C. Kemajuan Peradaban

Dalam masa lebih dari tujuh abad, kekuasaan Islam di Spanyol, umat Islam telah mencapai kejayaannya di sana. Banyak prestasi yang mereka peroleh, bahkan, pengaruhnya membawa Eropa dan kemudian dunia, kepada kemajuan yang lebih kompleks.

1. Kemajuan Intelektual

Spanyol adalah negeri yang subur. Kesuburan itu mendatangkan penghasilan ekonomi yang tinggi dan pada gilirannya banyak menghasilkan pemikir.

Masyarakat Spanyol Islam merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari komunitas-komunitas Arab (Utara dan Selatan), al-Muwalladun (orang-orang Spanyol yang masuk Islam), Barbar (umat Islam yang berasal dari Afrika Utara), al-Shaqalibah (penduduk daerah antara Konstantinopel dan Bulgaria yang menjadi tawanan Jerman dan dijual kepada penguasa Islam untuk dijadikan tentara bayaran), Yahudi, Kristen Muzareb yang berbudaya Arab dan Kristen yang masih menentang kehadiran Islam. Semua komunitas itu, kecuali yang terakhir, memberikan saham intelektual terhadap terbentuknya lingkungan budaya Andalus yang melahirkan kebangkitan ilmiah, sastra, dan pembangunan fisik di Spanyol.[31]

a.    Filsafat

Islam di Spanyol telah mencatat satu lembaran budaya yang sangat brilian dalam bentangan sejarah Islam. Ia berperan sebagai jembatan penyeberangan yang dilalui ilmu pengetahuan Yunani-Arab ke Eropa pada abad ke-12. Minat terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan mulai dikembangkan pada abad ke-9 M, selama pemerintahan penguasa Bani Umayyah yang ke-5, Muhammad ibn Abd Al-Rahman (832-886 M).[32]

Atas inisiatif Al-Hakam (961 -976 M), karya-karya ilmiah dan filosofis diimpor dari Timur dalam jumlah besar, sehingga, Cordova dengan perpustakaan dan universitas-universitasnya mampu menyaingi Baghdad sebagai pusat utama ilmu pengetahuan di dunia islam.

Tokoh utama pertama dalam sejarah filsafat Arab-Spanyol adalah Abu Bakr Muhammad ibn Al-Sayigh yang lebih dikenal dengan Ibn Bajjah. Dilahirkan di Saragosa, ia pindah ke Sevilla dan Granada. Meninggal karena keracunan di Fez tahun 1138 M dalam usia yang masih muda. Seperti Al-Farabi dan Ibn Sina di Timur, masalah yang dikemukakannya bersifat etis dan eskatologis. Magnum opusnya adalah Tadbir al-Mutawahhid.

Tokoh utama kedua adalah Abu Bakr ibn Thufail, penduduk asli Wadi Asy, sebuah dusun kecil di sebelah timur Granada dan wafat pada usia lanjut tahun 1185 M. Ia banyak menulis masalah kedokteran, astronomi, dan filsafat. Karya filsafatnya yang sangat terkenal adalah Hay ibn Yaqzhan.

Akhir abad ke-12 M menjadi saksi munculnya seorang pengikut Aristoteles yang terbesar di gelanggang filsafat dalam Islam, yaitu Ibnu Rusyd dari Cordova. la lahir tahun 1126 M dan meninggal tahun 1198 M. Ciri khasnya adalah kecermatan dalam menafsirkan naskah-naskah Aristoteles dan kehati-hatian dalam menggeluti masalah-masalah menahun tentang keserasian filsafat dan agama. Dia juga ahli fiqh dengan karyanya Bidayah al-Mujtahid.

Ibnu Rusyd memiliki sikap realisme, rasionalisme, positivisme ilmiah Aristotelian. Sikap skeptis terhadap mistisisme adalah basis di mana ia menyerang filsafat Al-Ghazali.[33]

b.    Sains

Ilmu-ilmu kedokteran, musik, matematika, astronomi, kimia dan Iain-lain juga berkembang dengan baik. Abbas ibn Farnas termasyhur dalam ilmu kimia dan astronomi. Ialah orang pertama yang menemukan pembuatan kaca dari batu.[34] Ibrahim ibn Yahya Al-Naqqash terkenal dalam ilmu astronomi. la dapat menentukan waktu terjadinya gerhana matahari dan menentukan berapa lamanya. la juga berhasil membuat teropong modern yang dapat menentukan jarak antara tata surya dan bintang-bintang. Ahmad ibn Ibas dari Cordova adalah ahli dalam bidang obat-obatan. Umm Al-Hasan bint Abi Ja’far dan saudara perempuan Al-Hafidz adalah dua orang ahli kedokteran dari kalangan wanita.

Fisika. Kitab Mizanul Hikmah (The Scale of Wisdom), ditulis oleh Abdul Rahman al-Khazini pada tahun 1121, adalah satu karya fundamental dalam ilmu fisika di Abad Pertengahan, mewujudkan “tabel berat jenis benda cair dan padat dan berbagai teori dan kenyataan yang berhubungan dengan fisika.[35]

Trigonometri Pengantar kepada risalah astronomi dari Jabir ibnu Aflah, dari Seville, ditulis oleh Islah al-Majisti pada pertengahan abad dua belas, berisi tentang teori-teori trigonometrikal. Hasan al-Marrakusyi telah melengkapi pada tahun 1229 di Maroko, suatu risalah astronomi dengan informasi trigonometri. Karyanya tersebut berisi “tabel sinus untuk setiap setengah derajat, juga tabel untuk mengenal benar-benar sinus, arc sinus dan arc cotangen”

Observatorium Maragha, berdiri pada tahun 1259 di Azerbaijan, Persia, menjadi pusat studi astronomi dan alat-alat (baru) atau untuk memperbaiki alat-alat astronomi, kreatif dan terkenal untuk suatu periode yang singkat. Pusat yang menarik bagi ahli astronomi dan pembuat alat-alat astronomi dari Persia dan mungkin Cina.[36]

Dalam bidang sejarah dan geografi, wilayah Islam bagian barat melahirkan banyak pemikir terkenal. Ibn Jubair dari Valencia (1145-1228 M) menulis tentang negeri-negeri muslim Mediterania dan Sicilia dan Ibn Batuthah dari Tangier (1304-1377 M) mencapai Samudera Pasai dan Cina. Ibn Al-Khatib (1317-1374 M) menyusun riwayat Granada, sedangkan Ibn Khaldun dari Tunis adalah perumus filsafat sejarah. Semua sejarawan di atas bertempat tinggal di Spanyol, yang kemudian pindah ke Afrika.

