. Hanya sebuah ruangan melingkar kosong. Tapi ada sebuah tangga di sana. Tangga itu memutar sampai ke puncak menara. Yume menatap tangga yang begitu panjang itu. Ia pun memutuskan untuk menangis.

Max pun berusaha menyemangatinya. “Ayolah Yume,jangan cengeng begitu. Petualangan ini kan kau yang meminta. Ayo semangat. Anak tangga itu paling hanya berjumlah seratus buah. Kita pun pasti bisa menaklukannya.” Yume menatap Max tajam “Seratus anak tangga katamu?” Yume pun menggeleng “Tidak-tidak. Aku yakin tangga ini berjumlah seribu buah.”Yume terisak. Max tersenyum “Berapapun jumlahnya. Kita harus tetap ke atas sana untuk menemukan sebuah petunjuk. Ayo semangat.”

Mereka pun berjalan menaiki tangga. Di tengah perjalanan Yume menatap ke luar jendela. Di jendela itu ada sebuah pot. Seharusnya ada sebuah bunga segar di situ. Tapi sayang bunganya begitu layu. Bahkan sekarang sang bunga berwarna coklat kehitaman dan agak menyatu dengan sang tanah yang begitu keras dan kering karena tidak pernah disiram. Jendela dan tangga itu pun berdebu. Saat mereka menaiki tangga. Kayu di anak tangga itu berbunyi berdecit. Max berfikir mungkin kayu ini agak sedikit rapuh. Ia pun berusaha memegang tangan istrinya di belakang agar istrinya tidak jatuh. Tapi Max memegang tangan Yume yang salah sehingga Yume merasa aga sulit berjalan.

Yume pun terdiam menatap ke luar jendela. Max yang menyadari bahwa Yume tidak melanjutkan langkahnya akhirnya pun berbalik. Ia menatap arah yang dilihat Yume. Seekor burung camar baru saja menerkam seekor ikan yang dengan bodohnya meloncat ke atas laut untuk menantang sang camar. Kawanan camar lainnya lewat. Mereka begitu berisik. Max pun menarik lengan Yume. Yume melepaskan tangannya. Dan mengganti tangan yang satunya. Lalu mereka naik lagi.

Tiba-tiba jantung Max hampir copot. Karena anak tangga yang ia injak jatuh ke bawah. Keringat Max jatuh dari kening. Ia melihat ke bawah. Sudah begitu jauh. Jantungnya berdetak kencang. Ia bertanya-tanya bagaimana jika anak tangga di depan sana banyak yang rapuh. Keringat semakin banyak yang berjatuhan. Ia meneruskan langkahnya dan melewati anak tangga yang sudah tidak memiliki kayu. Ia memegang Yume dengan erat, agar Yume tidak terjatuh. Tapi sayangnya pegangan Max hanya membuat Yume merasa risih untuk melangkah.

Akhirnya mereka sampai ke ruangan paling atas. Dan melihat berbagai macam generator yang mengontrol cahaya mercu suar. Sekarang mercu suar itu telah rusak. Lunceng di mercu suar itu juga sudah berkarat karena terkena hujan dan badai. Max mencari-cari sebuah petunjuk. Ia akan merasa kesal jika ia sudah jauh-jauh ke sini. Tidak menghasilkan sebuah petunjuk apa pun.

“Veni Vidi Vici:Saya datang saya lihat dan saya menang.” Max berbalik menatap Yume. Max melihat Yume sedang menyorotka sebuah senter ke sebuah dinding. Max berjalan mendekat.  Apakah tulisan ini sebuah petunjuk? Lalu apa artinya? Max bertanya-tanya dalam hati. Keringat pun menetes dari keningnya.

Yume menatap suaminya. Ia melihat butiran keringat itu lalu mengelapnya. Max menatap Yume lalu ia pun mengelap bekas-bekas air mata Yume di dekat matanya. Lalu mereka saling mentap. Max pun menanyakan sesuatu yang ada dipikarannya. “Menurutmu apakah ini petunjuknya?”

Yume mengangkat bahu. “Entahlah. Tapi menurutku ini hanyalah sebuah motto hidup. Dan petunjuk itu masih ada di ruangan ini. Di sebuah tempat yang sulit kita temukan.” Lalu mereka mengitari ruangan itu dan mencari-cari petunjuk. Max pun berteriak gembira memecahkan kesunyian. “Eureka,,, aku menemukan petunjuknya.” Yume segera mendekat.

Max mengeluarkan sebuah botol yang ada di kolong kursi. Dan membuka botol itu lalu membaca kertas itu. Kertas itu berwarna coklat usang. Dan bertuliskan. Carilah secarik kertas dalam botol yang berada di kolam hitam kelam dan bacalah di atas api yang menyala.” Yume dan Max saling menatap lalu mengangguk. Lalu mereka pun terburu-buru menuju tangga. Max menatap tangga itu. Dan memegang tangan Yume hati-hati agar Yume tidak terjatuh tapi sayangnya dialah yang terpeleset dan hampir terjatuh. Yume berusaha mengangkat Max tapi tubuh Max begitu berat.

Wajah Yume berubah merah. Ia tidak kuat mengangkat Max. Max pun berusaha meraih papan kayu. Tapi papan kayu itu terjatuh dan kini Yume pun tidak berpijak pada sebuah papan kayu dan mereka berdua bergelantungan hanya mengandalkan sebuah tonggak batu yang berada di ujung tangga. Lengan Yume mengeluarkan Urat-urat karena tidak kuat mengangkat beban dirinya dan suaminya. Max berusaha memanjat ke tubuh Yume. Ia pun memeluk Yume dengan begitu erat lalu. Berusaha meraik tonggak batu itu. Sekarang Yume pun merosot dan melepaskan tonggak batu.

Max berusaha meraih tangan Yume. Lalu mengayunkan Yume agar Yume bisa meraih papan kayu di ujung sana. Tapi ia takut papan kayu itu terjatuh. Lalu ia pun mengarahkan Yume ke tonggak batu. Yume meraih tonggak batu. Dan mereka pun berusaha naik ke atas. Setelah sampai ke atas. Butiran keringat Max turun kembali karena ia menyadari. Dua buah anak tangga sudah tidak ada ia pun berhati-hati meloncat ke anak tangga ketiga lalu turun ke anak tangga keempat. Lalu mengulurkan tangan ke Yume agar Yume bisa meloncat anak tangga keempat. Max pun berdoa agar tidak terjatuh lagi. Jika mereka terjatuh. Maka tamatlah riwayat mereka. Mereka pun sampai ke lantai bawah. Dan keluar menara.

Mereka berdua menatap kolam besar yang begitu hitam pekat. Max membuka bajunya. Lalu menceburkan diri. Yume berteriak. “Max.” Tapi Max sudah menyelam. Tidak ada yang bisa dilakukan Yume kecuali menunggunya. Yume melihat seekor buaya. Ia pun menatap ngerih. Dan mengkhawatirkan Max. Max yang menyelam pun mencari sebuah botol. Kolam itu gelap dan dalam. Tapi Max berhasil melihat sebuah botol karena botol itu memantulkan cahaya matahari. Ia meraih botol itu, lalu melihat sebuah cincin.

Ia mengambil cincin itu. Lalu berusaha berenang ke atas. Tapi seperti ada yang menarik kakinya. Ia meronta-ronta. Ia hampir pingsan karena kehabisan nafas. Tapi ia mendengar teriakan Yume yang berteriak dengan suara panik ia pun terbangun. Lalu melihat seekor buaya mendekat dan ia begitu panik. Max kembali ke permukaan. Sebelum buaya itu berhasil menggigitnya. Ia terduduk di bebatuan menatap tajam ke arah kolam. Yume menyelimutinya dengan sebuah selimut tebal berharap Max tidak kedinginan. Tapi Yume pun mengkhawatirkan Max. Ia memeriksa tubuh Max untuk memastikan bahwa Max tidak terluka.

Lalu memluk Max. Dan menatap tatapan kosong Max. Yume memanggilnya. Dan jiwa Max pun kembali. Lalu memberikan sebuah cincin dan botol kepada Yume. Gigi Max bergemeretak kedinginan. Yume menatap cincin itu. Kuning keemasan bersinar. Lalu ia membuka botol itu. Kosong. Dan ia pun mengumpulkan api unggun dan menyalahkan api. Lalu berusaha membaca kertas itu di atas api. Berharap agar sebuah tulisan lekas muncul.

Kertas itu bertuliskan satu buah kata “Izzah” Yume pun mengartikan “Kemuliaan.” Lalu ia menatap Max yang masih kedinginan Max menatap ke sebuah batu yang tak bermakna. Cincin yang dipegang Yume terjatuh ke api. Yume pun panik. Lalu ia menggeser cincin itu dengan sebuah ranting kayu. Yume menatap cincin itu. Warnanya masih emas kemerhan berbaur kuning. Ia memegang cincin itu. Yume tidak merasakan panas tapi rasa dingin. Sebuah tulisan dari bagian dalam cincin itu menyala. “Peta Pendekar Shaolin.”

Yume menatap suaminya. Lalu tertawa dan mengakui. “Aku tidak mengerti semua ini. Bagaimana denganmu.” Suaminya masih menatap sebuah batu. “Buka peta itu. Kita harus melanjutkan perjalanan sebelum malam datang. Karena kita belum sholat ashar.” Yume pun membuka petanya. “Ada dua pilihan jalan. Lembah berduri dan gunung Himalaya? Mungkin sebaiknya kita memilih gunung Himalaya. Tapi bukankah itu gunung yang paling tinggi? Aku yakin aku tidak akan sanggup terlebih jika kita jalan kaki.” Yume cemberut. Ia menyalahkan dirinya sendiri. Kenapa dirinya begitu lemah bahkan walaupun ia belum mencobanya.

Max melangkah. “Kemana arah ke gunung itu?” Yume segera menjawab. “Jika kita menghadap utara maka kita harus berjalam ke arah jam dua.” Max membuka kompasnya. Lalu mereka melangkah dan berjalan. Tidak beberapa lama mereka menemukan sebuah sungai. “Kita berhenti di sini.” Max pun mengambil air wudhu. Setelah menentukan arah kiblat mereka pun sholat ashar. “Max aku tidak kuat. Jika melanjutkan perjalan dengan jalan kaki.” Max menatap Yume. Mungkin dari kedua biji matanya Max melihat penderitaan Yume. Akhirnya ia mengambil handphone nya yang beruntung ada sinyal di hutan seperti ini. Zaman sudah canggih. Di tempat terpelosok seperti ini pun sinyal berlimpah ruah. Dengan adanya teknologi sebenarnya sangat membantu mereka. Coba saja lihat menara tua yang seperti merana itu. Andai di bangun pada jaman sekarang mungkin sedah menggunakan lift. Atau kalau tidak setidaknya tangganya dibangun dengan batu sehingga tidak membahayakan umat manusia di zaman yang akan datang ketika ingin menaikinya. Mungkin dulu tangga itu begitu kuat. Tapi waktu dan cuaca telah melapukkan sang kayu sehingga sekarang mudah rapuh.

Yume pun bertanya pada Max. “Kau menelpon siapa?” Max hanya memberi isyarat agar mereka mencari sebuah padang rumput. Yume mengernyit. Akhirnya mereka pun melanjutkan perjalanan. Max memberi sebuah kode kepada seseorang melalui handphone nya. Dengan seketika sebuah helikopter mendarat. Deru angin pun menerbangkan serpihan benda kecil. Mereka berdua pun naik. Tapi mereka tidak diturunkan tepat di atas puncak. Jadi, mereka pun harus berjalan sepertiga perjalanan lagi. Mereka menemukan sebuah sungai, tebing. Dan akhirnya Yume meminta Max untuk beristirahat sebentar. Mereka pun memakan biskuit dan menatap matahari terbenam.