Geografi. Zamakhsyari (wafat 1144) seorang Persia, menulis Kitabul Amkina waljibal wal Miyah (The Book of Places, Mountains and Waters). Yaqut menulis Mu’jamul Buldan (The Persian Book of Places), tahun 1228, berupa suatu daftar ekstensif data-data geografis menurut abjad termasuk fakta-fakta atas manusia dan geografi alam, arkeologi, astronomi, fisika dan geografi sejarah. Aja’ib al-Buldan (The Wonders of Lands), karya al-Qazwini, tahun 1262, ditulis dalam tujuh bagian yang berkaitan dengan iklim. Muhammad ibnu Ali az-Zuhri dari Spanyol, menulis satu risalah teori geografi setelah tahun 1140. Al-Idrisi dari Sisilia, menulis untuk raja Normandia, Roger II, yang kemudian diketahui sebagai sebuah deskripsi geografi yang paling teliti di dunia. Ia juga menggubah ensiklopedia geografi antara tahun 1154 dan 1166 untuk William I. Al-Mazini di Granada telah menulis geografi Islam Timur dan daerah Volga; keduanya didasarkan atas perjalanannya.[37]

c. Fiqih

Dalam bidang fiqih, Spanyol Islam dikenal sebagai penganut Maliki. Yang memperkenalkan mazhab ini di sana adalah Ziyad ibn Abd Al-Rahman. Perkembangan selanjutnya ditentukan oleh Ibn Yahya yang menjadi qadhi pada masa Hisyam ibn Abd Al-Rahman. Ahli-ahli fiqih lainnya di antaranya adalah Abu Bakr ibn Al-Quthiyah, Munzir ibn Sa’id Al-Baluthi, dan Ibn Hazm yang terkenal.[38]

d. Musik dan Kesenian

Dalam bidang musik dan seni suara, Spanyol Islam mencapai kecemerlangan dengan tokohnya Al-Hasan ibn Nafi yang dijuluki zaryab. Setiap kali diselenggarakan pertemuan dan jamuan, Zaryab selalu tampil mempertunjukkan kebolehannya. la juga terkenal sebagai penggubah lagu. Ilmu yang dimilikinya itu diturunkan kepada anak-anaknya, baik pria maupun wanita, dan juga kepada budak-budak, sehingga kemasyhurannya tersebar luas.

Studi-studi musikal Islam, seperti telah diprakarsai oleh para teoritikus al-Kindi, Avicenna dan Farabi, telah diterjemahkan ke bahasa Hebrew dan Latin sampai periode pencerahan Eropa. Banyak penulis-penulis dan musikolog Barat setelah tahun 1200, Gundi Salvus, Robert Kilwardi, Ramon Lull, Adam de Fulda, dan George Reish dan Iain-lain, menunjuk kepada terjemahan Latin dari tulisan-tulisan musikal Farabi. Dua bukunya yang paling sering disebut adalah De Scientiis dan De Ortu Scientiarum.

Musik Muslim juga disebarluaskan ke seluruh benua Eropa oleh para “penyanyi-pengembara” dari periode pertengahan ini memperkenalkan banyak instrumen dan elemen-elemen musik Islami. Instrumen-instrumen yang lebih terkenal adalah lute (al-lud), pandore (tanbur) dan gitar (gitara). Kontribusi Muslim yang penting terhadap warisan musik Barat adalah musik mensural dan nilai-nilai mensural dalam noot dan mode ritmik. Tarian Morris di Inggris berasal dari Moorish mentas (Morise). Spanyol banyak menerapkan model-model musikal untuk sajak dan rima syair dari kebudayaan Muslim.[39]

Banyak risalah musikal yang telah di tulis oleh para tokoh Islam seperti Nasiruddin Tusi dan Qutubuddin Asy-Syairazi yang lebih banyak menyusun teori-teori musik.[40]

e. Bahasa dan Sastra

Bahasa Arab telah menjadi bahasa administrasi dalam pemerintahan Islam di Spanyol. Hal itu dapat diterima oleh orang-orang Islam dan non-Islam. Bahkan, penduduk asli Spanyol menomor duakan bahasa asli mereka. Mereka juga banyak yang ahli dan mahir dalam bahasa Arab, baik keterampilan berbicara maupun tata bahasa. Mereka itu antara lain: Ibn Sayyidih, Ibn Malik pengarang Alfiyah, Ibn Khuruf, Ibn Al-Hajj, Abu Ali Al-Isybili, Abu Al-Hasan Ibn Usfur, dan Abu Hayyan Al-Gharnathi.

2.    Kemegahan Pembangunan Fisik

Aspek-aspek pembangunan fisik yang mendapat perhatian umat Islam sangat banyak. Dalam perdagangan, jalan-jalan dan pasar-pasar dibangun. Bidang pertanian demikian juga. Sistem irigasi baru diperkenalkan kepada masyarakat Spanyol yang tidak mengenal sebelumnya. Dam-dam, kanal-kanal, saluran sekunder, tersier, dan jembatan-jembatan air didirikan. Tempat-tempat yang tinggi, dengan begitu, juga mendapat jatah air.

Orang-orang Arab memperkenalkan pengaturan hidrolik untuk tujuan irigasi. Kalau dam digunakan untuk mengecek curah air, waduk (kolam) dibuat untuk konservasi (penyimpanan air). Pengaturan hidrolik itu dibangun dengan memperkenalkan roda air (water wheel) asal Persia yang dinamakan na’urah (Spanyol: Noria). Di samping itu, orang-orang Islam juga memperkenalkan pertanian padi, perkebunan jeruk, kebun-kebun, dan taman-taman.[41]

Industri, di samping pertanian dan perdagangan, juga merupakan tulang punggung ekonomi Spanyol Islam. Di antaranya adalah tekstil, kayu, kulit, logam, dan industri barang-barang tembikar.

Namun demikian, pembangunan-pembangunan fisik yang paling menonjol adalah pembangunan gedung-gedung, seperti pembangunan kota, istana, mesjid, pemukiman, dan taman-taman. Di antara pembangunan yang megah adalah mesjid Cordova, kota Al-Zahra, Istana Ja’fariyah di Saragosa, tembok Toledo, istana Al-Makmun, mesjid Seville, dan istana Al-Hamra di Granada.

a.    Cordova

Cordova adalah ibu kota Spanyol sebelum Islam, yang kemudian diambil alih oleh Bani Umayyah. Oleh penguasa muslim, kota ini dibangun dan diperindah. Jembatan besar dibangun di atas sungai yang mengalir di tengah kota. Taman-taman dibangun untuk menghiasi ibu kota Spanyol Islam. Pohon-pohon dan : bunga-bunga diimpor dari Timur. Di seputar ibu kota berdiri istana-istana yang megah yang semakin mempercantik peman-dangan, setiap istana dan taman diberi nama tersendiri dan di puncaknya terpancang istana Damsik.

Di antara kebanggaan kota Cordova lainnya adalah masjid Cordova. Menurut Ibn Al-Dala’i, terdapat 491 mesjid di sana. Di samping itu, ciri khusus kota-kota Islam adalah adanya tempat-tempat pemandian. Di Cordova saja terdapat sekitar 900 pemandi-an. Di sekitarnya berdiri perkampungan-perkampungan yang indah. Karena air sungai tak dapat diminum, penguasa muslim mendirikan saluran air dari pegunungan yang panjangnya 80 Km.

b.    Granada

Granada adalah tempat pertahanan terakhir umat Islam di Spanyol. Di sana berkumpul sisa-sisa kekuatan Arab dan pemikir Islam. Posisi Cordova diambil alih oleh Granada di masa-masa akhir kekuasaan Islam di Spanyol. Arsitektur-arsitektur bangunannya terkenal di seluruh Eropa. Istana Al-Hamra yang indah dan megah adalah pusat dan puncak ketinggian arsitektur Spanyol Islam. Istana itu dikelilingi taman-taman yang tidak kalah indahnya.

Kisah tentang kemajuan pembangunan fisik ini masih bisa diperpanjang dengan kota dan istana Al-Zahra, istana Al-Gazar, inenara Girilda, dan Iain-lain.[42]. gambar lainnya bisa dilihat
di sini

3.    Faktor-Faktor Pendukung Kemajuan

Spanyol Islam, kemajuannya sangat ditentukan oleh adanya penguasa-penguasa yang kuat dan berwibawa, yang mampu mempersatukan kekuatan-kekuatan umat Islam, seperti Abd Al Rahman Al-Dakhil, Abd Al-Rahman Al-Wasith dan Abd Al-Kahman Al-Nashir.

Keberhasilan politik pemimpin-pemimpin tersebut ditunjang oleh kebijaksanaan penguasa-penguasa lainnya yang mempelopori kegiatan-kegiatan ilmiah yang terpenting di antara penguasa dinasti Umayyah di Spanyol dalam hal ini adalah Muhammad Ibn Abd Al-Rahman (852-886) dan Al-Hakam II Al-Muntashir (961-976).

Toleransi beragama ditegakkan oleh para penguasa terhadap penganut agama Kristen dan Yahudi, sehingga, mereka ikut berpartisipasi mewujudkan peradaban Arab Islam di Spanyol. Untuk orang Kristen, sebagaimana juga orang-orang Yahudi, disediakan hakim khusus yang menangani masalah sesuai dengan ajaran agama mereka masing-masing.

Masyarakat Spanyol Islam merupakan masyarakat majemuk, terdiri dari berbagai komunitas, baik agama maupun bangsa. Dengan ditegakkannya toleransi beragama, komunitas-komunitas itu dapat bekerja sama dan menyumbangkan kelebihannya masing-masing.

Meskipun ada persaingan yang sengit antara Abbasiyah di Baghdad dan Umayyah di Spanyol, hubungan budaya dari Timur dan Barat tidak selalu berupa peperangan. Sejak abad ke-11 M dan seterusnya, banyak sarjana mengadakan perjalanan dari ujung barat wilayah Islam ke ujung timur, sambil membawa buku-buku dan gagasan-gagasan. Hal ini menunjukkan bahwa, meskipun umat Islam terpecah dalam beberapa kesatuan politik, terdapat api yang disebut kesatuan budaya dunia Islam.[43]

Perpecahan politik pada masa Muluk Al-Thawa’if dan sesudahnya tidak menyebabkan mundurnya peradaban. Masa itu, bahkan, merupakan puncak kemajuan ilmu pengetahuan, Kesenian, dan kebudayaan Spanyol Islam. Setiap dinasti (raja) di Malaga, Toledo, Sevilla, Granada, dan Iain-lain berusaha menyaingi Cordova. Kalau sebelumnya Cordova merupakan satu-satunya pusat ilmu dan peradaban Islam di Spanyol, Muluk Al-Thawa’if berhasil mendirikan pusat-pusat peradaban baru yang di antaranya justru lebih maju.[44]

D. Penyebab Kemunduran dan Kehancuran

1. Konflik Islam dengan Kristen

Para penguasa Muslim tidak melakukan Islamisasi secara sempurna. Mereka sudah merasa puas dengan hanya menagih upeti dari kerajaan-kerajaan Kristen taklukannya dan membiarkan mereka mempertahankan hukum dan adat mereka, termasuk posisi hirarki tradisional, asal tidak ada perlawanan bersenjata.38 Namun demikian, kehadiran Arab Islam telah memperkuat rasa kebangsaan orang-orang Spanyol Kristen. Hal itu menyebabkan kehidupan negara Islam di Spanyol tidak pernah berhenti dari pertentangan antara Islam dan Kristen. Pada abad ke-11 M umat Kristen memperoleh kemajuan pesat, sementara umat Islam sedang mengalami kemunduran.[45]

2. Tidak Adanya Ideologi Pemersatu

Kalau di tempat-tempat lain, para mukalaf diperlakukan sebagai orang Islam yang sederajat, di Spanyol, sebagaimana politik yang dijalankan Bani Umayyah di Damaskus, orang-orang Arab tidak pernah menerima orang-orang pribumi. Setidak-tidaknya sampai abad ke-10 M, mereka masih memberi istilah ‘ibad dan muwalladun kepada para mukalaf itu, suatu ungkapan yang dinilai merendahkan. Akibatnya, kelompok-kelompok etnis non-Arab yang ada sering menggerogoti dan merusak perdamaian. Hal itu mendatangkan dampak besar terhadap sejarah sosio-ekonomi negeri tersebut. Hal ini menunjukkan tidak adanya ideologi yang dapat memberi makna persatuan, di samping kurangnya figur yang dapat menjadi personifikasi ideologi itu.[46]

3. Kesulitan Ekonomi

Di paruh kedua masa Islam di Spanyol, para penguasa membangun kota dan mengembangkan ilmu pengetahuan dengan sangat “serius”, sehingga lalai membina perekonomian.[47] Akibatnya timbul kesulitan ekonomi yang amat memberatkan dan mempengaruhi kondisi politik dan militer.

4. Tidak Jelasnya Sistem Peralihan Kekuasaan

Hal ini menyebabkan perebutan kekuasaan di antara ahli waris. Bahkan, karena inilah kekuasaan Bani Umayyah runtuh dan Muluk Al-Thawaif muncul. Granada yang merupakan pusat kekuasaan Islam terakhir di Spanyol jatuh ke tangan Ferdinand dan Isabella, di antaranya juga disebabkan permasalahan ini.[48]

5. Keterpencilan

Spanyol Islam bagaikan terpencil dari dunia Islam yang lain. la selalu berjuang sendirian, tanpa mendapat bantuan kecuali dan Afrika Utara. Dengan demikian, tidak ada kekuatan alternatif yang mampu membendung kebangkitan Kristen di sana.[49]

D. Pengaruh Peradaban Islam Di Eropa

Kemajuan Eropa yang terus berkembang hingga saat ini banyak berhutang budi kepada khazanah ilmu pengetahuan Islam yang berkembang di periode klasik. Memang banyak saluran bagaimana peradaban Islam mempengaruhi Eropa, seperti Sicilia dan Perang Salib, tetapi saluran yang terpenting adalah Spanyol Islam.

Spanyol merupakan tempat yang paling utama bagi Eropa menyerap peradaban Islam, baik dalam bentuk hubungan politik, sosial, maupun perekonomian, dan peradaban antar negara. Orang-orang Eropa menyaksikan kenyataan bahwa Spanyol berada di bawah kekuasaan Islam jauh meninggalkan negara-negara tetangganya Eropa, terutama dalam bidang pemikiran dan sains di samping bangunan fisik.[50] Yang terpenting di antaranya adalah pemikiran Ibn Rusyd (1120-1198 M). la melepaskan belenggu taklid dan menganjurkan kebebasan berpikir. la mengulas pemikiran Aristoteles dengan cara yang memikat minat semua orang yang berpikiran bebas. la mengedepankan sunnatullah menurut pengertian Islam terhadap pantheisme dan anthropomorphisme Kristen. Demikian besar pengaruhnya di Eropa, hingga di Eropa timbul gerakan Averroeisme (Ibn Rusydisme) yang menuntut kebebasan berpikir. Pihak gereja menolak pemikiran rasional yang dibawa gerakan Averroeisme ini.