Yume menatap Max. “Aku tidak merasa kenyang jika hanya memakan biskuit. Terlebih kita telah berjalan jauh.” Max menatap Yume “Sabarlah kita akan menemukan sebuah desa. Dan di sana kita akan melepaskan semua peluh, dan rasa lelah kita. Dan kita pun bisa memakan banyak makanan.” Max menatap Yume yang tertunduk sedih “Itu masih lama kan?” Max menjawab “Sembentar lagi kok.” Yume masih tertunduk. Max pun mengalah “Ok, kita makan lagi, sekarang keluarkan bekal kita. Jika makanan itu berada dalam tas kelamaan pun hanya akan membuat makanan itu menjadi tidak segar.” Yume tersenyum. Lalu menggelar kain dan mengeluarkan keranjang makanan di dalamnya terdapat sebuah roti perancis dan sosis jerman serta keju swiss. Lalu mereka meminum lemon tea. Max menatap lemon tea tersebut. “Aku teringat keluargaku. Biasanya kami selalu minum lemon tea bersama-sama.” Yume menatap Max. Ia pun ikut sedih. Lalu membaringkan tubuhnya ke tubuh Max.

Setelah puas makan. Yume dan Max melanjutkan perjalanan. Dan menemukan sebuah desa bernama Kye Gompa. Max dan Yume menuju sebuah penginapan. Dan menginap di sana. Setelah sholat maghrib mereka makan syomay dan dim sum. Yume menaruh shanghai dumplings ke piringnya, serta ha gau. Setelah makan mereka mandi. Lalu sholat Isya dan mereka berdua pun tertidur. Ketika esok paginya. Setelah sholat shubuh mereka mandi berdua. Lalu mereka berpakaian dan menuju ruang makan. Yume memesan butiran mutiara beras lengket dan ikan kukus segar. Max pun memesan cap cay goreng serta makanan penutup. Pelayan itu pun memberikan bunga tiga warna sebagai hidangan penutup. Hidangan itu berupa kacang chestnut berwarna pucat,kurma merah, dan talas ungu yang dilapisi di atas nasi lengket yang manis, dikukus dalam sebuah mangkuk berbentuk bunga.

Yume dan Max melanjutkan perjalanan. Mereka menemukan sebuah kuil shaolin. Mereka pun masuk dan disambut dengan hangat. Yume menatap para saholin yang masih kecil. Bahkan ada yang masih berumur lima tahun. Yume pun berandai-andai dan berharap semoga ia memiliki anak setampan shaolin kecil itu. Tapi ia pun sadar mana mungkin ia memiliki anak berdarah cina padahal suaminya adalah Max. Yang noteband nya tidak memiliki darah cina sama sekali.

Yume pun menyeruput tehnya. Dan menatap kue di atas meja ada kue moho kue yang dibuat dengan dikukus, kue mun ci, kue ku ketan, dan choi pan. Kue ini mirip pangsit, bentuknya segitiga dan warnanya putih. Kulitnya lembut mulur dengan isian bengkuang yang diserut halus. Dengan bumbu bawang dan ebi rasanya krenyes gurih enak. Apalagi dimakan dengan cocolan sambal bawang putih yang wangi pedas menggigit. Penganan atau kue ini disebut dengan nama Choi Pan menurut istilah Tio Chiu atau Chai Kue, menurut istilah Hakka. Sekilas mirip dumpling alias pangsit. Disebut choipan karena kue ini isinya sayuran. Yang dipakai isian adalah bengkuang yang diserut halus atau pepaya muda. Dengan bumbu bawang putih dan ebi, isian ini jadi gurih enak. Sementara adonan kulitnya dibuat dari campuran tepung beras dan tepung kanji.


           Adonan putih ini kemudian digilas tipis, diisi adonan isi dan dilipat bentuk segitiga lalu dikukus. Karena itu rasanya lembut kenyal, mirip adonan dim sum umumnya. Sedangkan isiannya renyah gurih. Pasangan buat choipan ini adalah sambal yang dibuat dari cabai rawit merah dan bawang putih. Rasa pedas menggigit membuat choipan yang lembut makin enak.

Yume pun kembali memperhatikan Max dan tetua itu. Ternyata Max menceritakan perjalanan kami. Dan ia pun mengatakan bahwa ia memili sebuah petunjuk yang bertuliskan peta pendekar shaolin. Yume bersyukur mereka berdua bisa berbicara dengan menggunakan bahasa inggris. Kalau tidak bagaimana cara mereka berkomunikasi dan bisa saling memahami serta bisa saling mengerti.  Tetua pendekar shaolin ini pun menyuruh seseorang mengambilkan sebuah peta. Lalu tetua pendekar shaolin itu membuka peta tersebut.

 
Yume terbangun karena mendengar suara nenek dan kakek sedang membaca Al-Qur`an. Yume pun sholat shubuh. Setelah sholat shubuh semua orang yang ada di rumah itu kecuali Hanna membaca Al Qur`an. Lalu Yume membantu Mom dan nenek membuat sarapan pagi. Setelah itu Yume pun mandi lalu sarapan pagi bersama. Ia telah mengirim pesan kepada orang tuanya kemarin malam bahwa ia menginap di rumah sahabatnya sehingga orang tuanya tidak khawatir. Setelah sarapan Max pun mengajak Yume pergi ke taman.


           Mereka berlima pun ke taman. Max menggendong Daniel agar  tidak lari-larian. Dia begitu takut jika Daniel tertabrak mobil, ataupun motor. Dan Yume pun menggendong Hanna. Ia sudah mulai terbiasa merasakan berat badan Hanna. Seperti biasa Yume pun mendekap erat Hanna agar tidak kedinginan. Lalu menciumnya. Ia pun bersyukur bisa merasakan memiliki adik walau sebenarnya tidak memiliki seorang adik satupun.

              
           Alex yang merasa tidak tahu harus menggendong siapa. Akhirnya tangan kanannya memegang lengan Max yang sedang sibuk menggendong Daniel. Dan tangan kirinya memegang lengan Yume yang saat itu sedang sibuk mendekap Hanna. Akhirnya mereka sampai di taman. Bagi Yume ini semua bagaikan seperti olah raga mengangkat barbel. Karena pada akhirnya Yume pun berkeringat. Max pun menyuruh Alex membeli es. Daniel pun meronta turun. Dan dalam hitungan detik ia telah berlari menghilang.


           Max menatap keringat Yume "Cape ya? Sini Hanna aku gendong." Yume pun melepaskan Hanna. "Max,jangan bilang Daniel hilang lagi." Max tertawa. "Tenang dia tidak akan hilang lagi. Karena aku telah memberikannya alat sensor. Jadi jika dia telah menghilang dan pergi menjauh sepanjang sepuluh meter. Sensor itu akan berbunyi. Dan akan memberi Daniel petunjuk pulang. Atau sensor itu akan membunyikan alamat rumah kakek sehingga jika ada yang menemukan Daniel dan mendengar suara sensor itu, orang itu bisa mengantarkannya pulang."

Yume memiringkan kepalanya. Dan menatap Max. Ia mencari kejujuran di mata Max. Tapi hanya ada tawa. Yume pun tersenyum "Kau bohong ya? kata orang jika kita ingin menegetahui kadar kejujuran orang maka lihatlah matanya. Tapi bagiku. Aku tidak perlu cape - cape menatap matamu dan jiwaku tidak perlu repot-repot masuk ke tubuhmu melalui matamu. Karena aku sudah cukup melihat dan mendengar tawamu yang memeberi isyarat kau berbohong." Tawa Max semakin kencang. Yume menggelengkan kepala.



            "Bohong kok malah senang dasar kau." Yume menonjok bahu Max. Max pun berkata "Tapi andai ada alat sensor itu pasti menyenangkan. Kita tidak perlu cape-cape mencarinya." Yume pun lekas menjawab "Tapi bagaimana jika yang menemuka Daniel adalah orang jahat? bukankah dia bisa di culik?" Max terdiam. Hanna pun berbicara "Haus." Yume terkejut "Huwaaa,,,,Hanna berbicara. Aku baru pertama kali mendengar suaranya." Max menatap Yume dengan tatapan sinis "Kau ini. Kau kira adikku boneka sehingga tidak bisa berbicara hah? Lagipula bukankah waktu pertama kali ketemu, kau bermain dengan Hanna? Lalu apakah dia tidak berbicara sama sekali?"

Yume menggeleng. “Tidak dia hanya tertawa.” Max tersenyum "Adikku ini hanya akan berbicara kepada orang yang dia sukai." Yume merenggut. "Maksudmu apa? Maksudmu dia tidak menyukaiku hah?" Yume pun menatap Hanna "Hanna aku begitu menyukaimu. Dan aku berharap kau menyukaiku. Jadi, ayo berbicaralah padaku. Tunjukan pada Max bahwa kau menyukaiku" Hanna terdiam dan menatap Yume dengan tatapan polos. Max tertawa "Hahaha,,,,ditolak anak kecil. Memalukan." Yume berusaha membela diri "Dia masih terlalu kecil untuk mengerti maksudku." Max menjawab, dan tersenyum "Oh, yah? tapi dia mengerti maksudku." Yume cemberut "Coba buktikan." Max pun berbicara pada Hanna. "Hanna aku mencintaimu. Apakah kau mencintaiku?" Hanna mengagguk.


         Yume cemberut. Max tersenyum "Lihat Hanna mengangguk itu artinya ia mencintaiku juga. Dia membalas cintaku. Sepertinya dia tidak menyukaimu. Aku akan bertanya padanya. Hanna apakah kau menyukai wanita disebelahku ini?" Hanna menggeleng. Max merasa di atas awan "Lihat apa yang dia katakan." Yume hampir menangis, suaranya bergetar. " Tapi ia belum mengeluarkan suaranya." Max pun menyuruh Hanna bersuara. "Hanna ayo bicara sayang." Hanna pun berbicara “Gak cuka kak Yume. Tapi  Cinta. "

Dan Hanna pun meminta Yume memangkunya. Yume menangis. Dan tertawa lalu menatap Max dengan mata penuh linangan air mata "Kau dengar apa yang Hanna katakan Max? Cintaku tidak ditolaknya." Yume tersenyum bangga. Max pun berbicara santai " Kau tahu. Hanna berbicara seperti itu karena ia melihatmu ingin menangis." Yume menatap Max kecut. "Setidaknya Hanna mengasihaniku." Max tertawa. "Seharusnya kau malu Yume. Haha,,,meminta belas kasihan pada anak kecil. Memalukan." Yume menatap Max tajam lalu pergi.



          Max pun langsung terbangun dari tempat duduknya "Kau ingin kemana? kau marah yah? maafkan aku. Aku tidak bermaksud sekejam itu untuk menyakiti hatimu." Yume tertawa. "Aku tidak marah padamu. Aku hanya ingin mencari Daniel dan Alex. Mereka sudah terlalu lama pergi. Aku khawatir mereka hilang." Max tersenyum "Jadi kau tidak marah, syukurlah. Kau membuatku takut. Ku kira kau akan marah dan akan menculik Hanna ku."

Yume menatap Max dengan tajam "Apa maksudmu? Apakah aku terlihat seperti orang jahat?" Max pun tertawa. Tawanya terdengar seperti tawa sebuah ejekan. Yume sudah tidak tahan. "Pegang Hanna erat-erat Max. Jangan sampai ada yang menculiknya termasuk aku." Yume berlari dan memegang air matanya. Max terpaku. Lalu mengejar Yume. Tapi sayangnya terjatuh. Dan Hanna menangis. Yume sudah terlalu jauh untuk mendengar suara Hanna.