Berawal dari gerakan Averroeisme inilah di Eropa kemudian lahir reformasi pada abad ke-16 M dan rasionalisme pada abad ke-17 M.[51] 41 Buku-buku Ibn Rusyd dicetak di Vinesia tahun 1481, 1482, 1483, 1489, dan 1500 M. Bahkan, edisi lengkapnya terbit pada tahun 1553 dan 1557 M. Karya-karyanya juga diterbitkan pada abad ke-16 M di Napoli, Bologna, Lyonms, dan Strasbourg, dan di awal abad ke-17 M di Jenewa.

Pengaruh peradaban Islam, termasuk di dalamnya pemikiran Ibn Rusyd, ke Eropa berawal dari banyaknya pemuda-pemuda Kristen Eropa yang belajar di universitas-universitas Islam di Spanyol, seperti universitas Cordova, Seville, Malaga, Granada, dan Salamanca. Selama belajar di Spanyol, mereka aktif menerjemahkan buku-buku karya ilmuwan-ilmuwan Muslim. Pusat penerjemahan itu adalah Toledo. Setelah pulang ke negerinya, mereka mendirikan sekolah dan universitas yang sama. Universitas pertama eropa adalah Universitas Paris yang didirikan pada tahun 1231 M tiga puluh tahun setelah wafatnya Ibn Rusyd. Di akhir zaman Pertengahan Eropa, baru berdiri 18 buah universitas. Di dalam universitas-universitas itu, ilmu yang mereka peroleh dari universitas-universitas Islam diajarkan, seperti ilmu kedokteran, ilmu pasti, dan filsafat. Pemikiran filsafat yang paling banyak dipelajari adalah pemikiran Al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd.[52]

Pengaruh ilmu pengetahuan Islam atas Eropa yang sudah berlangsung sejak abad ke-12 M itu menimbulkan gerakan kebangkitan kembali (renaissance) pusaka Yunani di Eropa pada abad ke-14 M. Berkembangnya pemikiran Yunani di Eropa kali ini adalah melalui terjemahan-terjemahan Arab yang dipelajari dan kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Latin.[53]

Walaupun Islam akhirnya terusir dari negeri Spanyol dengan cara yang sangat kejam, tetapi ia telah membidani gerakan-gerakan penting di Eropa. Gerakan-gerakan itu adalah kebangkitan kembali kebudayaan Yunani klasik (renaissance) pada abad ke-14 M yang bermula di Italia, gerakan reformasi pada abad ke-16 M, rasionalisme pada abad ke-17 M, dan pencerahan (aufklarung) pada abad ke-18 M.[54]

PENUTUP

Eksistensi perkembangan ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh peradaban Spanyol Islam di segala bidang, telah menjadikannya sebagai sebuah negara adikuasa di zamannya. Kehadirannya telah banyak mewarnai perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban manusia.

Dengan semangat science for science mereka melakukan serangkaian upaya pengembangan khazanah keilmuan yang telah di kemukakan oleh Pemikir Yunani kuno dengan tanpa melepaskan pada frame religius islami. Semangat inilah yang mereka lakukan dalam melakukan itjihad keilmuan. Dari akumulasi dan hubungan yang harmonis inilah kemudian melahirkan ilmu pengetahuan islami yang sangat bermanfaat bagi perkembangan kebudayaan manusia selanjutnya. Di saat perkembangan keilmuwan mencapai zaman keemasan inilah pada waktu yang bersamaan dunia Eropa berada dalam keadaan yang memprihatinkan. Mereka terkekang oleh dogma gerejani yang absolut yang mengharamkan umatnya untuk mengembangkan daya nalarnya.

Namun demikian, perputaran jarum sejarah tidak selamanya menunjukkan arahnya ke dunia Islam. Selang beberapa waktu kemudian dunia Islam mengalami disintegrasi dan stagnasi roh ilmiah intelektual, terutama setelah serangan Al-Ghazali yang mendeskriditkan para filsuf muslim dalam melakukan itjihad akliah mereka. Kondisi ini menjadikan umat menjadi antipati terhadap dinamika intelektual filosofis. Sementara itu banyaklah para filsuf muslim yang harus “keluar” dari negerinya yang sudah tak “bersahabat” lagi dengan ide-idenya ke tempat yang lebih aman, yaitu Benua Eropa. Di sana ide-ide mereka disambut dengan antusias, apalagi setelah para pelajar Eropa belajar di dunia Islam sebelumnya. Mereka tahu akan begitu besarnya manfaat ilmu yang ada di dunia Islam. Keadaan inilah yang akhirnya khazanah ilmu pengetahuan harus berpindah dari dunia Islam ke dunia non-Islam. Babak inilah yang menandai kemunduran dunia Islam, dan awal zaman keemasan dunia Eropa. Kemunduran dinamika intelektual muslim disebabkan tidak teraplikasikannya nilai-nilai ijtihad yang distimuli al-Qur’an di tengah-tengah kehidupan umat Islam. Untuk itu fenomena ini hendaknya memberikan nuansa sekaligus pemicu agar umat kembali kepada semangat intelektual Quranik, jika ingin mengembalikan zaman keemasan pendidikan Islam tempo dahulu, guna mengembalikan zaman keemasan pendidikan dan membangun kebudayaan dunia Islam modern secara adaptik dan komprehensif. (nalah_aagun)

DAFTAR PUSTAKA

As-Siba’i Mustafa, Peradaban Islam Dulu, Kini dan Esok. Gema Insani Press, Jakarta : 1993
Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam, PT: Gravindo Persada : 2003
Majid Mun’im Abdul, Sejarah Kebudayaan Islam, Pustaka : 1997
Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT), Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta 1996.
Sunanto Musyrifah, Sejarah Islam Klasik, Jakarta Timur, Penada Media: 2003
Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta, Kencana. 2005
Dean Derhak, Muslim Spain and European Culture, dalam www.muslimheritage.com
Siti Maryam, dkk., Sejarah Peradaban Islam: Dari masa Klasik hingga Modern. Yogyakarta. LESFI, 2004
Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid 2, Jakarta, Pustaka Alhusna, 1983
_________, Mausu’ah al-Tarikh al-Islami wa al-Hadharah al-Islamiyah, jilid 4, Kairo: Maktabah al-Mishriyah,  1979
Philip K. Hitti, History of the Arab, London, Macmillan Press, 1970
Carl, Brockelmann, History of the Islami Peoples, London: Rotledge & Kegan Paul, 1980
Bertol Spuler, The Muslim World: A Hisrorical Survey, Leiden: E. J. Bril, 1960
Thomas W. Arnold, Sejarah Da’wah Islam, Jakarta: Wijaya, 1983
K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1986
Mahmudunnasir, Islam Its Concept & History, New Delhi: Kitab Bravan, 1981
S. M. Imaduddin, Muslim Spain: 711-1492 A.D, Leiden: E. J. Brill, 1981
David Wessenstein, Politics and Society in Islami Spain: 1002-1086, New Jersey: Princeton University Press, 1985
Jurji Zaidan, Tarikh al-Tamaddun al-Islami, juz III, Kairo: Dara l-Hilal, tt
Musyrifah Sunanto,Sejarah Islam Klasik, Jakarta Timur, Penada Media, 2003
W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam: Kajian kritis dari tokoh orientalis. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990
Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Jakarta: UI Press, 1985
Lutfi abd al-Badi, al-Islam fi Isbaniya, Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyyah, 1969
Masjid fakhri, Sejarah Filsafat Islam, Jakarta: Pustaka jaya, 1986
Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Ibn Rusyd, Jakarta: Bulan Bintan: 1975
[1]Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam,( Jakarta, Kencana. 2005). hlm. 109
[2]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, (Jakarta, Rajawali Pers. 2004), hlm. 87
[3]Dean Derhak, Muslim Spain and European Culture, dalam www.muslimheritage.com
[4]Siti Maryam, dkk., Sejarah Peradaban Islam: Dari masa Klasik hingga Modern. (Yogyakarta. LESFI, 2004). hlm. 83
[5]Siti Maryam, dkk., Sejarah Peradaban Islam, hlm. 69
[6]Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, hlm. 110
[7]A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid 2, (Jakarta, Pustaka Alhusna, 1983), hlm. 154
[8]Philip K. Hitti, History of the Arab,( London, Macmillan Press, 1970), hlm. 493
[9]Carl, Brockelmann, History of the Islami Peoples, (London: Rotledge & Kegan Paul, 1980), hlm. 83
[10]A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, hlm. 161
[11] Philip K. Hitti, History of the Arab, hlm. 628
[12]Carl, Brockelmann, History of the Islami Peoples, hlm. 14
[13]Bertol Spuler, The Muslim World: A Hisrorical Survey,( Leiden: E. J. Bril, 1960), hlm. 100
[14]Thomas W. Arnold, Sejarah Da’wah Islam, (Jakarta: Wijaya, 1983), hlm. 118
[15]Mahmudunnasir, Islam Its Concept & History, (New Delhi: Kitab Bravan, 1981), hlm. 214
[16]S. M. Imaduddin, Muslim Spain: 711-1492 A.D, (Leiden: E. J. Brill, 1981), hlm. 9
[17]S. M. Imaduddin, Muslim Spain: 711-1492 A.D, hlm. 13
[18] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 96
[19]A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, hlm. 158
[20]Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, hlm. 111
[21]David Wessenstein, Politics and Society in Islami Spain: 1002-1086, (New Jersey: Princeton University Press, 1985), hlm. 15-16
[22]Ahmad Syalabi, Mausu’ah al-Tarikh al-Islami wa al-Hadharah al-Islamiyah, jilid 4, (Kairo: Maktabah al-Mishriyah,  1979), hlm. 41-50
[23]Jurji Zaidan, Tarikh al-Tamaddun al-Islami, juz III, (Kairo: Dara l-Hilal, tt), hlm. 200
[24]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 96
[25]Musyrifah Sunanto,Sejarah Islam Klasik, Jakarta Timur, Penada Media:2003, hlm 119
[26] Philip K. Hitti, History of the Arab, hlm
[27]W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam: Kajian kritis dari tokoh orientalis. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), hlm. 217-218
[28]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 98
[29]Ahmad Syalabi, Mausu’ah al-Tarikh al-Islami wa al-Hadharah al-Islamiyah, hlm. 76
[30]Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1985), hlm 82
[31]Lutfi abd al-Badi, al-Islam fi Isbaniya, (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyyah, 1969), hlm. 38
[32]Masjid fakhri, Sejarah Filsafat Islam, (Jakarta: Pustaka jaya, 1986), hlm. 357
[33] Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hlm. 241
[34]Ahmad Syalabi, Mausu’ah al-Tarikh al-Islami wa al-Hadharah al-Islamiyah, hlm. 76
[35]Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, hlm. 245
[36] Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, hlm. 243
[37] Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, hlm. 243
[38] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 103
[39] Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, hlm. 261
[40] Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, hlm. 245
[41] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 104
[42] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 105
[43]Masjid fakhri, Sejarah Filsafat Islam, hlm. 357
[44]Lutfi abd al-Badi, al-Islam fi Isbaniya, hlm. 10
[45] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 107
[46] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 107
[47] Lutfi abd al-Badi, al-Islam fi Isbaniya, hlm. 25
[48] Ahmad Al-Usayri,  Sejarah Islam, (Jakarta: Akbar, 2004), hlm. 345
[49] Ahmad Al-Usayri,  Sejarah Islam, hlm. 346
[50] Philip K. Hitti, History of the Arab, hlm. 526-530
[51] S.I. Poeradisastra, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban Modern (Jakarta: P3M, 1986), hlm. 67
[52]Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Ibn Rusyd, (Jakarta: Bulan Bintan: 1975), hlm. 148-149
[53]K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1986), hlm. 32.
[54] S.I. Poeradisastra, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban Modern, hlm. 77

sumber: http://aagun74alqabas.wordpress.com
             http://zainurihanif.com
 
Ketika Islam mulai memasuki masa kemunduran di daerah Semenanjung Arab, bangsa-bangsa Eropa justru mulai bangkit dari tidurnya yang panjang, yang kemudian banyak dikenal dengan Renaissance. Kebangkitan tersebut bukan saja dalam bidang politik, dengan keberhasilan Eropa mengalahkan kerajaan-kerajaan Islam dan bagian dunia lainnya, tetapi terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Harus diakui, bahwa justru dalam bidang ilmu dan teknologi itulah yang mendukung keberhasilan negara-negara baru Eropa. Kemajuan-kemajuan Eropa tidak dapat dipisahkan dari peran Islam saat menguasai Spanyol.[1] Dari Spanyol Islam itulah Eropa banyak menimba ilmu pengetahuan. Ketika Islam mencapai masa keemasannya, kota Cordoba dan Granada di Spanyol merupakan pusat-pusat peradaban Islam yang sangat penting saat itu dan dianggap menyaingi Baghdad di Timur. Ketika itu, orang-orang Eropa Kristen, Katolik maupun Yahudi dari berbagai wilayah dan negara banyak belajar di perguruan-perguruan tinggi Islam di sana. Islam menjadi “guru” bagi orang Eropa[2] Di sini pula mereka dapat hidup dengan aman penuh dengan kedamaian dan toleransi yang tinggi, kebebasan untuk berimajinasi dan adanya ruang yang luas untuk mengekspresikan jiwa-jiwa seni dan sastra.[3]

Penduduk keturunan Spanyol dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu: Pertama, kelompok yang telah memeluk Islam; Kedua, kelompok yang tetap pada keyakinannya tetapi meniru adat dan kebiasaan bangsa Arab, baik dalam bertingkah laku maupun bertutur kata; mereka kemudian dikenal dengan sebutan Musta’ribah, dan Ketiga, kelompok yang tetap berpegang teguh pada agamanya semula dan warisan budaya nenek moyangnya. Tidak sedikit dari mereka, yang nonmuslim, menjadi pejabat sipil maupun militer, di dalam kekuasaan Islam Spanyol. Mereka pun mendapat keleluasaan dalam menjalankan ibadah mereka tanpa diganggu atau mendapat rintangan dari penguasa muslim saat itu, sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya saat penguasa Kristen memerintah Spanyol.[4]