           Max pun menggendong Hanna "Hanna, jangan nangis yak. Kita sudah kehilangan Alex, Daniel dan Yume aku berharap kita tidak saling terpisah." Hanna pun terdiam. Wajahnya imut sekali. Alex pun datang. "Kakak ini es nya. Loh di mana Daniel dan Kak Yume. Daniel pasti sedang bermain. Lalu kak Yume mana?Apakah sedang bermain dengan Daniel? Atau membeli makanan atau mungkin kalian bertengkar?" Alex menatap kakaknya penuh selidik.

Max memberikan Hanna pada Alex. "Aku harap Yume sedang bermain dengan Daniel. Pegang Hanna. Kau harus menjaganya di sini. Jaga Hanna dan minuman itu. Aku akan mencari mereka berdua." Max pun berlari mencari Yume dan Daniel. Semakin lama ia pun menyalahi dirinya sendiri. Begitu jahatnya ia sampai membuat anak perempuan menangis.



           Akhirnya setelah berlari begitu jauh. Max menemukan sebuah kolam. Tempat ini begitu sepi. Ia mendengar suara tangisan. Lalu ia sedang melihat Yume menangis. Ia mengelus kepala Yume yang dibalut kerudung. "Kau menangis Yume?" Yume begitu kaget dan berbalik. Setelah melihat wajah Max. Yume pun bergegas pulang. Max pun menatap kepergian Yume dengan wajah sedih. Ia pun mencari Daniel . Max berputar mengelilingi taman, kompleks serta alun-alun.


                                                                     ***

Yume bergegas ke mobilnya. Setelah lima menit kemudian ia dikagetkan oleh suara Daniel. Untung tidak terjadi kecelakaan. Yume pun menepi. “Daniel kenapa tiba-tiba kau ada di sini?” Yume pun berfikir mencari jawaban. Daniel bukanlah setan, jadi dia tidak mungkin menembus masuk ke dalam mobil. “Kakak tidak sadar ya. Saat kakak membuka pintu mobil aku berhasil masuk duluan.” Expresi wajah Yume pun terkejut. Dalam Hati Yume pun berkata. “Tidak, tidak mungkin. Apa aku begitu hanyut dalam perasaan dan lamunan ku sehingga aku tidak melihat Daniel saat ia masuk. Atau mungkin karena setiap hari Daniel main lari-larian sehingga gerakannya bisa secepat ninja. Yah mungkin seperti itu. Lihat keringatnya. Anak ini benar-benar energic dan hyper active.”

Yume pun sempat bingung. Apakah harus mengembalikan Daniel sekarang. Tapi ia malas bertemu dengan Max lagi. Apa sebaiknya memulangkannya nanti. Tapi keluarganya pasti mencarinya. Dan perkataan Max bahwa dirinya seperti orang yang mencurigakan suka menculik anak karena kecintaan terhadap anak-anak secara berlebihan mungkin bisa menjadi kenyataan.

“Kakak, kenapa diam?” Yume memaksakan sebuah senyuman. “Daniel tolong pakai sabuk pengamannya. Kita akan kembali ke rumah kakek.” Daniel cemberut “Padahal aku ingin main ke rumah kakak walaupun sebentar.” Yume menjawab lekas “Mainnya nanti aja ya, bersama keluargamu.” Daniel pun tersenyum polos. “Baik, esok aku akan mengajak Ka Max untuk datang ke rumah kakak.” Expresi wajah Yume berubah murung “Mungkin sebaiknya kau mengajak Alex saja.” Daniel merenggut “Kak Alex jahat. Aku ingin bersama kak Max saja.” Yume tambah murung.

Yume merasa tanggapan Daniel tentang Max yang begitu baik hati pasti salah. Ia berharap Daniel dan Max tidak akan pernah datang bermain. Yume pun membuat sebuah rencana. Esok ia harus pergi sebelum mereka datang dan pulang agak malam. Ia pun menyeringai. Mungkin jika sekarang Daniel menatap Yume ,ia akan ketakutan tapi ternyata ia sedang sibuk menatap ke luar jendela yang berada di samping. Lalu mobil berhenti. Yume mengetok pintu. Kakek membuka pintu. Lalu Yume memberikan Daniel dan berpamitan untuk pulang. Yume pun pulang. Ternyata memang harus berpamitan terlebih dahulu.
                                                                                  
                                                                  ***

Max begitu lelah mencari. Lalu ia menuju tempat Alex. Tapi Alex dan Hanna sudah tidak ada. Rasanya Max ingin menjerit. Ia mengutuki dirinya sendiri. Kenapa semua orang menjadi menghilang?  Max merasa seharusnya sejak awal ia tidak menyuruh Alex membeli es. Lalu tidak melepaskan Daniel. Serta tidak mengejek Yume dan tidak memberikan Hanna kepada Alex. Ia pun terduduk di rumput. Ia memeluk lututnya. Air matanya ingin keluar.

Tapi akhirnya ia bangkit. Dan berjalan lemas ke arah rumah kakek. Ia sudah begitu pasrah jika dimarahi dan dihukum. Ia membuka pintu dengan tatapan redup. Tatapan pertama ia melihat Daniel yang sedang berlari. Sebuah gairah muncul. Ia pun mengejar Daniel dan memeluknya. Lalu memukulnya “Kemana saja kau? Tahukah engkau aku mencarimu dengan rasa cape berlipat ganda terlebih aku merasa begitu cemas dan merasa begitu bersalah.”

Daniel tertawa. “Aku berlari-lari di taman. Lalu aku mengikuti Kak Yume yang berjalan lemas menuju mobilnya. Dan tahukah engkau kak. Ia seperti menangis saat itu. Lalu ketika ia melihatku. Ia merasa begitu terkejut luar biasa. Lalu ia menepikan mobilnya. Dan bertanya kenapa aku ada di dalam. Lalu ia terdiam beberapa menit. Ketika aku menghentikan lamunannya. Ia pun mengajakku pulang. Aku begitu sebal karena aku ingin sekali bermain ke rumahnya. Dia bilang aku harus pergi esok hari bersama keluargaku. Lalu aku mengatakan aku akan pergi bersama engkau. Tapi ia menolak dan mengatakan sebaiknya aku pergi dengan Kak Alex tapi aku tetap mengatakan bahwa aku akan tetap pergi bersama engkau. Lalu ia pun terdiam murung. Jadi, esok hari kita akan ke rumahnya kan kak?” Max hanya menjawab pertanyaan adiknya dengan senyuman.

Lalu Max mencari Alex dan Hanna. Ia pun menemukan Hanna sedang disuapi oleh Alex. Max mengambil makanan “Alex aku kan sudah bilang sebaiknya kau jangan pergi kemana-mana? Tapi kenapa kau pergi? Hampir saja aku begitu putus asa.” Alex membela diri ”Kakak pergi terlalu lama. Aku sudah begitu bosan. Dan Hanna sudah begitu lapar. Aku juga melihat ada seseorang yang begitu mencurigakan tidak berada jauh dari kami. Aku begitu ketakutan dan memutuskan untuk pulang.” Max teringat perkataannya kepada Yume. Lalu ia pun menjawab perkataan Alex “Tidak semua orang mencurigakan itu jahat.” Lalu Max membawa serealnya ke atap. Ia sering makan di sana. Jika sedang berada di rumah kakeknya.

Keesokan harinya. Daniel terus merengek agar kakaknya Max bersedia mengantarkannya. Sebenarnya Max agak sedikit malas. Karena terlihat jelas dari ucapan dan gerakan non verbal Yume mengatakan bahwa Yume tidak mengharapkan kedatangan Max. Tapi karena Daniel terus menangis. Akhirnya Max memutuskan berpakaian rapih dan pergi ke rumah Yume. Alex memberikan bunga. “Kak tolong berikan bunga ini pada kak Yume.” Max menolak ia begitu malu jika harus membawanya. “Apa tidak sebaiknya memberikan barang yang lebih kecil saja?” Hal ini agar ketika keadaan begitu tidak memungkinkan. Max jadi tidak perlu memberikan apa-apa. Sedangkan memberikan bunga matahari sepertinya akan begitu mencolok karena besar. Dan akan terasa malu sekali jika Yume menolaknya.

Tapi Alex terus memaksa. Akhirnya Max menangis dalam hati. “Kenapa aku harus melakukan semua yang diinginkan adik-adiknya?Lalu bagaimana jika Yume tidak ada di rumahnya. Atau ia tidak ingin menerima bunga ini. Atau jangan-jangan dia tidak ingin berbicara padaku. Lalu aku harus bagaimana?" Max menangis dalam hati. Ia bersyukur Hanna tidak meminta apa-apa. Tapi ternyata Max salah. Ternyata Hanna pun ingin ikut. Tapi Max pun mengizinkan. Karena setidaknya Yume menyukai Hanna.

Jadi, jika Yume tidak ingin berbicara pada Max. Yume bisa bermain dengan Daniel dan Hanna. Max pun memberi syarat pada Hanna. Agar ketika sampai sana Hanna harus berbicara. Di tengah perjalanan Max melihat penjual bunga. Ada setangkai bunga seruni di sana. Max berfikir mungkin sebaiknya ia memberikan setangkai seruni saja. Dan tidak perlu memberi bunga matahari karena terlalu banyak. Lalu ia membelinya. Ketika ingin membuang bunga matahari ia teringat Alex. Ia akhirnya memutuskan untuk tidak membuangnya.

Akhirnya mereka sampai di rumah itu. Ternyata Yume tidak ada di rumah. Sesuai dengan prediksi Max. Tapi walaupun Max sudah memprediksikannya. Mengetahui bahwa ternyata Yume benar-benar melakukan ini, membuat Max begitu sakit hati. Max pun mengajak kedua adiknya pulang. Tapi Daniel menolak. Akhirnya mereka bertiga masuk ke dalam. Dan berbincang-bincang pada ibunya Yume dan kakaknya Yume. Sore pun datang. Max memutuskan untuk pulang tapi Daniel dan Hanna menolak. Max menangis dalam hati.

Max terdiam di kursi ruang tamu. Hanna dan Daniel bermain bersama ibunya Yume. Akhirnya kakak laki-lakinya Yume pun mengajaknya keruang keluarga. Dan mereka menghabiskan waktu berdua. Sudah jam sembilan malam. Yume memutuskan untuk pulang. Yume pun langsung tidur. Keesokan shubuhnya ia terbangun dan ingin mengambil air wudhu. Ketika ingin ke kamar mandi di lantai bawah dan melewati ruang keluarga ia pun tersandung oleh sebuah kaki. Ia pun terjatuh dan kepalanya terbentur. Orang itu segera bangun. Yume begitu ketakutan. "Siapakah itu. Mungkinkah itu maling?" Yume berusaha bangun. Lampu dinyalakan oleh orang itu.

Dan yume menatap Max. Yume merasa bingung. Mungkinkah ia masih berada dalam mimpi. Karena kenapa tiba-tiba Max ada di rumahnya. Max menatap Yume dengan kecemasan. Ia pun mengambil P3K. Dan mengobati luka Yume. Ternyata ia berdarah untunglah darahnya tidak keluar banyak. Yume masih tidak mengerti. Dan akhirnya ia memutuskan bahwa ia masih berada di dalam mimpi. Jadi ia diam pasrah saat diobati. Lalu ia pun berfikir kenapa ia harus memimpikan Max. Ini jarang terjadi. Ia berusaha bangun dari tidurnya untuk sholat shubuh.