A. Masuknya Islam ke Eropa

Dalam sejarah ilmu pengetahuan dan peradaban Islam, tanah Spanyol lebih banyak dikenal dengan nama Andalusia, yang diambil dari sebutan tanah Semenanjung Liberia. Julukan Andalusia ini berasal dari kata Vandalusia, yang artinya negeri bangsa Vandal, karena bagian selatan Semenanjung ini pernah dikuasai oleh bangsa Vandal sebelum mereka dikalahkan oleh bangsa Gothia Barat pada abad V. Daerah ini dikuasai oleh Islam setelah penguasa Bani Umayah merebut tanah Semenanjung ini dari bangsa Gothi Barat pada masa Khalifah Al-Walid ibn Abdul Malik.[5]

Islam masuk ke Spanyol (Cordoba) pada tahun 93 H (711 M) melalui jalur Afrika Utara di bawah pimpinan Tariq bin Ziyad yang memimpin angkatan perang Islam untuk membuka Andalusia.[6]

Sebelum penaklukan Spanyol, umat Islam telah menguasai Afrika Utara dan menjadikannya sebagai salah satu provinsi dari Dinasti Bani Umayah. Penguasaan sepenuhnya atas Afrika Utara itu terjadi di zaman Khalifah Abdul Malik (685-705 M). Khalifah Abdul Malik mengangkat Hasan ibn Nu’man al-Ghassani menjadi gubernur di daerah itu. Pada masa Khalifah Al-Walid, Hasan ibn Nu’man sudah digantikan oleh Musa ibn Nushair. Di zaman Al-Walid itu, Musa ibn Nushair memperluas wilayah kekuasaannya dengan menduduki Aljazair dan Maroko. Penaklukan atas wilayah Afrika Utara itu dari pertama kali dikalahkan sampai menjadi salah satu provinsi dari Khalifah Bani Umayah memakan waktu selama 53 tahun, yaitu mulai tahun 30 H (masa pemerintahan Muawiyah ibn Abi Sufyan) sampai tahun 83 H (masa al-Walid).[7] Sebelum dikalahkan dan kemudian dikuasai Islam, di kawasan ini terdapat kantung-kantung yang menjadi basis kekuasaan Kerajaan Romawi, yaitu Kerajaan Gotik.

Dalam proses penaklukan Spanyol terdapat tiga pahlawan Islam yang dapat dikatakan paling berjasa memimpin satuan-satuan pasukan ke sana. Mereka adalah Tharif ibn Malik, Thariq ibn Ziyad, dan Musa ibn Nushair. Tharif dapat disebut sebagai perintis dan penyelidik. Ia menyeberangi selat yang berada di antara Maroko dan benua Eropa itu dengan satu pasukan perang lima ratus orang di antaranya adalah tentara berkuda, mereka menaiki empat buah kapal yang disediakan oleh Julian. Ia menang dan kembali ke Afrika Utara membawa harta rampasan yang tidak sedikit jumlahnya. Didorong oleh keberhasilan Tharif ibn Malik dan kemelut yang terjadi dalam tubuh kerajaan Visigothic yang berkuasa di Spanyol pada saat itu, serta dorongan yang besar untuk memperoleh  harta rampasan perang, Musa ibn Nushair pada tahun 711 M mengirim pasukan ke Spanyol sebanyak 7000 orang di bawah pimpinan Thariq ibn Ziyad.[8]

Thariq ibn Ziyad lebih banyak dikenal sebagai penaklukan Spanyol karena pasukannya lebih besar dan hasilnya lebih nyata. Pasukannya terdiri dari sebagian besar suku Barbar yang didukung oleh Musa ibn Nushair dan sebagian lagi orang Arab yang dikirim Khalifah al-Walid. Pasukan itu kemudian menyeberangi selat di bawah pimpinan Thariq ibn Ziyad.[9] Sebuah gunung tempat pertama kali Thariq dan pasukannya mendarat dan menyiapkan pasukannya, dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Thariq). Dengan dikuasainya daerah ini, maka terbukalah pintu secara luas untuk memasuki Spanyol. Dalam pertempuran di Bakkah, Raja Roderick dapat dikalahkan. Dari situ Thariq dan pasukannya menaklukkan kota-kota penting seperti Cordova, Granada dan Toledo (Ibu kota kerajaan Goth saat itu).[10]  Sebelum menaklukkan kota Toledo, Thariq meminta tambahan pasukan kepada Musa ibn Nushair di Afrika Utara. Lalu dikirimlah 5000 personil, sehingga jumlah pasukan Thariq 12000 orang. Jumlah ini tidak sebanding dengan pasukan ghothic yang berjumlah 25.000 orang.[11]

Kemenangan pertama yang dicapai oleh Thariq ibn Ziyad membuka jalan untuk penaklukan wilayah yang lebih luas lagi. Musa bin Nushair pun melibatkan diri untuk membantu perjuangan Thariq. Selanjutnya, keduanya berhasil menguasai seluruh kota penting di Spanyol, termasuk bagian utaranya mulai dari Saragosa sampai Navarre.[12]

Gelombang perluasan wilayah berikutnya muncul pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Abdil Aziz tahun 99 H/717 M, dengan sasarannya menguasai daerah sekitar pegunungan Pyrenia dan Prancis Selatan. Gelombang kedua terbesar dari penyerbuan  kaum muslimin yang geraknya dimulai pada permulaan abad ke-8 M ini, telah menjangkau seluruh Spanyol dan melebar jauh ke Prancis Tengah dan bagian-bagian penting dari Italia.[13]

Kemenangan-kemenangan yang dicapai umat Islam nampak begitu mudah. Hal itu tidak dapat dipisahkan dari adanya faktor eksternal dan internal.

Yang dimaksud dengan faktor eksternal adalah suatu kondisi yang terdapat di dalam negeri Spanyol sendiri. Pada masa penaklukan Spanyol oleh orang-orang Islam, kondisi sosial, politik, dan ekonomi negeri ini berada dalam keadaan menyedihkan. Secara politik, wilayah Spanyol terkoyak-koyak dan terbagi-bagi ke dalam beberapa negeri kecil. Bersamaan dengan itu, penguasa Gothic bersikap tidak toleran terhadap aliran agama yang dianut oleh penguasa, yaitu aliran Monofisit, apalagi terhadap penganut agama lain, Yahudi. Penganut agama Yahudi yang merupakan bagian terbesar dari penduduk Spanyol dipaksa dibaptis menurut agama Kristen. Yang tidak bersedia disiksa dan dibunuh secara brutal.[14] Rakyat dibagi-bagi ke dalam sistem kelas, sehingga, keadaannya diliputi oleh kemelaratan, ketertindasan, dan ketiadaan persamaan hak. Di dalam situasi seperti itu, kaum tertindas menanti kedatangan juru pembebas dan juru pembebasnya mereka temukan dari orang Islam.[15] Berkenaan dengan itu, Ameer Ali, seperti dikutip oleh Imamuddin mengatakan, ketika Afrika (Timur dan Barat) menikmati kenyamanan dalam segi material, kebersamaan, keadilan, dan kesejahteraan tetangganya di jazirah Spanyol berada dalam keadaan menyedihkan di bawah kekuasaan tangan resi penguasa Visighotic. Di sisi lain, kerajaan berada dalam kemelut yang membawa akibat pada penderitaan masyarakat.[16] akibat perlakuan yang keji, koloni-koloni Yahudi yang penting menjadi tempat-tempat perlawanan dan pemberontakan. Perpecahan dalam negeri Spanyol ini banyak membantu keberhasilan campur tangan Islam di tahun 711 M. Perpecahan itu amat banyak coraknya dan sudah ada jauh sebelum kerajaan Gothic berdiri.