Max telah selesai mengobati Yume. Bersamaan dengan itu kakak Yume bangun “Sedang apa kalian.” Max tampak begitu terkejut. Lalu ia pun mengendalikan dirinya kembali. “ Tadi Yume tersandung kaki ku dan terjatuh. Darahnya keluar begitu banyak. Tapi untunglah akhirnya darahnya berhenti keluar. Sekarang sudah selesai diobati.”

Kakaknya Yume mengangguk “Hemm,,, begitu. Kalau begitu ayo kita lekas sholat Shubuh.” Yume pun sadar ternyata ia tidak sedang bermimpi. Setelah selesai shalat berjamaah dan membaca Al-Qur`an. Ia menuju kamar ibunya. Ibunya telah selesai sholat. “Hai Yume. Kau sudah pulang? Dari kemarin malam ya? Aku tidak menyadari kehadirnanmu kemarin malam.” Yume menjawab singkat “Aku langsung tidur karena lelah.” Ibunya mengangguk dan menyuruhnya menjaga Hanna dan Daniel yang sedang tertidur. “Ibu, mereka datang dari kemarin?” Ibunya mengangguk “Bahkan mereka datang dari kemaren pagi tidak beberapa lama saat kau pergi. Yume mengangguk.

Ia pun segera tiduran dan memperhatikan wajah Hanna yang sedang tertidur ia pun tertawa sendiri. Lalu ia pun ikut tertidur. Hanna terbangun. Melihat Yume ia pun membangunkannya. “Yume angun.” Yume terbangun dan menatap Hanna. “Kau sudah bangun Hanna? Ayo kita mandi.” Mereka mandi berdua.  menggosokkan badan Hanna serta memainkan busa di rambutnya. Lalu membentuknya menjadi es krim. Hanna pun meniup busa itu. Dan gelembung balon itu terbang. Mereka berdua tertawa senang. Dan melakukan hal itu terus menerus tidak pernah bosan. Air yang tadinya hangat pun berubah jadi dingin. Yume takut Hanna masuk angin karena kelamaan mandi. Akhirnya Yume. Membilas tubuhnya dan tubuh Hanna.


        Lalu menyelimuti tubuh Hanna dengan handuk. Yume segera handukan dan memakai baju. Setelah itu Yume memakaikan baju Hanna. Dan membangunkan Daniel serta memandikannya. Lalu memakaikannya baju. Selanjutnya mereka semua pun makan. Acara makan itu berlangsung dengan khidmat karena mereka semua terdiam hanyut dalam pikirannya masing-masing.

Akhirnya kakaknya berbicara. Karena pikirannya sudah penuh dengan sebuah pertanyaan. Ia pun bertanya pada Yume “Ini sahabatmu kan Yume? Kenapa kau bersikap seolah-olah tidak mengenalnya. Dan aku malah berfikir bahwa dia jadi seperti sahabatku bukan sahabatmu.” Yume pun menjawab bijak “Jika kau menginginkan dia menjadi sahabatmu maka jadikanlah dia sahabatmu.” Yume merasa jika ia terus menerus berada di ruangan itu ia pasti akan terpojok. Ia pun bangun dari kursinya.

“Ibu aku sudah selesai makan.” Ibunya menatapnya “Bahkan kau belum menghabiskan makananmu Yume.” Yume bersikeras “Tapi aku sudah kenyang.” Kakaknya berteriak “Jaga sopan santunmu di depan tamu Yume. Setidaknya kau harus mengucapkan satu kalimat untuk tamu mu.” Yume berhenti dan berbalik. “Aku harus pergi sebentar maafkan aku karena harus meninggalkan kalian adik-adik manis.” Yume pun segera pergi. Kakaknya masih kurang puas. “Kau belum mengatakan apa pun untuk Max. Ia sudah ada di sini dari kemarin hanya untukmu.” Yume berbalik. Sekarang ia sedang ada di pintu. Ia berusaha tersenyum “Aku sudah memaafkanmu. Jadi kau harus memaafkan ku karena aku harus pergi dan tidak bisa menemanimu lebih lama.” Max mengangguk “Pergilah jika kau ingin pergi. Aku akan tetap di sini bersama kakakmu.”

Yume segera pergi. Ia memikirkan maksud perkataan Max. "Apa yang ia katakan? Apa ia bermaksud agar berada di rumah ini satu malam lagi?" Yume pun begitu bingung harus kemana hari ini. Ia pun ke kamarnya untuk mengambil tasnya. Ia menemukan bunga matahari di kamarnya. Ia menerka-nerka apakah kemarin ada bunga ini. Entahlah yang jelas kemarin Yume merasa begitu mengantuk sehingga ia langsung tidur. Ia menatap bunga itu. Dan ia menatap ada satu tangkai bunga seruni. Ia terkekeh "Apa maksudnya ini? Kenapa hanya satu tangkai?" Ia melihat sebuah surat dan membacanya. Isinya hanyalah permintaan maaf dari Max.

Dan surat dari Alex yang mengatakan bahwa dirinya harus memaafkan Max. Lalu mengundang Alex untuk ke rumah ini. Agar ia bisa membaca cerita itu. Yume tidak habis pikir kenapa Alex tidak datang saja kemarin. Jadi sekalian. Yume pun berusaha untuk tidak memikirkan hal itu. Malam harinya Yume pulang. Dan menemukan Alex berada di kamarnya. Bersama Hanna dan Daniel. Yume memeluk Alex. Dan memberikan buku itu agar ia membacanya. Yume bermain dengan Daniel dan Hanna. Karena kamar itu begitu berisik Alex pun membaca di luar.

Saat bermain, Daniel pun mengatakan bahwa “Max mencintaimu. Dan dia berharap kau memaafkannya.” Yume terdiam. Lalu ia pun menjawab “ Kalau begitu katakan padanya bahwa aku sudah memaafkannya.” Yume tersenyum dan mengacak-acak rambut Daniel. Daniel pun menggeleng. “Kakakku tidak akan percaya. Sekarang ia sedang berada di taman dan memainkan biolanya. Sekarang datanglah padanya. Dan katakan kau juga mencintainya.” Wajah Yume memerah karena marah. “Aku tahu larimu sangat cepat Daniel. Maka dari itu larilah kepadanya bahwa aku telah memaafkannya tapi tidak mencintainya. Ayo sekarang larilah ke sana. Dan hiburlah kakakmu.” Daniel menggeleng. “Kakakku akan pulang malam ini bersama kami jika kau tidak datang ke taman itu.

Yume mendengus kesal. “Baiklah sekarang kau boleh berlari ke taman itu dan katakan aku telah memaafkannya dan telah mencintainya.” Daniel menggeleng. “Kau tidak memaafkan kakakku dan tidak mencintainya. Mungkin sebaiknya kami pulang.” Daniel menurunkan Hanna dari tempat tidur lalu menggandeng tangan Hanna menuju keluar. Dari luar kamar, Yume mendengar bahwa Daniel berkata kepada kakaknya “Kakak sudah saatnya kita pulang. Ka Max sudah menunggu kita di taman."  Alex meminta izin untuk meminjam buku tersebut. Yume pun mengikhlaskan buku itu menjadi milik Alex. Karena Yume tau ia tidak akan bertemu dengan mereka lagi. Karena ia tidak ingin ke rumah mereka.

Yume menatap sedih ke luar jendela. Suara biola semakin jelas terdengar. Max pun lewat ia memainkan biolanya dan menatap Yume. Tatapan mereka terpaut. Yume tahu mungkin saat itu jiwa Max berusaha masuk ke dalam diri Yume melalui mata Yume. Yume pun akhirnya bersembunyi di balik tirai dan menjatuhkan dirinya. Terduduk. Berharap jiwa Max tidak sempat masuk ke dalam dirinya. Suara biola pun menjauh. Yume menatap ke arah jendela. Sudah tidak ada siapa-siapa. Ia pun menutup jendelanya. Mengunci pintu. Mematikan lampu dan tidur.

Ternyata ia salah. Jiwa Max telah berhasil menyusup ke dalam dirinya. Jiwa Max telah meninggalkan tubuhnya. Sehingga saat ini tubuhnya sedang koma di rumah sakit. Dan Yume tidak mengetahui keadaan Max. Karena ia tidak pernah mengunjungi keluarga empat bersaudara itu lagi. Tapi Yume merasa ia selalu bersama Max. Karena setiap malam tiba Yume terus bermimpi tentang Max. Dalam mimpi itu Max terus meminta maaf pada Yume. Mengatakan bahwa ia merindukan dan mencintainya. Serta selalu mengatakan ia ingin bertemu dengan Yume. Tiga tahun pun berlalu. Mimpi itu masih datang setiap malamnya. Dan  Max pun masih di rumah sakit. Terkadang di dalam mimpi Yume, Max mengajaknya ke sebuah tempat tapi Yume terus menolak hingga akhirnya karena Yume merasa begitu merindukan Max ia pun ingin menemuinya dan memutuskan untuk pergi ke tempat itu.

Bunga matahari dan Seruni di vas sudah tidak ada. Tapi kedua bunga itu kini sudah ada di tamannya serta di taman hatinya. Yume sadar jika berada di vas itu terus pun sang bunga akan layu. Dan Yume tahu jika bunga itu layu maka cinta mereka berdua pun akan layu. Yume memetik bunga seruni. Lalu membawanya. Mereka janjian di stasiun kereta api jam delapan malam. Dan kereta itu pun aku membawa mereka ke suatu tempat. Mungkin tempat itu bernama pulau rindu karena mereka saling merindukan satu sama lain. Perjalanan naik kereta akan begitu lama. Sehingga mungkin mereka akan sampai di pulau itu di pagi hari yang segar.

Tapi semuanya berbeda dari kenyataan. Jam delapan berlalu menjadi jam sembilan. Dan jam demi jam pun berlalu. Awalnya tempat itu begitu rame lalu tiba-tiba menjadi sepi. Yume terus menunggu Max. Tapi ia tidak melihat Max. Ia pun berfikir mimpi itu hanya sebuah kebohongan. Mimpi itu hanyalah sebuah khayalannya saja. Yume pun merasa sedih. Lalu ia melihat segerombolan preman datang mendekat. Serta satu orang gila yang begitu tampak kumal. Yume menangis dalam hati. Habislah riwayatnya. Ia mengutukiny dirinya sendiri karena telah memutuskan untuk datang ke sini.

Akhirnya ia berusaha lari dari tempat terkutuk itu. Ia pun mendengar suara langkah kaki. Ia menyadari bahwa ada yang mengejarnya. Ia menangis.  Ia terus menjerit dalam hati. Ia menyalahi diri sendiri, karena seharusnya ia tidak perlu datang ke sini. Sepatu haknya patah. Ia melepas sepatu haknya. Dan terus berlari. Hingga ia begitu cape. Dan terjatuh ia pun bersembunyi ke bagian tempat tergelap. Berharap mereka tidak menemukannya. Tapi ia sadar tempat ini adalah jalan buntu. Kalau ia tertangkap di sini ia tidak bisa berlari lagi. Ia menangis dalam keheningan. Dia terus memanjatkan sebuah doa.

Lalu ia melihat sebuah bayangan. Bayangan itu semakin dekat ia menangis terus menerus dan berusaha tidak mengeluarkan sebuah suara isakan. Apa yang harus ia lakukan. Ia begitu bingung. Apakah ia harus keluar dari tempat persembunyiannya lalu menghadapi mereka satu persatu. Atau mungkin sebaiknya ia berlari mumpung ia memiliki sebuah kesempatan. Tapi tidak ada waktu untuk memilih karena tiba-tiba ada sebuah tangan menarik lengannya begitu kencang. Ia ingin berteriak. Tapi sebuah tangan  pria itu menutup mulut Yume.

Yume mencium aroma tangan tersebut. Tapi aroma itu memberinya sebuah kenmanan. Apakah ini obat bius? ia bergidik. Apakah ia mengenali aroma ini. Yume berfikir keras. Orang yang memegangnya pun membawa Yume bersembunyi. Yume merasa ganjil. Kenapa harus bersembunyi? Yume menggigit tangan itu. Dan menatap laki-laki di belakangnya yang meringis kesakitan menahan suara agar tidak keluar.

Yume terkejut karena laki-laki dihadapannya adalah Max. Lalu Max menatap Yume. Pandangan mereka saling terpaut. Mungkinkah saat itu jiwa mereka berpindah tempat sebentar. Lalu mereka mendengar suara orang mendekat. Dan jiwa mereka pun kembali ke tubuhnya seperti sedia kala. Max keluar dari persembunyian lalu melawan mereka semua dengan tendangan mautnya. Setelah itu Max dan Yume berlari. Max memberhentikan sebuah taksi. Mereka semua duduk membisu. Hanyut dalam pikirannya. masing-masing. Dan membuat suasana menjadi canggung. Jantung Yume berdegup kencang karena bersyukur Max datang di saat yang tepat.

 Max menatap Yume. Yume tahu dirinya sedang diamati. Tapi ia tidak menatap balik. Yume ingin tahu apa yang sedang dipikirkan Max tentang dirinya. Yume ingin sekali menatap mata Max. Dan memasukan jiwanya pada diri Max sehingga Yume bisa tahu apa yang sedang dipikirkan Max. Tapi Yume menahan keinginannya. Max pun berkata dan tersenyum memecah kesunyian yang dingin. “Aku tahu suatu saat kau pasti datang.” Yume terdiam ia menatap ke luar jendela. Lalu ia pun tertidur , ia  begitu lelah sekali. Max membangunkan Yume. Lalu membayar taksi. Setelah itu mengantarkannya masuk ke dalam rumah. Yume menatap Max. Max pun tersenyum “Terima kasih sudah datang.” Yume ingin sekali memeluknya. Tapi Max sudah pergi. Dan Yume hanya bisa menatap punggunnya.

Lalu Yume masuk ke dalam rumah. Dan menuju ke kamarnya. Ia mendengar alunan biola. Ia menatap  keluar. Ternyata Max. Ia kira Max sudah pulang. Lalu ia melihat bunga yang ia pegang. Masih segar. Ia lupa memberikannya pada Max. Yume berharap Max menatapnya. Max pun menatap Yume. Yume pun melempar bunga itu. Max menangkapnya. Mereka saling tersenyum. Yume pun menutup jendela dan menuju tempat tidur. Di balik selimutnya masih ada setangkai bunga yang sama yang berada pada Max. Mungkinkah saat ini mereka sedang menatap bunga yang sama dalam waktu yang bersamaan.

Yume pun segera tertidur. Suara biola terdengar kembali. Mengantarkan Yume ke alam mimpinya. Dan mulai hari itu Yume tidak memimpikan Max lagi. Karena jiwa Max sudah kembali pada tubuhnya. Setiap malam biola itu terus mengalun. Ketika Yume ingin menutup jendela. Yume mendapati Max di luar. Ia pun tersenyum. Dan Max pun membalas senyuman itu. Terkadang Yume menatap Max terus menerus. Max begitu hebat memainkannya. Yume mendengar suara ketukan di pintu. Ia buru-buru menutup jendela dan tertidur ia bersyukur. Lampu sudah dimatikan sejak tadi. Suara ketukan pintu berhenti. Ibu Yume kembali ke kamarnya. Dan Yume pun tertidur dengan alunan biola itu.

Esok malamnya. Ibu Yume keluar menemui Max. “Alunan yang bagus Max. Tapi jika setiap malam kau selalu ada di luar rumah apakah keluargamu tidak mengkhawatirkanmu? Aku berharap besok kau ada di rumahmu.” Semenjak itu Yume tidak pernah mendengar alunan biola Max. Ia pun menghela nafas pasrah . Esok harinya ayah Yume datang. Tapi ayah Yume datang dengan sebuah kabar buruk.  Yume akan dinikahkan oleh seseorang yang tidak yume kenal. Laki-laki itu adalah anaknya teman ayah Yume. Yume begitu gelisah. Setiap malam tidak ada Max diluar dengan biolanya juga tidak ada Max dalam setiap mimpinya. Ia tidak tahu harus bagaimana.

Hari demi hari terus berlalu. Dan hari pernikahan itu pun segera tiba. Di malam hari Yume menangis tersedu-sedu. Ibunya datang ke kamarnya. Yume menceritakan kepada ibunya bahwa ia tidak akan menikahi orang yang tidak ia cintai. Dan cintanya sebenarnya hanya bisa ia berikan pada Max dari pertama kali mereka bertemu. Sang ibu juga ikut menangis. Ketika esok hari tiba. Setelah Yume sudah didandani begitu cantik. Lalu ketika akad nikah itu dimulai. Yume tahu sebenarnya sang ibu ingin berteriak agar semua ini dihentikan. Tapi Yume menolak. Ia tidak ingin sang ayah marah kepada ibunya juga. Ia berfikir cukup dirinya sajalah yang dihukum dan dibenci ayahnya.

Yume bangkit. Dengan derai air mata ia meninggalkan pernikahannya. Ia membawa sebuah tas kecil. yang sudah ia siapkan semenjak kemarin malam Sang ayah berteriak agar Yume berhenti. Tapi yume terus berlari. Ayahnya begitu marah besar dan mengatakan pada Yume agar Yume tidak kembali ke rumah ini. Yume tetap menangis dan berlari. Pada saat Ayah Yume berkata seperti itu suara guntur pun menggelegar. Langit mendung. Angin berhembus kencang membawa awan mendung. Hujan akan segera turun. Menunggu waktunya tiba.

Yume terus berlari dan menghentikan taksi. Lalu ia tersenyum ketika sudah sampai rumah Max. Tapi rumah Max begitu ramai. Dan diselimuti sebuah kebahagiaan. Yume mengintip dan melihat Max sedang menukar cincin dengan seorang wanita yang begitu cantik. Max terlihat begitu bahagia.  Max tersenyum memikat. Suara guntur bunyi kembali. Langit serasa runtuh bagi Yume. Hujan turun.

Yume merasa konyol dengan baju pernikahannya yang basah kuyup terkena hujan dan terkadang terkena cipratan mobil lewat.  Ia pun menangis bersama sang awan. Ia terduduk memeluk kakinya dengan begitu kencang serta menahan rasa dingin. Ia tersenyum tipis setidaknya ia menangis bersama sang awan. Air mata Yume pun keluar lebih banyak dan terus menerus. Di sekitarnya begitu gelap. Yume pun merasa tidak bisa mengenali dirinya sendiri.

Bajunya sudah basah kuyup semenjak beberapa jam yang lalu. Ia begitu kedinginan dan laper. Sangat ironis sekali. Di dalam mereka begitu bahagia tapi kenapa diluar ia hanya merasa sedih sendirian. Ia menatap genangan air. Mungkin seperti itulah dirinya. Mulai sekarang mungkin tidak akan pernah ada yang mengenalinya termasuk dirinya. Ia memeluk lututnya dengan begitu kencang. Karena begitu kedinginan. Ia pun gemeteran. Mungkin rasanya ia ingin pingsan. Tangannya pun merangkul bahunya sendiri. Berusaha melawan dingin. Mulutnya mulai gemeteran.

Selimut tebal menyelimuti Yume. Dan sebuah payung berada di atasnya. Ia mencari seseorang yang memegang payung itu. Ternyata Max dengan cincinnya yang indah. Yume kembali tertunduk dan mengeluarkan air mata. Max pun ikut jongkok. Dan berusaha membuat selimut itu menyelimutinya. Max menatap Yume. Hanya ada kesedihan di matanya. Max tidak perlu mengeluarkan jiwanya untuk masuk ke dalam diri Yume dan mengetahui isi hatinya karena Max sudah mengetahui perasaan Yume setelah melihat expresi wajah Yume. Max berusaha memeluk Yume tapi Yume menolak.

Max pun berkata ”Sebenarnya aku ingin menikah denganmu. Tapi ternyata kau akan menikah dengan laki-laki yang dipilihkan oleh ayahmu. Jadi aku menerima pernikahan ini.” Yume menatapnya. "Seharusnya kau memberi tahuku. Jika kau ingin menikahiku." Max menatap jari-jari Yume. “Bukankah seharusnya kau sudah menikah? Di mana cincin pernikahanmu? Lihatlah sebelum hujan  pasti Baju pengantinmu begitu bagus. Dan suami mu pun akan mencintaimu dalam pandangan pertama. Seperti  pertama kali aku bertemu denganmu di pantai itu, bersama adik-adikku.” Max mengembalikan kenangan lama.

Yume meletakan kepalanya ke lututnya. Istri Max pun datang dengan payungnya. Dan menarik lengan Max “Max ayolah mereka menunggu kita di dalam untuk memberikan selamat untuk kita.” Max tersenyum “ Tidak akan lengkap tanpa bisikan selamat dari gadis ini.” Yume mendengus kesal. Istri Max menatap Yume dengan tatapan jijik. Karena Tubuh Yume terkena lumpur bekas semprotan mobil lewat.

Istri Max pun menanyakan siapakah gadis yang sedang mendekap lututnya itu. Dan tugas Max memperkenalkan orang pun muncul kembali “Dia Yume, sahabatku. Oh ya aku akan masuk ke dalam jika kau memanggilkan Alex untuk datang ke sini.” Istri Max pun masuk ke dalam untuk mencari Alex. Max berkata kepada Yume kembali “Kau akan sakit jika berada di sini terus. Aku harap kau ingin masuk ke rumah kami.”



           Yume mengeluarkan kegelisahannya. Dan ingin segera menyudahi pembicaraan ini. “Max tak bisakah kita bersama? Tak bisakah kita menikah? Selama tiga tahun itu. Aku tidak terlalu merasakan keberadaanmu.” Max tersenyum “Walaupun aku selalu hadir dalam mimpimu? Walaupun jiwaku masuk ke dalam dirimu dan meninggalkan tubuhku di dalam rumah sakit?" Yume menatapnya. "Kau dirawat di rumah sakit?" Max mengangguk.

Lalu Max menjawab "Maafkan aku Yume aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk kisah cinta kita berdua yang entah kenapa bisa menjadi hancur dan berakhir seperti ini." Yume menatapnya mendengus kesal. “Kau bisa menceraikannya Max.” Max tersenyum “Di saat aku baru menikahinya? Bahkan aku belum merasakan malam pertamaku.” Yume tersenyum muak “Itu seterah kau Max. Kau berhak memilih. Jika kau mencintaiku, maka datanglah padaku.” Max tersenyum lagi. Entah kenapa ia begitu bahagia. Mungkin karena ia telah menikah. Mungkinkah Max mencintai istrinya?



           “Kau tahu Yume? Perkataanmu tadi mengingatkanku tentang permintaanku agar kau mau mendatang iku ke taman rumahmu, jika kau mencintaiku. Tapi kau tidak datang walaupun kau mencintaiku.” Yume menatap wajahnya di genangan air. Ia pun menyalahkan dirinya. Karena malam itu ia tidak datang hanya karena beralaskan sebuah ego.