Perpecahan politik memperburuk keadaan ekonomi masyarakat. Ketika Islam masuk ke Spanyol, ekonomi masyarakat dalam keadaan lumpuh. Padahal, sewaktu Spanyol berada di bawah pemerintahan Romawi, berkat kesuburan tanahnya, pertanian maju pesat. Demikian juga pertambangan, industri, dan perdagangan karena didukung oleh sarana transportasi yang baik. Akan tetapi, setelah Spanyol berada di bawah kekuasaan kerajaan Goth, perekonomian lumpuh dan kesejahteraan masyarakat menurun. Hektaran tanah dibiarkan terlantar tanpa digarap, beberapa pabrik ditutup, dan antara satu daerah dengan daerah lain sulit dilalui akibat jalan-jalan tidak mendapat perawatan.[17]

Buruknya kondisi sosial, ekonomi, dan keagamaan tersebut terutama disebabkan oleh keadaan politik yang kacau. Kondisi terburuk terjadi pada masa pemerintahan Raja Roderick, Raja Goth terakhir yang dikalahkan Islam.

Awal kehancuran kerajaan Ghot adalah ketika Raja Roderick memindahkan ibu kota negaranya dari Seville ke Toledo, sementara Witiza, yang saat itu menjadi penguasa atas wilayah Toledo, diberhentikan begitu saja. Keadaan ini memancing amarah dari Oppas dan Achila, kakak, dan anak Witiza. Keduanya kemudian bangkit menghimpun kekuatan untuk menjatuhkan Roderick. Mereka pergi ke Afrika Utara dan bergabung dengan kaum muslimin. Sementara itu, terjadi pula konflik antara Roderick dengan Ratu Julian, mantan penguasa wilayah Septah. Julian juga bergabung dengan kaum Muslimin di Afrika Utara dan mendukung usaha umat Islam untuk menguasai Spanyol. Julian bahkan memberikan pinjaman empat buah kapal yang dipakai oleh Tharif, Tariq, dan Musa.[18]

Hal menguntungkan tentara Islam lainnya adalah tentara Roderick yang terdiri dari para budak yang tertindas tidak lagi mempunyai semangat perang. Selain itu, orang Yahudi yang selama ini tertekan juga mengadakan persekutuan dan memberikan bantuan bagi perjuangan kaum Muslimin.[19]

Adapun yang dimaksud dengan faktor internal adalah suatu kondisi yang terdapat dalam tubuh penguasa, tokoh-tokoh pejuang, dan para prajurit Islam yang terlibat dalam penaklukan wilayah Spanyol pada khususnya. Para pemimpin adalah tokoh-tokoh yang kuat, tentaranya kompak, bersatu, dan penuh percaya diri. Mereka pun cakap, berani, dan tabah dalam menghadapi setiap persoalan. Yang tak kalah pentingnya adalah ajaran Islam yang ditunjukkan para tentara Islam, yaitu toleransi, persaudaraan, dan tolong menolong. Sikap toleransi agama dan persaudaraan yang terdapat dalam pribadi kaum Muslimin itu menyebabkan penduduk Spanyol menyambut kehadiran Islam di sana.


B. Perkembangan Islam di Spanyol

Sejak pertama kali Islam menginjakkan kakinya ditanah Spanyol hingga jatuhnyua kerajaan Islam terakhir di sana sekitar tujuh setengan abad lamanya, Islam memainkan peranan yang besar, baik dalam bidang kemajuan intelektual (filsafat, sains, fikih, musik dan kesenian, bahasa dan sastra), kemegahan bangunan fisik (Cordova dan Granada).[20] Sejarah panjang yang dilalui umat Islam di Spanyol itu dapat dibagi menjadi enam periode yaitu  :

1. Periode Pertama (711-755 M)

Pada periode ini, Spanyol berada di bawah pemerintahan para wali yang diangkat oleh Khalifah Bani Umayah yang terpusat di Damaskus. Pada periode ini stabilitas politik negeri Spanyol belum tercapai secara sempurna, gangguan-gangguan masih terjadi, baik dari dalam maupun dari luar. Gangguan dari dalam antara lain berupa perselisihan di antara elite penguasa, terutama akibat perbedaan etnis dan golongan. Di samping itu, terdapat perbedaan pandangan antara Khalifah di Damaskus dan gubernur Afrika Utara yang berpusat di Khairawan. Masing-masing mengaku bahwa merekalah yang paling berhak menguasai daerah Spanyol ini. Oleh karena itu, terjadi dua puluh kali pergantian wali (gubernur) Spanyol dalam jangka waktu yang amat singkat. Perbedaan pandangan politik itu menyebabkan seringnya terjadi perang saudara. Hal ini ada hubungannya dengan perbedaan etnis, terutama antara Barbar asal Afrika Utara dan Arab. Di dalam etnis Arab sendiri terdapat dua golongan yang terus-menerus bersaing yaitu suku Qaisy (Arab Utara) dan Arab Yamani (Arab Selatan). Perbedaan etnis ini sering kali menimbulkan konflik politik, terutama ketika tidak ada figur yang tangguh. Itulah sebabnya di Spanyol pada saat itu tidak ada gubernur yang mampu mempertahankan kekuasaannya untuk jangka waktu yang agak lama.[21] Periode ini berakhir dengan datangnya Abdurrahman Al-Dakhil ke Spanyol pada tahun 138 H/755 M.

2. Periode Kedua (755-912 M)

Pada periode ini, Spanyol berada di bawah pemerintahan seorang yang bergelar amir (panglima atau gubernur) tetapi tidak tunduk kepada pusat pemerintahan Islam, yang ketika itu dipegang oleh Khalifah Abbasiyah di Baghdad. Amir pertama adalah Abdurrahman I yang memasuki Spanyol tahun 138 H/755 M dan diberi gelar Al-Dakhil (yang masuk ke Spanyol). Ia berhasil mendirikan dinasti Bani Umayah di Spanyol. Penguasa-penguasa Spanyol pada periode ini adalah Abdurrahman Al-Dakhil, Hisyam I, Hakam I, Abdurrahman Al-Ausath, Muhammad ibn Abdurrahman, Munzir ibn Muhammad, dan Abdullah ibn Muhammad.

Pada periode ini, umat Islam Spanyol mulai memperoleh kemajuan-kemajuan baik di bidang politik maupun bidang peradaban. Abdurrahman Al-Dakhil mendirikan masjid Cordova dan sekolah-sekolah di kota-kota besar Spanyol. Hisyam dikenal sebagai pembaharu dalam bidang kemiliteran. Dialah yang memprakarsai tentara bayaran di Spanyol. Sedangkan Abdul Rahman Al-Ausath dikenal sebagai penguasa yang cinta ilmu.[22] Pemikiran filsafat juga mulai pada periode ini, terutama di zaman Abdurrahman Al-Ausath.