           Alex datang bersama istri Max. “Tolong layani Yume.” Max pun masuk ke dalam bersama istrinya. Yume menatap punggung Max dan istrinya. Mereka tertawa mesra.  Yume pun akhirnya menyadari ternyata Max lebih memilih mendatangi istrinya di banding dirinya. Mungkinkah Max mencintai istrinya. Tapi bukankah mereka baru mengenal? Bagaimana bisa tiba-tiba mereka menjadi saling menyukai? Cinta dalam pandangan pertamakah? Pertanyaan-pertanyaan itu menari-nari di otak Yume mencari jawaban. Tapi sayang jawaban itu tidak ada di otak Yume. Jadi, mereka pun menari tanpa pasangan.

Alex membawa Yume ke kamar mandi. Membuka baju Yume yang basah. Dan mengantarkan Yume memasuki buth up. Kelopak-kelopak bunga berwarna putih berpusar di permukaan air yang beruap. Yume duduk hingga dagunya menyentuh permukaan air. Dia berusaha menyembunyikan kepolosan tubuhnya. Alex pun memijat tangan, punggung, leher, kepala dan kaki Yume.

Rambutnya dicuci dengan shampo yang beraroma seperti hujan musim semi,citrus, dan madu. Alex menggosok telapak kaki Yume dengan batu kasar. Kulitnya merinding. Alex pun mengikir kuku-kukunya. Rasanya seperti tarian. Dan dia adalah pasangan yang bergerak ragu-ragu. Lalu Alex  membaluutkan handuk pada tubuh Yume dan memakaikannya baju tidur. Alex pun tidak lupa menyisir rambut Yume. Dan Yume pun segera tertidur. Walaupun sebenarnya ia tidak bisa tertidur. Entah sedang apa Max sekarang. Mungkinkah ia sedang bersenang-senang?

Suara biola terdengar. Yume berlari ke arah balkon. Max pun meloncat ke atas. Ia menyetel kaset Classic di kamar Yume. "Mau berdansa denganku Yume?"  Suara Max terdengar merdu. Yume pun tersenyum. Tiba-tiba terdengar suara orang mengetok pintu. Max segera bersembunyi. ke dalam lemari Yume membuka pintu.
“Kau melihat suamiku Yume? Yume tersenyum “Sungguh lucu jika kau mencari suami mu sendiri di malam pertamamu.” Istri Max tampak kesal lalu mulai masuk tanpa meminta izin. Yume merasa kesal “Akan terdengar lebih lucu lagi. Jika kau mencari suami di kamar wanita lain dan mengobrak abrik kamarnya." 

Yume menatap Istri Max yang sedang mengobrak-abrik bantal, dan selimut. Yume pun berteriak "Apa yang kau lakukan. Hentikan kamarku menjadi merantakan.” Istri Max melirik “Ini bukan kamarmu bahkan ini bukan rumahmu.” Yume pun membalasnya “Dan itu bukanlah sebuah alasan yang bisa membuatmu mengacak-ngacak kamar ini dengan sesuka hatimu.” Dan akhirnya Istri Max membuka lemari. “Hentikan.” Yume berteriak. Istri Max tersenyum “Ada apa Yume? Kenapa kau berteriak? Apakah ada suamiku di dalam sini?” Ia membuka lemari itu tapi tidak ada siapa-siapa di dalam lemari itu. Yume merasa aneh.  Karena tadi ia sangat yakin sekali membantu Max untuk masuk ke dalam lemari. Tapi Yume pun bersyukur. Setidaknya istri Max tidak mengetahui bahwa Max sempat kesini sebentar.

Terdengar suara Max dari kamar sebelah. “Sayang kemana kau?” Istri Max pun segera kembali ke kamar itu. Yume masuk ke dalam lemari itu. Dan mendengarkan sebuah suara. “Kau habis kemana Max?” Max pun menjawab. “Aku habis dari meja makan. Untuk makan sebentar. Tapi aku mendengar suaramu. Jadi aku tidak jadi makan.” Istri Max pun berlari keluar untuk mengambil makanan. Tapi Max melarang. Ia pun ingin tidur saja. Istri Max pun protes “Tapi Max bukankah itu kursi.” Max pun menatap istrinya. “Untuk malam ini bolahkan aku tertidur di sini? Sekarang bulan purnama. Aku takut aku tidur dengan rusuh. Siapa tahu tiba-tiba aku menendangmu dengan sangat kencang.” Akhirnya istrinya pun mengangguk.

Yume mengambil selimut dan bantal. Ia pun tertidur di lemari itu yang ternyata Yume bisa membaringkan badannya di lemari itu. Saat tengah malam tiba Max mengetuk kayu itu dan meminta izin untuk masuk. Tapi Yume tidak mendengar suara Max karena ia sudah tertidur. Max pun tidak bisa mendorong kayu tersebut karena Yume tertidur di baliknya. Akhirnya Max pun tertidur  di kursi panjang itu. Tepat di sebelah Yume, walaupun hanya terpisahkan oleh sebuah papan kayu. Yang mungkin bisa berbaliki jika kau mendorongnya.

Ketika hari esok tiba. Max mengajak Yume pergi jauh. Yume memberi alasan  kepada keluarga Yume untuk pulang ke rumahnya. Tapi expresi Yume berkata lain, karena ia teringat ia telah diusir oleh ayahnya, dan tidak diizinkan pulang ke rumah itu lagi. Yume pun merasa ia akan begitu merindukan keluarganya.  Sedangkan Max memberi alasan kepada istrinya bahwa ia akan bekerja di luar kota. mencari sesuap nasi untuk mereka. Yume dan Max berpencar. Dan bertemu kembali di pantai pertama kali mereka bertemu. Lalu mereka pun pergi ke luar kota. Dan menikah di sana.

 
          Adzan Dzuhur berkumandang. Mereka pun sholat dzuhur. Max pun mengundang Yume ke rumahnya. Tapi Yume menolak. Alex merenggut. "Kenapa kakak menolak. Kakak, ayolah main ke rumah kami sebentar." Alex merengek. Max pun melepaskan tangan Alex yang sedang memegang lengan Yume. "Hentikan Alex." Alex masih merenggut "Tapi aku ingin mengundangnya." Alex pun ingin menangis. Yume pun memeluknya dan mengelus bahunya. Tinggi badan Alex setara dengan bahu Yume. "Alex, maafkan aku karena aku tidak bisa ke rumah kalian. Mungkin lain kali aku akan ke rumah kalian." Alex menatap mata Yume seakan mencari sebuah kebenaran. Max pun memberikan kartu namanya. "Ini alamat rumahku. Jika kau tersasar kau bisa menelponku dan aku akan segera menjemputmu." Yume pun tersenyum lalu berpamitan kepada orang tua keempat bersaudara itu. Serta mencium Daniel dan Hanna.


          Ia pun naik mobil. Lalu membuka Journal laki-laki yang ia temukan di dalam pohon besar. Ia teringat tengkorak laki-laki itu. Ia pun segera memakai sarung tangan. Dan berdoa semoga journal yang sudah rapuh itu tidak terdapat serangga kecil. Ia membaca halaman awal journal itu. Yume yakin saat menulis di Journal itu. Laki-laki yang sudah menjadi tengkorak itu sudah berumur tiga puluh lima tahun.


         Siang itu mentari begitu terik. Aku berpamitan kepada istriku dan anak perempuan kecilku ia begitu manis sekali. Aku hanya memiliki satu anak dia berumur delapan tahun. Aku harus pergi dari rumahku karena aku harus mengumpulkan kebenaran. Kakekku mengatakan bahwa kakek buyut dia dan sukunya tinggal di sebuah goa. Awalnya aku tidak mempercayai ini. Mana ada orang yang tinggal di goa. Tapi ternyata perkataan kakekku betul. Kakek buyut dia lahir dan dibesarkan di tempat itu. Kakek buyutnya seorang pandai besi. Suatu ketika sang kakek buyut menceritakan kepada kakekku bahwa ia membuat sebuah peta harta karun.


         Harta karun tersebut adalah barang-barang berharga dari keluarga mereka. Sekarang peta tersebut berada di makam sang kakek buyut. Kakekku tidak sempat mengambil peta itu. Jadi, aku pun harus mencari keberadaan peta tersebut dan harus menemukan harta karun itu. Karena generasi kami tidak boleh melupakan harta karun itu. Harta karun itu tidak boleh terus terpendam di dalam tanah dan terlupakan. Selain itu harta karun itu ada karena sang kakek buyut ingin mewariskannya kepada kami. Sang Generasi Penerus. Anak ku perempuan jadi akulah yang harus menemukan harta karun itu. Entah apa sebenarnya isi harta karun itu. Apakah pedang cahaya. Atau sejarah dan mitologi peradaban kota dalam goa.




         Aku pun lekas mencari tahu keberadaan goa tempat kakek buyutnya kakekku tinggal. Katanya sang kake buyut di makamkan di pohon besar dekat goa tersebut. Satu-satunya cara mengumpulkan data yang aku ketahui adalah dengan menanyakannya ke berbagai nara sumber. Aku bertanya pada ayah serta saudara kakek ku. Yang artinya merupakan kakekku juga. Akhirnya aku bisa meraba hal yang sebenarnya terjadi pada goa itu. Kota dan peradaban itu hancur karena ada pasukan lain yang menginvasi kota itu. Entah bagaimana rasanya tinggal di goa itu. Adik kakekku mengatakan bahwa Sang kakek buyut akhirnya mati melawan pasukan itu. Kaum wanita dan anak-anak sudah diungsikan keluar goa. Dan ketika perang telah usai. Pasukan itu telah pergi karena sudah membawa apa yang mereka inginkan. Yaitu barang -barang penduduk itu yang terbuat dari emas, porselen, tembaga dan lain-lain bahkan pedang-pedangnya juga. Ada rumor yang mengatakan bahwa pedang itu terbuat dari meteorid. Dan pedang itu di namakan pedang cahaya.



         Pedang cahaya itu dibuat oleh kake buyutnya kakekku. Untunglah pedang cahaya itu di sembunyikan agar tidak diambil pasukan itu. Jadi, sekarang pedang cahaya itu dikubur bersama kakek, dan peta itu. Aku pun menceritakan itu kepada sahabatku. Dia adalah seorang ilmuan sejarah. Ia pun meneliti keberadaan tempat goa itu berada. Ternyata kisah ini bukan saja diketahui oleh ku dan sahabatku tapi juga oleh musuhku. Ia ingin mengambil harta karun ini. Dan ia pun meminta sahabatku memberi tahu keberadaan goa itu. Tapi sepertinya sahabatku tidak memberitahukannya sehingga ia di bunuh. Aku pun ke rumahnya bersama para detektif dan polisi, serta ahli forensik. Kami meneliti tempat kejadian perkara. Aku pun meneliti ruang kerjanya. Ada sehelai kertas di sana. Hanya ada dua kata. Pantai dan sebuah nama kota. Aku pun pergi ke kota itu dengan menggunakan kereta.



         Aku mengelilingi setiap pantai di kota itu. Mencari - cari apakah ada goa di sana atau tidak. Dan akhirnya aku menemukan goa itu. Aku pun berpetualang ke goa itu. Dan setelah keluar dari ujung goa lainya. Aku menyebrangi sungai dan mencari-cari pohon yang begitu besar. Ternyata tidak begitu sulit untuk menemukannya. Karena pohon yang besar hanya ada satu dan amat sangat menarik perhatian. Aku pun mengelilingin pohon besar itu. Mencari jalan masuk. Ternyata sulit mencarinya. Aku pun menemukan sedikit celah. Aku melihat ke dalam. Ternyata gelap. Aku ingin mencongkelnya dengan kapak. Tapi aku tidak membawanya. Aku hanya membawa senter. Aku teringat akan pengalamanku di goa tadi. Sebenernya aku sempat kesasar. Bahkan menemukan sebuah jalan buntu di sebuah lorong. Tapi aku pun mencoba setiap lorong hingga akhirnya menemukan jalan keluar.




         Aku masih menatap pohon itu. Aku tersenyum miris. Sudah sejauh ini. Aku tidak akan menyerah. Aku pun mencari jalan masuk di pohon ini. Dengan mengitari lagi pohon ini. Ternyata aku melewatkan sesuatu. Akhirnya aku menemukan sebuah lubang yang tertutup ranting pohon yang jatuh, semak liar dan tonjolan akar yang besar. Aku masuk ke dalam pohon itu. Dan menemukan sebuah makam. Pastilah itu makam kakek buyutnya kakekku. Aku menatap makam itu. Dan mendoakannya. Sebenarnya aku ingin membuka makam itu. Dan mengambil pedang cahaya serta peta harta karun. Tapi yang ku lakukan hanyalah menagisi kakek buyutku. Dan aku pun memutuskan untuk mati di sini bersamanya. Aku tidak ingin hidupku diperbudak oleh nafsu mencari harta karun.


Journal itu berakhir di sini. Sampai beberapa hari kemudian Yume masih memikirkan kisah di Jornal itu. Ia pun keluar rumah. Sekarang ia mengemudikan mobilnya sendiri. Ia tidak tahu ingin kemana. Akhirnya ia berhenti di alun-alun kota. Di sisi sebelah kanan ada sebuah toko buku kecil. Yume pun memasuki ruangan itu. Toko itu hanya satu ruangan kecil.     

Di dalam ruangan ini. Pastilah rumah sang kakek penjaga toko. Sang kakek tersenyum ke arah Yume "Hai Yume buku pesananmu sudah ada. Sebentar, aku akan menyuruh cucuku untuk mengambilkannya." Sang kakek pun berteriak "Max, tolong ambilkan buku yang berjudul "Telaga Biru" ke sini." Dari dalam ruangan teriak sebuah suara "Ia kek sebentar." Yume merasa tidak asing dengan suara itu. Ia merasa seperti sudah mendengarnya. Ia pun melihat-lihat judul buku yang ada di rak. Tiba-tiba ada seorang laki-laki berlari ke arahnya. Laki-laki itu segera mengerem tapi ruangannya begitu sempit. Jadi, walaupun sudah berusaha mengerem pun tampak percuma. Akhirnya mereka berdua pun terjatuh. Tumpukan buku yang ada di sebelah kanan. Yang telah di susun membentuk seekor burung Phoenix pun terjatuh berantakan. Menimpa mereka berdua.


         Yume menatap laki-laki itu. Dan laki-laki itupun menatapnya. Dalam waktu bersamaan mereka berdua berteriak memanggil nama orang yang mereka tatap. "Max aku tidak menyangka kau ada di sini." Max tersenyum " Hai Yume, aku pun tak menyangka kau membeli buku di sini. Padahal ada begitu banyak toko buku tapi kenapa kau memilih di sinI? Toko yang begitu kecil." Yume pun menjawab "Entahlah mungkin aku tidak sengaja menemukan toko buku yang begitu imut ini. Dan aku sepertinya ada sesuatu yang menarikku untuk mendatangi tempat ini. Lalu  aku pun jadi menyukai toko buku ini dan terus menerus datang ke sini. Aku pun telah menjadi pelanggan di sini. Ngomong-ngomong aku jarang melihatmu. Kau cucu kake pemilik toko ini? Apakah kau jarang ke sini?"

Max menjawab "Ia aku jarang ke sini. Aku hanya ke sini saat liburan. Aku senang kau adalah pelanggan toko ini." Yume tersenyum "Dan aku pun senang kau adalah cucu penjaga toko ini" Mereka tersenyum dan saling menatap. Saat itu Max melemparkan jiwanya ke tubuh Yume dan Yume pun melemparkan jiwanya ke tubuh Max

Pintu berderit. Alex datang "Max kau sedang apa?" Dengan seketika jiwa Max kembali ketubuhnya dan jiwa Yume pun kembali ke tubuhnya. Wajah Max memerah. Max pun buru-buru merapihkan buku-buku yang terjatuh. Alex menatap Yume. "Kakak akhirnya kau datang." Alex pun memeluk Yume. "Tapi bagaimana kau bisa tahu bahwa kami ada di sini? Apakah Max menelponmu?" Alex melirik ke Max. Max pun menjawab. "Ia datang sendiri ke sini. Tanpa mengetahui kita ada di sini. Ia hanya mengikuti kata hatinya." Wajah Yume memerah.

Alex pun berteriak histeris "Benarkah itu kak Yume? Waw anda romantis sekali. Atau takdirkah yang menyatukan kita semua?" Yume menjawab "Yeah sepertinya takdir membawaku ke sini untuk bertemu kalian semua. Di mana Daniel dan Hanna? Sepertinya aku kangen sekali dengan mereka." Alex memeluk lengan Yume "Kakak hanya kangen dengan Daniel dan Hanna? Bagaimana dengan ku dan kakakku apakah kakak kangen juga?" Yume mengacak-acak rambut Alex "Tentu saja aku kangen sama kalian."


         Alex masih bertanya "Apakah kadar rasa kangen kakak ke kakakku lebih besar?" wajah Yume dan Max memerah. Max pun melempar Alex dengan sebuah buku. "Hentikan pertanyaanmu Alex. Mungkin sebaiknya kau membantuku menyusun buku ini dan membentuk menjadi burung Phoenix." Yume menatap susunan buku itu. Ia pun ikut membantu menyusun buku itu dan membaca sinopsis buku itu. Sepertinya ceritanya rame. Alex pun menarik tangan Yume. "Kakak ayo kita ke atas." Yume pun meminta izin kepada sang kakek. Lalu ia menuju ke atap. Dia atap rumah yang begitu datar. Ada Popp yang sedang membakar barbeque. Daniel yang sedang berlarian. Dan Mom yang sedang menyusui Hanna. Alex mengajakku duduk menatap ribuan bintang. Max pun datang membawa delapan gelas lemon tea. Lalu ia menuangkan lemon tea.



            Di bawah sang kakek menutup tokonya karena sudah jam sepuluh malam. Dan ikut berbaur untuk memakan barbeque. Sang kakek terduduk. Nenek pun datang membawa kue. Dan duduk di kursi. Ia menanyakan siapakah Yume. Dan Max yang entah kenapa dari awal cerita selalu bertugas memperkenalkan orang pun mengerjakan tugasnya. "Ini Yume, Nek. Kami bertemu dengannya beberapa hari yang lalu di pantai. Saat itu Yume begitu terlihat seperti orang yang mencurigakan yang sedang bermain dengan Hanna dan Daniel." Yume menatap Max tajam "Haha,,,orang mencurigakan katamu?" Max merasakan tatapan tajam Yume akhirnya ia pun berkata. "Tapi untunglah berkat Yume. Hanna selamat dari terbawa arus ombak.

Dan Daniel selamat dari tersasar di goa." Sang nenek menatap dengan expresi terkejut lalu berubah menjadi expresi lega dan berkata "Huff untunglah kedua cucuku selamat.     Terima kasih Yume. Kau baik sekali Yume. Aku tidak tahu harus bagaimana membalasnya." Yume pun tersenyum. "Mungkin sebaiknya tidak usah dibalas karena saya melakukannya. Karena saya menyukai Hanna dan Daniel." Yume pun mengelus Hanna yang sudah selesai menyusu. Yume pun bertanya "Apakah Hanna pernah berbicara?Aku jarang mendengar suaranya" Sang kakek pun memangku Hanna. "Hanna ayo berbicara sayang. Umurmu sudah dua tahun. Jadi tunjukanlah suaramu" Tapi Hanna begitu mengantuk dan akhirnya tertidur dipangkuan kakeknya. Yume pun kecewa.


         Sang kake memberi alasan "Haha,,,Hanna telah tertidur mungkin ia sudah kelelahan seharian ini. Maafkan kami." Yume tersenyum "Seharian ini Hanna telah melakukan apa?" Alex pun menjawab "Seharian ini kami berada di mobil yang sedang dalam perjalanan ke sini. Perjalanan begitu membosankan dan lama. Tulang duduk ku begitu pegal dan agak sedikit sakit. Walaupun aku tertidur. Sebenarnya aku masih kelelahan." Popp pun datang membawa barbeque. Lalu mereka semua makan. Daniel yang berlari-larian pun akhirnya mendekati meja makan. Yume pun menangkap Daniel dan memangkunya. "Hemmm,,,tertangkap kamu dik. Sekarang duduklah yang manis di sini. Jangan lari-larian lagi. Lihatlah telapak kakimu ini." Max pun tertawa "Aku jadi teringat saat Daniel menangis di dalam goa itu." Dan aku serta Alex pun tertawa. Dan kami semua pun tertawa di bawah sinar bulan dan ribuan bintang. Yang menjadi saksi tawa mereka.


          Setelah tawa itu usai Yume pun bertanya "Di lihat dari umurnya Daniel pasti sudah Tk ya?" Keluarga itu pun mengangguk serempak. Dan Mom pun mengucapkan kegelisahannya. "Tapi walaupun begitu kerjaan Daniel di sekolah terkadang hanya lari-larian terus. Aku bingung bagaimana mengejar pelajarannya yang tertinggal." Jam pun berdentang dua belas kali. Yume tidak menyangka saat itu telah tengah malam. Alex pun mengajak Yume untuk tidur di kamarnya. Mereka semua pun mengangguk setuju. Sang kakek pun berkata "Sudah jam dua belas. Kalau kau pulang dan diantar Max pun tetap akan berbahaya. Jadi sebaiknya menginaplah di sini. Yume pun akhirnya mengangguk.