Pada pertengahan abad ke-9 stabilitas negara terganggu dengan munculnya gerakan Kristen fanatik yang mencari kesahidan (Martyrdom).[23] Gangguan politik yang paling serius pada periode ini datang dari umat Islam sendiri. Golongan pemberontak di Toledo pada tahun 852 M membentuk negara kota yang berlangsung selama 80 tahun. Di samping itu sejumlah orang yang tak puas membangkitkan revolusi. Yang terpenting diantaranya adalah pemberontakan yang dipimpin oleh Hafshun dan anaknya yang berpusat di pegunungan dekat Malaga. Sementara itu, perselisihan antara orang-orang Barbar dan orang-orang Arab masih sering terjadi.[24]

Ada yang berpendapat pada periode ini dibagi menjadi dua yaitu masa Ke Amiran (755-912) dan masa ke Khalifahan  (912-1013).[25]

3. Periode Ketiga (912-1013 M)

Periode ini berlangsung mulai dari pemerintahan Abdurrahman III yang bergelar “An-Nasir” sampai munculnya “raja-raja kelompok” yang dikenal dengan sebutan Muluk Al-Thawaif. Pada periode ini Spanyol diperintah oleh penguasa dengan gelar Khalifah, penggunaan khalifah tersebut bermula dari berita yang sampai kepada Abdurrahman III, bahwa Muktadir, Khalifah daulah Bani Abbas di Baghdad meninggal dunia dibunuh oleh pengawalnya sendiri. Menurut penilainnya, keadaan ini menunjukkan bahwa suasana pemerintahan Abbasiyah sedang berada dalam kemelut. Ia berpendapat bahwa saat ini merupakan saat yang tepat untuk memakai gelar khalifah yang telah hilang dari kekuasaan Bani Umayyah selama 150 tahun lebih. Karena itulah gelar ini dipakai mulai tahun 929 M. Khalifah-khalifah besar yang memerintah pada periode ini ada tiga orang yaitu Abdurrahman Al-Nasir (912-961 M), Hakam II (961-976 M), dan Hisyam II (976-1009 M).

Pada periode ini umat Islam Spanyol mencapai puncak kemajuan dan kejayaan menyaingi kejayaan daulat Abbasiyah di Baghdad. Abdurrahman Al-Nasir mendirikan universitas Cordova. Ia mendahului Al-Azhar Kairo dan Nizhamiyah Baghdad, juga menarik minat para siswa, Kristen dan Muslim, tidak hanya di Spanyol tetapi juga dari wilayah-wilayah lain di Eropa, Afrika dan Asia.[26]

Akhirnya pada tahun 1013 M, Dewan Menteri yang memerintah Cordova menghapuskan jabatan khalifah. Ketika itu Spanyol sudah terpecah dalam banyak sekali negara kecil yang berpusat di kota-kota tertentu.[27]

4. Periode Keempat (1013-1086 M)

Pada periode ini, Spanyol terpecah menjadi lebih dari tiga puluh negara kecil di bawah pemerintahan raja-raja golongan atau Al-Mulukuth Thawaif yang berpusat di suatu kota seperti Seville, Cordova, Toledo dan sebagainya. Yang terbesar diantaranya adalah Abbadiyah di Seville. Pada periode ini umat Islam memasuki masa pertikaian intern. Ironisnya, kalau terjadi perang saudara, ada di antara pihak-pihak yang bertikai itu yang meminta bantuan kepada raja-raja Kristen. Melihat kelemahan dan kekacauan yang menimpa keadaan politik Islam itu, untuk pertama kalinya orang-orang Kristen pada periode ini mulai mengambil inisiatif penyerangan. Meskipun kehidupan politik tidak stabil, namun kehidupan intelektual terus berkembang pada periode ini. Istana-istana mendorong para sarjana dan sastrawan untuk mendapatkan perlindungan dari satu istana ke istana lain.[28]

5. Periode Kelima (1086-1248 M)

Pada periode ini Spanyol Islam meskipun masih terpecah dalam beberapa negara, tetapi terdapat satu kekuatan yang dominan, yaitu kekuasaan dinasti Murabithun (1086-1143 M) dan dinasti Muwahhidun (1146-1235 M). Dinasti Murabithun pada mulanya adalah sebuah gerakan agama yang didirikan oleh Yusuf ibn Tasyfin di Afrika Utara. Pada tahun 1062 M ia berhasil mendirikan sebuah kerajaan yang berpusat di Marakesy. Pada masa dinasti Murabithun, Saragosa jatuh ke tangan Kristen, tepatnya tahun 1118 M.

Dinasti Muwahhidun didirikan oleh Muhammad ibn Tumazi (w.1128). Dinasti ini datang ke Spanyol di bawah pimpinan Abd al-Mun’im. Pada tahun 1212 M, tentara Kristen memperoleh kemenangan besar di Las Navas de Tolesa. Kekalahan-kekalahan yang dialami Muwahhhidun menyebabkan penguasanya memilih meninggalkan Spanyol dan kembali ke Afrika Utara pada tahun 1235 M. Tahun 1238 M Cordova jatuh ke tangan penguasa Kristen dan Seville jatuh pada tahun 1248 M. Seluruh Spanyol kecuali Granada lepas dari kekuasaan Islam.[29]

6. Periode Keenam (1248-1492 M)

Pada Periode ini, Islam hanya berkuasa di daerah Granada, di bawah dinasti Bani Ahmar (1232-1492). Peradaban kembali mengalami kemajuan seperti di zaman Abdurrahman An-Nasir. Kekuasaan Islam yang merupakan pertahanan terakhir di Spanyol ini berakhir karena perselisihan orang-orang istana dalam perebutan kekuasaan. Abu Abdullah Muhammad merasa tidak senang kepada  ayahnya karena menunjuk anaknya yang lain sebagai penggantinya menjadi raja. Dia memberontak dan berusaha merampas kekuasaannya. Dalam pemberontakan itu, ayahnya terbunuh dan digantikan oleh Muhammad ibn Sa’ad. Abu Abdullah kemudian meminta bantuan kepada Ferdinand dan Isabella untuk menjatuhkannya. Dua penguasa Kristen ini dapat mengalahkan penguasa yang sah dan Abu Abdullah naik tahta. Tentu saja, Ferdinand dan Isabella yang mempersatukan kedua kerajaan besar Kristen melalui perkawinan itu tidak cukup puas. Keduanya ingin merebut kekuasaan terakhir umat Islam di Spanyol. Abu Abdullah tidak kuasa menahan serangan-serangan orang Kristen tersebut dan pada akhirnya mengaku kalah. Ia menyerahkan kekuasaan kepada Ferdinand dan Isabella, kemudian hijrah ke Afrika Utara. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Islam di Spanyol tahun 1492 M. Umat Islam setelah itu dihadapkan kepada dua pilihan, masuk Kristen atau pergi meninggalkan Spanyol. Pada tahun 1609 M, boleh dikatakan tidak ada lagi umat Islam di daerah ini.[30]