 
Yume menggendong Hanna. Ternyata Hanna cukup berat walaupun badannya terlihat ideal pada umurnya yang sekarang. Yume memeluk Hanna dengan begitu erat dan dengan rasa sayang. Ia begitu menikmati pelukan itu. Ia pun jadi teringat bahwa ia tidak memiliki seorang adik kecil satupun untuk ia gendong dan ia peluk erat serta cium. Max segera membayar makanan yang telah mereka makan. Yume menatap kesekeliling. Pantai ini begitu luas dan sepi. Untuk mengetahui ke mana anak berumur lima tahun pergi. Mereka pun harus berfikir kira-kira ke mana anak itu pergi.
         "Tadi Daniel berusaha menangkap kupu-kupu. Kira-kira kemanakah kupu-kupu itu pergi?" Yume bertanya entah ke siapa. Mungkin ia bertanya pada dirinya sendiri. Alex pun segera menjawab. "Mungkin ia pergi ke arah semak itu." Mereka pun segera ke arah semak itu. Di balik semak itu  hanya ada tempat kosong yang begitu luas. Dengan pasir yang begitu padat. Mereka masih berjalan. Yume pun teringat jejak kaki kecil yang Daniel tinggalkan di atas pasir. Tapi melihat jejak-jejak itu hanya membuat Yume begitu pusing. Karena jejak yang ditinggalkan Daniel hanyalah sebuah jejak berputar. Yume ragu kalau Daniel hanya sekedar berlari. Pastilah Daniel juga berputar dan menari bagaikan seorang balerina. Yume pun tersenyum sendiri membayangkannya.
        Max memanggil kami dari arah kejauhan. "Semuanya kemarilah." Yume pun bertanya "Apakah kau menemukan suatu petunjuk?" Max menjawab "Yeah, aku menemukannya sedikit. Lihat jejak di pasir ini. Kaki yang begitu kecil. Ini pastilah jejak kaki Daniel. Kita harus mengikuti jejak kaki ini." Lalu mereka pun menyusuri jejak itu. Jejak itu membawa mereka ke sebuah goa. Alex bertanya "Mungkinkah kupu-kupu itu terbang ke dalam goa?" Dan Yume pun menjawab "Mungkin sang kupu-kupu sudah terbang begitu jauh. Sehingga Daniel tidak bisa mengikutinya. Sehingga ia terdampar di goa ini." Max tersenyum "Waw mungkinkah kita akan memulai petualangan kita di goa ini?" Max menghirup aroma goa itu seakan ia sedang menantang sebuah petualangan.
        Yume teringat kembali akan petualangannya di dalam goa seminggu yang lalu. Lorongnya begitu panjang dan sulit ditempuh. Setidaknya mereka harus membawa senter, kapur,pluit dan tali. Jadi ketika mereka menemukan banyak lorong. Mereka bisa menandai lorong yang tadi mereka lewati dengan kapur. Sehingga tidak bingung. Karena lorong - lorong tersebut terlihat begitu sama. Belum lagi saat memilih lorong mereka akan bingung harus memilih lorong mana yang tidak akan membawa mereka ke jalan buntu. Sehingga mereka harus mencoba semua lorong itu.
        Lalu  jika ada sebuah lubang yang membuat salah satu diantara mereka terperosot. Maka yang lainnya pun harus melihat lubang itu. Jika dasar lubang tersebut tidak terlalu dalam maka mereka harus menolongnya. Tapi jika dasar lubang tersebut tidak terlihat karena begitu dalam. Maka salah satu dari mereka harus turun dari tali untuk menolong teman yang terjatuh tadi. Tapi sebuah kode rahasia yaitu meniup pluit dengan begitu lama menandakan bahwa lubang itu begitu dalam dan menghadirkan sebuah jalan lain yang tersembunyi.   Dan tiupan pluit itu menandakan bahwa sebaiknya mereka mencoba menggunakan jalan itu. Lalu mereka semua pun turun ke bawah untuk berjalan di jalan itu. Lalu berjalan di lorong yang bau apek karena begitu lembab dan tidak terkena sinar matahari. berjalan terus menerus hingga kaki lecet karena sepatu sempit sehingga mengakibatkan kaki bergesekan dengan sepatu. Atau Jika tidak memakai sepatu maka akan lebih parah lagi karena kaki akan lecet terkena batu. Tapi sisi positifnya jadi tidak mudah terpeleset kalau jalanannya licin dan becek. Tapi itu belum parah jika dibandingkan dengan rasa haus dan lapar yang menyerang dengan ganasnya sedangkan persediaan makanan begitu sedikit.
        Tapi saat itu Yume dan kawan-kawannya menemukan sebuah kota. Kota itu sudah tidak ditempati. Banyak bangunan-bangunan yang sudah lapuk dimakan umur. Ada juga sebuah tengkorak di jalanan tersebut. Mungkin penduduk kota ini mati karena ada sebuah serangan. Lalu di balik bangunan itu Yume menemukan peralatan rumah tangga yang terbuat dari porselen, besi, serta tembaga. Mereka pun menyimpulkan bahwa rata-rata penduduk disini adalah pandai besi.   Di bagian belakang rumah itu terdapat tempat sampah yang berisi sisa-sisa kulit kerang yang begitu keras. Mungkin makanan mereka adalah kerang. Lalu Yume dan kawan-kawannya juga mengamati pasir di sini. Mungkinkah pasir ini memiliki unsur tembaga. Atau mungkinkah dulu ada sebuah harta karun yang tersembunyi di balik pasir ini. Yume pun membayangkan harta karun itu. Pasti lah harta karun itu terbuat dari koin emas, kalung mutiara, pedang pusaka, batu ruby, emerald, safir. Dan mungkin di sebelah peti harta karun itu ada seorang penjaga yang memakai baju jirah. Tapi sayangnya tetap mati karena dibunuh oleh para pasukan yang menginvasi tempat ini.
        Yume pun terus berjalan sampai menemukan sebuah danau sehingga mereka bisa mandi di sana. Serta membersihkan kaki-kaki mereka yang terluka walaupun agak sedikit perih. Dan hal yang menyenangkan adalah saat menemukan sebuah jalan di balik air terjun yang ada di danau itu. Tapi ternyata jalanan di balik air terjun itu begitu sempit. Sehingga mereka harus merangkak. Atau mungkin jika jalannya begitu sempit sekali mereka harus berjalan dengan tiarap seperti tentara.   Yume pun masih teringat akhirnya  mereka menemukan sebuah undakan yang membawanya agak ke atas. Serta lorong yang berbelok dan tibalah sebuah jalan keluar menuju cahaya matahari. Tapi sayangnya jalan itu tertutup oleh bebatuan sehingga mereka harus bekerja sama menyingkirkan batu-batu yang berat tersebut. Ketika sampai di luar maka ada sebuah sungai mengalir. Mereka pun menyebranginya. Lalu menemukan pohon yang begitu besar sekali.
       Yume dan kawan-kawannya menemukan sebuah liang di pohon itu. Merasa petualangannya begitu kurang karena jiwa petualangan mereka terus bergejolak dan rasa ingin tahu yang kuat tentang ada apakah di dalam pohon besar itu maka akhirnya dengan senyuman jahil mereka pun masuk ke dalam pohon besar itu. Ternyata di dalam pohon itu terlihat seperti ruangan. Bahkan mungkin orang jaman dulu ada yang pernah tinggal di pohon ini. Di pohon itu, Yume menemukan sebuah makam serta sesosok tengkorak . Posisi kepala tengkorak itu berada di atas makam. Seakan-akan ketika belum menjadi tengkorak tubuh itu sedang menangisi makam tersebut.
        Di tangan tengkorak itu terdapat sebuah buku yang begitu rapuh. Mungkin jika kau memegang buku itu yang terjadi selanjutnya adalah lbuku tersebut patah bukan sobek. Yume mengambil buku itu pelan-pelan agar sang buku tidak hancur. Ia membaca buku itu. Tulisan di buku ini bukanlah tulisan kuno atau tulisan paku yang membuat mereka tidak bisa membacanya. Tapi tulisan ini adalah tulisan biasa yang membuat mereka tetap bisa membacanya. Tapi hal yang paling menyedihkan adalah di buku itu ada serangga-serangga yang begitu kecil sekali. Yume pun bergidik dan meletakan buku itu di tanah. Lalu dengan ranting kayu ia berusaha mencoba agar buku itu tidak tertutup. Ia membaca buku itu.

        Dalam journal tersebut. Orang yang telah menjadi tengkorak itu menuliskan bahwa Ia sudah sampai ke tempat itu. Tempat yang sudah ia cari-cari. Tempat yang tidak ada peta untuk menuju ke tempat ini melainkan hanya terdiri dari kode seorang teman, petunjuk dan pesan tersirat dari narasumber yang telah menjelaskan sebuah kisah kepadanya. Yume pun semakin penasaran apa maksud journal tersebut. Apa yang laki-laki itu cari? Apakah ia telah menemukan apa yang telah ia cari? Apa kode-kode yang diberikan oleh temannya? Apa kisah-kisah yang telah diceritakan olehnya?   Yume pun menatap tulisan tangan laki-laki itu. Ia menyukai tulisan tangan itu, begitu rapih dan bagus, sungguh indah. Teman-teman Yume pun sudah begitu ketakutan sama ketakutannya saat menemukan sebuah kota yang telah hancur di goa tadi. Mereka pun pulang. Yume membawa buku itu untuk ia baca nanti. Tapi sebelumnya ia meletakkan buku itu ke sebuah plastik seperti barang bukti lalu meletakkannya ke dalam tas. Ia pun menyiapkan kaos tangan untuk dipakainya saat membacanya nanti.
        Suara tangisan yang begitu kencang membawa pikiran Yume kembali ke dirinya yang sedang terpaku di depan sebuah goa. Alex berteriak "Itu suara tangisan Daniel." Kami semua pun masuk ke dalam goa itu. Daniel sedang terjongkok dan menangis. Hidung dan matanya mengeluarkan cairan. Kami semua memeluk Daniel. Max pun bertanya. "Daniel kalau kau takut kenapa kau tidak pergi dari tempat yang gelap ini?" Yume pun menjawab mewakili Daniel yang masih menangis. "Mungkin ia terlalu takut untuk berjalan keluar goa. Tapi jika ia berjalan menjauhi goa mungkin kita akan sulit mencarinya lagi."   Max pun menggendong dan memeluk erat Daniel. "Yeah kau benar Yume" Max pun berbicara pada Daniel "Kau sudah aman di pelukanku sayang." Daniel pun mengerti gerakan non verbal itu. Dari pelukan Max. Daniel menemukan sebuah kehangatan yang membuatnya lupa akan dinginnya hembusan angin di dalam goa yang lembab. Dari ciuman Max pun Daniel merasakan sebuah rasa aman. Bahwa tidak akan ada yang bisa mengganggunya karena Max akan menjaganya.
        Mereka pun kembali ke pantai. Dan menemukan orang tua keempat bersaudara itu sedang histeris mencari-cari mereka. Yume tersenyum tipis. Bener-bener mirip dari yang ia duga. Setelah mereka berada cukup dekat dengan sepasang kedua orang tua itu. Yume tersenyum dan berkata "Maaf tante, saya telah meminjam keempat anak tante tanpa minta izin terlebih dahulu kepada om dan tante. Lagipula tadi om dan tante sedang begitu nyenyak tidur. Saya tidak tega membangunkan om dan tante. Ini anak tante yang paling kecil. Dari pertama kali aku bertemu dengannya Hanna begitu manis sekali."
        Orang tua keempat bersaudara itu menatap Yume dengan tatapan bingung. Max pun mengenalkan Yume kepada orang tuanya. Ia pun juga tersenyum. "Mom sepertinya kalian mendapatkan sebuah pelajaran hari ini." Max terkekeh lalu melanjutkan perkataanya. "Ini Yume, Mom dan Popp harus berterima kasih kepadanya. Karena tanpa dia mungkin Hanna sudah hanyut di pantai. Dan Daniel sudah tertinggal di goa."   Yume menatap Max. "Bukankah tadi kau yang menemukan jejak kakinya?" Max pun langsung menjawab "Tapi itu karena aku terinspirasi darimu yang sedang sibuk menatap pasir pantai. Dan ketika kau sedang menatap pasir pantai dengan expresi pusing aku yakin kau sedang mencari jejak kaki Daniel. Tapi sayangnya jejak kaki di sana hanya berputar-putar dan itulah yang membuatmu pusing terlebih kau sedang menggendong Hanna. Tapi untunglah dari semak itu aku menemukan jejak kaki Daniel yang berjalan menjauh dari semak itu."   Yume tersenyum "Itu berarti berkat Alex, karena dia yang mengatakan bahwa kupu-kupu itu mungkin berada di balik semak." Alex pun melempar fakta tersebut " Tapi aku menjawab karena kak Yume menanyakan ke mana sang kupu-kupu itu pergi. Berarti ini semua berkat kak Yume." Popp pun menengahi "Siapapun itu. Aku sangat berterima kasih karena telah menolong dan menjaga Daniel dan Hanna. Tapi harus ada seseorang yang mempertanggung jawabkan perutku." Kami semua tertawa terlebih Daniel. Sang dalang dan yang harus bertanggung jawab atas warna kulit di bagian perut yang membentuk kerang.